Gelas-Gelas
Retak
Cerpen
Ahmad Zaini*
Halaman depan kantor, tempat
Ahmad bekerja, sedikit becek akibat hujan yang turun kemarin sore. Jalan
licin yang mengantar ke ruang tampatnya berkerja siap menggelincirkan setiap
kaki yang menginjaknya. Ia melangkah hati-hati agar terhindar dari petaka yang
menghadangnya kini. Bunga-bunga di
depan kantor masih basah. Kupu-kupu enggan menghinggapinya. Setelah sejam
berlalu, sinar matahari perlahan mengusir air yang melapis tipis mahkotanya.
Setahun lalu, di kantor ini para
karyawan tampak familier. Nuansa kekeluargaan sangat kental. Hubungan
antarkaryawan sangat hangat hingga tak ada lagi yang membatasi hubungan mereka.
Latar belakang sosial, keluarga, bahkan
faham yang dianut mereka abaikan. Yang ada hanyalah sesama karyawan yang
memiliki nasib dan tujuan bersama. ”Mangan
gak mangan, sing penting kumpul. Mikul dhuwur mendhem jero” prinsip orang
jawa itu yang mereka pegang erat. Juga peribahasa ”Duduk sama rendah, berdiri
sama tinggi”.
Rasa persaudaraan yang kuat
antarkaryawan di kantor itu, juga dirasakan Ahmad bisa semakin mengencangkan
ikatan batin mereka. Apa yang dirasakan oleh salah satu karyawan, maka yang
lain ikut merasakannya. Pernah suatu ketika ada karyawan yang mengalami
musibah. Ia jatuh dari motor ketika pulang dari bekerja. Para karyawan yang ada
di kantor tersebut menggalang dana secara spontan untuk meringankan beban dari
temannya yang sedang mengalami musibah. Dalam sekejap terkumpul dana hingga
satu juta rupiah. Kemudian dana yang terkumpul itu diserahkan bersama-sama ke
rumah temannya itu.
”Pagi, Pak Ahmad!” sapa tukang
sapu.
”Pagi! Tolong, Pak! Nanti
kalau Amir sudah datang suruh ke ruanganku,” perintahnya.
”Baik, Pak!” jawab tukang
sapu.
Ahmad masuk ke ruang kerja.
Dia membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di meja kerjanya. Tangannya
sedikit tergores oleh kaca meja saat mengelap permukaan mejanya. Luka sayatan
di jari telunjuknya kemudian ditetesi obat merah yang diambil dari kotak P3K yang tersimpan di belakang meja
kerjanya.
Pagi ini benar-benar hari yang
suram bagi Ahmad. Ia merasakan sesuatu yang ganjil di kantor itu. Ia sangat
merasakan hubungan yang tidak harmonis antarkaryawan. Suasana familier seperti
tahun-tahun yang lalu, kini jarang ia temui. Para karyawan kantornya seakan-akan
lebih mementingkan urusan masing-masing. Bahkan ia merasakan ada semacam
persaingan yang tidak sehat dalam kantornya.
”Jika hal ini kubiarkan, mana
mungkin bisa maju lembaga ini!” katanya dalam hati.
Ibarat sebatang pohon, agar
bisa menghasilkan buah yang berkualitas maka diperlukan kerjasama yang baik
antarunsur-unsur pohon tersebut. Akar, batang, dahan, ranting, sampai daun
harus bersatu untuk menghasilkan buah hingga dapat dirasakan oleh orang lain.
Demkian halnya di kantor itu, antara karyawan, staf, dan pimpinan harus bersatu
padu untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya agar dapat bermanfaat bagi
manusia yang lain.
Ahmad merenung sebentar. Ia
diam sambil menundukkan kepalanya. Ia berusaha merekatkan lagi gelas-gelas
retak yang selama ini sangat bermanfaat bagi manusia. Kantor di bidang usaha
peminjaman modal usaha kecil dan menengah yang selama ini ia kelola sudah dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar hingga kantornya pernah
mendapatkan penghargaan dari Bupati sebagai kantor yang memberikan pelayanan
terbaik kepada masyarakat. Dengan indikasi ada keretakan antarkaryawan, dimungkinkan akan muncul
keluhan-keluhan masyarakat terhadap pelayanan kantor yang dipimpinnya itu.
”Maaf, Pak ada surat tagihan
dari dinas perpajakan,” tukang kurir menyodorkan surat dari dinas perpajakan.
Ahmad perlahan membuka amplop
yang baru saja ia terima. Ternyata isinya tagihan pajak yang belum dilunasi.
Dengan tenang, ia mencari
penyebab keterlambatan pembayaran pajak. Dia memanggil bagian keuangan. Ia
menanyakan pada karyawan bagian keuangan yang ruangannya bersebelahan dengan
ruangannya.
”Bulan lalu saat akan
kubayarkan ke dinas pajak, saya mengalami musibah. Anakku sakit keras dan
dirawat inap di rumah sakit. Maka uang itu kugunakan dulu untuk keperluan
pengobatan anakku,” jawab karyawan bagian keuangan.
Pak Ahmad mengelus dada dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sendiri heran mengapa ada salah satu
karyawannya yang terkena musibah dia sendiri sampai tidak tahu?
Mungkin yang disinyalir selama
ini jika hubungan antarkayawan di kantornya sudah tak harmonis lagi itu benar.
Setelah mendapatkan keterangan
dari bagian keuangan tersebut, dia menepuk-nepuk pundak bawahannya itu. Dia
memberikan semangat agar dia tetap bekerja dengan baik.
