KOPI
PANGKON
Cerpen
karya Ahmad Zaini*
Ibu-ibu
yang tinggal di sekitar kawasan perbelanjaan kebutuhan dapur itu mulai resah.
Mereka mencemaskan berdirinya warung kopi yang menyediakan kopi kental manis
serta gadis-gadis manis. Mereka takut keberadaan warung kopi tersebut dapat
mengusik keharmonisan rumah tangganya. Setiap malam warung kopi itu selalu
ramai didatangi pungunjung yang kebanyakan adalah kaum laki-laki. Mereka selalu
menghabiskan malam di situ dengan menyeruput kopi sambil memangku salah satu
dari gadis-gadis ABG yang bekerja di warung itu.
Tak
terkecuali, Sudarsih. Seorang ibu yang beranak tiga yang tinggal tidak jauh
dari tempat itu. Dia setiap malam harus menjaga dan memberikan perhatian kepada
suaminya yang sudah timbul tanda-tanda ingin ke warung kopi pangkon. Mulai sore
menjelang Maghrib, Sudarsih sudah berdandan serta berpakaian rapi. Dia bersikap
baik dan mesra di depan suaminya. Tutur sapanya lembut, tindak-tanduknya kalem.
Pokoknya dia berusaha tampil total demi
suami tercintanya agar tidak kepincut dengan gadis-gadis pelayan warung kopi
itu.
Suatu
malam Sudarsih menyeduh kopi kental manis buat suaminya. Dengan senyum serta
sapa mesranya, Sudarsih menghidangkan kopi kepada suaminya yang duduk di ruang tamu.
Setelah meletakkan kopi di atas meja, Sudarsih duduk sambil mempersilakan
suaminya menikmati kopi buatannya.
“Silakan
diminum, Mas!” kata Sudarsih.
“Sebentar.
Saya masih menghisap rokok. Eman masih setengah,” sahut suaminya.
Sudarsih
dengan sabar menunggui suaminya yang masih asyik menghisap rokoknya. Dia
berusaha tidak jenuh menunggui suaminya yang terkesan memperlambat aktivitas
merokoknya.
“Sih,
itu anakmu nangis,” kata Suami Sudarsih mengalihkan perhatian istrinya.
Sudarsih segera berdiri lalu menuju ke arah anaknya yang kebetulan sedang menangis.
Parlan,
suami Sudarsih, malam itu janjian dengan Sutikno. Mereka telah berjanji akan
pergi bersama-sama ke warung kopi yang terkenal dengan pangkonnya.
Mereka penasaran dengan keberadaan warung tersebut setelah mendengar cerita
dari teman-teman cangkruannya.
Menurut
cerita dari teman-temannya, warung kopi yang berada di sudut kawasan belanja
kebutuhan dapur itu menyediakan kopi yang sangat istimewa. Disamping kopinya
asli, kental dan manis, pelayan-pelayannya juga sip. Apalagi warung
tersebut juga memanjakan konsumennya dengan memberikan pelayanan yang
‘istimewa’ pula. Para gadis ABG yang menjadi pelayan di situ bersedia menemani
konsumennya meminum kopi sambil duduk di pangkuannya.
“Wes,
ta! Pokoknya dijamin puas!” kata teman Parlan yang diikuti tawa gaduh dari
rekan-rekan cangkruannya.
“Kok, belum diminum kopinya?” tanya Sudarsih
yang muncul dengan tiba-tiba.
“Kebanyakan
rokok, Sih. Jadi, nggak nafsu lagi
meminum kopinya,” jawab Parlan dengan alasan sekenanya.
Sudarsih
curiga dengan gelagat suaminya. Sikap Parlan tidak seperti biasanya. Setiap
malam Sudarsih selalu menyeduhkan kopi dengan takaran seperti yang saat ini ia
hidangkan. Kopi kental dan manis yang ia buatkan selalu habis tak tersisa.
Bahkan ampas kopi yang tersisa di dasar gelas selalu diambil lalu
dioles-oleskan ke batang rokok yang akan dihisap. Kenapa tiba-tiba dia tidak
bernafsu meminum kopi yang ia hidangkan?
“Jangan-jangan
dia sudah kepincut dengan warung kopi pangkon itu?” pikir Sudarsih dalam hati.
