Cahaya dari Pesantren
Cerpen karya Ahmad Zaini
Sulur jingga sinar matahari jelang senja mengguyur sebuah
pondok pesantren. Pancaran cahaya keemasan disemprotkan oleh si raja siang yang
sejam lagi akan membenamkan diri ke peraduannya. Bangunan asrama yang dihuni
beberapa santri tempak begitu anggun. Bangunan tersebut sebagai tempat para
santri belajar, berdiskusi, dan bersama-sama menampa diri menjadi insan
kamil. Manusia yang sempurna lahir dan batin.
Para santri serentak keluar dari kamar masing-masing.
Mereka memenuhi pengumuman yang dikumandangkan dari kantor pengurus pesantren.
Para santri putra dan putri berduyun-duyun menuju ke masjid pesantren. Mereka
berkumpul untuk mengadakan kegiatan rutin, yaitu berdoa bersama yang dilaksanakan
setiap Kamis sore.
Ratusan santri berpakaian putih. Mereka duduk rapi
membentuk shof atau barisan sebagaimana orang sedang salat berjamaah.
Lautan putih pakaian mereka seakan-akan memancar cahaya kesucian. Kesucian niat
mereka belajar ilmu-ilmu agama di pondok pesantren.
Kiai Maghfur sebagai pengasuh pondok pesantren hadir
dalam majlis tersebut. Beliau terkenal sebagai sosok yang sangat istiqomah
dalam menjalankan amanat wali santri meskipun usianya sudah sepuh.
Beliau juga sosok sabar dan telaten membimbing para santri yang rata-rata
berusia remaja. Usia yang masih labil dan mudah terpapar pengaruh negatif
lingkungan.
Dengan didampingi Rosyad, Kiai Maghfur duduk bersila di
barisan depan. Beliau memimpin atau memandu ratusan santri membaca istighotsah,
tahlil, dan doa selamat bagi orang-orang sholih, para guru dan orang tua.
Mereka melafalkan doa-doa serupa gema yang menggetarkan langit. Mereka khusuk
bermunajad kepada Allah agar dikabulkan segala keinginan yang disampaikannya
lewat doa.
Lampu-lampu di masjid pondok pesantren mulai dinyalakan.
Sinar lampu menerpa wajah-wajah khusuk yang masih tenggelam dalam doa. Kegiatan
doa selesai ketika bedug yang tergantung di serambi masjid dipukul salah satu
santri dengan irama khas sebagai penanda waktu salat maghrib telah tiba.
Azan maghrib berkumandang. Seruan melaksanakan kewajiban
makhluk kepada Sang Khaliq lantang mengarungi seluruh area pondok pesantren dan
sekitarnya. Para penghuni pondok pesantren yang ketika itu baru selesai
melaksanakan kegiatan doa bersama tetap berada di posisi masing-masing sambil
mendengarkan azan serta menjawabnya. Setelah azan selesai mereka membaca doa
kemudian dilanjutkan dengan pujian-pujian yang wajib dibaca ketika hari Kamis
malam Jumat oleh para santri.
”Ilahi lastu lil fidausi ahla, wala aqwa ala naril
jahimi. Fahabli taubatan waghfir dzunubi, fainnaka ghofirun dzanbil adzimi,” suara
para santri menggema melantunkan pujian yang apabila dibaca dan dihayati isinya
dapat merontokkan sifat keangkuhan serta kesombongan manusia.
Setelah para santri salat maghrib dengan berjamaah,
selesai pula rangkaian kegiatan itu. Para santri berbondong-bondong kembali ke
asrama masing-masing. Di Asrama, mereka tidak bersantai-santai. Mereka nderes
pelajaran yang disampaikan oleh para pengasuh sebelumnya. Dalam kesempatan
seperti itu, terkadang mereka juga terlibat dalam sebuah diskusi tentang materi
yang belum dipahaminya. Mereka belajar dengan didampingi santri senior yang
ditugaskan sebagai mentor di setiap asrama.
Ketika para santri sedang nderes atau belajar, terdengar
pengumuman dari kantor pengurus pondok. Para santri diam sejenak untuk
mendengarkan pengumuman. Para santri yang menghuni asrama Arrahman
tertegun ketika nama asramanya disebut.
Tanpa komando susulan, para santri memenuhi panggilan itu.
Penghuni asrama Arrahman yang berjumlah sembilan santri langsung berdiri
di depan pos keamanan pondok pesantren.
”Amri dan Syamsul, kemari! Yang lain silakan kembali ke
asrama,” kata Khobir sebagai ketua keamanan. Kedua santri tersebut menghampiri
Khobir.
”Ada apa, Kang?” tanya Syamsul.
”Mari ikut saya ke majlis tahkim!” ajaknya.
Amri dan Syamsul saling pandang. Dalam hati mereka
bertanya-tanya tentang kesalahan yang diperbuat hingga dibawa ke majlis
tahkim atau pengadilan pondok pesantren. Hati mereka semakin remuk ketika
mereka masuk di ruang khusus. Mereka melihat pengasuh dan pengurus pondok
pesantren yang sudah menunggunya. Di sebelahnya lagi ada dua santri putri yang
sudah tidak asing lagi bagi Amri dan Syamsul.
”Amri dan Syamsul, apakah kalian mengenal dua santri
putri ini?” tanya Rosyad, salah satu anggota majlis tahkim. Kedua santri
tersebut mengangguk.
”Siapa mereka?” pertanyaan lanjutan Rosyad.
”Mereka Anita dan Lusi,” jawab Amri yang dibenarkan oleh
Syamsul.
”Sepertinya kalian sangat akrab. Apakah kalian pernah
saling bertemu?”
”Pernah. Tanpa sengaja kami pernah bertemu di kantin,”
jawab Syamsul.
