Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 10 November 2013

Wali Hakim

WALI HAKIM
Cerpen Ahmad Zaini*

Malam satu Muharram begitu ramai. Warga kampung mengadakan gelaran dzikir dalam rangka menyambut datangnya tahun baru Hijriyah. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa tumplek-blek dalam acara yang diselenggarakan oleh kepala desa. Mereka berdzikir mengumandang lafal-lafal suci, asma Allah, hingga acara muhasabah atau instropeksi mereka selama satu tahun terakhir. Kesalahan sebagai manusia yang menghasilkan dosa ditimbang dengan kebajikan yang membuahkan pahala. Jika banyak kesalahan, mudah-mudahan mulai awal tahun ini bisa menjadi baik. Jika banyak amal kebajikan, semoga tahun ini menjadi semakin baik.
“Ibu, kok, tidak ikut acara Muharraman?” tanya Ratna kepada ibunya yang duduk sendiri di ruang tamu.
“Tidak, Rat. Malam ini saya ingin sendiri di rumah,” jawab ibu Ratna.
“Kenapa Ibu ingin sendiri di rumah? Ini tak seperti biasanya. Tahun-tahun lalu ibu selalu datang lebih awal bahkan ikut menjadi panitia dalam acara Muharraman. Bu, memangnya ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Kalau kamu ingin pergi mengikuti acara Muharraman, silakan berangkat! Acara akan dimulai.”
“Baiklah, Bu. Saya berangkat dulu,” pamit anak gadis semata wayang dalam keluarga itu.
Jumaiyah mengantar keberangkatan Ratna hingga halaman rumah. Dia memandang anak gadisnya yang sebulan lagi akan melaksanakan pernikahan itu lenyap ditelan tikungan jalan. Jumaiyah membalikkan tubuhnya, kemudian bergegas masuk ke rumah menghabiskan sisa kopi suaminya yang masih berada di meja ruang tengah.
“Lho, Pak sudah pulang? Padahal acara Muharraman di halaman balai desa baru saja dimulai” tanya Jumaiyah kepada suaminya.
“Entah mengapa perutku tiba-tiba melilit. Saya ke belakang dulu, Bu,” jawab Sukirno ringkas sambil berlari-lari kecil menuju WC.
“Ah, ada-ada saja!” kata Jumaiyah sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Sebuah kursi rotan setengah lapuk menanti majikannya duduk. Anyaman rotannya banyak yang putus akibat sering digunakan duduk majikannya. Jika ada orang yang tak pernah duduk di kursi tersebut, kemudian menduduki kursi itu, pasti dalam beberapa detik saja ia tidak akan betah. Banyak binatang tinggi yang usil menghisap darah dari balik anyaman rotan.
Cangkir kopi yang berada di meja diangkat oleh Jumaiyah. Ia bermaksud meminum sisa kopi suaminya. Ia lupa bahwa sisa kopi tersebut sudah ia minum.
“Oalah, habis!” gumamnya.
“Pak, saya buatkan kopi, ya?” Jumaiyah menawari Sukirno.
“Sementara tidak usah, Bu. Pertutku kembung,” sahut Sukirno dari WC.
Kedua suami istri ini memang biasa bercakap-cakap ketika salah satunya ada yang buang air besar. Padahal, itu dilarang oleh agama. Ketika seseorang sedang buang air besar, sepatah kata pun tidak ada yang boleh keluar. Kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya, kalau seseorang tidak bersuara meminta tolong, maka dia akan mati diserang binatang buas.
