Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Kamis, 04 Desember 2014

Gelas-Gelas Retak



Gelas-Gelas Retak
Cerpen Ahmad Zaini*

Halaman depan kantor, tempat Ahmad bekerja, sedikit becek akibat hujan yang turun kemarin sore. Jalan licin yang mengantar ke ruang tampatnya berkerja siap menggelincirkan setiap kaki yang menginjaknya. Ia melangkah hati-hati agar terhindar dari petaka yang menghadangnya kini. Bunga-bunga di depan kantor masih basah. Kupu-kupu enggan menghinggapinya. Setelah sejam berlalu, sinar matahari perlahan mengusir air yang melapis tipis mahkotanya.
Setahun lalu, di kantor ini para karyawan tampak familier. Nuansa kekeluargaan sangat kental. Hubungan antarkaryawan sangat hangat hingga tak ada lagi yang membatasi hubungan mereka. Latar belakang sosial, keluarga,  bahkan faham yang dianut mereka abaikan. Yang ada hanyalah sesama karyawan yang memiliki nasib dan tujuan bersama. ”Mangan gak mangan, sing penting kumpul. Mikul dhuwur mendhem jero” prinsip orang jawa itu yang mereka pegang erat. Juga peribahasa ”Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”.
Rasa persaudaraan yang kuat antarkaryawan di kantor itu, juga dirasakan Ahmad bisa semakin mengencangkan ikatan batin mereka. Apa yang dirasakan oleh salah satu karyawan, maka yang lain ikut merasakannya. Pernah suatu ketika ada karyawan yang mengalami musibah. Ia jatuh dari motor ketika pulang dari bekerja. Para karyawan yang ada di kantor tersebut menggalang dana secara spontan untuk meringankan beban dari temannya yang sedang mengalami musibah. Dalam sekejap terkumpul dana hingga satu juta rupiah. Kemudian dana yang terkumpul itu diserahkan bersama-sama ke rumah temannya itu.
”Pagi, Pak Ahmad!” sapa tukang sapu.
”Pagi! Tolong, Pak! Nanti kalau Amir sudah datang suruh ke ruanganku,” perintahnya.
”Baik, Pak!” jawab tukang sapu.
Ahmad masuk ke ruang kerja. Dia membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di meja kerjanya. Tangannya sedikit tergores oleh kaca meja saat mengelap permukaan mejanya. Luka sayatan di jari telunjuknya kemudian ditetesi obat merah yang diambil dari  kotak P3K yang tersimpan di belakang meja kerjanya.
Pagi ini benar-benar hari yang suram bagi Ahmad. Ia merasakan sesuatu yang ganjil di kantor itu. Ia sangat merasakan hubungan yang tidak harmonis antarkaryawan. Suasana familier seperti tahun-tahun yang lalu, kini jarang ia temui. Para karyawan kantornya seakan-akan lebih mementingkan urusan masing-masing. Bahkan ia merasakan ada semacam persaingan yang tidak sehat dalam kantornya.
”Jika hal ini kubiarkan, mana mungkin bisa maju lembaga ini!” katanya dalam hati.
Ibarat sebatang pohon, agar bisa menghasilkan buah yang berkualitas maka diperlukan kerjasama yang baik antarunsur-unsur pohon tersebut. Akar, batang, dahan, ranting, sampai daun harus bersatu untuk menghasilkan buah hingga dapat dirasakan oleh orang lain. Demkian halnya di kantor itu, antara karyawan, staf, dan pimpinan harus bersatu padu untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya agar dapat bermanfaat bagi manusia yang lain.
Ahmad merenung sebentar. Ia diam sambil menundukkan kepalanya. Ia berusaha merekatkan lagi gelas-gelas retak yang selama ini sangat bermanfaat bagi manusia. Kantor di bidang usaha peminjaman modal usaha kecil dan menengah yang selama ini ia kelola sudah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar hingga kantornya pernah mendapatkan penghargaan dari Bupati sebagai kantor yang memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Dengan indikasi ada keretakan  antarkaryawan, dimungkinkan akan muncul keluhan-keluhan masyarakat terhadap pelayanan kantor yang dipimpinnya itu.
”Maaf, Pak ada surat tagihan dari dinas perpajakan,” tukang kurir menyodorkan surat dari dinas perpajakan.
Ahmad perlahan membuka amplop yang baru saja ia terima. Ternyata isinya tagihan pajak yang belum dilunasi.
Dengan tenang, ia mencari penyebab keterlambatan pembayaran pajak. Dia memanggil bagian keuangan. Ia menanyakan pada karyawan bagian keuangan yang ruangannya bersebelahan dengan ruangannya.
”Bulan lalu saat akan kubayarkan ke dinas pajak, saya mengalami musibah. Anakku sakit keras dan dirawat inap di rumah sakit. Maka uang itu kugunakan dulu untuk keperluan pengobatan anakku,” jawab karyawan bagian keuangan.
