Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Senin, 23 September 2013

Bunga Warung Kopi

Bunga Warung Kopi

Senin, 26 Agustus 2013 12:46 wib
-
(Ilustrasi: Feri Usmawan/Okezone) (Ilustrasi: Feri Usmawan/Okezone)
WARUNG kopi di pinggir jalan itu tampak lengang tak seperti hari biasanya. Senyap, tak ada canda tawa atau obrolan para lelaki tentang ini dan itu. Biasanya ketika warung dibuka pada pagi hari, setengah jam kemudian sudah didatangi orang-orang yang ingin menghabiskan waktu senggangnya sambil menyeruput sajian kopi atau pisang goreng.

Beberapa cangkir kopi masih dibiarkan tengkurap tak berisi. Piring-piring berjajar rapi masih penuh pisang goreng yang ditutupi kertas minyak agar tidak dihinggapi debu-debu yang luruh dari atap genting warung karena belum laku. Tangan Mbok Inah pun masih bersih belum menyeduh secangkir kopi pun untuk  pembeli. Sausana warung saat ini benar-benar berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

Angin siang menegur Mbok Inah. Ia tersadar dari kantuk yang sejak pagi mengganggunya. Maklumlah Mbok Inah diliputi kantuk yang luar biasa karena tak ada kesibukan yang berarti. Sapu lidi yang terbaring di meja warung diraih Mbok Inah. Penjaga warung yang sudah termakan usia itu kemudian sibuk mengusir lalat-lalat yang mengerubuti pisang goreng, dagangannya. Serentak lalat-lalat pun kabur meninggalkan piring berisi makanan dagangan Mbok Inah.

Rasa sedih menyelimuti Mbok Inah. Penghasilannya dari usaha warung semakin hari semakin menurun. Kondisi semacam ini baru terasa setelah pembantunya yang bernama Marliah tersandung masalah. Ia terpaksa harus berurusan dengan kepolisian karena diadukan oleh seorang wanita yang mengaku sebagai istri dari lelaki yang menjalin hubungan khusus dengan Marliah. Padahal Mbok Inah sudah sering mengingatkan Marliah agar tidak menjalin hubungan dengan lelaki itu. Namun, Marliah tak pernah menggubris nasihat Mbok Inah. Marliah tetap saja menjalin kasih dengan lelaki yang dimaksud.

Akhirnya, pada suatu hari ketika mereka pergi berduaan ke tempat wisata, mereka  terpergok tetangga si laki-laki. Kontan saja tetangga tadi melaporkan ke istrinya. Nah, dari situlah kemudian si istri melaporkan Marliah ke polisi dengan tuduhan telah merebut suami orang. Saat wanita itu datang dengan beberapa polisi yang akan menyeret Marliah ke kepolisian, sempat terjadi adu mulut antara Marliah dengan istri lelaki kekasihnya.

Kericuhan itu terjadi karena Marliah tidak mau diseret polisi ke kantor.  Marliah berdalih bahwa kejadian ini bukan kesalahan dia sendiri. Ia menganggap telah ditipu oleh lelaki itu yang selama ini  mengaku masih bujangan. Padahal dia sudah punya istri. Akan tetapi, alasan Marliah itu tidak diterima oleh polisi. Dia tetap diseret ke kantor polisi karena terjerat pasal perselingkuhan yang membuat wanita lain hidup merana. Sampai sekarang Marliah masih meringkuk di tahanan. Ia tidak berkutik dengan pasal yang telah menjerat dirinya.

Mbok Inah pada suatu sore datang ke tahanan. Ia membesuk mantan pembantunya di warung kopi. Mbok Inah berniat ingin membebaskan Marliah dari balik jeruji besi. Ia ingin Marliah menghirup udara bebas dan kembali membantunya bekerja di warung kopi. Tapi Mbok Inah tidak mempunyai senjata untuk membebaskan Marliah.

“Maaf, Marliah saya masih belum mempunyai cara untuk membebaskanmu! Sabar dulu ya?” “Tidak apa-apa, Mbok. Ini semua salah Marliah. Saya tidak mau mengindahkan nasihat Mbok Inah. Biarlah semua ini kutanggung sendiri,” kata Zati sambil meneteskan air mata.

“Terus terang Marliah, semenjak kamu barada di tahanan ini, warungku sepi tak ada pelanggan yang datang. Setiap hari Mbok selalu membuang sisa-sisa dagangan yang tidak laku.” Mendengar cerita Mbok Inah, Marliah terenyuh. Ia mempunyai semangat agar segera bebas dari tahanan karena iba kepada Mbok Inah. Selama ini Mbok Inah telah menganggap Marliah seperti anak sendiri. Demikian juga dengan Marliah yang telah menganggap Mbok Inah seperti ibunya sendiri. Maklumlah antara Mbok Inah dan Marliah mempunyai hubungan sedemikian itu karena mereka tinggal serumah sudah hampir lima tahun.