“Lega....!” kata Sukirno muncul dari WC.
“Eh, Bapak ini! Jijik tahu!?” celetuk Jumaiyah.
Jumaiyah membawa secangkir kopi ke ruang tengah. Sukirno berjalan membelakangi istrinya. Di kursi rotan yang bertahun-tahun setia menemani sang majikan, mereka duduk.
“Pak, ada sesuatu yang akan saya omongkan,” kata Jumaiyah mengawali pembicaraan.
“Masalah apa? Apakah ada kaitannya dengan rencana pernikahan anak kita? Bukankah persiapan biayanya sudah cukup?”
“Bukan masalah biaya, Pak. Ini masalah wali nikah.”
“Maksudmu?”
“Yang menjadi wali nikah Ratna.”
Sukirno tersentak. Ia terkejut mendengar ucapan Jumaiyah, istrinya.
“Kamu ini aneh sekali, Jum. Saya ini ayahnya. Sudah jelaslah yang akan menjadi wali pada pernikahan nanti pasti saya. Masak tetangga yang akan menjadi wali?”
“Bapak ingat puluhan tahun silam sebelum kita menjadi suami-istri?” tanya Jumaiyah mengungkap masa lalu mereka sebelum mereka terikat dalam ikatan suami istri yang sah.
“Memangya ada peristiwa apa pada puluhan tahun yang lalu?” kejar Sukirno menyelidik.
“Jika memang kau sudah lupa, baiklah saya ingin mengingatkanmu.”
Jumaiyah mengingat peristiwa yang terjadi puluhan tahun lalu. Jam, hari, bulan dan tahunnya, Jumaiyah sudah lupa. Namun, peristiwa itu tak pernah ia lupakan.
Sewaktu mereka masih pacaran, mereka pergi ke sebuah tempat wisata. Saat mereka sedang memadu kasih, syetan datang memasang perangkap agar mereka larut dalam buaian bujuk rayunya. Kedua insan yang dilanda asmara ini benar-benar masuk dalam perangkap nafsu syetan. Mereka melakukan perzinaan. Dari perbuatan nista dan menjijikkan itu, hamillah Jumaiyah.
Pada usia kehamilan lima bulan, mereka dinikahkan oleh orang tuanya untuk menutupi aib bagi dirinya dan keluarga. Mereka tidak ingin kejadian yang memalukan itu diketahui warga kampung. Dari perzinaan itu, lahirlah Ratna yang kini sudah remaja dan sebulan lagi akan dinikahkan.
“Lalu?” tanya Sukirno penuh dengan rasa penasaran.
“Ayah dari anak hasil berzina itu tidak boleh menjadi wali nikahnya.”
“Siapa yang mengatakan itu? Saya ini jelas-jelas ayah kandungnya. Yang menjadi wali dalam pernikahan nanti tetap saya.”
“Jangan, Pak! Jika kamu memaksa menjadi wali dalam pernikahan nanti, maka pernikahan anak kita tidak sah. Jika pernikahan anak kita tidak sah, maka hubungan badan yang akan mereka lakukan sama seperti yang kita lakukan pada waktu itu. Zina! Kita akan menurunkan beberapa keturunan zina, Pak!” kata Jumaiyah dengan muka bersedih.
“Lantas apa yang harus kita lakukan? Pernikahan tanpa wali nantinya juga tidak sah,” tanya Sukirno.
“Pada pernikahan anak kita nanti, kita mengundang wali hakim,” jawab Jumaiyah.
“Jangan mungundang wali hakim ke rumah, Jum! Apa kata warga kampung jika melihat anak gadis kita menikah dengan wali hakim? Mereka akan tahu bahwa Ratna adalah anak dari hasil hubungan kita di luar nikah. Dan itu akan sangat memalukan kita dan keluarga.”