”Benar begitu Amri?”
”Benar.”
”Setelah itu apakah kalian pernah bertemu lagi di tempat
lain?” Rosyad menelusuri lebih lanjut.
Mereka tidak langsung menjawab. Amri dan Syamsul diam.
Mereka tertunduk malu. Demikian juga dengan Anita dan Lusi. Kedua santri putri
ini membenamkan wajahnya dalam jilbab yang dikenakannya. Mereka malu kepada
Kiai.
”Kenapa diam? Ayo, dijawab!” bentak Rosyad.
”Sabar Rosyad. Beri kesempatan pada mereka untuk
mengingat-ingat kejadiannya,” tegur Kiai Maghfur pada Rosyad yang mukanya
memerah.
”Mohon maaf, Kiai. Saya khilaf karena terbawa emosi,” kata
Rosyad pada Kiai.
”Amri dan Syamsul harap menjawab pertanyaan Kang Rosyad
dengan jujur dan ikhlas,” dawuh Kiai Maghfur.
”Kami bertemu lagi di kafe dekat pasar.”
”Kapan dan apa yang kalian lakukan di sana?” selidik
Rosyad.
”Kamis sore minggu lalu kami janjian keluar dan bertemu
di kafe tersebut. Kami pesan kopi dan sekadar bercakap-cakap biasa. Setelah
itu, kami kembali lagi ke pondok ketika azan maghrib,” pengakuan Amri.
Pengasuh dan para pengurus memutuskan bahwa mereka sudah
terbukti bersalah. Mereka keluar pondok tanpa izin keamanan. Apalagi mereka keluar
lokasi dengan berpasang-pasangan. Hal ini berdasarkan informasi yang
disampaikan oleh Anita dan Lusi yang didukung oleh pengakuan Amri dan Syamsul.
”Anita, Lusi, Amri, dan Syamsul, kalian telah terbukti
melakukan pelanggaran besar. Kalian telah sengaja keluar dari lokasi pondok
pesantren secara bersama-sama. Kalian sudah paham bahwa di pondok pesantren ini
ada peraturan yang melarang keras santri putra dan santri putri melakukan
interaksi. Apalagi ini dilakukan di luar pondok pesantren tanpa sepengetahuan
pengurus dan pengasuh. Konsekuesinya, kalian harus menerima takzir atau
sanksi yang akan diberikan oleh pengurus dan keamanan pondok sesuai dengan
kesalahan kalian. Sebelum kalian melaksanakan takzir, kami akan
mengundang kedua orang tua kalian,” kata Kiai Maghfur.
Keempat santri hanya berdiam diri di depan para pengurus
dan pengasuh. Mereka tidak berani berkilah karena terbukti melanggar peraturan
pesantren. Meskipun mereka hanya bercakap-cakap sambil menikmati menu di kafe,
mereka sangat menghargai keputusan itu. Pengurus dan pengasuh pesantren membuat
aturan dan menegakkan aturan tersebut sebagai langkah prefentif atau pencegahan
agar para santri tidak terjerumus pada perbuatan tercela, yakni perzinaan.
Berpacaran atau berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim
di tempat tertentu merupakan perbuatan yang mendekati zina. Hal ini disebabkan
berawal dari situlah syetan akan memengaruhi hati dan menjerumuskan manusia ke
dalam perbuatan mesum.
Keesokan harinya wali santri keempatnya hadir di
pesantren. Para orang tua yang berharap anaknya mendapat gemblengan pendidikan
agama menyerahkan sepenuhnya semua keputusan pesantren terhadap putra-putrinya.
Mereka ikhlas dan rela atas takzir atau sanksi yang telah diberikan oleh
pengurus dan pengasuh pondok pesantren kepada Amri, Syamsul, Anita, dan Lusi.
Kiai Maghfur yang didampingi para pengurus pesantren
mengantar para orang tua seusai bermusyawarah tentang pendidikan anaknya. Para
pemangku pesantren sangat berterima kasih dan mengapresiasi para wali santri
yang sangat peduli dengan pendidikan pesantren anak-anaknya. Hal itu sangat
membantu para pengasuh dan pengurus pondok dalam menata dan membina akhlaq para
santri.
Setelah kejadian tersebut keempat santri itu santri jera
dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Para santri yang lain juga tidak berani
melakukan perbuatan seperti yang dilakukan keempat santri itu. Mereka bertekad akan
fokus mempelajari ilmu agama sebagaimana niat mereka belajar di pondok pesantren.
Minggu berikutnya, tepat hari Kamis sore ratusan santri
serempak datang ke masjid pondok pesantren.
Mereka melaksanakan kegiatan rutin. Amri, Syamsul berada di barisan
depan. Mereka ditakzir oleh pengurus dan pengasuh pondok pesantren
sebagai pemimpin dalam kegiatan tersebut. Demikian pula dengan Anita dan Lusi. Keempat
santri tersebut menjalankan sanksi yang menurutnya positif itu dengan ikhlas
dan penuh tanggung jawab.
Kalimah-kalimah toyyibah berkumandang dari pengeras suara di masjid
pondok pesantren. Suara para santri bergema hingga menggetarkan hati
orang-orang yang mendengarnya. Mereka khusuk berdzikir dan berdoa untuk melunakkan
hati agar mudah menerima nasihat dan bimbingan ilmu agama dari para kiai dan
ustadz di pondok pesantren. (*)
Lamongan, 8 Januari 2022
Ahmad Zaini adalah guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua PC Lesbumi NU Babat. Penerima
penghargaan dari Gubernur Jawa Timur karena buku kumpulan cerpennya berjudul Lorong
Kenangan memenangi lomba GTK Creative Camp (GCC) 2021.