“Kalau begitu masalahnya, ya
sudah. Tapi ingat kejadian seperti ini jangan diulangi lagi. Kalau Saudara
terkena musibah, lapor saja ke saya. Insya Allah akan saya bantu. Jadi, kita
tidak sampai ditagih dari dinas perpajakan gara-gara terlambat membayar pajak,”
jelas Ahmad kepada karyawannya itu.
Sebagai seorang
pimpinan, ia juga merasa bersalah. Mestinya, setiap hari ia harus mengontrol keberadaan para karyawannya.
Ahmad kemudian teringat kisah Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz. Seorang
kholifah yang selalu peduli kepada rakyat-rakyatnya. Agar ia mengetahui kondisi
rakyatnya, dia sampai rela setiap malam keluyuran memantau keadaan rakyatnya.
Pada suatu malam Umar bin
Abdul Aziz menjumpai seorang perempuan tua yang sedang memasak. Kholifah
mengamati rakyat jelata yang duduk lesu di depan tungkunya itu. Nyala api kayu
bakar menyinari wajahnya yang cemberut memikirkan sesuatu. Sekian lamanya perempuan tua itu memasak,
belum juga usai. Kholifah penasaran. Lalu beliau mendekati perempuan itu.
”Sedang apa, Bu?”
”Saya sedang memasak,”
jawabnya.
”Tapi kenapa sejak tadi belum
selesai?”
”Iya. Karena yang kumasak
adalah batu-batu yang kuambil di piggir jalan.”
”Subhannallah!” Kholifah Umar
kaget.
”Kenapa ibu memasak batu?”
”Ini kulakukan untuk
mengelabui anakku yang sejak tadi menangis kelaparan minta makan. Sementara
kami tidak mempunyai beras sejak kemarin,” jawab perempuan tua itu sambil
menunjuk ke arah anak lelakinya yang meringkuk kelaparan.
Mendengar jawaban perempuan
tua tersebut, kemudian beliau pergi ke baitul mal untuk mengambil sekarung beras
kemudian diberikan kepada perempuan miskin tadi.
Dari kisah itu, kemudian Ahmad
menitikkan air mata. Sebagai pemimpin dia tidak tahu kalau ada karyawannya yang
terkena musibah hingga berani menggunakan uang pembayaran pajak kantornya untuk
membiayai anaknya yang dirawat di rumah sakit.
Kejadian itu juga imbas dari
hubungan para karyawan yang luput dari pengawasannya. Mereka satu sama lain tak
pernah bersentuhan. Mereka hidup sendiri-sendiri. Mereka tak peduli dengan
rekan kerjanya yang tekena musibah. Yang ada dalam pikiran mereka adalah
bekerja untuk kebutuhan mereka sendiri dan keluarganya.
Sapu tangan yang terselip di
saku celananya kemudia diraih. Dengan sigap ia mengusap air mata yang sempat
keluar dari kelopak matanya. Ia mengibaratkan kantornya ini seperti gelas retak
yang tak mampu lagi menampung air. Gelas itu sudah tak ada gunanya lagi.
”Mir, buat undangan untuk
rapat besok pagi! Hari ini para karyawan harus sudah menerima undangan
semuanya. Karena ini masalah penting,” perintahnya kepada Amir, sekretarisnya.
Pagi hari saat jam kerja tiba,
Ahmad sudah berada di ruang pertemuan. Dia mengumpulkan para karyawan untuk
memberikan pengarahan-pengarahan tentang masa depan kantornya yang sempat
terseok di tengah perjalan akibat dari kekurangharmonisan hubungan para karyawan.
”Kita harus menyatukan visi
dan misi instansi ini. Buang jauh-jauh kepentingan pribadi yang tidak memberikan
kemaslahatan bagi kita dan juga masyarakat.
Kita harus guyup, bersatu demi kemajuan instansi kita. Gelas-gelas yang
sempat retak, mari kita rekatkan lagi agar gelas tersebut berguna lagi bagi
kita dan juga masyarakat,” kata Pak Ahmad dalam sambutannya. Para karyawan
diam. Mereka mendengarkan sambutan dari pimpinannya dengan serius. Mereka
merenungi bahwa yang selama ini mereka lakukan adalah salah.
Di akhir pertemuan, para
karyawan yang selama ini tak pernah bersentuhan, kemudian saling berjabat
tangan untuk merekatkan lagi tali silaturrahim yang selama ini sempat memudar.
Ahmad sebagai pimpinan di instansi tersebut tersenyum gembira melihat
bawahannya yang rukun, dan bersatu lagi seperti beberapa tahun yang lalu.
Bunga di halaman kantor mekar
dan menebarkan aroma wangi. Kupu-kupu dan kumbang jalang mengerubuti bunga itu
berebut menghisap madunya. Langit yang sempat mendung kini cerah menerangi
wajah-wajah ceria dalam suasana kebersamaan.
(*)
_____________________________________________________________________
* Lahir di Lamongan, 7 Mei
1976. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak. Di antaranya Tabloid
Telunjuk, majalah Indupati, majalah MPA dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya
juga dimuat dalam Antologi Puisi Bersama
Dewan Kesenian Lamongan (DKL) seperti Bulan
Merayap (2004), Lanskap Telunjuk
(2004), Absurditas Rindu (Sastra
Nesia Lamongan, 2006), Khianat Waktu,
Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006).
Selain menulis, juga sebagai guru dpk di SMA Raudlatul Muta’allimin
Babat Lamongan. Sekarang
beralamat di Sanggar Sastra ”Telaga Biru”, Wanar, Pucuk, Lamongan. e-mail: ilazen@yahoo.co.id.