Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 30 November 2019

Cerpen Jawa Pos grup RADAR BANYUWANGI, 1 Desember 2019

Guru Sobri
Cerpen karya Ahmad Zaini

Tubuhnya kerempeng. Dia berkulit putih. Rambutnya klimis. Dia tidak berkumis Kakinya ringan seringan kapas bila berjalan. Ia melesat bagai kilat. Pada jam ini di sini, lima menit kemudian sudah di sana. Orang-orang bingung mencarinya. Setiap ditanya, ia bisa saja menjawabnya. Dia memunyai sejuta alasan untuk menutupi kekurangannya yang selalu meninggalkan kantor tempat kerjanya sebagai kepala sekolah.
Namanya Muluk. Setiap berbicara selalu muluk-muluk. Keinginannya selangit. Muluk selalu membuat rencana besar, namun tidak pernah terlaksana. Rencana itu mangkrak. Bukan Muluk kalau tidak bisa berkilah. Dia selalu bisa berkelit dari tanggung jawab apabila ada pihak lain yang menuntut ketidakberesan kerjanya.
Kakinya yang hanya sebesar kaki kursi diangkat di atas meja. Ia buru-buru menurunkannya saat Sobri masuk ke ruangannya.
”Pak Sobri, ketuk pintu dulu sebelum masuk,” tegurnya pada Sobri yang datang tanpa mengetuk pintu ruang kerjanya.
”Maaf, Pak khilaf!” pintanya sambil menyodorkan berkas ke meja kepala sekolah itu.
”Ada perlu apa?” suara sumbang Muluk menanyakan keperluan Sobri menghadap kepadanya.
”Minta tanga tangan untuk pemberkasan besok pagi,” timpalnya.
”Mendadak sekali! Tidak bisa. Saya tidak bisa menandatangani berkas sembarangan sebelum tahu isinya. Paling tidak tiga hari sebelumnya berkas ini sudah kausodorkan sehingga saya bisa menelitinya,” alasan Muluk.
”Tapi ini mendesak. Pemberitahuannya baru kemarin sore. Semalam saya kerjakan, hari ini tanda tangan, besok pagi dikumpulkan,” kilah Sobri.
”Tidak bisa. Kamu taruh di meja situ. Besok lusa baru bisa kauambil,” kata jumawa Muluk membuat Sobri semakin gusar.
”Maaf, Bapak! Besok pagi sudah batas terakhir pengumpulan berkas ini,” desak Sobri.
”Pokoknya tidak bisa. Jangan memaksa saya. Bila kamu tidak mau mendengarkan omonganku, bawa kembali berkasmu keluar,” pungkas Muluk bernada tinggi.
Sobri hanya bisa diam. Dia tidak mampu membantah putusan Muluk. Sobri keluar dari ruang kerja Muluk dengan hati yang sangat mendongkol.
Begitulah Muluk. Dia raja tega. Kepala sekolah yang tidak tahu kebutuhan gurunya. Dia terlalu idealis, prosedural, namun tidak bisa kondisional. Dia lurus pada sesuatu yang diurus. Namun, sekali lagi dia tidak bisa membuat kebijakan yang berskala prioritas. Ia tidak pernah memedulikan urusan sangat penting, penting, agak penting, dan tidak penting dari gurunya. Meskipun berkas Sobri besok sudah batas terakhir penyerahan ke dinas atasannya, Muluk tetap tidak mau menandatanganinya saat itu juga.
Kejelian kepala sekolah memang diperlukan agar bisa memahami keperluan yang dibutuhkan guru. Dia juga harus meneliti secara rinci isi yang tertuang dalam berkas sebelum menandatanganinya. Namun, kepala sekolah semestinya juga harus bisa membuat keputusan ekstrem dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi. Yang penting berkas yang disodorkan itu sudah dijamin kebenarannya oleh sang guru. Kebutuhan bawahan juga harus diperhatikan lebih-lebih menyangkut nasib karier bawahannya. Apalagi bawahannya itu sudah menjamin kevalidan berkas tersebut. Kepala sekolah sudah semestinya harus segera menandatanginya.
Era teknologi komunikasi modern seperti sekarang ini sering ada isntruksi atau pemberitahuan secara mendadak dari dinas pendidikan. Hal semacam ini sangat menyengsarakan guru seperti Sobri. Perintah kedinasan tidak lagi menggunakan kertas yang dikirimkan kurir ke guru. Tak pernah terlihat lagi ada kurir menyodorkan buku ekspedisi untuk ditandatangani guru sebagai bukti telah menerima surat. Perintah hanya disampaikan lewat media sosial. Hal seperti inilah yang membuat Sobri kalang kabut. Dia baru menerima pesan menjelang maghrib. Malam langsung ia kerjakan. Pagi harinya dimintakan tanda tangan ke kepala sekolahnya. Keesokan harinya harus dikirim ke kantor dinas.
”Bagaimana, Pak?” tanya Sobri kepada Muluk pada keesokan harinya.
”Ke ruangan sebentar!” pinta Muluk. Sobri bergegas mengikuti Muluk masuk ke ruang kerjanya. Dia berharap berkas sudah ditandatangani tinggal mengirimkan ke kantor dinas pendidikan.
Muluk menyodorkan stop map bewarna merah pada Sobri. Sobri menerimanya dengan lega. Namun, senyum harapan itu hanya beberapa detik saja. Setelah membuka stop map dan melihat isinya, Sobri terperangah. Dia melihat kolom tanda tangan masih bersih. Tak ada goresan tanda tangan di atas nama Muluk yang tak ber-NIP itu.
”Belum Bapak tanda tangani?” tanya Sobri dengan suara penuh penasaran
”Memang belum. Saya tidak mau menantanganinya. Semestinya berkas ini harus dilengkapi dengan bukti fisik. Kau lengkapi dulu. Besok bawa ke sini lagi,” kata Muluk dengan kening berkerut.
”Hari ini batas terakhir pengiriman berkas ke kantor dinas, Pak. Bukti fisik yang Bapak maksud itu disertakan pada saat pengajuan kenaikan pangkat. Untuk pengurusan berkas ini, tidak perlu.”
”Tidak. Saya tidak mau disalahkan kepala dinas. Saya bekerja sesuai prosedur,” jawabnya dengan kaku.
”Berkas milik guru-guru yang lain juga tanpa bukti fisik, Pak,” sanggah Sobri.
”Biarkan mereka tanpa bukti fisik. Tapi, saya tidak mau seperti itu. Segera dilengkapi,” pungkasnya.
Sobri menghela napas panjang. Dia mendesah sesak. Pori-porinya mengeluarkan kubikan keringat. Sobri tidak berdaya. Dia tidak kuasa melawan keputusan kepala sekolahnya. Dia terpaksa mengikuti permintaan Muluk yang selalu muluk-muluk.
Guru  yang lugu ini tak menyangka pada kenyataan yang ada. Dia tidak mengira akan dipersulit kepala sekolahnya seperti ini. Dia sangat tega. Raja tega pada bawahannya. Pada gurunya sendiri yang sudah mengabdi puluhan tahun di sekolah ini. Gigi-gigi Sobri terdengar berkerut-kerut. Kedua tangannya gemetar menerima stop map merah dari Muluk, kepala sekolahnya. Berkas itu terasa lebih berat daripada sebelumnya. Namun, apa boleh buat. Sobri harus bersabar. Dia menerima dengan pasrah berkas yang dikembalikan kepala sekolahnya itu.
Setengah hari Sobri berusaha melengkapi permintaan Muluk. Dia bekerja keras agar bisa memenuhi target waktu pengiriman berkas ke dinas pendidikan kabupaten. Telepon genggam yang tergeletak di samping monitor komputer berdering. Dia mengabaikan meski dia tahu bahwa yang menelepon itu adalah staf tata usaha kantor dinas pendidkan. Sobri cemas. Dia takut. Ia yakin bahwa staf kantor dinas itu akan menagih berkas yang semestinya harus dikirim sebelum pukul sebelas.
Karena telepon itu berdering terus, terpaksa Sobri meraih telepon genggamnya dengan tangan gemetar.
”Pak Sobri, bagaimana ini? Mana berkasmu? Tepat pukul 12 mestinya berkas sudah saya terima. Bila melebihi batas waktu tersebut, terpaksa berkas Pak Sobri saya tinggal,” suara staf kantor dinas melalui telepon genggamnya.
 Pikiran Sobri semakin kacau. Dia tidak fokus lagi menuntaskan berkas-berkas itu. Tubuhnya lemas. Dia putus asa sambil menyandarkan punggungnya di tembok ruang guru. Setumpuk berkas yang berada di depannya ditatap dengan pandangan hampa. Dia merasa bahwa peluang untuk menyelesaikan berkas sudah hilang. Sobri hanya bisa menggerutu menyesali sikap kepala sekolahnya yang tidak mau menandatangani berkas yang dia ajukan.
Sementara itu, guru-guru di sekolah lain telah menyetorkan berkas ke dinas pendidikan. Berkas-berkas mereka sama dengan milik Sobri tanpa disertai dengan bukti fisik. Kepala sekolah di lembaga lain sudah paham bahwa berkas guru tersebut tak perlu bukti fisik. Bukti fisik baru disertakan jika guru tersebut hendak mengajukan angka kredit untuk kenaikan pangkat.
Mendengar bahwa guru-guru di sekolah lain sudah menyetorkan berkas ke dinas pendidikan, Sobri semakin tersiksa. Dia tidak bisa merasakan kemudahan seperti yang mereka alami. Dia merasa disiksa dan dipermainkan oleh kepala sekolahnya yang bersikap seperti baja. Prinsipnya seperti batu karang yang tak mudah goyang oleh gelombang meskipun permasalahan ini sangat penting bagi karier gurunya.
”Berkas Pak Sobri ini belum mendapat tanda tangan dari kepala sekolah. Padahal ini sudah batas akhir pengumpulannya. Dengan sangat terpaksa berkas Pak Sobri tidak bisa saya terima dan Pak Sobri bisa mangajukan usulan ini lagi pada bulan atau tahun berikutnya,” ujar staf tata usaha dinas pendidikan ketika Sobri menghadap staf dinas pendidikan untuk meminta keringanan menyetorkan berkas tanpa tanda tangan kepala sekolah. Padahal, Sobri tahu kalau itu tidak mungkin.
Sobri mendengarkan penjelasan pegawai tersebut dengan penuh rasa sesal. Dia menyesalkan sikap kepala sekolahnya yang tidak mengerti kebutuhan gurunya. Sobri menerima pasrah nasib yang menimpanya. Dia tertinggal dengan guru-guru seangkatannya dalam menapaki karier kepegawaiannya.
Hari-hari setelah kejadian itu, Sobri tak bertegur sapa dengan kepala sekolahnya. Dia tidak pernah mengajukan berkas apapun lagi kepadanya. Setiap ada perintah pemberkasan dari dinas pendidikan, dia tidak pernah lagi mengurusnya. Yang dia lakukan hanyalah melaksanakan tugas sebagai guru yaitu mengajar. Dia trauma dipermainkan kepala sekolahnya untuk kesekian kalinya.
Suatu pagi Sobri membaca surat yang difoto melalui media sosial. Surat itu berisi teguran keras dari dinas pendidikan bidang kepegawaian lantaran Sobri tak pernah memenuhi permintaan administrasi. Dia bergeming serta pasrah pada teguran tersebut. Dia siap menerima sanksi atas ketidaksiplinannya sebagai abdi negara. Bahkan, dia lebih senang dimutasi ke sekolah lain daripada tetap bertugas di sekolah yang dipimpin oleh Muluk. (*)

Lamongan, 23 November 2019

Ahmad Zaini, cerpenis tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur



Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 1 Desember 2019

Santri ‘Kesayangan’ Kiai
Cerpen Ahmad Zaini

“Jangan banyak-banyak makanmu. Ini wilayahku,” cegah Faisal pada Romli. Dia kalah cepat melahap nasi liwet. Padahal, sebelum memakannya, keduanya telah sepakat menghabiskan nasi liwet sesuai dengan kaplingannya. Mereka sudah membuat garis tengah sehingga nasi liwet itu menjadi dua area.
Romli tidak memedulikan Faisal. Dia tetap menyantap nasi liwet dengan lauk ikan asin dan sambal terong. Dia mengalahkan Faisal yang jari dan mulutnya tidak kuat menahan panas.
Setelah mereka menghabiskan satu talam nasi liwet, mereka minum air intip. Air yang dimasukkan dalam panci bersama kerak nasi liwet. Airnya bewarna kecocklatan. Namun, segar sekali. Bila airnya telah habis, keduanya juga secara bergantian memakan intipnya yang sudah melunak.
”Faisal, Romli, waktu makan selesai. Sekarang waktunya salat berjamaah zuhur lalu mengaji Imrithi,” tegur Faruq, kepala keamanan di pesantren itu.
Faisal dan Romli mengangguk. Mereka menurut teguran Faruq. Remaja yang berasal dari desa yang berbeda ini meninggalkan tempat makan. Mereka menuju gotakan masing-masing.
Faisal dan Romli mandi satu tempat. Mereka tidak sabar menunggu antrean. Mereka tergesa-gesa. Dua santri ini mandi sambil bergurau dalam satu kamar mandi. Mereka cekikikan. Riuh sekali.
”Siapa dalam kamar mandi itu? Jangan bergurau. Salat jamaah segera dimulai. Sudah ditungga kiai,” Faruq mengingatkan Faisal dan Romli yang masih bergurau dalam kamar mandi.
”Iya, Kak. Sudah selesai, kok,” sahut Faisal dari dalam. Mereka berdua muncul dari kamar mandi yang sama.
”Tadi kalian mandi berdua?” tanya Faruq.
”Iya. Kamar mandi yang lain penuh,” elak romli.
”Ini pelanggaran. Siapa pun tidak boleh mandi bersamaan dalam satu kamar. Kalian bisa saling melihat aurat. Melihat aurat orang lain itu haram. Berdosa,” kata Faruq dengan nada tinggi.
Kedua santri ini hanya berdiri mematung sambil membiarkan butir-butir air di tubuhnya mengalir. Dia terdiam tak berani menatap wajah Faruq.
”Kalian telah melakukan pelanggaran. Jadi, nanti setelah jamaah zuhur dan pengajian, kalian ditakzir,” pungkas Faruq.
Faisal dan Romli saling memandang. Wajah mereka cemberut seperti kemukus. Sorot mata mereka saling menyalahkan.
”Gara-gara kamu yang memaksa masuk,” ucap Romli.
”Salah kamu kenapa pintunya tidak kau kunci,” bantah Faisal.
”Bagaimana bisa mengunci pintu, grendelnya saja sudah lepas semua tinggal baut,” balas Faisal.
”Sudah, sudah. Jangan berdebat di sini. Segera ke musallla,” lerai Faruq.
Kedua santri ini tertawa geli. Masak mereka baru mandi dan hanya pakai sarung disuruh jamaah.
”Kenapa kalian senyum-senyum?” tanya Faruq.
”Masak salat jamaah hanya mengenakan sarung tanpa baju dan kopyah,” jawab Romli sambil berlalu meninggalkan Faruq yang masih bingung memikirkan ucapannya.
”O, santri semprul,” gerutunya setelah menyadari kata-katanya salah.

Para santri selesai melaksanakan jamaah zuhur. Mereka berdiri membentuk barisan untuk mendapat kesempatan berjabat tangan dengan kiai. Secara bergiliran mereka menjabat dan mencium tangan kiai yang penuh aroma minyak Misik. Tiba-tiba dari arah belakang muncul Faisal dan Romli. Mereka muncul dari celah-celah santri yang lain untuk mendapat giliran menjabat dan mencium tangan kiainya.
”Faisal, Romli dari mana kalian?” tanya Kiai.
”Dari berkumur, Pak Kiai. Mulutku masih berbau ikan asin,” jawabnya.
”Hmmm. Sebelum salat berkumurlah agar sisa-sisa makanan tidak tertelan sewaktu salat. Bila itu terjadi, maka salat kalian tidak sah,” pesan kiai sambil menyentuh pundak kedua santrinya yang sangat ’menonjol’ itu.
Setelah berjabatan tangan dengan para santrinya, Pak Kiai yang penuh karisma itu duduk di belakang dampar atau meja kecil. Tangan lembut beliau meraih kitab Imrithi yang sudah ditaruh sebelumnya di atas dampar. Beliau memulai pengajian ilmu alat ini.
”Faisal, silakan ke depan!” pinta kiai.
”Inggih kiai. Ada apa?” tanya Faisal yang berpura-pura tidak mengerti maksud kiai.
”Kamu kemarin belum tuntas menghafalkan bab i’rob. Sekarang kamu ulang lalu lanjutkan ke nadlom berikutnya!” pinta kiai.
Faisal menundukkan kepala dalam-dalam. Dia tidak berani melihat wajah kiai dan teman-temannya yang duduk melingkar di musalla. Keringat di keningnya mulai bermunculan. Tangannya yang memegang kitab Imrithi gemetar. Dia grogi karena belum mampu menghafalkannya.
”Ayo, mulai!” perintah kiai.
Kedua tangan Faisal yang gemetar itu perlahan membuka kitab yang dipangkunya. Dia melihat bab i’rob.
”Aqsamuhu arba’atun fal tu’tabah, rof’un wa nasbun wa kadza jazmun wa jar,” Faisal melafalkan bab i’rob dengan lantang.
Para santri tertawa semua. Mereka tak menduga kalau Faisal melafalkan nadlom itu dengan membaca. Selain itu, bagian awal bab tersebut tidak dilafalkan.
”Faisal, kamu belum hafal juga. Semalam belajar untuk menghafalkan atau tidak?” tanya kiai.
”Tidak, Pak Kiai,” jawabnya dengan pelan.
”Kalau begitu, kembali ke tempat dudukmu dulu sambil belajar menghafalkan bab tersebut,” saran Kiai dengan sabar.
”Romli, giliranmu!” seru Kiai.
Romli pun mendekat ke Kiai. Dia bergerak dengan mengesot dari tempat duduknya ke samping Kiai.
”Idzil fata hasba’ tiqodihi rufi’, wakullu man la ya’taqid lam yan tafi’,” suara hafalan Romli dengan tiba-tiba.
Santri-santri yang lain, terutama Faisal tertawa terpingkal-pingkal. Dia geli mendengar hafalan Romli yang tidak sesuai dengan bab yang dimaksud Kiai.
”Faisal, Faisal,” dua kali Kiai menyebut nama teman karib Romli hingga dia berhenti tertawa, ”apa yang kau tertawakan sampai seperti itu?” sambungnya.
”Romli, Pak Kiai. Dia lucu karena tidak hafal,” jawab Faisal sambil terpingkal-pingkal.
”Tidak baik menertawai temannya yang belum hafal. Belum tentu orang yang menertawai itu lebih hafal daripada yang ditertawai,” pesan Kiai.
Faisal langsung terdiam. Dia menutup mulutnya rapat-rapat. Dia merasa tersindir dengan pesan yang disampaikan oleh Kiai.
”Romli, yang kau hafalkan itu bab muqoddimah yang sudah kau hafalkan pada pertemuan sebelumnya. Kau hafalkan bab i’rob,” Pak Kiai mengingatkan Romli.
”Saya belum hafal Pak Kiai,” kata Romli dengan jujur.
”Kalau begitu, kembali ke tempat dudukmu lalu belajarlah menghafal bab i’rob,” perintah Kiai. Romli kembali ke tempat duduknya dengan mengesot.
Faisal dan Romli merupakan dua santri yang berbeda dengan santri-santri lainnya. Mereka selalu menguji kesabaran Kiai dan para pengurus pesantren. Para pengurus terutama bagian keamanan sering memergoki dua santri tersebut di warung kopi, kemudian mengajaknya kembali ke pesantren karena ada kegiatan peringatan maulid nabi Muhammad SAW.
”Anak-anak, silakan kalian kembali ke gotakan masing-masing. Kecuali, Faisal dan Romli. Kalian berdua tetap di sini,” kata Faruq yang didampingi Kiai.
”Kalian sudah sering melakukan pelanggaran di pesantren ini. Sebagai pembelajaran agar kalian jera dan tidak mengulanginya lagi, kalian kami takzir. Kalian harus membersihkan toilet di belakang. Segera laksanakan!” sambungnya.
Kedua santri tersebut langsung melaksanakan takzir atau hukuman yang diberikan oleh pengurus pesantren. Keduanya melaksanakan dengan ikhlas. Mereka sadar bahwa selama ini mereka telah melanggar peraturan yang telah ditentukan oleh pesantren.
”Sudah bersih toiletnya?” tanya Faruq.
”Sudah, Kak. Toiletnya sudah bersih,” jawab keduanya dengan rasa hormat kepada seniornya.
”Baiklah. Silakan bersihkan tubuh kalian lalu segeralah bersiap-siap mengikuti pengajian Imrithi,” pungkas Faruq.
Faisal dan Romli bergegas ke kamar mandi. Setelah itu mereka bergabung dengan para santri yang lain di musalla. Mereka bersama-sama menghafalkan nadlom imrithi dengan serempak. Gema hafalan nadlom-nadlom tersebut beriringan dengan suara deru angin sore yang mengiringi hujan pertama di musim ini. (*)

Wanar, November 2019

Ahmad Zaini, merupakan guru di SMK Negeri 1 Lamongan dan ketua PC Lesbumi NU Babat. Beberapa cerpen telah terpublikasikan dalam bentuk buku kumpulan cerpen. Buku kumcer terbarunya berjudul Tadarus Hujan.





Sabtu, 09 November 2019

Lorong Kenangan, Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 10 November 2019

Lorong Kenangan
Karya Ahmad Zaini

Hotel bintang dua. Bahkan mungkin tidak berlabel bintang sama sekali. Bayangkan, hotel tempat kumenginap ini tidak punya genset. Tidak punya energi listrik cadangan sebagai antisipasi jika listrik padam. Tidak ada shower. Mandi pakai gayung. Apalagi kamar ber-AC. Hotelku tidak ada fasilitas  mesin pengatur suhu itu. Bila udara gerah, kupakai selembar koran sebagai kipas. Kalau sudah terlalu parah gerahnya, jendela kubuka semua agar angin bisa masuk ke kamar. Meskipun malam hari.
Dari kamar hotel aku keluar mencari angin segar pagi hari. Kupakai sandal hotel putih tak berdaging. Aku menyusuri lorong hotel. Di kanan kiri kueja angka di setiap daun pintu kamar yang berjajar. Sesampai di ujung lorong tampak dua kursi tak berpenghuni. Kursi itu kosong meski terdapat meja kaca membujur di depannya.
Ada yang melintas dalam bayangku saat melihat dua kursi  yang kosong itu. Aku mengingat dirimu setahun yang lalu ketika kita berdua duduk di kursi yang berada di ujung lorong hotel. Kau bercerita tentang kegagalan keluargamu.
Saat itu aku tak berusaha bertanya kenapa keluargamu buyar. Namun, kau tetap bersemangat bercerita kepadaku tentang perilaku mantan suamimu yang suka semena-mena terhadapmu. Kau sering dipukul, disuruh tidur di luar kamar, bahkan kau pernah diturunkan di jalan tol saat terlibat percekcokan dalam mobil.
”Dia itu pecundang. Dia hanya menguras hartaku dan merenggut keperawananku. Setelah itu, rasa cinta dan kasih yang dulu digunakan untuk merayuku, lenyap begitu saja,” ucapmu dengan wajah terbakar amarah.
Aku menghela napas panjang. Secangkir kopi yang menemani percakapan kusruput. Aroma wanginya sudah tak terasa setelah mendengar kisah pilumu. Langit-langit hotel serasa tak meneduhkan lagi. Lorong hotel menjadi panas karena terbakar oleh ceritamu itu.
Aku melihat sorot matamu masih ada api amarah menyala-nyala. Bulat matamu memercikkan bara kebencian pada mantan suamimu. Kata-katamu mengepulkan asap. Kepulannya menyesakkan dadamu. Kau menyandarkan punggungmu di kursi yang kini sudah kusam. Kau menghela napas panjang untuk mengatur pernapasanmu. Desah kekesalan keluar-masuk dari tenggorokanmu. Kau seakan ingin menumpahkan semua gumpalan cerita kelam kepadaku. Kau hendak merogoh hatiku agar iba kepadamu.
”Semoga pengalaman pahitmu itu tidak terulang di masa mendatang,” kataku menimpali ceritamu.
Kau tertegun. Kau seperti kaget mendengar ucapanku. Kau sepertinya tak hanya ingin mendengar ucapan harapan dariku. Kau menghendaki aku mengucapkan sesuatu yang lebih dari itu. Buktinya bola matamu berputar kencang. Wajahmu mendongak ke langit-langit hotel. Kau mengarahkan pandanganmu pada lukisan bunga yang tergantung di dinding lorong.
”Aku ke kamar dulu,” pamitmu padaku.
”Silakan! Selamat beristirahat!” sahutku yang kaubalas dengan ketidaksiapan mendengar kata-kataku. Kau seperti berharap aku menahan pamitmu untuk melanjutkan kisah pilumu.
Kau membiarkan rambut lurusmu terurai sebahu. Ujung bawah bajumu kusut karena terjepit bokong dan kursi tak kau urus. Kau berdiri lalu berjalan begitu begitu saja tanpa menoleh sejenak pun kepadaku. Kau kecewa lantaran curhatmu tak terbalas ibaku.
Aku meninggalkan kursi di ujung lorong hotel. Aku masuk kamar sambil membawa secangkir kopi yang telah dingin. Aku menggeleng-gelengkan kepala setelah mendengar ceritamu. Aku heran kenapa kau dengan mudah mengobral cerita kegagalan keluargamu padaku.
Pintu kamar hotelku diketuk-ketuk dari luar. Mungkin itu petugas hotel yang hendak mengantar pesanan sarapan pagiku. Aku beringsut lantas membuka pintu kamar.
”Kau? Ada yang bisa kubantu?” tanyaku setelah tahu bahwa orang yang mengetuk pintu adalah dirimu.
”Buat sarapan pagimu,” katamu sembari menyodorkan sekotak nasi bebek kepadaku.
”Maaf, saya tidak berani mengonsumsi nasi bebek. Khawatir kolestrolku naik,” tolakku.
Kau membalikkan badan begitu saja tanpa sepatah kata pun. Kau seperti kecewa. Kau mendongkol karena sarapan pagi yang kau kirimkan kutolak.
Aku tidak bermaksud menolak pemberianmu. Aku menolak sarapan itu karena label nasi bebek di kemasannya. Aku beberapa bulan ini tidak berani mengonsumsi daging bebek setelah dokter yang memeriksaku waktu itu berpesan begitu padaku. Daging bebek mengandung kolestrol tinggi.
Aku membayangkan betapa kesalnya dirimu padaku. Dua kali kau kukecewakan. Cerita panjangmu hanya berbalas harapan serta penolakan sarapan pagi yang kauantarkan. Aku jadi tidak enak. Aku jadi kepikiran. Bagaimana rasanya hati perempuan yang kecewa karena keinginannya belum tercapai.
Kuhempaskan tubuhku di kasur yang membujur di kamar hotelku. Mataku terbayang-bayang wajahmu yang cemberut. Gigimu yang rapi tertutup rapat kedua bibir saat cerita panjangmu kubiarkan berlalu dari balasan yang kauharapkan dariku. Aku tak membayangkan betapa semakin remuk hatimu.
Pelayan hotel belum mengantar pesanan sarapan pagi. Perutku semakin keroncongan. Aku keluar hendak membeli sari roti buat pengganti pesananku.
”Tunggu, Mas! Akan ke mana?” tanyamu tiba-tiba dari belakangku.
”Akan membeli sari roti buat sarapan pagi,” jawabku.
Kau berhenti mengikutiku. Kedua kakimu tiba-tiba terpaku di lantai lorong hotel setelah kau dengar jawabanku. Aku menoleh ke arahmu. Kau sudah lenyap di balik pintu kamarmu. Aku merasa berat melanjutkan langkah kakiku. Tiba-tiba aku meresa tidak enak terhadapmu. Aku berhenti lalu kembali ke arah kamarmu yang kebetulan berdekatan dengan kamarku. Aku mematung di depan pintu kamarmu. Punggung jemari tangan kananku hendak mengetuk pintu kamarmu. Namun, niat itu tertahan. Aku tak berani mengetuk pintu nomor 313. Ternyata kau sudah muncul lebih dahulu di balik pintu dengan membawa sebungkus sari roti kepadaku.
”Buat sarapanmu,” katamu singkat. Aku terkejut. Kau sudah punya sari roti.
“Dari mana kau dapat Sari roti?”
”Saya membelinya kemarin sore. Kebetulan saya membeli dua. Yang satu sudah kumakan semalam,” jelasmu.
Aku tak mampu berkata-kata lagi. Aku berdiri mematung di depan pintu kamarmu sambil menimang sari roti yang kauberi. Aku tidak menyangka kau begitu perhatian kepa
daku.
Kedua kaki kuangkat. Aku beranjak dari depan pintu kamarmu. Kau menatapku dengan pandangan teduh mengikuti gerak langkah kakiku. Sorot matamu selalu mengikat ke mana diriku bergerak.
Sari roti kugeletakkan begitu saja di atas meja kamar hotelku. Roti itu kubiarkan membisu bersama botol-botol air minum yang isinya tinggal separoh. Pikiranku menerawang tinggi menyapu langit-langit kamar hotel. Wajahmu terbayang di antara gantungan lampu yang sinarnya tergeser oleh cahaya matahari. Aku mengusir bayang itu dengan mematikan saklar lampu. Bayang wajahmu buyar lalu menyelinap di balik lukisan pemandangan alam yang tergantung di dinding kamar hotel.
***
Aku berdiri memandangi dua kursi kosong di ujung lorong hotel. Aku tak memedulikan para pesera diklat yang berlalu di belakang punggungku. Mereka berbelok dan menuruni tangga lantai dua menuju ruang pertemuan di lantai dasar untuk menerima materi pagi itu. Dari beberapa peserta yang mengantre menuruni tangga, kusempat melihat dirimu di antara himpitan peserta yang lain. Kau menoleh ke arahku. Kau tersenyum sambil menyelinap di sela-sela peserta. Rambut sebahumu masih seperti yang dulu. Kau menyibak dua helai rambut yang sempat mengganggu penglihatanmu dengan tangan kananmu.
”Hermin, Hermin, tunggu!” seruku sambil berlari mengejarmu.
Kau hilang. Wajah ayumu tak terlihat. Rambut yang terurai sebahu tak berkelebat. Aku meneliti satu persatu peserta yang menuruni tangga itu dari belakang. Dirimu tidak terlihat dalam kerumunan para peserta. Aku menuruni tangga mendahului mereka. Aku berhenti lalu mengecek wajah-wajah mereka yang masih tersisa. Aku berharap dirimu ada di bagian belakang mereka. Namun, sampai orang terakhir yang menuruni tangga itu dirimu tidak juga kutemukan.
”Mbak, Mbak, maaf, kau lihat Hermin?” tanyaku pada seorang wanita yang bejalan paling belakang.
”Hermin siapa? Apakah Hermin yang kau maksud adalah guru yang berasal dari Sampang?” wanita itu balik bertanya. Wanita itu rupanya berasal dari daerah yang sama dengan dirimu. Sama-sama dari Sampang, Madura.
”Betul. Betul sekali. Hermin dari Sampang. Di mana dia? Tadi  saya melihatnya bersama-sama kalian,” sahutku dengan tergopoh-gopoh.
”Kau temannya?”
”Iya. Saya temannya sewaktu mengikuti pelatihan yang sama setahun yang lalu di tempat ini.”
”Mas, apakah tidak tahu kalau Mbak Hermin sudah meninggal empat bulan yang lalu?”
”Apa? Meninggal? Tidak. Tidak. Dia tadi berada di sini bersama-sama dengan kalian. Saya melihatnya. Dia sempat melihatku sambil tersenyum.”
”Mas salah orang. Mbak Hermin itu sudah meninggal. Dia dibunuh oleh mantan suaminya. Mantan suaminya cemburu karena Mbak Hermin sudah hidup bahagia bersama suami barunya.”
Setelah mendengar kisah yang lebih memilukan dari wanita itu, jiwaku terpukul. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Aku hanya meremas-remas rambutku sambil melihat bayang-bayang wajahmu yang mengharap perhatian dariku setahun yang lalu. Aku menyesal karena waktu itu tak menggubris cerita ibamu.
Suasana di bawah tangga ujung lorong hotel telah sepi. Aku meninggalkan tangga itu menyusul mereka yang sudah menerima materi pelatihan di ruang pertemuan. Di setiap langkah kakiku seperti terdengar detak-detak sepatumu mengejarku untuk memberiku sari roti buat sarapan pagiku. Namun, semua itu hanyalah sisa-sisa bayangan masa laluku yang merasa bersalah padamu. Aku hanya berdoa semoga kau dapat hidup damai di alam barumu. (*)