Sudarsih
terkejut saat pintu rumahnya ada yang mengetuk-ngetuk. Parlan bangkit lalu
membukakan pintu rumahnya. Ternyata Sutikno yang datang.
“Ayo,
jadi nggak?” Bisik Sutikno pada Parlan.
“Ya.
Jadi,” jawab Parlan dengan berbisik pula.
Sudarsih
semakin curiga. Dia penasaran pada perilaku para lelaki yang berada di
depannya. Dia mencurigai suaminya telah merencanakan sesuatu dengan Sutikno.
Mereka sangat merahasiakannya agar tidak diketahui oleh istri-istri mereka.
Sudarsih mencoba menyembunyikan rasa penasarannya dengan mengemasi asbak yang
penuh dengan puntung dan abu rokok serta membawa segelas kopi yang masih utuh ke
ruang dapur.
“Bu,
saya keluar dulu,” pamit Parlan dengan setengah berteriak.
“Ya...!”
sahut Sudarsih dari ruang belakang. Sudarsih membiarkan Parlan pergi dengan
Sutikno.
Jarum
jam sudah menunjuk angka sepuluh malam. Suami Sudarsih belum pulang. Kecurigaan
Sudarsih kepada suaminya semakin menggebu. Sudarsih menyusun rencana strategis
untuk membuktikan rasa penasarannya atas sikap dan perilaku suaminya.
Selang
beberapa saat, setelah Sudarsih menidurkan anak-anaknya, dia keluar rumah
menuju ke rumah Rodliyah, istri Sutikno.
“Yuk
Rodliyah, Yuk...!” panggil Sudarsih sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah
Rodliyah.
“Ya,
sebentar,” sahut Rodliyah.
“Eh,
kamu, Yuk! Ada apa malam-malam begini kok datang kemari?” tanya Rodliyah.
“Suamimu
di rumah?” tanya Sudarsih pura-pura tidak tahu.
Rodliyah
tidak segera menjawab. Dia berjalan ke arah kamar suaminya untuk memastikan
suaminya ada di rumah atau tidak.
“Tidak
ada. Suamiku tidak di rumah. Padahal tadi sebelum saya menidurkan anak-anak,
saya melihat suamiku merebahkan tubuhnya di kamarnya,” kata Rodliyah.
“Perlu
kamu ketahui, bahwa suamimu, Tikno, keluar rumah bersama suamiku. Mereka
seperti mempunyai rencana yang dirahasiakan. Sikap dan gelagat mereka sangat
mencurigakan. Tadi sewaktu suamimu datang ke rumah, mereka sempat
berbisik-bisik tentang sesuatu lalu mereka pamit keluar.”
“Mereka
ke mana, ya?” tanya Rodliyah penasaran.
“Saya
curiga mereka pergi ke kopi pangkon!?” kata Sudarsih.
“Kopi
pangkon? Apa kopi pangkon itu?” tanya Rodliyah.
“Wah,
sampean itu ketinggalan zaman! Kopi pangkon itu julukan warung kopi yang
berada di sudut kawasan belanja kita tiap hari. Mereka berdagang kopi sambil menyediakan
gadis-gadis ABG yang siap memangku pembelinya yang minum kopi.” Sudarsih
menjelaskan perihal kopi pangkon kepada Rodliyah.
“Masak
sampai seperti itu?” kata Rodliyah setengah tidak percaya.
“Kalau
Yuk Rodliyah tidak percaya, mari kita buktikan!” ajak Sudarsih.
Para
istri yang kuatir suaminya menjadi pelanggan kopi pangkon itu segera melakukan aksinya. Mereka membawa tas
belanja. Mereka menyamar sebagai pedagang sayur yang akan kulakan barang dagangan
di lokasi itu. Kedua wanita yang berlagak seperti detektif itu berjalan santai
menuju ke tempat yang ditargetkan. Target operasi semakin dekat. Mereka
berbisik-bisik agar aksinya tidak membuat orang lain curiga. Kedua mata para
istri yang sayang suami ini menyapu seluruh sisi warung kopi yang dimaksud.