“Lantas bagaimana?” tanya balik Jumaiyah.
“Terpaksa kita menikahkan anak kita ke kantor KUA,” jawab Sukirno memberikan solusi.
“Pengiringnya bagaimana?”
“Jangan memikirkan pengiring! Yang ke KUA cukup saya, kedua pengantin dan dua orang saksi saja,” bentak Sukirno.
Jumaiyah diam. Ia terisak-isak dalam tangis penyesalan. Dia menyesali perbuatan yang mereka lakukan puluhan tahun silam hingga menghasilkan anak zina yang dampaknya ayahnya sendiri tidak bisa menjadi wali nikahnya.
“Sungguh, nista diri ini!” kata sesal Jumaiyah dalam tangis penyesalan.
Tanpa mereka sadari, Ratna menguping pembicaraan mereka dari ruang tamu. Mereka tidak tahu kalau Ratna sudah datang dari acara Muharraman dan mengetahui inti dari pembicaraan mereka.
Ratna berlari dengan melintasi kedua orang tuanya yang masih duduk di kursi ruang tengah menuju kamarnya. Sukirno dan Jumaiyah tergeragap kaget. Mereka lantas mengejar anak gadisnya yang sebulan lagi akan menjadi pengantin.
Kedua orang tua itu berusaha membuka pintu kamar anaknya. Rupanya Ratna lebih cepat mengunci pintu kamarnya dari belakang agar dia bisa meluapkan segala kekecewaannya dari apa yang didengarnya dalam pembicaraan kedua orang tuanya.
“Ratna, buka pintunya!” kata Sukirno.
“Ratna, ibu mau bicara, Nak!” sambung Jumaiyah.
Ratna bergeming. Ia tetap membekap batinnya yang sedang bergejolak dengan sebuah bantal. Jiwanya hancur setelah dia tahu bahwa dirinya adalah anak hasil hubungan di luar nikah meskipun pada akhirnya ayah dan ibunya menjadi suami istri.  
Usai menumpahkan air matanya hingga bantalnya basah kuyup, Ratna perlahan bangkit dari keterpurukan jiwanya. Dia mencoba melupakan apa yang telah didengar dari orang tuanya dan akan memasrahkan nasib pernikahannya kepada mereka meskipun dengan wali hakim.
Suara kunci pintu kamar Ratna menggugah kedua orang tuanya yang sedang larut dalam kepanikan. Mereka lantas mendekati pintu itu kemudian masuk ke kamar Ratna. Ratna berusaha tegar menghadapi kedua orang tuanya. Dia akan memasrahkan pernikahan dirinya dengan wali seorang hakim.
“Maafkan, kami anakku!” kata kedua orang tua Ratna yang bersamaan sambil memeluk anaknya yang berusaha tegar menghadapi masalah ini.
Sebulan kemudian hari pernikahan Ratna telah tiba. Sukirno, Ratna, dan dua orang saksi berangkat ke kantor KUA kecamatan setempat. Di sana telah menunggu Jali, pengantin laki-laki dengan didampingi kedua orang tuanya. Petugas dari KUA dan wali hakim juga sudah siap melaksanakan upacara pernikahan. Akhirnya, akad nikah antara Ratna dan Jali dilaksanakan.  
Mata Sukirno berkaca-kaca. Ia hanya bisa duduk sambil termenung memandangi putri kesayangannya dinikahkan oleh seorang wali hakim. Ia tak menyangka kalau perbuatan yang ia lakukan beberapa puluh tahun silam berakibat seperti itu. (*)
Wanar, November 2013