Lamongan, Oktober 2019

*Ahmad Zaini merupakan guru SMK Negeri 1 Lamongan

Minggu, 27 Oktober 2019

Pemuda Ideal Era Milenial


Pemuda Ideal Era Milenial
Ahmad Zaini*

Besok bangsa Indonesia akan memperingati hari Sumpah Pemuda. Hari bersejarah buat bangsa ini terutama bagi pemuda. Tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan golongan berikrar tentang cinta tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Sudah 91 tahun usia janji setia yang mereka ikrarkan. Selama itu pula kita telah merasakan peran pemuda dalam memajukan kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama.
Namun, perkembangan pemuda dari generasi ke generasi rupanya telah mengalami perubahan. Terjadi pergeseran budaya, cara pandang, dan sikap antara generasi muda kala itu dengan generasi muda masa kini. Kita dibuat ’gemas’ oleh sikap dan perilaku mereka. Kita berharap-harap cemas pada keberadaan pemuda saat ini.
Bangsa ini membutuhkan pemuda yang ideal. Pemuda yang memunyai kualitas tinggi. Pemuda yang mampu mengemban amanat sebagai sosok yang berperan dalam kemajuan dan kemaslahatan ummat.
Selain rasa cinta tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia sebagai wujud rasa nasionalismenya, pemuda juga harus memiliki tiga kualitas lainnya. Yakni, kualitas keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kualitas ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan kualitas kasih sayang terhadap sesama.

Kualitas Keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa
Jiwa pemuda yang masih labil perlu distabilkan. Mereka harus menstabilkan diri dengan berusaha meningkatkan kualitas keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tidak bisa dipungkiri pemuda saat ini lebih senang berhura-hura daripada duduk khusuk di tempat-tempat ibadah. Dari pagi sampai malam warung-warung kopi plus wifi di pinggir-pinggir jalan dipenuhi oleh para pemuda yang menyeruput kopi dan bermain game. Di tempat-tempat ibadah sepi. Di langgar, musalla, masjid, dan tempat ibadah lainnya hanya terlihat beberapa orang saja. Itu pun para orang tua yang ingin mengisi sisa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Gejala semacam ini menunjukkan nilai ibadah sebagai ukuran kualitas keimanan seseorang pada diri pemuda sangat rendah.
Generasi muda yang hidup di era semacam ini membutuhkan benteng yang kokoh untuk melindungi keyakinannya. Hal ini dikarenakan berbagai godaan datang silih berganti tanpa henti. Jika nilai keimanan pemuda terhadap Tuhan itu rapuh, maka kuguncangan jiwanya yang akan terjadi. Ke mana lagi pemuda itu apabila mengalami keguncangan jiwa? Banyak dari mereka yang terjerumus pada kemaksiatan dan kemungkaran. Sebagian lagi ada yang terjerumus pada obat-obatan terlarang dan narkotika. Yang lebih membahayakan lagi adalah mereka mudah terpapar paham radikalisme. Paham yang saat ini menjadi musuh utama bangsa ini selain narkoba dan korupsi.
Oleh sebab itu, kualitas keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus ditingkatkan dengan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Jika hal itu bisa dilakukan oleh pemuda, maka jiwanya akan tenteram dan damai. Keyakinannya akan semakin kokoh sehingga tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang dapat merugikan pemuda dan bangsa ini.

Kualitas Ilmu Pengetahuan dan Keterampilan
Persaingan global telah kita rasakan sejak memasuki tahun 2000-an. Negara yang tidak bisa meningkatkan sumber daya manusia warganya akan tergilas oleh negara-negara lain. Ukuran kualitas nagara bergantung pada kualitas pemudanya. Jika kualitas pemudanya bagus, maka negara akan stabil. Demikian juga sebaliknya.
Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2017 menempati peringkat 111 dunia dengan nilai 4,33. Negara kita kalah bersaing dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. IPM Indonesia masih berada di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Dari data ini pemuda harus tertantang untuk meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan dan keterampilannya.
Ilmu pengetahuan dan keterampilan merupakan bekal utama bagi pemuda yang hidup di era milenial ini. Mereka harus terus berupaya meningkatkan sumber daya manusianya dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan melalu pendidikan formal dan nonformal. Tanpa bekal tersebut pemuda akan kalah bersaing dengan pemuda negara lain dalam era persaingan global ini. Mereka hanya akan menambah daftar pengangguran di negeri ini karena peluang kerjanya sudah dipenuhi oleh tenaga kerja yang berdaya saing tinggi.
Jadi, pemuda ideal adalah pemuda yang memiliki ilmu pengetahuan luas dan keterampilan tinggi. Merekalah yang mampu mengarungi kehidupan di zaman teknologi yang penuh tantangan ini.