Sepulang dari membesuk Marliah, Mbok Inah termenung sendiri di warung kopi. Ia memikirkan bagaimana cara membebaskan anak buahnya. Mbok Inah segera beraksi. Ia mendatangi rumah wanita yang melaporkan Marliah. Akan tetapi, siang itu si wanita tadi tidak ada di rumah sehingga Mbok Inah pulang dengan tangan hampa.

Mbok Inah tidak patah semangat. Ia akan tetap berusaha membebaskan Marliah yang masih menjalani masa tahanan. Dia kembali lagi ke rumah wanita tersebut. Baru sampai Mbok Inah menginjakkan kakinya di halaman rumah, sekelebat dia melihat bayangan wanita masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

Mbok Inah berdiri di depan pintu. Ia mengetuk-ngetuk pintu bermotif relief bunga mawar. Hening senyap merangkai suasana di rumah wanita itu. Mbok Inah timbul tanda tanya perihal wanita yang baru saja masuk ke rumah tadi. Ia terus mengetuk daun pintu itu. Sesaat kemudian terdengar seseorang membuka kunci dari balik pintu rumah. Mbok Inah terkejut karena yang membuka pintu ternyata anak kecil yang masih berusia sekitar lima tahun.

“Ibu ada?”
“Ibu tidak di lumah. Tadi pagi ibu pelgi dengan ayah ke pasal,” jawab anak dengan lafal yang tidak fasih.
“Ibu naik apa ke pasar?”
“Ibu dibonceng ayah naik sepeda motol.”

Mendengar jawaban anak yang masih lugu, Mbok Inah tersenyum geli. Ia kasihan kepada anak kecil yang sudah diajari berbohong.
“Kalau kecil sudah diajari berbohong seperti ini, bagaimana kalau dia sudah dewasa nanti?” kata Mbok Inah dalam hati.
“Makanya jangan heran kalau banyak pejabat yang sering membohongi publik!” gerutunya.
“Adik manis, panggilkan ibu, ya! Sampaikan kepada ibu kalau ada tamu,” bujuk Mbok Inah.

Anak tersebut segera masuk ke rumah. Wajah lucunya lenyap dari balik pintu. Mbok Inah tersenyum dalam hati melihat sikap anak yang lugu itu.
“Maaf, Nek! Ibu gak mau kelual. Saya disuluh bilang bahwa ibu sedang pelgi,” katanya jujur.
“Berarti ibu ada di rumah?”

“Ada. Ibu di dalam kamal.”
Dugaan Mbok Inah benar ternyata wanita yang terlihat sekelebat masuk ke rumah tadi adalah wanita yang ia cari.
“Permisi, Bu! Saya kemari ada keperluan yang sangat penting,” kata Mbok Inah setengah teriak.

Lama tak ada reaksi wanita itu dari dalam rumah. Mbok Inah tetap sabar. Ia tetap bediri di depan pintu sampai wanita yang dicari itu keluar dari kamar menemuinya. “Sekali lagi, Bu. Saya mohon ibu bersedia menemuiku. Ini penting sekali,” kata Mbok Inah sekali lagi.

Wanita itu pun keluar dengan muka yang tak bersimpati. Ia tak menghormati Mbok Inah yang datang sebagai tamu. Mungkin saja dalam hati wanita itu masih mendongkol karena ulah anak buah Mbok Inah yang ingin merebut suaminya dari tangannya.
“Boleh saya masuk, Bu?”
“Masuk saja!” jawabnya ketus. Mbok Inah pun masuk kemudian duduk di kursi tamu tanpa menunggu dipersilakan oleh sang penghuni rumah.

Mbok Inah memulai perbincangannya dengan mengutarakan maksud kedatangannya ke rumah wanita tersebut. Ia mengiba kepada wanita itu agar mencabut tuntutannya kepada Marliah. Mbok Inah bercerita panjang tentang peran Marliah di warungnya. “Saya mohon Ibu bersedia membebaskan Marliah agar dia bisa membantu saya lagi bekerja di warung kopiku!”

Wanita itu bergeming. Ia tak menggubris dengan semua yang dikatakan oleh Mbok Inah. Ia masih dendam kepada Marliah yang mencoba merebut suaminya. “Tidak, Mbok. Saya tidak akan membebaskannya. Biarlah dia merasakan bagaimana rasanya hidup dalam bui. Enak saja mau merebut suami orang!” ucap kecut wanita itu.