Pak Ahmad mengelus dada dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sendiri heran mengapa ada salah satu karyawannya yang terkena musibah dia sendiri sampai tidak tahu?
Mungkin yang disinyalir selama ini jika hubungan antarkayawan di kantornya sudah tak harmonis lagi itu benar.
Setelah mendapatkan keterangan dari bagian keuangan tersebut, dia menepuk-nepuk pundak bawahannya itu. Dia memberikan semangat agar dia tetap bekerja dengan baik.
“Kalau begitu masalahnya, ya sudah. Tapi ingat kejadian seperti ini jangan diulangi lagi. Kalau Saudara terkena musibah, lapor saja ke saya. Insya Allah akan saya bantu. Jadi, kita tidak sampai ditagih dari dinas perpajakan gara-gara terlambat membayar pajak,” jelas Ahmad kepada karyawannya itu.
Sebagai seorang pimpinan, ia juga merasa bersalah. Mestinya, setiap hari ia harus mengontrol keberadaan para karyawannya. Ahmad kemudian teringat kisah Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz. Seorang kholifah yang selalu peduli kepada rakyat-rakyatnya. Agar ia mengetahui kondisi rakyatnya, dia sampai rela setiap malam keluyuran memantau keadaan rakyatnya.
Pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz menjumpai seorang perempuan tua yang sedang memasak. Kholifah mengamati rakyat jelata yang duduk lesu di depan tungkunya itu. Nyala api kayu bakar menyinari wajahnya yang cemberut memikirkan sesuatu. Sekian lamanya perempuan tua itu memasak, belum juga usai. Kholifah penasaran. Lalu beliau mendekati perempuan itu.
”Sedang apa, Bu?”
”Saya sedang memasak,” jawabnya.
”Tapi kenapa sejak tadi belum selesai?”
”Iya. Karena yang kumasak adalah batu-batu yang kuambil di piggir jalan.”
”Subhannallah!” Kholifah Umar kaget.
”Kenapa ibu memasak batu?”
”Ini kulakukan untuk mengelabui anakku yang sejak tadi menangis kelaparan minta makan. Sementara kami tidak mempunyai beras sejak kemarin,” jawab perempuan tua itu sambil menunjuk ke arah anak lelakinya yang meringkuk kelaparan.
Mendengar jawaban perempuan tua tersebut, kemudian beliau pergi ke baitul mal untuk mengambil sekarung beras kemudian diberikan kepada perempuan miskin tadi.
Dari kisah itu, kemudian Ahmad menitikkan air mata. Sebagai pemimpin dia tidak tahu kalau ada karyawannya yang terkena musibah hingga berani menggunakan uang pembayaran pajak kantornya untuk membiayai anaknya yang dirawat di rumah sakit.
Kejadian itu juga imbas dari hubungan para karyawan yang luput dari pengawasannya. Mereka satu sama lain tak pernah bersentuhan. Mereka hidup sendiri-sendiri. Mereka tak peduli dengan rekan kerjanya yang tekena musibah. Yang ada dalam pikiran mereka adalah bekerja untuk kebutuhan mereka sendiri dan keluarganya.
Sapu tangan yang terselip di saku celananya kemudia diraih. Dengan sigap ia mengusap air mata yang sempat keluar dari kelopak matanya. Ia mengibaratkan kantornya ini seperti gelas retak yang tak mampu lagi menampung air. Gelas itu sudah tak ada gunanya lagi.
”Mir, buat undangan untuk rapat besok pagi! Hari ini para karyawan harus sudah menerima undangan semuanya. Karena ini masalah penting,” perintahnya kepada Amir, sekretarisnya.
Pagi hari saat jam kerja tiba, Ahmad sudah berada di ruang pertemuan. Dia mengumpulkan para karyawan untuk memberikan pengarahan-pengarahan tentang masa depan kantornya yang sempat terseok di tengah perjalan akibat dari kekurangharmonisan  hubungan para karyawan.
”Kita harus menyatukan visi dan misi instansi ini. Buang jauh-jauh kepentingan pribadi yang tidak memberikan kemaslahatan bagi kita dan juga masyarakat.  Kita harus guyup, bersatu demi kemajuan instansi kita. Gelas-gelas yang sempat retak, mari kita rekatkan lagi agar gelas tersebut berguna lagi bagi kita dan juga masyarakat,” kata Pak Ahmad dalam sambutannya. Para karyawan diam. Mereka mendengarkan sambutan dari pimpinannya dengan serius. Mereka merenungi bahwa yang selama ini mereka lakukan adalah salah.
Di akhir pertemuan, para karyawan yang selama ini tak pernah bersentuhan, kemudian saling berjabat tangan untuk merekatkan lagi tali silaturrahim yang selama ini sempat memudar. Ahmad sebagai pimpinan di instansi tersebut tersenyum gembira melihat bawahannya yang rukun, dan bersatu lagi seperti beberapa tahun yang lalu.
Bunga di halaman kantor mekar dan menebarkan aroma wangi. Kupu-kupu dan kumbang jalang mengerubuti bunga itu berebut menghisap madunya. Langit yang sempat mendung kini cerah menerangi wajah-wajah ceria dalam suasana kebersamaan.  (*)