*Cerpenis adalah mahasiswa program pascasarjana Unisda Lamongan
Tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan
















Selasa, 15 Oktober 2013

Persalinan

Persalinan

Senja menguning di ufuk barat. Sinar kekuning-kuningan terbelah kelebat burung pulang ke sangkar. Kelopak bunga mengatup, membungkus tubuhnya yang mulai terhembus sepoi angin senja. Dalam ruang penuh degub jantung, mengalir peluh keringat ketegangan. Sembilan bulan sukma yang bersarang di rahim sang bunda, meronta tak sabar ingin menikmati rona dunia yang renta ini. Tepat jarum waktu menghentakkan kaki pada angka lima, jerit sukma  menyeruak waktu.  “Selamat datang di dunia renta, wahai, sukma yang fitri!”


Wanar, 10 Oktober 2013 

Senin, 23 September 2013

Bunga Warung Kopi

Bunga Warung Kopi

Senin, 26 Agustus 2013 12:46 wib
-
(Ilustrasi: Feri Usmawan/Okezone) (Ilustrasi: Feri Usmawan/Okezone)
WARUNG kopi di pinggir jalan itu tampak lengang tak seperti hari biasanya. Senyap, tak ada canda tawa atau obrolan para lelaki tentang ini dan itu. Biasanya ketika warung dibuka pada pagi hari, setengah jam kemudian sudah didatangi orang-orang yang ingin menghabiskan waktu senggangnya sambil menyeruput sajian kopi atau pisang goreng.

Beberapa cangkir kopi masih dibiarkan tengkurap tak berisi. Piring-piring berjajar rapi masih penuh pisang goreng yang ditutupi kertas minyak agar tidak dihinggapi debu-debu yang luruh dari atap genting warung karena belum laku. Tangan Mbok Inah pun masih bersih belum menyeduh secangkir kopi pun untuk  pembeli. Sausana warung saat ini benar-benar berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

Angin siang menegur Mbok Inah. Ia tersadar dari kantuk yang sejak pagi mengganggunya. Maklumlah Mbok Inah diliputi kantuk yang luar biasa karena tak ada kesibukan yang berarti. Sapu lidi yang terbaring di meja warung diraih Mbok Inah. Penjaga warung yang sudah termakan usia itu kemudian sibuk mengusir lalat-lalat yang mengerubuti pisang goreng, dagangannya. Serentak lalat-lalat pun kabur meninggalkan piring berisi makanan dagangan Mbok Inah.

Rasa sedih menyelimuti Mbok Inah. Penghasilannya dari usaha warung semakin hari semakin menurun. Kondisi semacam ini baru terasa setelah pembantunya yang bernama Marliah tersandung masalah. Ia terpaksa harus berurusan dengan kepolisian karena diadukan oleh seorang wanita yang mengaku sebagai istri dari lelaki yang menjalin hubungan khusus dengan Marliah. Padahal Mbok Inah sudah sering mengingatkan Marliah agar tidak menjalin hubungan dengan lelaki itu. Namun, Marliah tak pernah menggubris nasihat Mbok Inah. Marliah tetap saja menjalin kasih dengan lelaki yang dimaksud.

Akhirnya, pada suatu hari ketika mereka pergi berduaan ke tempat wisata, mereka  terpergok tetangga si laki-laki. Kontan saja tetangga tadi melaporkan ke istrinya. Nah, dari situlah kemudian si istri melaporkan Marliah ke polisi dengan tuduhan telah merebut suami orang. Saat wanita itu datang dengan beberapa polisi yang akan menyeret Marliah ke kepolisian, sempat terjadi adu mulut antara Marliah dengan istri lelaki kekasihnya.

Kericuhan itu terjadi karena Marliah tidak mau diseret polisi ke kantor.  Marliah berdalih bahwa kejadian ini bukan kesalahan dia sendiri. Ia menganggap telah ditipu oleh lelaki itu yang selama ini  mengaku masih bujangan. Padahal dia sudah punya istri. Akan tetapi, alasan Marliah itu tidak diterima oleh polisi. Dia tetap diseret ke kantor polisi karena terjerat pasal perselingkuhan yang membuat wanita lain hidup merana. Sampai sekarang Marliah masih meringkuk di tahanan. Ia tidak berkutik dengan pasal yang telah menjerat dirinya.

Mbok Inah pada suatu sore datang ke tahanan. Ia membesuk mantan pembantunya di warung kopi. Mbok Inah berniat ingin membebaskan Marliah dari balik jeruji besi. Ia ingin Marliah menghirup udara bebas dan kembali membantunya bekerja di warung kopi. Tapi Mbok Inah tidak mempunyai senjata untuk membebaskan Marliah.

“Maaf, Marliah saya masih belum mempunyai cara untuk membebaskanmu! Sabar dulu ya?” “Tidak apa-apa, Mbok. Ini semua salah Marliah. Saya tidak mau mengindahkan nasihat Mbok Inah. Biarlah semua ini kutanggung sendiri,” kata Zati sambil meneteskan air mata.

