Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Selasa, 27 April 2021

Purnama Bulan Ketiga, cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 25 April 2021

 


Purnama Bulan Ketiga

Ahmad Zaini

 

Purnama malam itu tak seindah malam-malam sebelumnya. Cahayanya terasa hambar. Permukaan yang putih laksana kapas, kini terlihat pudar dan kusam. Malam yang sebenarnya istimewa terasa tak punya makna. Purnama cemberut. Ia murung. Planet langit yang menjadi ikon sewaktu kecilku untuk bermain-main hingga larut ini tak bergairah. Dia menatap dengan sorot cahaya hampa menerpa daun-daun pohon trembesi yang mengatup rapat.

Aku telentang di pembaringan sambil memegang perutku yang semakin membesar. Rasa sakitnya seperti ditusuk-tusuk paku. Aku mengerang. Mulutku meraung-raung laksana harimau yang terkena busur panah pemburu. Sekujur tubuhku berbalut peluh. Butiran keringat bercucuran karena aku tak kuat menahan rasa sakit yang sudah kurasakan selama dua bulan ini.

Dua kali purnama telah kulalui. Malam ini purnama ketiga. Rasa sakit di perutku yang semakin membesar ini akan datang menyiksaku lagi. Aku harus bersiap-siap tidak tidur sampai fajar demi berjuang menahan rasa sakit tak terhingga.

Hari semakin malam. Purnama bulan ketiga semakin sempurna. Cahayanya semakin terang.  Lama semakin lama cahayanya menambah rasa sakit yang kuderita.

”Antarkan aku, Pak! Aku tak kuat lagi,” rintihku pada suami yang duduk di sampingku dengan tatapan sayu.

”Antar ke mana lagi? Kita sudah berusaha untuk berobat ke berbagai rumah sakit. Namun, hingga kini belum ada dokter yang bisa memberikan solusi atas sakit yang kau derita ini,” sahut suamiku dengan pasrah.

”Kita cari orang pintar yang dapat menerawang sakit yang kuderita ini. Ini bukan penyakit biasa, Pak,” jelasku pada suami perihal sakit yang kuderita.

”Baiklah, Bu. Kita tunggu besok pagi,” pungkas suamiku.

Jawaban suami yang akan menunggu esok pagi untuk mengantarkanku berobat, sama halnya dia memperpanjang rasa sakit yang kuderita. Sepanjang malam hingga tiba fajar, aku harus berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Bibirku bergetar. Gigi-gigiku berkerut-kerut. Kedua tanganku bergerak ke sana kemari untuk mencari dan meraih benda apa pun yang ada di sekitarku sebagai pegangan. Seprai kasur dan bantal guling yang kupegang erat belum mampu mengalihkan rasa sakit di perutku. Tangan kananku terus bergerak lalu mendarat pada gelas yang ada di atas meja di samping pembaringanku. Gelas itu kupegang dan kuremas dengan kuat hingga aku tak sadar gelas tersebut pecah dalam genggamanku.

Suamiku tergeragap. Dia tersadar dari kantuknya. Dia melihat tangan kananku berlumur darah. Suamiku panik. Dia tidak tahu kalau tangan kananku telah meremukkan gelas sampai-sampai serpihannya melukai telapak tanganku. Suamiku mondar-mandir. Dia kebingungan mencari perban atau kain untuk menyumbat aliran darah dari telapak tangan kananku. Karena tak kunjung menemukan kain perban, dia melepas baju yang dipakainya. Ia membalutkan bajunya pada luka sobek di telapak tanganku.

”Sudah jam berapa, Pak?” aku bertanya pada suami.

”Jam dua. Bersabarlah, satu jam lagi fajar akan tiba.”

”Aku sudah tak kuat, Pak!” bisik lirihku di telinga kanan suamiku yang didekatkan ke mulutku.

”Kamu pasti kuat. Nanti selepas shubuh kita berangkat,” ucap suamiku sambil mengusap butiran keringat di keningku.

”Aku minta diantar ke rumah Mbah Nur saja,” pintaku pada suami.

”Mbah Nur siapa?”

”Dia guru ngaji semasa kecilku. Tiga bulan yang lalu saya dapat kabar bahwa beliau sekarang diberi keistimewaan oleh Allah dapat mengobati berbagai penyakit.”