Kualitas Kasih dan Sayang terhadap Sesama
Manusia diciptakan Tuhan sebagai khalifah di muka bumi. Manusia diciptakan Tuhan untuk melindungi bumi dari kerusakan, kepunahan, dan kehancuran. Antarsesama manusia dan sesama makhluk Tuhan harus terbina kerukunan dan kesatuan. Rasa saling menghargai, menghormati, dan mencintai harus tertanam kuat dalam hati sanubari. Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah di muka bumi ini adalah sebagai rahmat, penebar kasih sayang kepada seluruh alam. Tidak membeda-bedakan suku, agama, ras, dan antargolongan. Maka pemuda yang hidup di era milenial ini harus bisa saling menghormati dan menyayangi dengan sesama manusia.
Ujaran kebencian yang mengarah pada isu SARA pada akhir-akhir ini hampir saja memorakporandakan bangsa ini. Tindakan atau ucapan saling menghujat baik secara  langsung maupun tidak langsung telah menciderai rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Untung saja pemerintah yang dibantu aparat keamanan bertindak cepat sehingga isu SARA tersebut tidak berlangsung lama.
Media sosial sebagai salah satu sarana komunikasi dan informasi banyak disalahgunakan oleh sebagian pemuda. Media sosial yang semestinya digunakan untuk meningkatkan rasa kasih-sayang antarsesama telah bergeser dari fungsinya. Media sosial digunakan sebagai alat propaganda untuk membenarkan kelompoknya dan menyalahkan kelompok lainnya Media tersebut digunakan sebagai alat untuk mencerai-beraikan persatuan umat..
Pemuda hendaknya memunyai paradigma yang positif. Cara pandang dan sikap hidupnya harus berbeda dengan yang lain.  Semua ucapan dan tindakannya harus mengedepankan akhlaqul karimah. Cara berpikirnya harus mengutamakan rasa kasih dan sayang terhadap sesama. Rasa egonya sebagai pemilik darah muda harus dibuang jauh-jauh sehingga kebersamaan akan terjalin dengan baik. Oleh karena itu, pemuda harus memiliki jiwa dan rasa kasih sayang terhadap sesama.
Dengan demikian, pemuda yang ideal adalah pemuda yang dapat memenuhi harapan bangsa. Pemuda yang memiliki kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pemuda yang berilmu pengetahuan luas serta berketerampilan tinggi, serta pemuda yang memiliki rasa kasih dan sayang terhadap sesama. (*)

Minggu, 22 September 2019

Menjemput Bola Matahari di Depan Wajahnya, Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro Minggu, 22 September 2019

Menjemput Bola Matahari di Depan Wajahnya
Cerpen karya Ahmad Zaini
Sungguh dingin udara pagi musim kemarau ini. Hembus anginnya semakin menegaskan semua orang agar segera membalut tubuhnya dengan kain tebal. Bila tidak demikian, tubuh mereka akan menggigil. Giginya gemeretak. Bibirnya membiru Kulit-kulitnya mengeriput karena tak mampu menahan tingkat kedinginan udaranya..
Suasana dingin tidak menjadi penghalang buat Jarot. Lelaki yang bekerja di instansi baru ini tak menghiraukan udara dingin. Dia tetap berangkat pagi sebelum matahari muncul agar dia bisa datang tepat waktu.
Dengan berjaket tebal warna coklat, Jarot memungkus tubuhnya yang semakin gemuk karena lemak yang menumpuk. Maklumlah badannya semakin tambun lantaran waktu olahraganya tersita tugas. Jarot menembus kabut yang bercampur debu kemarau. Dia menggilas kerikil di bahu jalan raya dengan roda motornya yang baru diganti seminggu lalu. Kemacetan akibat pengecoran jalan raya tak membuat dia patah semangat. Dia terus menggeber motornya melewati celah ratusan truk yang macet. Jarot tak menggubris para sopir truk yang duduk-duduk di bahu jalan dan lebih memilih cangkruan daripada duduk berjam-jam di belakang kemudi. Toh, takdir kemacetan tidak bisa mereka hindari pagi itu.
”Hoi, kurang ajar!” umpat sopir saat ada kerikil yang terlempar mengenai kakinya akibat tergilas roda motor Jarot.
Jarot tak mendengar umpatan sopir itu. Dia terus memacu motornya agar sampai di tempat tugasnya.
Motor yang sudah delapan tahun dimilikinya dengan sistem arisan itu terus membawa tubuh Jarot. Dia memacu motornya semakin kencang setelah lepas dari kemacetan. Dia menjemput bola matahari yang tepat bergantung tepat di depan wajahnya. Cahaya jingga matahari itu melecut semangat Jarot dan menjadi inspirasi keikhlasan kerjanya.
Di gerbang tempat tugasnya Jarot berhenti sejenak. Dia melepas masker pelindung hidung dan mulutnya. Di gerbang tersebut sudah berjajar rekan-rekan seniornya. Mereka mendapat gililran piket untuk menyambut kedatangan karyawan lain di instansi tersebut.
”Pagi Pak Jarot!” sapa mereka.
”Pagi juga! Maaf, agak telat!” kata Jarot dengan senyum ramah pada mereka.
Para piket yang menyambut Jarot itu geleng-geleng. Zaman begini masih ada karyawan selugu Jarot. Dia tetap minta maaf kepada mereka meskipun dia tidak bersalah. Dia juga tidak terlambat sama sekali. Dia merupakan karyawan yang datang setelah urutan mereka. Yang lain masih belum ada yang datang. Mungkin karena terjebak kemacetan di jalan raya atau masih ada keperluan di rumahnya.
Di ruang kerja, Jarot meletakkan tas yang sejak tadi terpanggul di punggungya. Dia duduk sambil melemaskan otot kaki dan tangan karena sepanjang jalan urat-uratnya tegang digunakan memacu motornya. Tiba-tiba ada yang mengganjal dalam pikiran Jarot pagi itu. Dia belum menuntaskan tugas yang diberikan atasan kepadanya. Bahkan, tugas itu belum dikerjakan sama sekali.
Sejak awal Jarot masuk di tempat kerjanya, dia sudah disambut dengan berbagai tugas dari atasannya. Terutama tugas tulis-menulis, ketik-mengetik. Dia memang terkenal sebagai orang yang punya kemampuan menulis. Tapi atasannya belum tahu jenis tulisan apa yang selalu melekat pada nama Jarot setiap muncul di berbagai koran dan majalah. Jarot itu penulis karya fiksi. Beberapa puisi dan cerpennya sudah sering bermunculan di berbagai media massa.
Nah, tugas yang diberikan oleh atasannya kali ini bukanlah tugas yang sesuai keahliannya. Bahkan, tugas ini sama sekali baru bagi Jarot. Masih asing. Dia tak tahu-menahu apa yang harus dikerjakannya.
Seminggu yang lalu Jarot disuguhi beberapa berkas lama. Dia disuruh atasaan untuk memperbaikinya sesuai dengan kebutuhan yang ada saat ini.
”Aduh!” keluhnya saat setumpuk berkas itu diberikan oleh atasannya.
”Kenapa Pak Jarot?” lelaki itu menanyakan kata keluh Jarot.
”Tidak apa-apa, Pak.”
”Tugas ini harus selesai dalam waktu lima hari.”
”Siap!” kata kesanggupan Jarot yang membuat lelaki itu tambah bersemangat memberi tugas-tugas baru kepadanya.
Sekarang kepala Jarot terasa berat. Dia memikirkan tugasnya yang belum tersentuh sama sekali. Padahal, pagi ini adalah batas waktu terakhir pengumpulannya. Dia mencoba menghibur diri dengan membaca sajak-sajaknya yang ditulis di catatan hapenya. Dia menikmati diksi-diksi yang dipilih dalam sajak-sajaknya perihal cinta, sosial, dan ketuhanan. Sejenak Jarot melupakan beban itu karena larut dalam karya-karyanya.
”Sudah selesai Pak Jarot?” suara rekan kerja wanita dari arah belakang tempat duduknya.
”Belum Bu Pram. Bagaimana dengan tugas ibu?” Jarot balik bertanya.
”Sudah. Tinggal mengumpulkan ke Bu Anis,” jawaban Bu Prametia yang semakin membuat Jarot tak mampu menegakkan kepalanya.
Teman-teman Jarot memang sudah terbiasa dengan tugas tersebut. Tugas-tugas itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Mereka sudah puluhan tahun bekerja di situ dan mengerti karakter tugas yang dikerjakannya. Celah-celah sedikit saja mereka sudah paham. Sedangkan bagi Jarot, tugas-tugas itu sesuatu yang baru. Dia belum mengenal beberapa istilah yang ada di dalamnya. Jarot tidak mengerti merah-hijaunya tugas itu.
Sering teman-temannya menanyakan kenapa Jarot menerima tugas itu. Mestinya kalau dia tidak mampu, katakan saja dengan jujur, saran mereka. Bila mengingat saran-saran itu Jarot semakin terbenam. Dia berusaha melenyapkan ingatan pertanyaan itu agar tidak semakin membebaninya.
Jarot orang baru yang terkenal juga sebagai penulis. Dia mungkin agak gengsi menolak tugas-tugas meskipun itu bukan keahliannya. Namun, sekarang dia baru merasakan bagaimana beratnya mengerjakan tugas yang tidak sesuai dengan keahliannya.
”Pak Jarot, dipanggil Pak Bayu,” ujar Prametia.
Napas Jarot seketika sesak mendengar kabar Prametia. Dia semakin susah bangkit dari tempat duduknya. Dia berat melangkahkan kaki menuju ruang kerja Pak Bayu.
”I, iya. Terima kasih Bu Pram!” ucapnya.
Karena ini panggilan atasannya, Jarot terpaksa harus memenuhinya. Dia masuk ke ruang kerja Pak Bayu dengan membawa berkas yang masih seperti sebelumnya.
”Lho, Pak, kok, masih seperti berkas lama?” tanya Pak Bayu.
Jarot semakin dalam membenamkan wajahnya menembus lantai putih ruang kerja Pak Bayu. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan Pak Bayu. Seperti ada sesuatu yang tersedak di tenggorokannya.
”Maaf, Pak! Berkas itu belum saya kerjakan. Saya orang baru di sini dan tidak tahu sama sekali perihal tugas ini.”
”Memangnya kamu belum diberi tahu berkas ini harus diapakan gitu?”
”Sudah, Pak. Akan tetapi saya tidak mudeng. Saya tidak paham karena ini sesuatu yang baru bagi saya.”
”O, begitu. Baiklah kalau begitu. Khusus Pak Jarot batas akhir penyetoran tugas ini saya perlonggar sampai minggu depan. Dua hari Pak Jarot akan mendepatkan kursus kilat dari tenaga ahli saya, tiga hari Pak Jarot gunakan untuk mengerjakannya. Senin depan harus selesai,” pesan Pak Bayu.
Jarot bernapas lega. Tugas belum tuntas yang menyangkut di tenggorokannya bisa lepas. Dia menerima saran dari Pak Bayu dengan semangat tinggi. Dia tidak mau terus-menerus terpuruk dalam ketidakmpuan dan ketidakmengertian tugas tersebut.
Selama dua hari Jarot menerima bimbingan khusus dari Pak Fahri. Lelaki berjenggot tebal ini merupakan seorang tenaga ahli yang biasa membekali keahlian dan memotivasi tenaga kerja di instansi ini. Semangat kerja Pak Jarot semakin meningkat. Dia giat mengerjakan tugas-tugasnya itu dengan cepat. Dia mampu menyelesaikan tugas itu sebelum batas waktu akhir yang diberikan oleh Pak Bayu.
Pagi belum sempurna, Jarot sudah siap berangkat dinas. Dia melangkah tegap dengan wajah yang selalu terangkat. Tapi, dia bukan penyombong. Jarot orang yang rendah hati. Langkahnya ringan dengan wajah yang riang. Dia memacu motornya pagi itu menjemput bola matahari yang muncul tepat di wajahnya. Jarot menembus kemacetan dengan menyelinap di sela-sela truk yang terjebak kemacetan meski harus bertarung dengan debu-debu jalan raya.
Sesampai di tempat tugas, dia disambut beberapa pertanyaan dari rekan-rekannya perihal tugasnya. Bu Pram, Bu Anis, Mas Novi, dan Mas Arif sempat mencemaskanya. Takutnya jangan-jangan tugas itu belum disentuh oleh Jarot. Wajah-wajah cemas itu seketika tersenyum setelah Jarot menjawab bahwa tugasnya telah selesai dan sudah dikumpulkan pada Pak Bayu sejak kemarin. (*)