_____________________________________________________________________
* Lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak. Di antaranya Tabloid Telunjuk, majalah Indupati, majalah MPA dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya  juga dimuat dalam Antologi Puisi Bersama Dewan Kesenian Lamongan (DKL) seperti Bulan Merayap (2004), Lanskap Telunjuk (2004), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006).  Selain menulis, juga sebagai guru dpk di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat Lamongan. Sekarang beralamat di Sanggar Sastra ”Telaga Biru”,  Wanar, Pucuk, Lamongan. e-mail: ilazen@yahoo.co.id.


Jumat, 22 Agustus 2014

Surat dari Gaza (Cerpen Radar Bjn, Jawa Pos Grup)

SURAT DARI GAZA
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Sudah puluhan tahun Zainab menjadi TKW di Palestina. Dia berpisah dengan suami dan kedua anaknya ketika anak-anaknya masih sekolah di bangku SD. Berulang-ulang Zainab ingin pulang ke negaranya, akan tetapi selalu gagal. Zainab terperangkap oleh konflik yang berkepanjangan di negeri Yassir Arafat ini.
Menjelang puasa tahun ini Zainab juga berencana mudik ke kampung halaman. Dia tidak mampu lagi menahan rasa rindunya kepada keluarga yang telah ditinggalkannya sejak puluhan tahun yang lalu. Dia ingin berlebaran dengan anggota keluarganya.
Rencana itu sudah matang. Bahkan dia sudah diajak majikannya memesan tiket pesawat. Namun, harapan itu sirna lagi lantaran Israil membombardir negeri tempatnya bekerja.
Sebagai pengobat rindunya kepada keluarga, Zainab mengirim surat kepada keluarga di Indonesia. Ini adalah satu-satunya jalan  agar dia bisa berkomunikasi dengan keluarga untuk mengungkapkan semua keluh-kesahnya di Gaza. Zainab memanfaatkan waktu lima menit setelah terjadi ledakan roket tentara Israil untuk memasukkan suratnya ke kotak pos yang ada di depan rumah majikannya. Hal ini dikarenakan tentara Israil meluncurkan roket-roketnya ke pemukiman sipil di Gaza dalam durasi lima menitan. Setelah berhasil memasukkan suratnya ke kotak pos, dia kembali bersembunyi di bawah bunker atau ruang bawah tanah untuk menyelamatkan diri dari serangan rudal orang-orang Yahudi itu.
Dalam surat yang dikirimkan Zainab kepada keluarganya, dia bercerita banyak tentang rasa kangennya kepada keluarganya serta kondisi yang dialaminya. Dia juga bercerita tentang saat-saat  menegangkan dalam suasana perang seperti yang terjadi sekarang ini.
Sambil beruarai air mata, Zainab menulis surat dari ruang bawah tanah. Dia teringat keluarganya, terutama anak-anaknya. Nafasnya terasa sesak apabila dia menorehkan tinta yang mengukir bayangan-bayangan anaknya. Zainab membayangkan lalu membandingkan nasib kedua anaknya yang ada di kampung halaman dengan anak-anak di Gaza ini.
Anak-anak di Gaza tidak pernah tersenyum. Mereka tidak pernah tertawa. Anak-anak di Gaza tidak pernah bermain kejar-kejaran di tanah lapang. Mererka tidak pernah memakai seragam lalu berangkat ke sekolah bersama-sama seperti anak-anak di Indonesia. Mereka selalu menjerit dan larut dalam tangis ketakutan. Jiwa mereka terguncang oleh suasana perang yang tidak bisa dibayangkan sampai kapan selesainya.
Zainab mengenang puluhan tahun silam ketika dia belum berangkat ke Gaza sebagai tenaga kerja wanita. Sewaktu dia masih berkumpul dengan keluarganya. Saat bulan puasa seperti sekarang ini ketika menjelang berbuka puasa, dia dan anak-anaknya jalan-jalan sambil menunggu maghrib tiba. Setelah terdengar beduk maghrib yang menandakan waktu berbuka puasa, mereka berlari-larian pulang ke rumah untuk menunaikan buka puasa bersama keluarga. Aneka hidangan yang telah disiapkan sebelumnya di atas meja makan telah siap dinikmati bersama-sama. Kedua anaknya menikmati masa berbuka puasa ini dengan riang gembira. Mereka makan sepiring nasi dan minum semangkok kolak kacang hijau sesuai dengan porsi maisng-masing.
Setelah menghabiskan menu berbuka puasa, mereka lantas melaksanakan salat maghrib berjamaah. Sang suami menjadi imam sedangkan Zainab dan anak-anaknya menjadi makmum. Usai menunaikan kewajiban itu, mereka lantas menggelar tikar pandan di halaman rumahnya. Mereka duduk santai sambil menunggu waktu salat isyak dan tarawih datang.
Suasana yang membuat Zainab berderai air mata ketika dia mengingat waktu istirahat itu. Dia dan suaminya duduk santai di atas tikar pandan sedangkan kedua anaknya bermain kembang api. Kedua anaknya yang masih lugu itu berlari-larian membawa kembang api mengelilingi dirinya yang sedang menikmati camilan dengan suaminya.