“Tapi, Bu selama dia berada dalam penjara, warungku sepi sekali. Kalau warungku gulung tikar saya makan apa, Bu?”
“Apa tak ada wanita lain selain Marliah? Mencari pembantu itu jangan asal cantik saja! Carilah pembantu yang berakhlak mulia. Jangan seperti dia yang menjual kecantikannya demi meraih keuntungan sendiri!”

“Ibu menuduhku kalau saya menjual kecantikan Marliah agar warungku laku?”
“Kalau Mbok merasa, ya, sudah! Tak usah tanya-tanya lagi. Buktinya Mbok menarik pelanggan warung kopi yang kebanyakan laki-laki dengan mangajak Marliah yang sok cantik sebagai pembantu. Kecantikan Marliah Mbok gunakan sebagai  umpan kan?”
“Maaf, Bu! Saya tidak sehina seperti yang ibu kira. Pembantuku juga tidak seperti yang Ibu bayangkan. Dia itu terpedaya oleh rayuan suami Ibu yang mengaku bujangan.”

“Dasar pembantu gatalan!” umpatnya.
“Kalau ibu tidak bersedia mencabut tuntutan Ibu juga tidak apa-apa. Tapi jangan menghina harga diri kami! Saya tahu kami ini orang yang tidak punya. Tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kekayaan Ibu. Namun, bukan berarti Ibu lantas seenaknya saja menghina kami. Saya permisi, Bu!” pamit Mbok Inah.

Tanpa kata-kata Mbok Inah langsung meninggalkan rumah wanita itu. Hatinya terluka karena harga dirinya telah diinjak-injak orang lain. Sesampai di rumah, Mbok Inah duduk di ruang tengah. Telinganya masih terngiang-ngiang dengan hinaan wanita tadi. Mbok Inah baru sadar kalau kedatangannya ke rumah wanita itu adalah untuk meminta agar dia membebaskan Marliah. Dia menyesal karena ia telah terpancing emosinya sehingga cek-cok dengan wanita setengah baya tersebut.

Ia sadar mestinya dia tidak bersikap emosi seperti itu. Jika dia sangat membutuhkan bantuan wanita itu maka Mbok Inah harus pandai mengambil hatinya. Mbok Inah harus rela diolok-olok sebagai penjual kecantikan Marliah demi warungnya agar tetap ramai.
Mbok Inah mencoba menenangkan pikirannya yang sedang kalut. Dia mencoba menenangkannya dengan menyeduh kopi hangat buatan sendiri.

Seekor serangga yang merayap di dindingnya seketika berhenti. Seakan-akan dia mengerti tentang apa yang dialami oleh Mbok Inah. Angin bertiup sedang-sedang saja. Namun, beberapa lembar daun Akasia yang mulai menguning luruh kemudian mengecup wajah bumi di pelataran rumah Mbok Inah. Segera saja ia mengambil sapu lidi kemudian mengusir daun-daun tersebut dari halaman rumahnya. Saat ia menoleh ke arah samping, tiba-tiba ia melihat wanita itu datang dengan sorot mata tajam. “Mbok, jangan harap aku akan membebaskan bunga warung kopimu.”

Ia hanya berkata satu kalimat itu kemudian pergi meninggalkan halaman rumah Mbok Inah. Mbok Inah hanya menggeleng-gelengkan kepala saja karena heran dengan apa yang baru saya ia lihat. Datang jauh-jauh dari rumah menemui Mbok Inah hanya menyampaikan satu kalimat saja.

“Bu, tunggu!” kata Mbok Inah tergeragap. Mbok Inah mengejar wanita tersebut yang sudah terlanjur jauh dari tempatnya mematung tadi. Baru tiga langkah Mbok Inah mengejar, dia memutuskan untuk berhenti. Percuma Mbok Inah mengejarnya karena sosok wanita itu telah lenyap ditelan rimbun ilalang di tepi jalan.

Mbok Inah kembali ke rumah. Ia membuka separo penutup warungnya. Dalam hati ia berharap mudah-mudahan masih ada  pelanggan yang sudi mampir ke warungnya untuk menikmati secangkir kopi. Segayung air ia rebus di atas kompor yang menyala biru sampai mendidih. Kemudian ia tuangkan ke dalam cangkir yang sudah terisi serbuk kopi dan gula pasir. Perlahan Mbok Inah menuangkan air tersebut kemudian mengaduk beberapa kali agar kopi, gula dan air panas bisa campur menjadi satu. Ia mengangkat cangkir itu lalu mencium uap yang menyembul dari dalam cangkir.

“Ah, sedap sekali!” katanya.
Aroma khas kopi Mbok Inah seperti tak berarti apa-apa tanpa adanya Marliah. Memang selama ini para pelanggannya datang ke warung kebanyakan karena unsur Marliah. Ya, si bunga warung kopi yang sekarang ini masih mendekam dalam penjara.