Minggu, 11 Agustus 2019

Rumah di Kelok Jalan Setapak (Minggu, 11 Agustus 2019)


Rumah di Kelok Jalan Setapak
Cerpen karya Ahmad Zaini

Baru kali ini aku berkesempatan berkunjung ke kampungmu. Sebuah kampung yang pada sembilan tahun yang lalu diluluhlantakkan abu vulaknik dan lahar panas. Kampung yang dulu pernah menangis. Kampung yang menjadi perhatian dunia karena semua media pemberitaan internasional juga meliput musibah gunung meletus yang melandanya.
Sudah lama sebenarnya aku ingin berkunjung ke kampungmu. Lebih-lebih saat bencana itu terjadi. Aku waktu itu  hanya bisa menyaksikan dari layar kaca televisi atau mengikutinya lewat berita koran. Aku tidak tega melihat warga harus berlari tunggang-langgang menyelematkan diri dari kejaran wedus gembel. Para warga berlari mencari tempat berlindung dari abu dan bebatuan yang bisa mengancam nyawa. Mereka mencari tempat yang aman dari buruan lava panas yang dapat membakar benda-benda yang dilaluinya.
Setelah menempuh tiga jam perjalanan, aku baru bisa menginjakkan kaki di kampungmu. Mataku menyapu sekeliling. Bola mataku liar mencari jejak-jejak musibah gunung meletus. Aku melihat rumah-rumah warga di kanan kiri jalan yang kulalui. Rumah-rumah sederhana bewarna putih kelabu. Rumah berdinding kusam. Pada bagian-bagian penting tak ada yang sempurna. Atap berlubang. Tiang reot. Dinding di berbagai sisi juga bolong.                                                                 Menurut keterangan warga yang kutemui, rumah-rumah itu memang sengaja dibiarkan dalam kondisi seperti itu. Mereka tak berniat memerbaikinya. Mereka membiarkannya sebagai bukti peristiwa kelam sembilan tahun yang lalu.
Ngapunten, Pak! Di mana rumah Pak Ngatimen?” tanyaku pada warga yang kebetulan berpapasan denganku.
Lelaki yang menyunggi sekarung rumput itu tak segera menjawab. Dia menatap wajahku dengan tatapan kosong. Dia bingung dengan nama yang kutanyakan.
“Pak Ngatimen yang mana, nggih?” lelaki itu balik bertanya.
“Ngatimen yang dulu rumahnya berada di sebelah masjid,” kataku menjelaskan lelaki tersebut.
“Pak Ngatimen yang istrinya bernama Sutiyem?”
“Ya. Benar. Istrinya bernama Sutiyem,” sahutku.
“Bapak jalan saja sekitar dua ratus meter. Setelah ada kelokan, beloklah ke kiri. Di rumah kecil yang berhalaman penuh bebatuan silakan berhenti. Dia sekarang tinggal di situ karena rumahnya yang di sebelah masjid tinggal puing-puingnya saja,” kata lelaki itu sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah yang dimaksud.
“Terima kasih, Bapak!” ucapku padanya. Aku lantas berjalan mengikuti arah sebagaimana yang ditunjukkan oleh lelaki pencari rumput.
Dua ratus meter kulalui dalam waktu sekitar lima belas menit. Secara hitungan, jarak dua ratus meter tidak jauh. Namun, di kampungmu ini aku harus menempuh selama lima belas menit karena jalannya menanjak dan penuh bebatuan. Agar segera sampai ke rumahmu, kakiku terus kupaksa merangkak dan melindas bebatuan terjal. Mataku kupaksa melihat jalan dengan jeli dan berhati-hati. Lengah sedikit, pasti tubuhku akan terpelanting, berguling-guling hingga kembali ke tempat saat aku bertemu dengan lelaki pencari rumput tadi.
Aku melihat sebuah rumah kecil berdinding gedhek atau anyaman bambu. Tiang penyangganya berbahan bongkotan, bagian pangkal bambu. Rumah mungil itu beratap anyaman daun siwalan. Halamannya sempit. Di kanan kiri masih tersisa bongkahan-bongkahan batu sisa letusan gunung.
Kulonuwun! Kulonuwun!” ucapku berkali-kali. Tak ada yang menyahut. Rumah itu sepi tak berpenghuni.
Aku mendekat ke pintu rumah selangkah lagi. Aku mengucapkan permisi sekali lagi. Namun, situasi tetap sama. Tak ada jawaban. Sepi seperti tak berpenghuni. Akhirnya, aku terpaksa meraih daun pintu berbahan sesek atau anyaman bambu yang lebih halus. Pintu kubuka. Aku terhenyak. Aku melihat sosok kurus yang tidur meringkuk di tanah. Dia tidur hanya beralas terpal yang compang-camping.
“Mbah Ngatimen, Mbah, bangun!” seruku sambil mengguncang tubuh yang masih meringkuk itu.
Tubuh kurus itu perlahan-lahan bergerak. Dia melihat ke arahku. Matanya yang tampak kabur melihat jeli ke arahku.
“Kamu Parmin?” katanya dengan suara serak.
“Benar, Mbah. Aku Parmin. Orang yang dulu pernah bermalam di rumahmu selama dua bulan.”
Oalah, kok, bisa sampai ke sini?”
“Iya, Mbah. Maaf, baru bisa ke sini. Ke mana Mbah Sutiyem?” Aku menanyakan istrinya yang dulu dengan sabar memasakkan nasi dan menu ikan asin serta lalapan daun singkong untukku.
Mbah Ngatimen yang kini sudah tua renta diam. Dia tidak segera menjawab pertanyaanku. Perlahan-lahan matanya berkaca-kaca lalu meneteskan air mata bening di pipinya yang berkulit keriput.
“Mbahmu sudah mati. Dia terkena abu panas saat musibah itu terjadi. Aku tak bisa menyelamatkan dia. Dia ketinggalan masuk ke banker sehingga abu panas itu melelehkan tubuhnya,” tuturnya dengan air mata yang semakin deras melintas di pipinya.
Innalillahi wainna ilaihi rojiun! Semoga Mbah Sutiyem bahagia di alam kubur!” doaku setelah mendengar kisah pilu Mbah Ngatimen.
Gurat kesedihan terpancar dari wajah Mbah Ngatimen. Jiwanya pasti tersiksa karena merasa bersalah tidak bisa menyelamatkan Mbah Sutiyem. Jemari tangan kanannya kulihat menggores-gores lantai tanah rumahnya. Dia sepertinya berusaha melukis kenangan indah bersama Mbah Sutiyem sebelum musibah itu terjadi. Namun, takdir Tuhan lebih digdaya. Tak ada seorang pun yang bisa melawannya. Tak ada yang bisa mengelak dari kematian bila Tuhan telah menakdirkannya.
“Ambil minum sendiri. Itu kendinya di atas kotak. Ini tadi saya belum sempat ngliwet. Saya kecapekan setelah lembur kerja menambang pasir di kali.”
“Iya, Mbah. Jangan terlalu dipikirkan. Saya nanti minum sendiri. Ini saya bawakan dua bungkus nasi. Mari kita makan bersama-sama!” ajakku sambil mengeluarkan dua bungkus nasi dari dalam tas kresek.
Kami menikmati makan bersama dengan nasi yang kubeli dari warung di bawah tadi. Aku senang bisa melihat Mbah Ngatimen menikmati nasi bungkus dengan lahap. Dia menghabiskan sebungkus nasi itu dengan cepat sekali. Aku mengambilkan kendi yang berada di atas kotak. Mbah Ngatimen mengangkat kendi tinggi-tinggi lalu mengarahkan paruhnya ke mulut yang sudah dibuka. Air kendi yang jernih itu mengalir ke arah mulut Mbah Ngatimen.  
Alhamdulillah, segar sekali! Kenyang, Min!” ungkapnya dengan senyum kecil mengembang di tengah siang.
“Saya sangat bersyukur bisa sambang Mbah Ngatimen. Sudah lama ingin sekali sambang. Namun, baru kali ini bisa terlaksana,” kataku.
“Saya juga senang karena kamu masih mengingatku. Namun, sayang sekali Mbahmu sudah tiada,” sergahnya dengan nada bersedih.
“Doakan saja, semoga Mbah Sutiyem bahagia di alam sana!”
“Amin!” sahutnya.
Setelah makan bersama, aku mengajak Mbah Ngatimen berjalan-jalan ke rumahnya yang kabarnya luluh lantak akibat letusan gunung. Aku penasaran ingin tahu kondisi rumah yang pernah kusinggahi selama dua bulan. Aku ingin tahu bagaimana bentuk ruang tamu, ruang tidur, dan ruang dapurnya. Ruang-ruang itu menyimpan banyak kenanganku bersama  keluarga Mbah Ngatimen.
“Yang mana rumah Mbah?” tanyaku.
Mbah Ngatimen menyeretku agar mendekat ke sebuah area yang penuh puing reruntuhan bangunan dan bekas-bekas perabot rumah tangga. Aku melihat kerangka kursi. Mbah Ngatimen mengingatkanku bahwa itu adalah kursi yang pernah kududuki. Di ruang berikutnya terdapat televisi yang tinggal tabungnya saja. Antena dan perangkat lainnya sudah meleleh tanpa bentuk. Di ruang belakang juga terdapat berbagai perkakas dapur yang tinggal gagang-gagangnya saja. Rak piring yang reot dan kamar mandi yang tinggal serpihan batu bata yang berserak di lantai yang gosong.
“Inilah bekas rumahku tempat singgahmu dulu,” katanya sambil mengorek-ngorek cuilan benda yang tertutup sisa abu vulkanik.
“Sabar, Mbah! Di balik musibah pasti ada hikmah. Bila Mbah Ngatimen lulus dari ujian hidup ini, maka kebahagiaan sudah menanti di lain hari,” hiburku sambil mendekap tubuh Mbah Ngatimen yang semakin ringkih.
“Iya. Ini kehendak Yang Mahakuasa. Kita sebagai hamba-Nya hanya menjalaninya saja,” katanya dengan tegar.
Setelah hampir dua jam berputar-putar dengan kenangan pilu masa lalu, kami kembali ke rumah yang berada di kelokan jalan setapak. Aku duduk menikmati hari yang mulai malam di rumah mungil tempat tinggal Mbah Ngatimen. Lampu ublik dinyalakan Mbah Ngatimen. Bayang-bayang tubuh ringkih Mbah Ngatimen yang terlihat semakin tua itu meletakkan lampu ublik di tumpukan batus cadas. Dia pasrah menjalani takdir Tuhan sambil menata tempat kami berbaring di ruang mungil ini. (*)

Lamongan, Juli 2019

Sabtu, 15 Juni 2019

Pertemuan Para Botoh-Cerpen karya Ahmad Zaini, JawaPos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 19 Mei 2019


Pertemuan Para Botoh
Cerpen karya Ahmad Zaini

Ketakutan itu hingga kini masih ada dalam diriku. Rasanya bagai karat yang sulit dilepas dari batang besi. Ketakutan tersebut masih ada meskipun sekarang aku sudah dewasa dan beranak pinak. Peristiwa itu selalu terbayang setiap aku akan membuat keputusan. Rasa takut itu bahkan menjadi cap kepribadianku. Menjadi alasan orang-orang menyebutku sebagai penakut. Bahkan, cap sebagai pengecut.
”Pak, ditunggu bapak-bapak yang sudah datang,” ujar Fauzi yang membangunkanku saat aku hendak merebahkan tubuh sambil menonton televisi.
”Ditunggu di mana dan dalam rangka apa?” tanyaku penasaran.
”Di rumah Pak Nasrun. Diajak ngomong-ngomong masalah pilkades,” pungkasnya. Gemetar tubuhku setelah mendengar kata terakhir Fauzi. Kata pilkades itu yang membuatku hingga saat ini selalu dihantui rasa takut.
”Kamu duluan, nanti aku menyusul.”
”Tidak. Saya disuruh mengawalmu,” tolaknya.
Rupanya orang-orang tahu dan sudah bisa menebak gelagatku. Mereka khawatir aku tidak akan datang dalam pertemuan tersebut. Sedikit banyak mereka sudah paham bahwa aku sejak dulu tidak mau masuk dan bersentuhan dengan pilihan kepala desa. Meski aku sudah puluhan tahun tinggal di desa ini, namun hingga kini aku tidak pernah melibatkan diri dalam dukung-mendukung calon kepala desa. Risikonya besar. Rawan fitnah yang bisa menimbulkan gesekan-gesekan sosial.
Aku mengenakan baju yang sudah kugantung di balik pintu. Aku mengikuti Fauzi yang berjalan lebih dulu. Dia rupanya mendapat tugas khusus untuk mengawalku sampai di rumah Pak Nasrun.
”Mari, Pak!” ajak Fauzi yang sudah nangkring di atas motornya.
”Hati-hati mengendarai motor. Kau saat ini sedang membonceng penakut,” aku menggoda Fauzi dengan sebutan diriku yang pernah kudengar dari salah satu teman dekatnya.
”Beda, Pak. Masak dibonceng motor takut. Biasanya Bapak juga mengendarai motor sendiri,” bantahnya bernada santai.
”Benar, Zi. Sekarang saya sedang ketakutan. Takut terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam pertemuan itu,” jelasku.
Fauzi diam. Rupanya dia tidak mau memperpanjang pembicaraan tentang ketakutan itu. Dia rupanya sudah paham dengan karakterku sebagai penakut.
Di depan rumah Pak Nasrun terlihat puluhan motor berjajar rapi. Rupa-rupanya sudah banyak yang datang. Dari beberapa motor yang berjajar itu, sebagian aku sudah paham pemiliknya. Mereka adalah para tokoh desa yang sudah tidak diragukan lagi kiprahnya dalam memajukan dan memberdayakan masyarakat desa. Mereka menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai hal. Termasuk dalam pilkades.
Aku jadi sungkan. Langkahku berat ketika hendak melewati pintu rumah Pak Nasrun. Aku melihat ada Haji Salim, Haji Sunar, dan Haji Misbah sudah duduk berwibawa di depan warga. Mereka adalah tokoh paling berpengaruh di desa ini. Mereka, para tokoh sudah datang lebih awal, rupanya sudah siap tempur di ’medan perang’ pilihan kepala desa. Sedangkan aku sebagai penakut dan bukan siapa-siapa dalam masyarakat ini, datang terlambat. Itu pun karena disusul oleh Fauzi yang katanya diutus para tokoh itu untuk menjemputku.
”Lupa, Pak?” tanya Haji Sunar kepadaku. Aku menjawab dengan senyuman saja.
Haji Misbah memanggilku dengan melambaikan tangan. Dia memintaku duduk di sebelahnya. Aku menolaknya karena lebih senang duduk di dekat pintu keluar. Aku tahu diri karena aku datang paling akhir. Tak pantaslah aku duduk bersanding dengan para tokoh di depan. Karena Haji Misbah terus-menerus manggilku dengan suara kharismatiknya, aku akhirnya menurut juga.
Haji Misbah menepuk-nepuk pundakku setelah berjabat tangan denganku. Dia membisikiku perihal rencana ke depan dalam pilkades. Aku hanya mengangguk-angguk saja pura-pura paham dan biar terkesan sejalan dengannya. Padahal, dalam hati kecilku sedikit pun aku tak tertarik sama sekali dengan pertemuan membahas pilkades ini.
Aku diam seperti anak ayam yang bersembunyi di bawah ketiak induknya. Aku hanya mendengar dan mengikuti sebagian arah pembicaraan mereka. Nyaliku semakin ciut saat mendengar usulan-usulan terkait strategi pemenangan yang akan mereka terapkan. Bahkan, ada yang berpendapat lebih ekstrem dengan nada memaksa. Katanya warga kampung ini harus dipaksa memilih calon yang disepakati dalam pertemuan ini. Bila tidak menurut, ia harus diusir dari desa ini.
Aku teringat peristiwa yang pernah dialami ayahku ketika aku masih anak-anak. Peristiwa yang membuat diriku trauma hingga saat ini. Pada suatu malam, datang tiga orang bertubuh tinggi besar dan berkumis tebal. Lengan bahunya seperti binaragawan yang berotot dan bertenaga. Mereka menggedor-gedor rumahku. Ayahku bangun untuk membukakan pintu buat orang-orang yang kurang ajar dan tidak tahu sopan santun. Masak bertamu tengah malam sambil menggedor-gedor pintu rumah orang lain. Tak pantaslah itu dilakukan. Mestinya bertamu itu melihat waktu. Paling tidak diperkirakan orang yang akan ditemui itu sudah tidur atau belum. Bukannya malam-malam begini.
”Kalian? Ada apa tengah malam begini datang dengan menggedor-gedor rumahku?” tanya ayahku dengan agak jengkel. Aku mendengarnya dari dalam kamar bersama ibuku.
”Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu semestinya sudah bisa menebak alasan kenapa aku membangunkanmu tengah malam begini,” sahut suara tamu ini dengan kasar.
Aku ketakutan saat itu. Aku menyumbat telingaku dengan jari telunjukku. Namun, suara bentakan-bentakan itu masih menembus gendang telingaku. Orang-orang itu berbicara kasar terhadap ayahku.
