Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 02 Oktober 2015

Sumur Tua

Sumur Tua
Cerpen karya Ahmad Zaini

Hari masih terlalu dini membangunkan warga dari tidur nyenyaknya. Di ufuk timur fajar juga masih samar. Ia  belum sepenuhnya menyeret pagi ke gerbang hari. Ayam jantan masih bungkam. Mereka masih menahan kokok untuk memanggili betina yang masih mengerami telur. Hanya sesekali terdengar lenguh sapi mengunyah rerumput yang menguning sisa kemarin sore.
Meskipun hari belum sempurna, para warga sudah bangun. Mereka beramai-ramai mendatangi halaman rumah Pak Lurah. Para warga berkumpul di halaman rumah Pak Lurah dengan membawa alat gali seadanya. Warga yang mayoritas laki-laki ini membawa linggis, lencet, cangkul, dan alat penggali yang lain.
Bias penerang yang mereka bawa menerpa wajahnya. Raut suram dan kusam karena krisis air benar-benar terasa. Mereka jarang mandi, cuci muka, apalagi berjenabat. Mereka menahan tidur bersama istrinya karena tidak ada air yang digunakan untuk mandi besar.  Sumur-sumur kering. Telaga-telaga menganga. Semua sumber air telah berhenti memompa air untuk menyambung hidup para warga. Mereka hanya menggantungkan nasib hidupnya pada penyuplai air yang biasa berkeliling di kampungnya. Para warga membeli air dari penyuplai tersebut dengan harga selangit. Oleh karena itu, air yang dibeli hanya digunakan untuk memasak dan minum saja.
“Bagaimana, apakah masih ada kepala keluarga atau wakilnya yang masih belum kumpul?” tanya Pak Lurah kepada warga.
“Masih ada, Pak. Sutarman tidak mau ikut,” jawab Simen.
“Kenapa?”
“Katanya bekas sumur yang akan kita gali itu adalah milik orang tuanya. Dia menolak rencana kita menggali sumur tersebut karena sekarang sudah menjadi lahan pertaniannya,” Simen menjelaskan Pak Lurah.
“Itu bukan tanah orang tuanya. Tanah itu adalah tanah gege atau tanah tidak berpajak karena milih negara.”
“Berarti selama ini mereka itu hanya mengaku-ngaku saja?”
“Ya, begitulah kiranya.”
Setelah mendengar penjelasan Pak Lurah, warga berangkat ke tempat penggalian, yakni bekas sumur yang sekarang telah dijadikan lahan pertanian oleh keluarga Sutarman. Mereka melakukan perjalanan jauh dengan membawa penerang seadanya.
Kerlip obor dan lampu bergoyang-goyang tak tetap karena warga melewati jalan yang tidak rata. Bongkahan tanah dan batu serta tanah-tanah  yang merekah sangat menghambat perjalanan mereka. Para warga sangat berhati-hati supaya kaki mereka tidak terkilir atau terperosok pada tanah yang menganga di tengah jalan. Musim kemarau tahun ini memang benar-benar dasyat sehingga tanah-tanah yang asalnya mulus dan rata sekarang menjadi bergelombang dan retak-retak.
Di tengah kerontang tanah dan tanaman yang mengering, terdapat rumpun belukar yang hijau sekali. Warga berhenti di tempat itu. Pak Lurah yang  memegang kendali mereka mengintruksikan agar mereka berhenti di situ sambil beristirahat sebentar.
“Apakah ini tempat bekas sumur itu?” tanya salah satu warga kepada Pak Lurah.
“Benar sekali. Inilah bekas sumur yang kini telah diijadikan lahan pertanian oleh keluarga Sutarman,” jawab Pak Lurah.
Mendengar jawaban Pak Lurah para warga hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mereka heran karena tidak percaya kenapa sumur yang menjadi sumber air satu-satunya ketika musim kemarau dibuntu oleh keluarga Sutarman?
“Ayo, Bapak-Bapak kita gali kembali sumur ini!” ajak Pak Lurah.
Para warga yang sejak tadi menunggu instruksi bergegas bangkit dari istirahatnya. Mereka mengambil peralatan yang diperlukan.
Saat para warga akan memulai penggalian bekas sumur tua tersebut, Sutarman muncul dari belakang mereka.
“Tanah siapa yang akan kau gali itu?” suara Sutarman menggema dari belakang warga.
Para warga sontak berhenti. Mereka menahan linggis yang sudah diangkat tinggi-tinggi akan mencungkil tanah di lahan tersebut.