Sambil mengusap air mata, Zainab mengabarkan kepada keluarganya bahwa suasana di kampung halaman tidak pernah ia lihat di Jalur Gaza. Suasana sore bulan Ramadan atau bulan puasa seperti sekarang ini anak-anak di Gaza tidak bisa berjalan-jalan dengan orang tuanya untuk menunggu waktu berbuka puasa. Mereka lebih mementingkan keselamatan jiwanya dan jiwa anak-anaknya dengan berlindung di ruang bawah tanah. Setiap hari mereka hanya bisa duduk dalam ketakutan di ruang yang sempit dan pengap. Mereka termenung dengan sinar lilin di atas meja makan yang menyediakan menu berbuka seadanya hingga saat berbuka benar-benar tiba.
Mereka makan ala kadarnya. Tak ada menu yang melimpah di Gaza. Tak ada camilan seperti yang ada di kampung halaman. Tada singkong rebus. Tak ada talas. Tak ada kolak kacang hijau. Bahkan kalau tidak ada bantuan makanan dari para relawan, mereka terpaksa hanya berbuka dengan seteguk air. Setelah itu mereka duduk lagi dengan penerang lilin dalam suasana yang mencekam di bawah ruang bawah tanah.
Selepas maghrib ketika langit benar-benar kelam anak-anak tak bisa bermain kembang api atau petasan. Mereka tidak pernah berlari-larian membawa kembang api lalu diikuti teman-teman sebayanya di belakang mereka. Anak-anak di Gaza selepas maghrib hanya bisa berlindung dalam dekapan orang tuanya. Mereka ketakutan saat melihat api roket meluncur ke sana kemari mencari sasaran tembak seperti kembang api raksasa. Sesaat kemudian terdengar dentuman bom menggema di tengah-tengah permukiman warga sipil yang diikuti suara gemuruh gedung dan rumah-rumah yang roboh, rata dengan tanah.
Jerit tangis anak-anak karena ketakutan, pecah di tengah-tengah perkampungan. Tangis ratap anak-anak karena orang tuanya meninggal dunia menyayat kalbu setiap orang yang mendengar. Mereka mencari-cari orang tuanya yang tertimbun rertuntuhan rumah. Mereka mengais-ngais serpihan bangunan untuk mencari orang tuanya yang tertelan material rumahnya. Akan tetapi, tangan-tangan kecil itu tak mampu mengangkat puing-puing bangunan rumahnya dan tidak bisa menemukan kedua orang tuanya.
Relawan datang membantu. Mereka mengangkat puing-puing bangunan untuk mengangkat korban ledakan bom. Satu persatu mayat berhasil diangkat. Ratusan mayat dijajar di pinggir jalan. Ledak suara tangis bocah-bocah kecil bersahutan ketika mereka menemukan jasad orang tuanya sudah tak bernyawa lagi. Mereka mendekap janazah orang tuanya yang masih bersimbah darah. Mereka memegangi lalu menciumi tangan, kaki, atau bahkan kepala orang tuanya yang sudah terpisah-pisah dengan anggota tubuh yang lain.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” gema takbir berkumandang di tengah-tengah kerumunan warga untuk menguatkan batin dan mental mereka, para korban kebiadaban tentara Israil.
Anak-anak di Jalur Gaza tak memunyai rumah lagi karena hantaman roket para tentara zionis Israil. Mereka tak memunyai tempat berteduh, tempat berlindung, tempat bercengkerama, tempat menerima tamu saat lebaran nanti. Mereka tak memunyai apa-apa lagi selain jiwa jihad yang akan mereka gunakan untuk mempertahankan negeri dan martabatnya ketika mereka beranjak remaja nanti.
Sungguh peristiwa yang mengerikan dan menyedihkan karena rasa kemanusiaan di negeri Palestina telah diinjak-injak oleh pemerintah Israil.
***
Surat yang dikirim Zainab dari Jalur Gaza Palestina telah sampai di kampung halaman. Amiran, suami Zainab, mengajak anak-anaknya duduk di ruang tamu. Sofi, anak pertama Zainab, disodori ayahnya agar membacakan surat dari Gaza tersebut. Sofi segera membuka surat itu lalu membacanya. Mereka dengan serius mendengarkan isi surat yang dibacakan Sofi.
Tanpa disadari mata mereka berkaca-kaca. Mereka larut dalam penderitaan yang dialami oleh warga Jalur Gaza Palestina terutama nasib anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Mereka hidup tanpa orang tua. Mereka hidup tanpa rumah. Mereka hidup di pengungsian dan menggantungkan hidupnya pada kedermawanan orang lain.
Lembaran surat yang dipegang oleh Sofi tiba-tiba bergetar. Getaran itu semakin lama semakin dasyat karena Sofi membacanya dengan penuh emosi. Kertas surat itu perlahan jatuh di pangkuan Sofi. Tubuh Sofi lemas tak berdaya. Kedua tengannya lunglai di pangkuannya. Suami dan anak-anak Zainab ini kemudian saling berangkulan dengan berderai air mata. Mereka mengingat nasib Zainab yang sudah puluhan tahun tidak pernah pulang kampung karena terjebak di negeri yang tak pernah berhenti dari peperangan ini.
Dalam suasana haru ini Amiran membisikkan pesan kepada anak-anaknya agar mereka tetap tabah, sabar serta memohon kepada Allah agar konflik di Gaza segera berakhir dan ibunya dapat pulang ke kampung halaman dengan selamat.(*)
Wanar, Juli 2014








Minggu, 20 April 2014

Gerumbul (cerpen Radar Bojonegoro (Jawa Pos Grup)

Gerumbul
Cerpen karya Ahmad Zaini

Sebatang pohon berdiri kokoh di perempatan jalan. Batangnya besar, daunnya lebat, serta akar-akarnya bergelantungan menjulur ke tanah. Setiap sore terdapat kawanan burung hinggap di pohon itu. Beraneka macam burung telah menjadikan pohon tersebut sebagai tempat persinggahan sementara setiap malam. Jika pagi datang, kicau burung-burung itu menghibur para warga yang melintas di pinggir pohon itu.
Para warga menyebut pohon itu dengan sebutan gerumbul. Entah apa alasannya mereka menyebutnya gerumbul. Padahal pohon itu terkenal dengan pohon beringin. Mungkin dari daunnya yang rindang dan sering digunakan para warga bergerombol untuk berteduh itu  mereka kemudian menyebutnya gerumbul.
Pohon berusia ratusan tahun ini sering digunakan warga sebagai tempat ritual. Mereka memercayai bahwa pohon tersebut memiliki berkah dan bisa menentukan nasib kehidupan manusia. Kebanyakan mereka yang melakukan ritual di bawah pohon tersebut adalah para orang tua yang masih memercayai adanya hal-hal yang berbau mistis demi tujuan tertentu. Umumnya mereka melakukan ritual pada malam hari karena mereka tidak mau ritualnya ini diketahui oleh masyarakat umum dan mereka takut dicap sebagai pengikut aliran sesat.
Setiap pagi anak-anak yang tinggal di sekitar pohon itu selalu berlomba menuju gerumbul itu. Mereka yang datang lebih awal akan mendapatkan sisa sesajen. Setelah mereka mendapatkan sisa sesajen, mereka akan memakannya bersama-sama di bawah pohon itu juga.
“Wuahahahaha...!” gertak wanita setengah tua dari balik pohon itu.
Anak-anak yang sedang menikmati sisa sesajen itu ketakutan lalu berlarian tak tentu arah. Mereka meninggalkan setampah nasi yang bercampur lauk ayam panggang serta ditaburi urap-urap.
Wanita setengah tua yang tak lain adalah warga kampung yang terganggu jiwanya itu menyantap sisa sesajen yang ditiggal lari anak-anak itu hingga habis. Wanita itu kemudian duduk di atas akar pohon gerumbul sambil meracau ke sana kemari.
Gerumbul itu kini menjadi bahan perbincangan dan perdebatan warga kampung. Warga terpecah menjadi dua kubu. Ada yang pro dan ada kontra terhadap keberadaan pohon tersebut.
Pihak yang pro terhadap keberadaan pohon itu ingin mempertahankan pohon tersebut karena pohon itu merupakan peninggalan nenek moyang yang disakralkan sebagai tempat ritual atau pemujaan. Mereka memercayai bahwa gerumbul itu ada penunggunya. Penunggu gerumbul tersebut bisa memberikan manfaat kepada para warga. Terutama mereka yang masih percaya pada hal-hal yang berbau mistis. Kelompok inilah yang setiap malam sering datang ke pohon tersebut sambil membawa sesajen untuk mengadakan pemujaan.
Sedangkan masyarakat yang kontra terhadap keberadaan pohon itu beralasan bahwa pohon itu menimbulkan banyak madharat atau membahayakan warga. Banyak warga yang berkendaraan terjatuh atau bertabrakan karena pandangan mereka terhalang pohon yang berada tepat di perempatan jalan. Alasan lain yang menguatkan mereka adalah pohon itu sering dimanfaatkan warga untuk melakukan ritual yang mengarah pada kemusyrikan sehingga dikhawatirkan akan merusak aqidah anak-anak, pemuda dan warga semuanya.
“Jika pohon itu dilenyapkan, maka kita bisa menyelamatkan warga dan menghindarkan mereka dari sifat syirik atau menyekutukan Tuhan,” kata Muslim, tokoh agama, di kampung itu.
Peseteruan dua kubu di kampung itu terus berlanjut bahkan mulai memanas. Kubu yang pro atau yang masih membutuhkan keberdaan pohon itu kini semakin berani. Biasanya mereka mengadakan ritual di bawah pohon itu hanya kalau malam telah tiba. Kini mereka siang bolong pun datang ke tempat itu dengan membawa sesaji lalu dengan terang-terangan mengadakan ritual di tempat tersebut. Perilaku nyeleneh dari sebagian warga yang mengultuskan pohon itu sontak menjadi tontonan warga yang lain. Warga yang memahami bahwa yang mereka lakukan adalah perbuatan syirik ada yang sampai melemparinya dengan bebatuan bahkan ada yang melemparinya dengan kotoran.
“Mereka telah menyekutukan Tuhan. Kita wajib menyadarkan. Kita juga harus menebang pohon itu agar tidak dijadikan sebagai alat menyukutan Tuhan,” usul salah satu pemuda yang menentang ajaran sesat itu.
Sebagai tokoh masyarakat, Muslim tidak tinggal diam. Dia mengumpulkan para warga kemudian mengajaknya berembuk di balai desa. Rencana ini mendapat persetujuan dari kepala desa.
“Saya sangat setuju dengan rencana rembukan ini. besok pagi saya akan mengirimkan undangan kepada para tokoh masyarakat dari kedua belah pihak. Mereka yang pro terhadap keberadaan pohon itu kita undang. Demikian juga dengan kubu yang kontra. Kita rembukan bersama untuk menyelesaikan masalah pohon tersebut,” jelas kepala desa.
