Purnama Bulan Ketiga
Ahmad Zaini
Purnama malam itu tak seindah malam-malam sebelumnya. Cahayanya
terasa hambar. Permukaan yang putih laksana kapas, kini terlihat pudar dan
kusam. Malam yang sebenarnya istimewa terasa tak punya makna. Purnama cemberut.
Ia murung. Planet langit yang menjadi ikon sewaktu kecilku untuk bermain-main
hingga larut ini tak bergairah. Dia menatap dengan sorot cahaya hampa menerpa
daun-daun pohon trembesi yang mengatup rapat.
Aku telentang di pembaringan sambil memegang perutku yang
semakin membesar. Rasa sakitnya seperti ditusuk-tusuk paku. Aku mengerang.
Mulutku meraung-raung laksana harimau yang terkena busur panah pemburu. Sekujur
tubuhku berbalut peluh. Butiran keringat bercucuran karena aku tak kuat menahan
rasa sakit yang sudah kurasakan selama dua bulan ini.
Dua kali purnama telah kulalui. Malam ini purnama ketiga.
Rasa sakit di perutku yang semakin membesar ini akan datang menyiksaku lagi.
Aku harus bersiap-siap tidak tidur sampai fajar demi berjuang menahan rasa
sakit tak terhingga.
Hari semakin malam. Purnama bulan ketiga semakin
sempurna. Cahayanya semakin terang. Lama
semakin lama cahayanya menambah rasa sakit yang kuderita.
”Antarkan aku, Pak! Aku tak kuat lagi,” rintihku pada
suami yang duduk di sampingku dengan tatapan sayu.
”Antar ke mana lagi? Kita sudah berusaha untuk berobat ke
berbagai rumah sakit. Namun, hingga kini belum ada dokter yang bisa memberikan
solusi atas sakit yang kau derita ini,” sahut suamiku dengan pasrah.
”Kita cari orang pintar yang dapat menerawang sakit yang
kuderita ini. Ini bukan penyakit biasa, Pak,” jelasku pada suami perihal sakit
yang kuderita.
”Baiklah, Bu. Kita tunggu besok pagi,” pungkas suamiku.
Jawaban suami yang akan menunggu esok pagi untuk mengantarkanku
berobat, sama halnya dia memperpanjang rasa sakit yang kuderita. Sepanjang
malam hingga tiba fajar, aku harus berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit
yang semakin menjadi-jadi. Bibirku bergetar. Gigi-gigiku berkerut-kerut. Kedua tanganku
bergerak ke sana kemari untuk mencari dan meraih benda apa pun yang ada di
sekitarku sebagai pegangan. Seprai kasur dan bantal guling yang kupegang erat
belum mampu mengalihkan rasa sakit di perutku. Tangan kananku terus bergerak lalu
mendarat pada gelas yang ada di atas meja di samping pembaringanku. Gelas itu
kupegang dan kuremas dengan kuat hingga aku tak sadar gelas tersebut pecah
dalam genggamanku.
Suamiku tergeragap. Dia tersadar dari kantuknya. Dia
melihat tangan kananku berlumur darah. Suamiku panik. Dia tidak tahu kalau tangan
kananku telah meremukkan gelas sampai-sampai serpihannya melukai telapak
tanganku. Suamiku mondar-mandir. Dia kebingungan mencari perban atau kain untuk
menyumbat aliran darah dari telapak tangan kananku. Karena tak kunjung menemukan
kain perban, dia melepas baju yang dipakainya. Ia membalutkan bajunya pada luka
sobek di telapak tanganku.
”Sudah jam berapa, Pak?” aku bertanya pada suami.
”Jam dua. Bersabarlah, satu jam lagi fajar akan tiba.”
”Aku sudah tak kuat, Pak!” bisik lirihku di telinga kanan
suamiku yang didekatkan ke mulutku.
”Kamu pasti kuat. Nanti selepas shubuh kita berangkat,”
ucap suamiku sambil mengusap butiran keringat di keningku.
”Aku minta diantar ke rumah Mbah Nur saja,” pintaku pada
suami.
”Mbah Nur siapa?”
”Dia guru ngaji semasa kecilku. Tiga bulan yang
lalu saya dapat kabar bahwa beliau sekarang diberi keistimewaan oleh Allah
dapat mengobati berbagai penyakit.”
”Mbah Nur itu tabib atau dukun? Bila dukun, saya tidak
mau,” sergah suamiku yang antidukun dengan media iblis dan sejenisnya dalam pengobatan.
”Dia itu orang alim. Tidak mungkin dia menggunakan media
pengobatan seperti itu,” jelasku padanya.
”Baiklah. Besok saya antar ke rumah Mbah Nur,” sanggup
suamiku.
***
Tubuhku yang lunglai tak berdaya di atas pembaringan
dibopong suamiku ke mobil yang terparkir di halaman rumah. Kami bergerak menuju
rumah Mbah Nur di lereng perbukitan Wilis. Jarak tempuh dari rumah ke tempat
itu jauh sekali. Paling cepat dapat ditempuh dalam waktu empat jam perjalanan
dengan mobil. Di sana nanti juga ada jalan setapak yang hanya bisa ditempuh
dengan berjalan kaki. Kira-kira membutuhkan waktu setangah jam untuk bisa
sampai di rumah Mbah Nur.
Sesampai jalan setapak, mobil yang membawa kami berhenti.
Suamiku membopong tubuhku turun dari mobil. Dia berjuang sekuat tenaga
menyangga bebanku yang tak seberat dulu berjalan menyusuri jalan itu.
Setelah setengah jam perjalanan yang melelahkan, akhirnya
kami sampai di rumah Mbah Nur. Rumah mungil di lereng Wilis berdinding bambu
dan beratap ilalang. Kanan kirinya sepi tanpa tetangga. Di kanan kirinya
ditumbuhi berbagai tanaman yang berkhasiat menyembuhkan penyakit.
Seorang lelaki tua bertubuh ringkih muncul dari rumah
mungil. Lelaki berjenggot panjang dan sudah memutih itu menghampiri kami yang
masih duduk karena kelelahan.
”Assalamualaikum,
Mbah Nur! Saya Asiyah. Murid ngaji Mbah sewaktu kecil,” aku menyapanya
dengan suara pelan. Meski Mbah Nur sudah tua, pendengarannya masih sangat
tajam.
“Asiyah putri Pak Mahmud?”
”Benar, Mbah!”
”Ayo, silakan masuk!” ajak Mbak Nur memersilakan kami masuk
ke rumah mungilnya.
Suamiku yang tenaganya belum benar-benar pulih, berdiri
dari duduknya. Dia membopongku masuk ke rumah mungil dan sederhana itu dengan
sedikit gontai. Aku dibaringkan suamiku di sebuah dipan bambu di pinggir ruang
tamu yang sempit.
”Perutmu kenapa?” tanya Mbah Nur setelah melihat perutku
yang membuncit.
”Sebab inilah kami datang ke sini, Mbah. Kami mohon
bantuan Mbah untuk mengatasi penyakit yang sudah kuderita semenjak tiga bulan
yang lalu.”
”Insyaallah! Yakinlah bahwa semua penyakit pasti
ada obatnya. Karena izin Allah sakit yang kauderita pasti akan menemukan obatnya.
Berpasrahlah kepada Allah!” kata Mbah Nur menenangkanku.
Mbah Nur beringsut mendekat ke arahku. Beliau bersila
sambil mengamati diriku yang berbaring di depannya. Mulutnya yang ditumbuhi
kumis dan jenggot yang panjang dan putih berkomat-kamit. Beliau berdoa, memohon
petunjuk Allah untuk mengatasi penyakit yang kuderita.
Usai melakukan doa, Mbah Nur menghampiri suamiku yang
duduk lesehan beralas terpal. Beliau mendekat sambil menepuk pundak suamiku.
”Bapak ini kerja di kantor, ya?” Mbah Nur bertanya kepada
suamiku.
”Betul, Mbah. Saya bekerja di kantor pemerintah,” jawab
suamiku dengan tegas.
”Tiga bulan yang lalu, Bapak diangkat oleh atasan menjadi
kepala kantor. Padahal, Bapak ini pegawai baru di tempat itu. Di kantor masih
banyak pegawai-pegawai lain dengan masa kerja yang lebih lama daripada Bapak.
Banyak yang iri pada jabatan Bapak. Banyak yang sakit hati pada Bapak. Ada
salah satu dari mereka yang mengirimkan tenung kepada Bapak. Namun, tenungnya
salah orang. Nyasar pada Asiyah, istri Bapak,” kata Mbah Nur dengan
runtut dan benar meskipun kami belum menceritakan permasalahan itu sama sekali
padanya.
”Tidak mungkin, Mbah. Teman-teman di kantorku baik-baik
saja. Mereka tidak mungkin melakukan itu. Saat saya disumpah sebagai kepala
kantor mereka bergantian mengucapkan selamat sambil memeluk diriku,” sanggah
suamiku.
”Tak semudah itu menilai pribadi seseorang. Terkadang
dari luar kelihatannya baik, namun dalam hatinya berbeda. Itulah manusia. Sukar
ditebak isi hatinya.”
”Lantas apa yang harus kami lakukan?”
”Pertama, kalian harus berdoa memohon kepada Allah atas
kesembuhan Asiyah. Berdoalah di rumah dengan mengundang sepuluh orang setiap
malam selama lima belas hari. Kedua, ini mungkin berat bagi Bapak. Namun, ini
harus Bapak lakukan bila ingin istri Bapak sembuh dari ujian ini. Bapak harus
mengundurkan diri dari jabatan kepala kantor,” kata Mbah Nur.
Suamiku tak segera menjawab. Dia kebingungan. Jabatan yang
baru disandang tiga bulan, harus dia tanggalkan demi kesembuhanku. Kasihan
sekali aku melihat suamiku. Dia menatap dalam-dalam ke arahku.
”Apakah setelah kami melaksanakan saran Mbah, istriku
akan sembuh?” tanya suamiku yang masih dikuasai kebimbangan.
”Insyaallah! Atas izin Allah kemungkinan besar istri
Bapak akan sembuh!”
”Baiklah Mbah! Akan kami laksanakan semua saran Mbah.
Yang penting istriku bisa sembuh,” suamiku membuat keputusan yang membuat aku
semakin merasa kasihan padanya.
Satu jam kami berada di rumah Mbah Nur. Hari juga semakin
sore. Sinar matahari yang mulai menjingga, terlihat indah dari celah-celah
dinding bambu rumah Mbah Nur. Kami berpamitan kepadanya sembari memohon bantuan
doa atas kesembuhan penyakitku.
***
”Pak, tolong!” teriakku. Semua orang yang sedang
melakukan doa bersama di rumahku terkejut. Mereka berdiri lalu menghampiriku di
kamar. Suamiku bersama para tetangga tercengang. Mereka terkejut saat melihat
diriku yang bersimbah darah di pembaringan.
”Darah?” kata suamiku dengan mulut menganga keheranan.
Aku tak bisa menjelaskannya. Kepalaku pening. Tubuhku
terasa lemas. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala untuk merespon sikap
suamiku. Imam hidupku ini mengambilkan segelas air putih lalu meminumkannya
padaku. Sedikit rasa kering di tenggorokan serta rasa peningku berkurang.
Tak berselang lama, ada sesuatu yang berbeda pada
tubuhku. Setelah kurasakan, sepertinya ada perubahan pada bagian perutku. Aku
merabanya pelan-pelan. Ternyata perutku telah menyusut. Darah yang
menenggelamkanku di pembaringan itu telah mengeluarkan penyakit dari dalam
perutku. Sungguh ini karunia Allah yang tidak bisa dipikir secara logika.
Namun, ini sebuah kenyataan. Sakit yang kuderita selama ini sudah tidak terasa.
Perutku juga kembali normal seperti semula. Suamiku bergegas memindahkanku ke
tempat yang bersih. Dia dibantu mertuaku membersihkan selimut dan bantal yang
penuh darah.
Sementara itu, para tetangga yang ikut membantu doa di
hari kelima belas kembali ke ruang depan. Mereka meneruskan doanya yang sempat
terhenti. Mereka tetap membaca bacaan-bacaan doa sampai purnama bulan ketiga
ini benar-benar dipeluk fajar. (*)
Lamongan, 31 Oktober 2019
*Beberapa cerpennya pernah dimuat di berbagai
media cetak dan online. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Tadarus
Hujan. Saat ini masih bergiat di komunitas sastra dan teater Lamongan
(kostela) dan Forum Penulis dan Pegiat Literasi (FP2L) Lamongan.