“Terus terang Marliah, semenjak kamu barada di tahanan ini, warungku sepi tak ada pelanggan yang datang. Setiap hari Mbok selalu membuang sisa-sisa dagangan yang tidak laku.” Mendengar cerita Mbok Inah, Marliah terenyuh. Ia mempunyai semangat agar segera bebas dari tahanan karena iba kepada Mbok Inah. Selama ini Mbok Inah telah menganggap Marliah seperti anak sendiri. Demikian juga dengan Marliah yang telah menganggap Mbok Inah seperti ibunya sendiri. Maklumlah antara Mbok Inah dan Marliah mempunyai hubungan sedemikian itu karena mereka tinggal serumah sudah hampir lima tahun.

Sepulang dari membesuk Marliah, Mbok Inah termenung sendiri di warung kopi. Ia memikirkan bagaimana cara membebaskan anak buahnya. Mbok Inah segera beraksi. Ia mendatangi rumah wanita yang melaporkan Marliah. Akan tetapi, siang itu si wanita tadi tidak ada di rumah sehingga Mbok Inah pulang dengan tangan hampa.

Mbok Inah tidak patah semangat. Ia akan tetap berusaha membebaskan Marliah yang masih menjalani masa tahanan. Dia kembali lagi ke rumah wanita tersebut. Baru sampai Mbok Inah menginjakkan kakinya di halaman rumah, sekelebat dia melihat bayangan wanita masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

Mbok Inah berdiri di depan pintu. Ia mengetuk-ngetuk pintu bermotif relief bunga mawar. Hening senyap merangkai suasana di rumah wanita itu. Mbok Inah timbul tanda tanya perihal wanita yang baru saja masuk ke rumah tadi. Ia terus mengetuk daun pintu itu. Sesaat kemudian terdengar seseorang membuka kunci dari balik pintu rumah. Mbok Inah terkejut karena yang membuka pintu ternyata anak kecil yang masih berusia sekitar lima tahun.

“Ibu ada?”
“Ibu tidak di lumah. Tadi pagi ibu pelgi dengan ayah ke pasal,” jawab anak dengan lafal yang tidak fasih.
“Ibu naik apa ke pasar?”
“Ibu dibonceng ayah naik sepeda motol.”

Mendengar jawaban anak yang masih lugu, Mbok Inah tersenyum geli. Ia kasihan kepada anak kecil yang sudah diajari berbohong.
“Kalau kecil sudah diajari berbohong seperti ini, bagaimana kalau dia sudah dewasa nanti?” kata Mbok Inah dalam hati.
“Makanya jangan heran kalau banyak pejabat yang sering membohongi publik!” gerutunya.
“Adik manis, panggilkan ibu, ya! Sampaikan kepada ibu kalau ada tamu,” bujuk Mbok Inah.

Anak tersebut segera masuk ke rumah. Wajah lucunya lenyap dari balik pintu. Mbok Inah tersenyum dalam hati melihat sikap anak yang lugu itu.
“Maaf, Nek! Ibu gak mau kelual. Saya disuluh bilang bahwa ibu sedang pelgi,” katanya jujur.
“Berarti ibu ada di rumah?”

“Ada. Ibu di dalam kamal.”
Dugaan Mbok Inah benar ternyata wanita yang terlihat sekelebat masuk ke rumah tadi adalah wanita yang ia cari.
“Permisi, Bu! Saya kemari ada keperluan yang sangat penting,” kata Mbok Inah setengah teriak.

Lama tak ada reaksi wanita itu dari dalam rumah. Mbok Inah tetap sabar. Ia tetap bediri di depan pintu sampai wanita yang dicari itu keluar dari kamar menemuinya. “Sekali lagi, Bu. Saya mohon ibu bersedia menemuiku. Ini penting sekali,” kata Mbok Inah sekali lagi.

