Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 20 Januari 2013

KOPI PANGKON


KOPI PANGKON
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Ibu-ibu yang tinggal di sekitar kawasan perbelanjaan kebutuhan dapur itu mulai resah. Mereka mencemaskan berdirinya warung kopi yang menyediakan kopi kental manis serta gadis-gadis manis. Mereka takut keberadaan warung kopi tersebut dapat mengusik keharmonisan rumah tangganya. Setiap malam warung kopi itu selalu ramai didatangi pungunjung yang kebanyakan adalah kaum laki-laki. Mereka selalu menghabiskan malam di situ dengan menyeruput kopi sambil memangku salah satu dari gadis-gadis ABG yang bekerja di warung itu.
Tak terkecuali, Sudarsih. Seorang ibu yang beranak tiga yang tinggal tidak jauh dari tempat itu. Dia setiap malam harus menjaga dan memberikan perhatian kepada suaminya yang sudah timbul tanda-tanda ingin ke warung kopi pangkon. Mulai sore menjelang Maghrib, Sudarsih sudah berdandan serta berpakaian rapi. Dia bersikap baik dan mesra di depan suaminya. Tutur sapanya lembut, tindak-tanduknya kalem. Pokoknya dia berusaha tampil total  demi suami tercintanya agar tidak kepincut dengan gadis-gadis pelayan warung kopi itu.
Suatu malam Sudarsih menyeduh kopi kental manis buat suaminya. Dengan senyum serta sapa mesranya, Sudarsih menghidangkan kopi  kepada suaminya yang duduk di ruang tamu. Setelah meletakkan kopi di atas meja, Sudarsih duduk sambil mempersilakan suaminya menikmati kopi buatannya.
“Silakan diminum, Mas!” kata Sudarsih.
“Sebentar. Saya masih menghisap rokok. Eman masih setengah,” sahut suaminya.
Sudarsih dengan sabar menunggui suaminya yang masih asyik menghisap rokoknya. Dia berusaha tidak jenuh menunggui suaminya yang terkesan memperlambat aktivitas merokoknya.
“Sih, itu anakmu nangis,” kata Suami Sudarsih mengalihkan perhatian istrinya. Sudarsih segera berdiri lalu menuju ke arah anaknya yang kebetulan sedang menangis.
Parlan, suami Sudarsih, malam itu janjian dengan Sutikno. Mereka telah berjanji akan pergi bersama-sama ke warung kopi yang terkenal dengan pangkonnya. Mereka penasaran dengan keberadaan warung tersebut setelah mendengar cerita dari teman-teman cangkruannya.
Menurut cerita dari teman-temannya, warung kopi yang berada di sudut kawasan belanja kebutuhan dapur itu menyediakan kopi yang sangat istimewa. Disamping kopinya asli, kental dan manis, pelayan-pelayannya juga sip. Apalagi warung tersebut juga memanjakan konsumennya dengan memberikan pelayanan yang ‘istimewa’ pula. Para gadis ABG yang menjadi pelayan di situ bersedia menemani konsumennya meminum kopi sambil duduk di pangkuannya.
Wes, ta! Pokoknya dijamin puas!” kata teman Parlan yang diikuti tawa gaduh dari rekan-rekan cangkruannya.
Kok,  belum diminum kopinya?” tanya Sudarsih yang muncul dengan tiba-tiba.
“Kebanyakan rokok, Sih. Jadi, nggak nafsu  lagi meminum kopinya,” jawab Parlan dengan alasan sekenanya.
Sudarsih curiga dengan gelagat suaminya. Sikap Parlan tidak seperti biasanya. Setiap malam Sudarsih selalu menyeduhkan kopi dengan takaran seperti yang saat ini ia hidangkan. Kopi kental dan manis yang ia buatkan selalu habis tak tersisa. Bahkan ampas kopi yang tersisa di dasar gelas selalu diambil lalu dioles-oleskan ke batang rokok yang akan dihisap. Kenapa tiba-tiba dia tidak bernafsu meminum kopi yang ia hidangkan?