“Sutarman! Mengapa kau menghentikan kami? Bukankah ini tanah umum yang dulunya menjadi sumur warga?” bentak salah satu warga.
“Bodoh sekali kau ini. Tanah yang akan kau gali memang dulunya sumur warga. Akan tetapi tanah ini sudah dibeli oleh ayah saya. Sumur tersebut kemudian dibuntu oleh ayah dijadikan lahan pertanian.”
“Jadi orang tuamu yang telah membuntu sumur ini? Makanya dia menjadi korban atas keserakahan sendiri,” celetuk salah satu warga tersebut.
“Tutup mulutmu! Apa maksud menjadi korban keserakahan sendiri? Orang tuaku tidak seperti yang kalian kira. Ayahku konglomerat di kampung ini. Tanah sumur telah menjadi hak miliknya. Tanah tersebut dibuat apa saja itu terserah orang tuaku,” kata Sutarman memertahankan diri.
“Itu dia. Sumur itu ada danyangnya. Kalau tempatnya dibuntu, maka danyangnya akan murka. Dan orang tuamu menjadi santapan danyang sumur ini.”
Memang sudah menjadi kepercayaan masyarakat apabila ada sumur yang dibuntu maka penghuninya akan mengamuk. Terutama yang menjadi sasaran adalah pelaku pembuntuan sumur dan keluarganya.
“Bagaimana Sutarman? Kenapa kau diam saja?” sahut warga.
“Hahahahaha! Saya diam karena heran mendengar perkataan kalian. Itu tahayyul. Tidak mungkin. Orang tuaku mati karena gantung diri.”
“Tahu kenapa orang tuamu gantung diri? Itu karena dia selalu dihantui rasa bersalah karena telah membuntu sumur itu. Sebab kebodohannya itulah seluruh warga kampung setiap musim kemarau menjadi sengsara seperti ini.”
“Kurang ajar sekali kalian! Berani-beraninya mengatai orang tuaku bodoh,” kata Sutarman dengan mulut yang bergetar keras.
Perdebatan itu sengaja dibiarkan oleh Pak Lurah agar warga mengetahui secara langsung pengakuan dari Sutarman. Sekarang warga sudah tahu bahwa yang menjadi biangkeladi kesengsaraan warga saat musim kemarau adalah keluarga Sutarman.
“Singkirkan Sutarman!” teriak warga.
Teriakan itu direspon oleh warga yang lain. Mereka berbondong-bondong menyingkirkan Sutarman dengan mengikatnya di bawah pohon trembesi yang daunnya menguning.
Setelah aman, warga melanjutkan pekerjaannya. Mereka menggali sumur tua yang kini sudah menjadi lahan pertanian keluarga Sutarman. Padahal tanah yang diakui oleh Sutarman dan keluarganya sebagai miliknya ternyata tanah gege. Tanah negara.
“Hai, jangan teruskan!” teriak Sutarman dari kejauhan.
Para warga bergeming. Mereka tidak menghiraukan teriakan Sutarman. Para warga yang dipimpin Pak Lurah tetap menggali tanah tersebut.
Setelah hampir setengah hari mereka menggali bekas sumur itu, pada kedalaman sekitar sepuluh meter muncullah sumber air yang jernih sekali. Para warga bersorak-sorai karena mereka berhasil menggali sumur tua yang telah lama tidak berfungsi sebagai sumber air. Para warga mengguyur sekujur tubuh mereka dengan air sumur itu. Mereka merasa terbebas dari kekeringan. Mereka sekarang telah memiliki sumber air yang akan menjadi sumber kehidupan pada kemarau yang berkepanjangan ini.
Di tengah pesta-pora warga yang merayakan keberhasilannya mengembalikan fungsi sumur tua, tiba-tiba Sutarman menyerang mereka dari belakang. Dia berlari kencang dengan membawa senjata tajam ingin melukai warga. Namun, warga yang mengetahui aksi Sutarman itu mengelak. Sutarman hilang kendali sehingga dia terperosok ke dalam sumur tua itu.
Para warga tidak tinggal diam. Mereka berusaha mencari tubuh Sutarman dalam sumur. Mereka bahu-membahu untuk mendapatkan tubuh lelaki yang hampir saja membayakan nyawanya. Usaha mereka gagal. Mereka tidak menemukan tubuh Sutarman.
Setelah dipastikan bahwa tubuh Sutarman benar-benar lenyap dalam sumur, akhirnya Pak Lurah menginstruksikan warganya kembali ke kampung. Mereka meninggalkan sumur tua dan tubuh Sutarman yang lenyap di dalamnya dengan perasaan haru.(*)

Wanar, Agustus 2015

*cerpenis adalah penulis buku kumpulan cerpen Telaga Lanang,
Lentera Sepanjang Rel Kerete, dan Titik Nol.
Tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan