Sumur Tua
Cerpen
karya Ahmad Zaini
Hari masih terlalu dini
membangunkan warga dari tidur nyenyaknya. Di ufuk timur fajar juga masih samar.
Ia belum sepenuhnya menyeret pagi ke
gerbang hari. Ayam jantan masih bungkam. Mereka masih menahan kokok untuk
memanggili betina yang masih mengerami telur. Hanya sesekali terdengar lenguh
sapi mengunyah rerumput yang menguning sisa kemarin sore.
Meskipun hari belum
sempurna, para warga sudah bangun. Mereka beramai-ramai mendatangi halaman
rumah Pak Lurah. Para warga berkumpul di halaman rumah Pak Lurah dengan membawa
alat gali seadanya. Warga yang mayoritas laki-laki ini membawa linggis, lencet, cangkul, dan alat penggali yang
lain.
Bias penerang yang
mereka bawa menerpa wajahnya. Raut suram dan kusam karena krisis air
benar-benar terasa. Mereka jarang mandi, cuci muka, apalagi berjenabat. Mereka menahan tidur bersama
istrinya karena tidak ada air yang digunakan untuk mandi besar. Sumur-sumur kering. Telaga-telaga menganga.
Semua sumber air telah berhenti memompa air untuk menyambung hidup para warga.
Mereka hanya menggantungkan nasib hidupnya pada penyuplai air yang biasa
berkeliling di kampungnya. Para warga membeli air dari penyuplai tersebut
dengan harga selangit. Oleh karena itu, air yang dibeli hanya digunakan untuk memasak
dan minum saja.
“Bagaimana, apakah
masih ada kepala keluarga atau wakilnya yang masih belum kumpul?” tanya Pak
Lurah kepada warga.
“Masih ada, Pak.
Sutarman tidak mau ikut,” jawab Simen.
“Kenapa?”
“Katanya bekas sumur
yang akan kita gali itu adalah milik orang tuanya. Dia menolak rencana kita
menggali sumur tersebut karena sekarang sudah menjadi lahan pertaniannya,”
Simen menjelaskan Pak Lurah.
“Itu bukan tanah orang
tuanya. Tanah itu adalah tanah gege
atau tanah tidak berpajak karena milih negara.”
“Berarti selama ini
mereka itu hanya mengaku-ngaku saja?”
“Ya, begitulah
kiranya.”
Setelah mendengar
penjelasan Pak Lurah, warga berangkat ke tempat penggalian, yakni bekas sumur
yang sekarang telah dijadikan lahan pertanian oleh keluarga Sutarman. Mereka
melakukan perjalanan jauh dengan membawa penerang seadanya.
Kerlip obor dan lampu
bergoyang-goyang tak tetap karena warga melewati jalan yang tidak rata.
Bongkahan tanah dan batu serta tanah-tanah
yang merekah sangat menghambat perjalanan mereka. Para warga sangat
berhati-hati supaya kaki mereka tidak terkilir atau terperosok pada tanah yang
menganga di tengah jalan. Musim kemarau tahun ini memang benar-benar dasyat
sehingga tanah-tanah yang asalnya mulus dan rata sekarang menjadi bergelombang
dan retak-retak.
Di tengah kerontang
tanah dan tanaman yang mengering, terdapat rumpun belukar yang hijau sekali.
Warga berhenti di tempat itu. Pak Lurah yang
memegang kendali mereka mengintruksikan agar mereka berhenti di situ
sambil beristirahat sebentar.
“Apakah ini tempat bekas
sumur itu?” tanya salah satu warga kepada Pak Lurah.
“Benar sekali. Inilah
bekas sumur yang kini telah diijadikan lahan pertanian oleh keluarga Sutarman,”
jawab Pak Lurah.
Mendengar jawaban Pak
Lurah para warga hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mereka heran karena tidak
percaya kenapa sumur yang menjadi sumber air satu-satunya ketika musim kemarau
dibuntu oleh keluarga Sutarman?
“Ayo, Bapak-Bapak kita
gali kembali sumur ini!” ajak Pak Lurah.
Para warga yang sejak
tadi menunggu instruksi bergegas bangkit dari istirahatnya. Mereka mengambil
peralatan yang diperlukan.
Saat para warga akan
memulai penggalian bekas sumur tua tersebut, Sutarman muncul dari belakang
mereka.
“Tanah siapa yang akan
kau gali itu?” suara Sutarman menggema dari belakang warga.
Para warga sontak
berhenti. Mereka menahan linggis yang sudah diangkat tinggi-tinggi akan
mencungkil tanah di lahan tersebut.
“Sutarman! Mengapa kau
menghentikan kami? Bukankah ini tanah umum yang dulunya menjadi sumur warga?”
bentak salah satu warga.
“Bodoh sekali kau ini.