***
Suasana rembukan di balai desa sangat sengit. Kedua kubu bersikukuh mempertahankan keyakinan masing-masing. Muslim sebagai tokoh agama sangat mengutuk sikap para pemuja pohon dan mengecap mereka sebagai orang musyrik karena telah menyekutukan Tuhan. Kerto dari pihak pemuja pohon juga bersikukuh mempertahankan keberadaan pohon itu. Dia bahkan mengancam jika pohon itu ditebang, maka Mbah Karihun yang dianggap sebagai penunggu pohon itu akan murka.
“Kampung ini akan mendapatkan balak atau bencana yang mahadasyat,” ucapnya.
Mendengar ancaman dari Kerto, Muslim sebagai orang yang ditokohkan di kampung itu tidak tinggal diam.
“Hidup mati seseorang itu Allah yang menentukan. Balak atau bencana itu juga kehendak Allah. Pohon hanyalah sebatang pohon yang tak mempunyai kekuatan apa-apa. Jangankan melindungi manusia, melindungi dirinya sendiri saja dia tidak mampu. Saudara Kerto, saya ingin tanya apakah pohon itu bisa mengusir lalat atau binatang lain yang membahayakan dirinya?” tanya Muslim.
“Tidak bisa,” jawab Kerto.
“Kalau Saudara tahu kalau pohon itu tidak bisa melindungi dirinya, kenapa kamu masih meyakini bahwa pohon itu bisa memberi berkah dan perlindungan kepada manusia? Segeralah bertobat dan meninggalkan perbuatan syirik ini,” kata Muslim meyakinkan Kerto dan segelintir pengikutnya.
“Tidak. Kami tidak akan meninggalkan ajaran nenek moyang ini. Kami tetap berikukuh menentang rencana penebangan pohon ini,” ucap Kerto dengan tegas.
“Huuuuuuuu!!” sorak para warga yang mengikuti rembukan di balai desa.
Kepala desa sebagai mediator dalam acara itu segera mengambil jalan tengah. Dia mengadakan poling terbuka.
“Kalau kita memperdebatkan keyakinan masing-masing maka sebulan pun rembukan ini tidak akan selesai. Sekarang kita adakan jajak pendapat saja. Antara yang pro dan kontra terhadap gerumbul itu nanti saya persilakan mengacungkan tangan saja. Bagaimana?” kata kepala desa.
“Setuju. Saya sangat setuju dengan pendapat kepala desa,” kata Muslim yang diikuti para warga yang lain.
Jajak pendapat dimulai. Kepala desa memberikan kesempatan mengacungkan tangan kepada warga yang masih menginginkan keberadaan gerumbul itu. Dari puluhan warga yang datang ke balai desa yang mengacungkan tangannya hanya sembilan orang.
“Yang pro ada sembilan orang,” ucap kepala desa setelah menghitung warga yang mengacungkan tangannya.
“Sekarang giliran warga yang menentang keberadaan gerumbul. Silakan angkat tangan!” kepala desa mempersilakan Muslim dan kawan-kawan untuk mengacungkan tangannya.
Seluruh warga yang hadir di balai desa mengacungkan tangan. Kecuali Kerto dan pengikutnya.
“Nah, sekarang kita sudah mendapatkan hasilnya. Sebagaan besar warga yang datang di tempat ini menolak keberadaan gerumbul tersebut. Oleh karena itu, saya mohon kepada Pak Kerto dan kawan-kawan harus mengikuti hasil musyawarah ini,” imbau kepala desa.
“Saya tetap bersikukuh pada pendapat kami. Sampai kapan pun kami tidak akan rela gerumbul itu dilenyapkan. Kalau gerumbul itu ditebang, kemana kami akan mengadakan ritual? Kalau ada permasalahan pertanian dan jodoh anak-anak kita, kepada siapa kita akan mengadu?” sambung Kerto.
“Pak Kerto, taubatlah! Sadarlah bahwa yang telah Pak Kerto lakukan selama ini adalah sesat. Itu perbuatan syirik. Kita beribadah ke tempat yang suci seperti masjid dan musalla. Kita mengadukan semua permasalahan hanya kepada Allah. Allahlah Tuhan yang harus kita sembah. Bukan gerumbul yang tidak memunyai kekuatan apa-apa,” imbuh Muslim.
“Tidak. Yang membuat panen kita tiap tahun melimpah itu adalah Mbah Karihun, penunggu gerumbul itu. Bukan yang lain,” sanggah Kerto.
Para warga yang datang pada pertemuan itu kemarahannya memuncak. Selain menyoraki jawaban-jawaban Kerto, mereka juga melempari Kerto dan pengikutnya dengan sandal dan barang-barang bekas.
“Tenang! Tenang para Bapak dan Saudara-Saudara! Kita telah menyepakati gerumbul itu ditebang. Maka tidak ada alasan lagi untuk menunda-nundanya. Maaf, Pak Kerto dan pengikut-pengikut Pak Kerto, kami akan tetap melaksanakan hasil rembukan ini,” kata kepala desa dengan tegas.
Usai rembukan dan telah menyepakati penebangan gerumbul itu, para warga pulang untuk mengambil peralatan. Mereka membawa kapak, pedang dan sejenisnya.
Kerto dan pengikutnya mencoba mengahalangi warga yang akan merobohkan pemujaannya. Namun, Kerto dan pengikutnya ditahan warga yang lain. Sementara itu, Muslim yang dibantu sebagian besar warga kampung itu bahu-membahu menebang pohon tersebut.  Dalam waktu sekejap gerumbul itu roboh dan membujur kaku di perempatan jalan.
Saat pohon itu benar-benar ambruk, warga dikejutkan oleh jeritan wanita dari balik rindang dedaunan gerumbul. Mereka sempat menghentikan aksinya. Ketika mereka amati, ternyata jeritan itu adalah jeritan wanita gila yang biasanya berteduh di bawah gerumbul itu. (*)
Lamongan, Maret 2014