”Mbah Nur itu tabib atau dukun? Bila dukun, saya tidak mau,” sergah suamiku yang antidukun dengan  media iblis dan sejenisnya dalam pengobatan.

”Dia itu orang alim. Tidak mungkin dia menggunakan media pengobatan seperti itu,” jelasku padanya.

”Baiklah. Besok saya antar ke rumah Mbah Nur,” sanggup suamiku.

***

Tubuhku yang lunglai tak berdaya di atas pembaringan dibopong suamiku ke mobil yang terparkir di halaman rumah. Kami bergerak menuju rumah Mbah Nur di lereng perbukitan Wilis. Jarak tempuh dari rumah ke tempat itu jauh sekali. Paling cepat dapat ditempuh dalam waktu empat jam perjalanan dengan mobil. Di sana nanti juga ada jalan setapak yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Kira-kira membutuhkan waktu setangah jam untuk bisa sampai di rumah Mbah Nur.

Sesampai jalan setapak, mobil yang membawa kami berhenti. Suamiku membopong tubuhku turun dari mobil. Dia berjuang sekuat tenaga menyangga bebanku yang tak seberat dulu berjalan menyusuri jalan itu.

Setelah setengah jam perjalanan yang melelahkan, akhirnya kami sampai di rumah Mbah Nur. Rumah mungil di lereng Wilis berdinding bambu dan beratap ilalang. Kanan kirinya sepi tanpa tetangga. Di kanan kirinya ditumbuhi berbagai tanaman yang berkhasiat menyembuhkan penyakit.

Seorang lelaki tua bertubuh ringkih muncul dari rumah mungil. Lelaki berjenggot panjang dan sudah memutih itu menghampiri kami yang masih duduk karena kelelahan.

Assalamualaikum, Mbah Nur! Saya Asiyah. Murid ngaji Mbah sewaktu kecil,” aku menyapanya dengan suara pelan. Meski Mbah Nur sudah tua, pendengarannya masih sangat tajam.

“Asiyah putri Pak Mahmud?”

”Benar, Mbah!”

”Ayo, silakan masuk!” ajak Mbak Nur memersilakan kami masuk ke rumah mungilnya.

Suamiku yang tenaganya belum benar-benar pulih, berdiri dari duduknya. Dia membopongku masuk ke rumah mungil dan sederhana itu dengan sedikit gontai. Aku dibaringkan suamiku di sebuah dipan bambu di pinggir ruang tamu yang sempit.

”Perutmu kenapa?” tanya Mbah Nur setelah melihat perutku yang membuncit.

”Sebab inilah kami datang ke sini, Mbah. Kami mohon bantuan Mbah untuk mengatasi penyakit yang sudah kuderita semenjak tiga bulan yang lalu.”

Insyaallah! Yakinlah bahwa semua penyakit pasti ada obatnya. Karena izin Allah sakit yang kauderita pasti akan menemukan obatnya. Berpasrahlah kepada Allah!” kata Mbah Nur menenangkanku.

Mbah Nur beringsut mendekat ke arahku. Beliau bersila sambil mengamati diriku yang berbaring di depannya. Mulutnya yang ditumbuhi kumis dan jenggot yang panjang dan putih berkomat-kamit. Beliau berdoa, memohon petunjuk Allah untuk mengatasi penyakit yang kuderita.

Usai melakukan doa, Mbah Nur menghampiri suamiku yang duduk lesehan beralas terpal. Beliau mendekat sambil menepuk pundak suamiku.

”Bapak ini kerja di kantor, ya?” Mbah Nur bertanya kepada suamiku.

”Betul, Mbah. Saya bekerja di kantor pemerintah,” jawab suamiku dengan tegas.

”Tiga bulan yang lalu, Bapak diangkat oleh atasan menjadi kepala kantor. Padahal, Bapak ini pegawai baru di tempat itu. Di kantor masih banyak pegawai-pegawai lain dengan masa kerja yang lebih lama daripada Bapak. Banyak yang iri pada jabatan Bapak. Banyak yang sakit hati pada Bapak. Ada salah satu dari mereka yang mengirimkan tenung kepada Bapak. Namun, tenungnya salah orang. Nyasar pada Asiyah, istri Bapak,” kata Mbah Nur dengan runtut dan benar meskipun kami belum menceritakan permasalahan itu sama sekali padanya.