”Kamu yang sudah menyebarkan fitnah di dusun sebelah tentang Darmo. Para warga dusun itu sekarang anti-Darmo. Padahal, sebelumnya mereka sudah terkondisikan akan memilih Darmo pada coblosan lusa. Kamu harus bertanggung jawab dengan meralat fitnah yang telah kau sebar di dusun tersebut. Kau wajib meluruskannya lagi,” gertak orang-orang kasar pada ayahku.
”Ini salah paham. Kalian salah orang. Aku tidak pernah memfitnah Darmo. Dia itu masih keluargaku. Masak aku tega memfitnahnya,” sergah ayahku dengan suara sedikit parau.
”Jangan mengelak. Banyak saksinya. Tadi pagi kamu datang ke dusun tersebut. Kamu masuk-keluar dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Kau telah meracuni pikiran warga dusun itu agar tidak memilih Darmo. Besok pagi kalau warga dusun itu masih anti-Darmo, kau akan tahu akibatnya,” ancamnya dengan diikuti suara gebrakan meja.
”Tapi, apa yang harus aku luruskan? Saya tidak mengerti tentang fitnah ini,” kata ayahku meminta pengertian dari mereka.
”Aku tidak mau tahu. Yang penting besok pagi semua harus sudah beres,” pungkasnya congkak. Kemudian mereka keluar rumah dengan meniggalkan suara gedoran pintu.
Sekeji itu fitnah dalam pilkades. Berbagai cara dilakukan oleh para botoh--sebutan buat tim sukses calon kades—untuk meraih kemenangan. Mereka menanggalkan sopan-santun. Mereka beringas tak beradab. Dalam batok kepala mereka hanyalah kemenangan jagonya dalam pilkades.
”Bagaimana Pak Sobirin?” pertanyaan Haji Misbah membuyarkan rekaman peristiwa yang sedang tayang dalam memoriku.
Eh, bagaimana apanya?” tanyaku kebingungan karena tidak tahu apa yang mereka tanyakan.
”Pak Sobirin didaulat teman-teman sebagai ketua para botoh dari calon kades kita,” kata Haji Misbah menjelaskanku.
”Maaf, saya tidak bersedia. Saya tidak bersedia,” jawabku dengan keringat dingin yang bercucuran dari pori-pori keningku.
”Kenapa, Pak? Pak Sobirin mampu melakukan itu karena punya pengaruh di masyarakat ini. Pak Sobirin merupakan sosok yang ditokohkan oleh berbagai kalangan di desa ini. Jadi, kami mohon agar Pak Sobirin bersedia sebagai ketua para botoh calon kita!”
”Sekali lagi saya mohon maaf kapada Bapak-Bapak. Saya tidak bersedia,” jawabku perihal ketidakbersediaanku kepada usulan mereka.
”Alasannya apa?”
”Saya punya alasan yang tidak mungkin kusampaikan dalam pertemuan ini.” kataku dengan nada datar. Aku tidak mau menyampaikan alasan penolakan sebagai botoh karena trauma pada peristiwa yang pernah dialami oleh ayahku dulu.
Orang-orang dalam pertemuan itu diam. Mereka seperti heran melihat sikapku yang menolak dijadikan botoh dalam pilkades. Mereka saling berbisik. Mereka membincangkan diriku yang mungkin bagi mereka aku dianggap sebagai penakut, bahkan pengecut. Tapi, aku punya alasan tersendiri. Aku tidak mau membuat fitnah dan menjadi sumber fitnah. Aku takut fitnah.
Haji Misbah menghargai sikapku. Dia tidak memaksaku lagi meski dengan perasaan kecewa pada keputusanku. Sedangkan, orang-orang yang datang dalam pertemuan itu saling berebut menjadi ketua para botoh. Mereka mengunggul-unggulkan dirinya sendiri sambil meremehkan yang lain.
Agar tetap solid dan tidak terjadi perpecahan dalam koalisi para botoh, akhirnya dalam pertemuan para botoh itu mereka bersepakat tidak mengangkat ketua. Semua yang datang dalam pertemuan itu dianggap sebagai botoh. Mereka memunyai hak dan kewajiban yang sama untuk memenangkan calon kadesnya. Kecuali, aku. (*)
Lamongan, Mei 2019

*Penulis aktif berkegiatan di Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) dan Forum Pegiat Literasi Lamongan (FP2L). Ia juga sebagai guru di SMKN 1 Lamongan. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Tadarus Hujan (Februari, 2019).


BIODATA PENULIS


Ahmad Zaini, Lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya sastranya baik berupa cerpen maupun puisi pernah dimuat oleh beberapa media massa. Antara lain Kompas.com, okezone.com. Radar Bojonegoro, Radar Banyuwangi, koran harian Duta Masyarakat, majalah MPA (kemenag Jawa Timur), majalah Indupati, Tabloid Maarif Lamongan, Tabloid Lensa Lamongan, Media (PGRI Jawa Timur), Majalah Wanita UMMI Jakarta, dan majalah Kidung (Dewan Kesenian Jawa Timur).
Puisi-puisinya terkumpul dalam buku antologi bersama di antaranya Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Sehelai Waktu (Scolar, 2011),  Pengembaraan Burung (DKL, 2015), Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016), Antologi Puisi Penyair Dunia Kopi 1.550 mdpl (Takengon, Aceh, 2016), Mengunyah Geram (Yayasan Manikaya Kauci, YMK, Bali, 2017), Antologi Puisi Nusantara Senyuman Lembah Ijen (Taretan Sedaya Internasional, 2018), Musafir Ilmu (Rumah Seni Asnur, Depok, 2018), Antologi Puisi bersama 1000 guru se-Asean Guru tentang Sebuah Buku dan Rahasia Ilmu (Rumah Seni Asnur, Depok, 2018), dan Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala (2018).
Buku kumpulan cerpen tunggalnya berjudul Telaga Lanang (Lima Dua, Gresik, 2012), Lentera Sepanjang Rel Kereta (Pustaka Ilalang, 2014), Titik Nol (Pustaka Ilalang, 2015), serta novel perdananya Mahar Cinta Berair Mata (Pustaka Ilalang, 2017), Tadarus Hujan (Pustaka Ilalang, 2019). Salah satu cerpennya yang berjudul Bayang-Bayang Pernikahan Nggotong Omah meraih juara harapan I pada Sayembara Penulisan Prosa (cerpen) dalam rangka Festival Panji Nusantara 2018.
Cerpen-cerpennya juga bisa dibaca dalam antologi cerpen bersama penulis lain. Di antaranya A Moment to Feel (Pustaka Jingga, 2012), Sayap-Sayap Cinta (D3M Kail Tangerang, 2013), Matahari Baru Buat Katro (D3M Kail Tengerang, 2014), , Bukit Kalam (DKL, 2015), Penitis Jiwa (Pena Ananda Indie Publishing, Tulungagung), Surat untuk Calon Guru (PPI Moroko, 2017), dan  Bocah Luar Pagar (2018). Aktivitas sehari-hari seabagai guru di SMKN 1 Lamongan. Saat ini berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur dengan nomor HP/WA 085732613412.