Minggu, 16 Februari 2014

Mbok Tuminah dan Alun-Alun Kota



Mbok Tuminah dan Alun-Alun Kota
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Senja telah menunggu akhir dari perjalananku menuju alun-alun kota. Sinar matahari yang memerah benar-benar telah meredup dan langit pun menjadi kelam. Semebyar bintang-gemintang mengganti terang sinar matahari sekaligus menjadi pemandangan indah di langit. Bebintang itu menemani diriku yang ingin mengenang masa silam di kota yang telah lama kutinggalkan.
Aku datang ke kota ini bukan menjadi diriku yang dulu lagi. Dua puluh tahun silam aku di alun-alun kota ini sebagai penjual makanan dan minuman ringan. Setiap hari aku mengelilingi alun-alun ini sambil menjajakan makanan dan minuman kepada anak-anak yang rekreasi mengisi waktu liburan. Kini aku datang sebagai pengusaha sukses. Aku mengenakan pakaian fulldress dengan didampingi dua pengawal yang selalu setia menemani serta melayani diriku. Aku berjalan-jalan mengelilingi alun-alun kota yang telah lama kurindukan.
Aku sudah menduga bahwa alun-alun kota ini akan mengalami perubahan pesat. Aku mendengar bahwa kota ini dipimpin oleh seorang pejabat yang berprestasi dan kaya dengan ide kreatif. Tak ayal dugaanku selama ini terbukti ketika aku malam ini benar-benar berada di tengah alun-alun yang memperlihatkan pemandangan malam yang indah dihiasi gemerlap ribuan lampu serta aneka hiasan yang begitu memesona.
“Pengawal, ikut saya!” ajakku kepada pengawal.
Dua lelaki bertubuh tegap serta berkaca mata hitam segera mengikuti perintahku. Mereka berjalan di belakang mengikuti ke mana aku melangkahkan kaki.
“Ke mana ini, Bos?”
“Ah, tak perlu tanya macam-macam! Pokoknya ikuti aku!”
Aku berjalan mengitari alun-alun lalu berhenti di sudut alun-alun kota. Aku melihat sekeliling alun-alun dan trotoar yang tampak lebih bersih daripada sebelumnya sambil mencari-cari penjual nasi boran yang dulu berjualan di tempat aku berdiri sekarang ini.
“Mencari apa, Bos?”
“Tanya lagi, tanya lagi! Kalian itu ingin tahu saja.”
“Siapa tahu kami bisa membantu, Bos.”
“Tak usah! Saat ini aku tidak membutuhkan bantuan kalian,” jawabku. Kali ini aku benar-benar ingin menikmati kenangan masa silam.
Di tempat saya berdiri sekarang ini, dulu ada penjual nasi boran yang bernama Mbok Tuminah. Dia perempuan yang sudah renta, akan tetapi dia mempunyai semangat yang tinggi dalam bekerja. Ia berjualan nasi boran di alun-alun ini untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
Mbok Tuminah merupakan sosok yang sangat aku segani. Dia jujur, ramah, serta motivator ulung. Dia bisa memberi motivasi kepada para pelanggan atau kepada para pedagang asongan yang mangkal di alun-alun ini. Mbok Tuminah pernah berkata bahwa kesuksesan adalah milik semua orang. Kesuksesan bukan milik orang yang kaya raya saja, melainkan milik orang yang memiliki kemauan keras demi meraih kesuksesan. Nah, dari ucapannya itulah, kemudian aku nekat berangkat merantau ke luar Jawa dengan berbekal tabunganku hasil berjualan makanan dan minuman di alun-alun ini.
“Bu, Mbok Tuminah ke mana?” tanyaku kepada penjual tahu campur yang duduk di bawah lampu penerang alun-alun.
“Tidak tahu, Pak. Saya pedagang baru di alun-alun ini,” jawabnya.
Aku mencari Mbok Tuminah ke tempat lain. Aku berjalan dengan didampingi dua orang pengawal. Aku tidak merasa lelah. Aku terus berjalan dan tidak memedulikan keringat yang membasahi pakaianku. Aku tidak memedulikan bau badanku yang tak sedap karena belum sempat mandi semenjak pagi. Aku benar-benar ingin menikmati tempat yang penuh dengan berjuta-juta kenangan sebelum aku menjadi pengusaha sukses sekarang ini.
Di tengah alun-alun, aku mendekati kerumunan pengunjunga. Eh, ternyata tukang topeng monyet sedang menunjukkan kelihaiannya dalam mengendalikan monyetnya untuk menghibur pengunjung. Aku berhenti sebentar di tempat itu. Aku berbaur dengan ibu-ibu yang mendampingin anaknya menikmati pertunjukan topeng monyet. Aku ikut tertawa sambil bertepuk tangan ketika si monyet lucu sedang memperagakan kelihaiannya menirukan aksi pembalap. Si monyet tampak seperti crosser ternama di arena balapnya.