”Tidak mungkin, Mbah. Teman-teman di kantorku baik-baik saja. Mereka tidak mungkin melakukan itu. Saat saya disumpah sebagai kepala kantor mereka bergantian mengucapkan selamat sambil memeluk diriku,” sanggah suamiku.

”Tak semudah itu menilai pribadi seseorang. Terkadang dari luar kelihatannya baik, namun dalam hatinya berbeda. Itulah manusia. Sukar ditebak isi hatinya.”

”Lantas apa yang harus kami lakukan?”

”Pertama, kalian harus berdoa memohon kepada Allah atas kesembuhan Asiyah. Berdoalah di rumah dengan mengundang sepuluh orang setiap malam selama lima belas hari. Kedua, ini mungkin berat bagi Bapak. Namun, ini harus Bapak lakukan bila ingin istri Bapak sembuh dari ujian ini. Bapak harus mengundurkan diri dari jabatan kepala kantor,” kata Mbah Nur.

Suamiku tak segera menjawab. Dia kebingungan. Jabatan yang baru disandang tiga bulan, harus dia tanggalkan demi kesembuhanku. Kasihan sekali aku melihat suamiku. Dia menatap dalam-dalam ke arahku.

”Apakah setelah kami melaksanakan saran Mbah, istriku akan sembuh?” tanya suamiku yang masih dikuasai kebimbangan.

”Insyaallah! Atas izin Allah kemungkinan besar istri Bapak akan sembuh!”

”Baiklah Mbah! Akan kami laksanakan semua saran Mbah. Yang penting istriku bisa sembuh,” suamiku membuat keputusan yang membuat aku semakin merasa kasihan padanya.

Satu jam kami berada di rumah Mbah Nur. Hari juga semakin sore. Sinar matahari yang mulai menjingga, terlihat indah dari celah-celah dinding bambu rumah Mbah Nur. Kami berpamitan kepadanya sembari memohon bantuan doa atas kesembuhan penyakitku.

***

”Pak, tolong!” teriakku. Semua orang yang sedang melakukan doa bersama di rumahku terkejut. Mereka berdiri lalu menghampiriku di kamar. Suamiku bersama para tetangga tercengang. Mereka terkejut saat melihat diriku yang bersimbah darah di pembaringan.

”Darah?” kata suamiku dengan mulut menganga keheranan.

Aku tak bisa menjelaskannya. Kepalaku pening. Tubuhku terasa lemas. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala untuk merespon sikap suamiku. Imam hidupku ini mengambilkan segelas air putih lalu meminumkannya padaku. Sedikit rasa kering di tenggorokan serta rasa peningku berkurang.

Tak berselang lama, ada sesuatu yang berbeda pada tubuhku. Setelah kurasakan, sepertinya ada perubahan pada bagian perutku. Aku merabanya pelan-pelan. Ternyata perutku telah menyusut. Darah yang menenggelamkanku di pembaringan itu telah mengeluarkan penyakit dari dalam perutku. Sungguh ini karunia Allah yang tidak bisa dipikir secara logika. Namun, ini sebuah kenyataan. Sakit yang kuderita selama ini sudah tidak terasa. Perutku juga kembali normal seperti semula. Suamiku bergegas memindahkanku ke tempat yang bersih. Dia dibantu mertuaku membersihkan selimut dan bantal yang penuh darah.

Sementara itu, para tetangga yang ikut membantu doa di hari kelima belas kembali ke ruang depan. Mereka meneruskan doanya yang sempat terhenti. Mereka tetap membaca bacaan-bacaan doa sampai purnama bulan ketiga ini benar-benar dipeluk fajar. (*)

 

Lamongan, 31 Oktober 2019 

 

*Beberapa cerpennya pernah dimuat di berbagai media cetak dan online. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Tadarus Hujan. Saat ini masih bergiat di komunitas sastra dan teater Lamongan (kostela) dan Forum Penulis dan Pegiat Literasi (FP2L) Lamongan.