Betapa terkejutnya mereka setelah melihat Parlan dan Sutikno duduk di tikar
pandan menikmati kopi kental manis sambil memangku gadis ABG yang sangat cantik
pula.
Jantung
kedua wanita itu berdetak kencang. Darahnya mendidih. Raut mukanya merah padam.
Mata mereka melotot. Jari-jari tangannya mengepal keras. Tubuh mereka bergetar.
Mereka bagai harimau yang siap menerkam mangsanya.
“Sabar,
Yuk Rodliyah! Tahan amarah! Biarkan saja mereka bersenang-senang. Kita tunggu
mereka di rumah,” pinta Sudarsih.
“Tidak
bisa, Yuk. Saya harus menyeret suamiku pulang. Saya tidak menyangka kalau
suamiku tega berbuat seperti itu,” bantah Rodliyah.
“Sabar dulu! Saya juga mengalami hal seperti
yang Yuk Rodliyah alami. Kalau kita adili mereka di sini, saya kuatir mereka akan
semakin nekat. Kita harus menghadapi masalah ini dengan kepala dingin. Mari
kita pulang saja!” ajak Sudarsih.
Kedua
wanita itu berjalan pulang dengan membawa beban amarah yang luar biasa.
Sudarsih dan Rodliyah bertekad akan ‘menghabisi’ suami-suaminya di rumah.
Mereka pun kembali ke rumah masing-masing.
Dini
hari udara semakin dingin. Sudarsih duduk di kursi ruang tamu menunggu suaminya
datang. Sudarsih membungkus tubuhnya dengan kain jarik hingga rangkap dua.
Tepat pukul satu, pintu rumahnya diketuk-ketuk suaminya.
“Sih,
Sih! Bukakan pintunya!” kata Parlan dari luar.
Belum
sempat ia mengulang permintaannya, Sudarsih sudah membukakan pintu rumahnya.
“Kok,
sudah pulang?” tanya Sudarsih dengan sewot.
“Ya.”
Suaminya menjawab dengan datar. Dia mencoba menetralkan sikap istrinya dengan
sebungkus pisang goreng yang dia bawa dari warung kopi.
“Tidak
mau. Saya tidak bernafsu memakan pisang goreng ini,” kata Sudarsih sambil
menerima bungkusan itu lalu meletakkannya lagi di atas meja.
Suami
Sudarsih diam. Ia tak berkata apa-apa. Dia mulai meraba-raba kesalahan yang
baru saja ia perbuat. Ia mulai khawatir kelakuan bejatnya tercium istrinya.
“Sampean
ini sudah beranak-pinak. Kelakuannya seperti bujangan,” kata Sudarsih dengan
geram.
“Apa
maksudmu?” tanya Parlan dengan pura-pura tidak mengerti pertanyaan istrinya.
“Tidak
usah berlagak bodoh! Saya dan Rodliyah sudah tahu kelakuan bejatmu dengan Tikno
di warung kopi. Enak, ya, minum kopi sambil memangku gadis ABG?” sahut Sudarsih.
Parlan
tidak bisa berkata apa-apa. Dia seperti kerbau dicocok hidungnya. Dia tak bisa
mengelak karena perbuatannya sudah diketahui istrinya. Parlan diam membatu.
Dia hanya bisa mendengarkan nasihat dan
permintaan istrinya agar dia menjadi suami yang setia kepada istrinya. Agar dia
menjadi seorang ayah yang bisa menjadi panutan bagi anak-anaknya.
Mendengar
nasihat dan permintaan istrinya, hati Parlan terenyuh. Dia menangis dalam hati
karena menyesali perbuatannya. Dengan sepatah kata permintaan maaf dan
penyesalan yang disampaikan kepada istrinya, dia berjanji akan menjadi suami
dan ayah bagi anak-anaknya sesuai dengan permintaan sang istri, Sudarsih.
Malam
semakin larut. Suasana di rumah Sudarsih sepi sekali. Kedua insan yang baru
saja terlibat dalam konflik keluarga ini mulai mengantuk. Mereka beranjak ke
tempat tidur. Sesaat kemudian mereka terlelap dalam tidur dengan bunga-bunga
mimpi yang indah sekali. (*)
Pucuk,
Januari 2013
Radar Bojonegoro, 20 Januari 2013