Tanah yang akan kau gali memang dulunya sumur warga. Akan tetapi tanah ini
sudah dibeli oleh ayah saya. Sumur tersebut kemudian dibuntu oleh ayah
dijadikan lahan pertanian.”
“Jadi orang tuamu yang
telah membuntu sumur ini? Makanya dia menjadi korban atas keserakahan sendiri,”
celetuk salah satu warga tersebut.
“Tutup mulutmu! Apa
maksud menjadi korban keserakahan sendiri? Orang tuaku tidak seperti yang
kalian kira. Ayahku konglomerat di kampung ini. Tanah sumur telah menjadi hak
miliknya. Tanah tersebut dibuat apa saja itu terserah orang tuaku,” kata
Sutarman memertahankan diri.
“Itu dia. Sumur itu ada
danyangnya. Kalau tempatnya dibuntu, maka danyangnya akan murka. Dan orang
tuamu menjadi santapan danyang sumur ini.”
Memang sudah menjadi
kepercayaan masyarakat apabila ada sumur yang dibuntu maka penghuninya akan
mengamuk. Terutama yang menjadi sasaran adalah pelaku pembuntuan sumur dan
keluarganya.
“Bagaimana Sutarman?
Kenapa kau diam saja?” sahut warga.
“Hahahahaha! Saya diam
karena heran mendengar perkataan kalian. Itu tahayyul. Tidak mungkin. Orang
tuaku mati karena gantung diri.”
“Tahu kenapa orang
tuamu gantung diri? Itu karena dia selalu dihantui rasa bersalah karena telah
membuntu sumur itu. Sebab kebodohannya itulah seluruh warga kampung setiap
musim kemarau menjadi sengsara seperti ini.”
“Kurang ajar sekali
kalian! Berani-beraninya mengatai orang tuaku bodoh,” kata Sutarman dengan
mulut yang bergetar keras.
Perdebatan itu sengaja
dibiarkan oleh Pak Lurah agar warga mengetahui secara langsung pengakuan dari
Sutarman. Sekarang warga sudah tahu bahwa yang menjadi biangkeladi kesengsaraan
warga saat musim kemarau adalah keluarga Sutarman.
“Singkirkan Sutarman!”
teriak warga.
Teriakan itu direspon
oleh warga yang lain. Mereka berbondong-bondong menyingkirkan Sutarman dengan
mengikatnya di bawah pohon trembesi yang daunnya menguning.
Setelah aman, warga
melanjutkan pekerjaannya. Mereka menggali sumur tua yang kini sudah menjadi
lahan pertanian keluarga Sutarman. Padahal tanah yang diakui oleh Sutarman dan
keluarganya sebagai miliknya ternyata tanah gege. Tanah negara.
“Hai, jangan teruskan!”
teriak Sutarman dari kejauhan.
Para warga bergeming.
Mereka tidak menghiraukan teriakan Sutarman. Para warga yang dipimpin Pak Lurah
tetap menggali tanah tersebut.
Setelah hampir setengah
hari mereka menggali bekas sumur itu, pada kedalaman sekitar sepuluh meter
muncullah sumber air yang jernih sekali. Para warga bersorak-sorai karena
mereka berhasil menggali sumur tua yang telah lama tidak berfungsi sebagai
sumber air. Para warga mengguyur sekujur tubuh mereka dengan air sumur itu.
Mereka merasa terbebas dari kekeringan. Mereka sekarang telah memiliki sumber
air yang akan menjadi sumber kehidupan pada kemarau yang berkepanjangan ini.
Di tengah pesta-pora
warga yang merayakan keberhasilannya mengembalikan fungsi sumur tua, tiba-tiba Sutarman
menyerang mereka dari belakang. Dia berlari kencang dengan membawa senjata
tajam ingin melukai warga. Namun, warga yang mengetahui aksi Sutarman itu
mengelak. Sutarman hilang kendali sehingga dia terperosok ke dalam sumur tua
itu.
Para warga tidak
tinggal diam. Mereka berusaha mencari tubuh Sutarman dalam sumur. Mereka
bahu-membahu untuk mendapatkan tubuh lelaki yang hampir saja membayakan
nyawanya. Usaha mereka gagal. Mereka tidak menemukan tubuh Sutarman.
Setelah dipastikan
bahwa tubuh Sutarman benar-benar lenyap dalam sumur, akhirnya Pak Lurah
menginstruksikan warganya kembali ke kampung. Mereka meninggalkan sumur tua dan
tubuh Sutarman yang lenyap di dalamnya dengan perasaan haru.(*)
Wanar, Agustus
2015
*cerpenis adalah
penulis buku kumpulan cerpen Telaga
Lanang,
Lentera
Sepanjang Rel Kerete, dan Titik Nol.
Tinggal di
Wanar, Pucuk, Lamongan