Bau menyengat muncul dari arah kompor. Mbok Inah terkejut saat dia melihat air yang berada dalam panci telah habis. Asap mengepul dari panci yang tebakar. Dengan cekatan Mbok Inah langsung beraksi menuangkan air ke dalam panci itu.

“Cesssssss!” desis suara panci yang menganga merah setelah tersiram air.
“Sibuk apa, Mbok!” suara seorang gadis dari pintu warung.
Mbok Inah terkejut. Ia sangat kenal dengan suara itu. Suara gadis yang selama ini ia rindukan kedatangannya. Ya, suara Marliah.

“Marliah?” ungkap Mbok Inah sambil membalikkan tubuhnya ke arah suara.
“Benarkah kau Marliah?” katanya penasaran.
Mbok Inah memegang-megang bahu Marliah untuk memastikan bahwa gadis yang berdiri di hadapannya adalah Marliah.

Gadis itu hanya tersenyum. Ia geli melihat sikap Mbok Inah yang tiba-tiba seperti orang yang baru sadar dari mimpi. “Benar, Mbok. Ini Marliah.” Ucap gadis tersebut.
Kedua wanita yang berbeda masa itu akhirnya berangkulan untuk mengungkapkan rasa rindunya selama ini. Mbok Inah terisak-isak dan berlinang air mata. Tangis harunya tak tertahan setelah sekian lama ia berusaha membebaskan Marliah dan selalu gagal. Di tengah-tengah usahanya yang  hampiar mencapai titik nadzir, tiba-tiba gadis tersebut muncul di warungnya.

“Syukurlah kau sudah bebas, Marliah! Tapi ngomong-ngomong siapa yang telah membebaskanmu?” Barus saja Mbok Inah menanyakan siapa yang telah membebaskan Marliah, muncullah wanita yang berdiri sambil bersandar di pintu warung.

“Dia, Mbok yang membebaskan Marliah,” jawab Marliah sembari menunjuk ke arah wanita yang tak lain adalah orang yang memasukkan Marliah ke dalam penjara.
“Terima kasih, Bu! Terima kasih!” kata Mbok Inah sambil menyahut kedua tangan wanita tersebut.

“Sama-sama, Mbok. Mudah-mudahan ini adalah peristiwa pertama dan terakhir yang dialami Marliah. Anggap saja ini adalah pengalaman pahit sebagai pijakan agar kelak di kemudian hari Marliah tidak mudah tergoda oleh rayuan lelaki. Dalam perkara ini, suami saya, Mbok, yang bersalah. Memang semua ini juga karena kesalahan saya yang kurang perhatian kepadanya sehingga dia berbuat sepert itu. Merayu Marliah dengan mengaku masih bujangan.”

“Silakan, Ibu duduk dulu. Ini  kubuatkan kopi.”
Mbok Inah ke belakang sebentar kemudian keluar lagi sambil  membawa secangkir kopi.
“Lho, kok hanya secangkir? Untuk suamiku mana?”
Mbok Inah bingung karena yang ia lihat hanya wanita itu sendirian. Setelah wanita itu berkata demikian, muncullah lelaki yang berbadan tegap dengan wajah yang sangat tampan. Ia masuk ke warung dengan muka tertunduk malu.

“Eh, kamu. Silakan duduk, Pak!”
“Maafkan saya, Mbok! Saya khilaf. Saya telah membuat Mbok kerepotan mengurus warung ini sendirian. Sebagai penebus kesalahanku, saya bersama istri telah membebaskan Marliah agar dia bekerja lagi di sini membantu ibu,” ujar lelaki itu.

“Tak apa-apa, Pak! Manusia tidak luput dari perbuatan salah dan dosa. Saya mengucapkan terima kasih kepada semuanya yang telah membebaskan Marliah,” sambung Mbok Inah.

Seminggu setelah Marliah dibebaskan dari tahanan dan bekerja lagi di warung kopi Mbok Inah, para pelanggan kopi yang sempat pindah ke warung lain kini telah kembali lagi. Mereka setiap hari memenuhi tempat duduk warung Mbok Inah untuk menikmati warung kopi dan pisang goreng serta mendapat bonus bisa melirik wajah manis Marliah secara gratis.

Oleh Ahmad Zaini

Penulis dilahirkan di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di Tabloid Telunjuk, majalah sastra Indupati (Kostela), majalah MPA (Depag Jatim) dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya  terkumpul dalam Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (DKL, 2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006). Sekarang Bergiat di Sanggar Sastra Telaga Biru Lamongan. Email: ilazen@yahoo.co.id.