Wanita itu pun keluar dengan muka yang tak bersimpati. Ia tak menghormati Mbok Inah yang datang sebagai tamu. Mungkin saja dalam hati wanita itu masih mendongkol karena ulah anak buah Mbok Inah yang ingin merebut suaminya dari tangannya.
“Boleh saya masuk, Bu?”
“Masuk saja!” jawabnya ketus. Mbok Inah pun masuk kemudian duduk di kursi tamu tanpa menunggu dipersilakan oleh sang penghuni rumah.

Mbok Inah memulai perbincangannya dengan mengutarakan maksud kedatangannya ke rumah wanita tersebut. Ia mengiba kepada wanita itu agar mencabut tuntutannya kepada Marliah. Mbok Inah bercerita panjang tentang peran Marliah di warungnya. “Saya mohon Ibu bersedia membebaskan Marliah agar dia bisa membantu saya lagi bekerja di warung kopiku!”

Wanita itu bergeming. Ia tak menggubris dengan semua yang dikatakan oleh Mbok Inah. Ia masih dendam kepada Marliah yang mencoba merebut suaminya. “Tidak, Mbok. Saya tidak akan membebaskannya. Biarlah dia merasakan bagaimana rasanya hidup dalam bui. Enak saja mau merebut suami orang!” ucap kecut wanita itu.

“Tapi, Bu selama dia berada dalam penjara, warungku sepi sekali. Kalau warungku gulung tikar saya makan apa, Bu?”
“Apa tak ada wanita lain selain Marliah? Mencari pembantu itu jangan asal cantik saja! Carilah pembantu yang berakhlak mulia. Jangan seperti dia yang menjual kecantikannya demi meraih keuntungan sendiri!”

“Ibu menuduhku kalau saya menjual kecantikan Marliah agar warungku laku?”
“Kalau Mbok merasa, ya, sudah! Tak usah tanya-tanya lagi. Buktinya Mbok menarik pelanggan warung kopi yang kebanyakan laki-laki dengan mangajak Marliah yang sok cantik sebagai pembantu. Kecantikan Marliah Mbok gunakan sebagai  umpan kan?”
“Maaf, Bu! Saya tidak sehina seperti yang ibu kira. Pembantuku juga tidak seperti yang Ibu bayangkan. Dia itu terpedaya oleh rayuan suami Ibu yang mengaku bujangan.”

“Dasar pembantu gatalan!” umpatnya.
“Kalau ibu tidak bersedia mencabut tuntutan Ibu juga tidak apa-apa. Tapi jangan menghina harga diri kami! Saya tahu kami ini orang yang tidak punya. Tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kekayaan Ibu. Namun, bukan berarti Ibu lantas seenaknya saja menghina kami. Saya permisi, Bu!” pamit Mbok Inah.

Tanpa kata-kata Mbok Inah langsung meninggalkan rumah wanita itu. Hatinya terluka karena harga dirinya telah diinjak-injak orang lain. Sesampai di rumah, Mbok Inah duduk di ruang tengah. Telinganya masih terngiang-ngiang dengan hinaan wanita tadi. Mbok Inah baru sadar kalau kedatangannya ke rumah wanita itu adalah untuk meminta agar dia membebaskan Marliah. Dia menyesal karena ia telah terpancing emosinya sehingga cek-cok dengan wanita setengah baya tersebut.

Ia sadar mestinya dia tidak bersikap emosi seperti itu. Jika dia sangat membutuhkan bantuan wanita itu maka Mbok Inah harus pandai mengambil hatinya. Mbok Inah harus rela diolok-olok sebagai penjual kecantikan Marliah demi warungnya agar tetap ramai.
Mbok Inah mencoba menenangkan pikirannya yang sedang kalut. Dia mencoba menenangkannya dengan menyeduh kopi hangat buatan sendiri.