“Jangan-jangan dia sudah kepincut dengan warung kopi pangkon itu?” pikir Sudarsih dalam hati.
Sudarsih terkejut saat pintu rumahnya ada yang mengetuk-ngetuk. Parlan bangkit lalu membukakan pintu rumahnya. Ternyata Sutikno yang datang.
“Ayo, jadi nggak?” Bisik Sutikno pada Parlan.
“Ya. Jadi,” jawab Parlan dengan berbisik pula.
Sudarsih semakin curiga. Dia penasaran pada perilaku para lelaki yang berada di depannya. Dia mencurigai suaminya telah merencanakan sesuatu dengan Sutikno. Mereka sangat merahasiakannya agar tidak diketahui oleh istri-istri mereka. Sudarsih mencoba menyembunyikan rasa penasarannya dengan mengemasi asbak yang penuh dengan puntung dan abu rokok serta membawa segelas kopi yang masih utuh ke ruang dapur.
“Bu, saya keluar dulu,” pamit Parlan dengan setengah berteriak.
“Ya...!” sahut Sudarsih dari ruang belakang. Sudarsih membiarkan Parlan pergi dengan Sutikno.
Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh malam. Suami Sudarsih belum pulang. Kecurigaan Sudarsih kepada suaminya semakin menggebu. Sudarsih menyusun rencana strategis untuk membuktikan rasa penasarannya atas sikap dan perilaku suaminya.
Selang beberapa saat, setelah Sudarsih menidurkan anak-anaknya, dia keluar rumah menuju  ke rumah Rodliyah, istri Sutikno.
“Yuk Rodliyah, Yuk...!” panggil Sudarsih sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah Rodliyah.
“Ya, sebentar,” sahut Rodliyah.
“Eh, kamu, Yuk! Ada apa malam-malam begini kok datang kemari?” tanya Rodliyah.
“Suamimu di rumah?” tanya Sudarsih pura-pura tidak tahu.
Rodliyah tidak segera menjawab. Dia berjalan ke arah kamar suaminya untuk memastikan suaminya ada di rumah atau tidak.
“Tidak ada. Suamiku tidak di rumah. Padahal tadi sebelum saya menidurkan anak-anak, saya melihat suamiku merebahkan tubuhnya di kamarnya,” kata Rodliyah.
“Perlu kamu ketahui, bahwa suamimu, Tikno, keluar rumah bersama suamiku. Mereka seperti mempunyai rencana yang dirahasiakan. Sikap dan gelagat mereka sangat mencurigakan. Tadi sewaktu suamimu datang ke rumah, mereka sempat berbisik-bisik tentang sesuatu lalu mereka pamit keluar.”
“Mereka ke mana, ya?” tanya Rodliyah penasaran.
“Saya curiga mereka pergi ke kopi pangkon!?” kata Sudarsih.
“Kopi pangkon? Apa kopi pangkon itu?” tanya Rodliyah.
“Wah, sampean itu ketinggalan zaman! Kopi pangkon itu julukan warung kopi yang berada di sudut kawasan belanja kita tiap hari. Mereka berdagang kopi sambil menyediakan gadis-gadis ABG yang siap memangku pembelinya yang minum kopi.” Sudarsih menjelaskan perihal kopi pangkon kepada Rodliyah.
“Masak sampai seperti itu?” kata Rodliyah setengah tidak percaya.
“Kalau Yuk Rodliyah tidak percaya, mari kita buktikan!” ajak Sudarsih.
Para istri yang kuatir suaminya menjadi pelanggan kopi pangkon itu segera  melakukan aksinya. Mereka membawa tas belanja. Mereka menyamar sebagai pedagang sayur yang akan kulakan barang dagangan di lokasi itu. Kedua wanita yang berlagak seperti detektif itu berjalan santai menuju ke tempat yang ditargetkan. Target operasi semakin dekat. Mereka berbisik-bisik agar aksinya tidak membuat orang lain curiga. Kedua mata para istri yang sayang suami ini menyapu seluruh sisi warung kopi yang dimaksud. Betapa terkejutnya mereka setelah melihat Parlan dan Sutikno duduk di tikar pandan menikmati kopi kental manis sambil memangku gadis ABG yang sangat cantik pula.