Usai mempertontokan atraksinya, si tukang topeng monyet menyodorkan topinya untuk meminta uang sukarela dari pengunjung alun-alun. Aku merogoh saku kanan celanaku. Tanganku meraih uang kertas seratus ribu. Aku memasukkan uang tersebut ke dalam topi si tukang topeng monyet. Lelaki pawang monyet itu terhenyak. Ia menatapku sejenak lalu mengucapkan ribuan terima kasih kepadaku karena aku telah memberinya uang yang tak pernah didapatkan selama menjadi tukang atraksi topeng monyet.
“Terima kasih, Pak! Terima kasih!” ucapnya sambil mencium-cium tangan kananku.
“Sama-sama, Kang!” balasku.
Tak ada informasi yang kudapatkan dari pertunjukan topeng monyet tentang keberadaan Mbok Tuminah.
Aku segera meninggalkan kerumunan pengunjung alun-alun menuju sudut yang lain. Di kejauhan aku melihat perempuan tua yang duduk menjaga nasi boran. Aku yakin bahwa perempuan tua itu pasti Mbok Tuminah. Aku mempercepat langkahku agar bisa cepat sampai ke tempat perempuan itu. Setelah sampai, ternyata perempuan tua itu bukan Mbok Tuminah. Ah, betapa kecewanya diriku yang belum juga menemukan Mbok Tuminah.
Kali ini aku benar-benar kecapekan. Aku melepas sepatuku lalu duduk lesehan beralas tikar pandan yang disediakan oleh perempuan tua penjual nasi boran itu.
“Kenapa kalian berdiri saja? Silakan duduk sini!” perintahku kepada kedua pengawalku yang bengong berdiri di belakangku.
“Siap, Bos! Terima kasih!” jawabnya.
“Mbok, nasi boran tiga pincuk!” pesanku kepada penjual nasi boran.
“Pakai ikan apa?”
“Sili, Mbok,” jawabku dengan mantap.
Perempuan tua itu segera meracikkan nasi boran sejumlah pesananku. Tangan kanannya lemah gemulai membuat pincukan nasi. Setelah itu,  dia dengan cekatan mengambil beberapa entong nasi dari boran lalu dituangkan ke pincukan. Perempuan tua itu tak lupa menyiramkan bumbu bercampur lauk ikan sili di atas nasi dalam pincukan.
“Silakan!” kata perempuan tua sambil menyodorkan nasi borannya kepada kami.
Kami memakan nasi boran dengan lahap. Lebih-lebih kedua pengawalku yang seumur hidupnya baru kali ini memakan makanan khas kota kelahiranku ini.
“Mbah, sudah lama jualan nasi boran di sini?” tanyaku sambil mencuci tangan kananku ke dalam baskom yang berada di sampingnya.
“Sudah, Pak. Saya sudah berdagang nasi boran di alun-alun ini lebih dari dua puluh tahun.”
“Berarti, Mbok kenal dengan Mbok Tuminah?”
“Tidak hanya kenal. Dia itu seperti saudara saya,” jawabnya dengan santai.
“Sekarang di mana?” tanyaku menyelidik.
“Dia sudah meninggal hampir sepuluh tahun silam,” jawabnya. Aku kaget mendengar kabar itu.
“Sakit apa?”
“Tuminah tidak sakit. Dia meninggal mendadak ketika pulang dari berjualan. Dia mengidap penyakit tekanan darah tinggi.”
“Semoga dia mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah!” doaku buat Mbok Tuminah.
“Amin!” kata perempuan tua.
Aku benar-benar tidak menyangka jika Mbok Tuminah telah meninggal dunia. Dia sangat berjasa pada prestasi dan kesuksesanku ini. Dialah yang mengajari diriku bahwa aku tidak boleh menyerah dalam berperang melawan nasib. Aku harus mampu meraih kesuksesan demi mengubah nasib meskipun dengan kondisi ekonomi yang terpincang-pincang. Dia pernah mengatakan bahwa orang yang sukses kebanyakan dari keluarga yang tidak mampu.
Dari wejangan-wejangan yang disampaikan Mbok Tuminah ketika aku duduk lesehan sambil menikmati nasi boran waktu itu,  benar-benar telah menjadikan diriku bersemangat dalam mengubah nasib hingga menjadi lebih baik seperti ini.
“Terima kasih, Mbok! Ini uangnya!” kataku kepada perempuan tua sambil memberinya uang lima ratus ribu rupiah.
“Wah, ini uang apa, Pak?” tanya perempuan tua.
“Terima saja, Mbok! Ini rezeki Mbok.”
Aku meninggalkan perempuan tua penjual nasi boran yang wajahnya sumringah diterpa cahaya lampu alun-alun kota. Dia membeber lima lembar uang kertas seratus ribuan sambil menatap kami bertiga yang pelan-pelan meninggalkan alun-alun kota yang penuh dengan kenangan ini. (*)
Wanar, Januari 2014

*Cerpenis adalah pembina di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
Berdomisili di Wanar Pucuk Lam0ngan