Jantung kedua wanita itu berdetak kencang. Darahnya mendidih. Raut mukanya merah padam. Mata mereka melotot. Jari-jari tangannya mengepal keras. Tubuh mereka bergetar. Mereka bagai harimau yang siap menerkam mangsanya.
“Sabar, Yuk Rodliyah! Tahan amarah! Biarkan saja mereka bersenang-senang. Kita tunggu mereka di rumah,” pinta Sudarsih.
“Tidak bisa, Yuk. Saya harus menyeret suamiku pulang. Saya tidak menyangka kalau suamiku tega berbuat seperti itu,” bantah Rodliyah.
 “Sabar dulu! Saya juga mengalami hal seperti yang Yuk Rodliyah alami. Kalau kita adili mereka di sini, saya kuatir mereka akan semakin nekat. Kita harus menghadapi masalah ini dengan kepala dingin. Mari kita pulang saja!” ajak Sudarsih.
Kedua wanita itu berjalan pulang dengan membawa beban amarah yang luar biasa. Sudarsih dan Rodliyah bertekad akan ‘menghabisi’ suami-suaminya di rumah. Mereka pun kembali ke rumah masing-masing.
Dini hari udara semakin dingin. Sudarsih duduk di kursi ruang tamu menunggu suaminya datang. Sudarsih membungkus tubuhnya dengan kain jarik hingga rangkap dua. Tepat pukul satu, pintu rumahnya diketuk-ketuk suaminya.
“Sih, Sih! Bukakan pintunya!” kata Parlan dari luar.
Belum sempat ia mengulang permintaannya, Sudarsih sudah membukakan pintu rumahnya.
“Kok, sudah pulang?” tanya Sudarsih dengan sewot.
“Ya.” Suaminya menjawab dengan datar. Dia mencoba menetralkan sikap istrinya dengan sebungkus pisang goreng yang dia bawa dari warung kopi.
“Tidak mau. Saya tidak bernafsu memakan pisang goreng ini,” kata Sudarsih sambil menerima bungkusan itu lalu meletakkannya lagi di atas meja.
Suami Sudarsih diam. Ia tak berkata apa-apa. Dia mulai meraba-raba kesalahan yang baru saja ia perbuat. Ia mulai khawatir kelakuan bejatnya tercium istrinya.
“Sampean ini sudah beranak-pinak. Kelakuannya seperti bujangan,” kata Sudarsih dengan geram.
“Apa maksudmu?” tanya Parlan dengan pura-pura tidak mengerti pertanyaan istrinya.
“Tidak usah berlagak bodoh! Saya dan Rodliyah sudah tahu kelakuan bejatmu dengan Tikno di warung kopi. Enak, ya, minum kopi sambil memangku gadis ABG?” sahut  Sudarsih.
Parlan tidak bisa berkata apa-apa. Dia seperti kerbau dicocok hidungnya. Dia tak bisa mengelak karena perbuatannya sudah diketahui istrinya. Parlan diam membatu. Dia  hanya bisa mendengarkan nasihat dan permintaan istrinya agar dia menjadi suami yang setia kepada istrinya. Agar dia menjadi seorang ayah yang bisa menjadi panutan bagi anak-anaknya.
Mendengar nasihat dan permintaan istrinya, hati Parlan terenyuh. Dia menangis dalam hati karena menyesali perbuatannya. Dengan sepatah kata permintaan maaf dan penyesalan yang disampaikan kepada istrinya, dia berjanji akan menjadi suami dan ayah bagi anak-anaknya sesuai dengan permintaan sang istri, Sudarsih.
Malam semakin larut. Suasana di rumah Sudarsih sepi sekali. Kedua insan yang baru saja terlibat dalam konflik keluarga ini mulai mengantuk. Mereka beranjak ke tempat tidur. Sesaat kemudian mereka terlelap dalam tidur dengan bunga-bunga mimpi yang indah sekali.  (*)
Pucuk, Januari 2013 

Radar Bojonegoro, 20 Januari 2013