Seekor serangga yang merayap di dindingnya seketika berhenti. Seakan-akan dia mengerti tentang apa yang dialami oleh Mbok Inah. Angin bertiup sedang-sedang saja. Namun, beberapa lembar daun Akasia yang mulai menguning luruh kemudian mengecup wajah bumi di pelataran rumah Mbok Inah. Segera saja ia mengambil sapu lidi kemudian mengusir daun-daun tersebut dari halaman rumahnya. Saat ia menoleh ke arah samping, tiba-tiba ia melihat wanita itu datang dengan sorot mata tajam. “Mbok, jangan harap aku akan membebaskan bunga warung kopimu.”

Ia hanya berkata satu kalimat itu kemudian pergi meninggalkan halaman rumah Mbok Inah. Mbok Inah hanya menggeleng-gelengkan kepala saja karena heran dengan apa yang baru saya ia lihat. Datang jauh-jauh dari rumah menemui Mbok Inah hanya menyampaikan satu kalimat saja.

“Bu, tunggu!” kata Mbok Inah tergeragap. Mbok Inah mengejar wanita tersebut yang sudah terlanjur jauh dari tempatnya mematung tadi. Baru tiga langkah Mbok Inah mengejar, dia memutuskan untuk berhenti. Percuma Mbok Inah mengejarnya karena sosok wanita itu telah lenyap ditelan rimbun ilalang di tepi jalan.

Mbok Inah kembali ke rumah. Ia membuka separo penutup warungnya. Dalam hati ia berharap mudah-mudahan masih ada  pelanggan yang sudi mampir ke warungnya untuk menikmati secangkir kopi. Segayung air ia rebus di atas kompor yang menyala biru sampai mendidih. Kemudian ia tuangkan ke dalam cangkir yang sudah terisi serbuk kopi dan gula pasir. Perlahan Mbok Inah menuangkan air tersebut kemudian mengaduk beberapa kali agar kopi, gula dan air panas bisa campur menjadi satu. Ia mengangkat cangkir itu lalu mencium uap yang menyembul dari dalam cangkir.

“Ah, sedap sekali!” katanya.
Aroma khas kopi Mbok Inah seperti tak berarti apa-apa tanpa adanya Marliah. Memang selama ini para pelanggannya datang ke warung kebanyakan karena unsur Marliah. Ya, si bunga warung kopi yang sekarang ini masih mendekam dalam penjara.

Bau menyengat muncul dari arah kompor. Mbok Inah terkejut saat dia melihat air yang berada dalam panci telah habis. Asap mengepul dari panci yang tebakar. Dengan cekatan Mbok Inah langsung beraksi menuangkan air ke dalam panci itu.

“Cesssssss!” desis suara panci yang menganga merah setelah tersiram air.
“Sibuk apa, Mbok!” suara seorang gadis dari pintu warung.
Mbok Inah terkejut. Ia sangat kenal dengan suara itu. Suara gadis yang selama ini ia rindukan kedatangannya. Ya, suara Marliah.

“Marliah?” ungkap Mbok Inah sambil membalikkan tubuhnya ke arah suara.
“Benarkah kau Marliah?” katanya penasaran.
Mbok Inah memegang-megang bahu Marliah untuk memastikan bahwa gadis yang berdiri di hadapannya adalah Marliah.

Gadis itu hanya tersenyum. Ia geli melihat sikap Mbok Inah yang tiba-tiba seperti orang yang baru sadar dari mimpi. “Benar, Mbok. Ini Marliah.” Ucap gadis tersebut.
Kedua wanita yang berbeda masa itu akhirnya berangkulan untuk mengungkapkan rasa rindunya selama ini. Mbok Inah terisak-isak dan berlinang air mata. Tangis harunya tak tertahan setelah sekian lama ia berusaha membebaskan Marliah dan selalu gagal. Di tengah-tengah usahanya yang  hampiar mencapai titik nadzir, tiba-tiba gadis tersebut muncul di warungnya.

“Syukurlah kau sudah bebas, Marliah! Tapi ngomong-ngomong siapa yang telah membebaskanmu?” Barus saja Mbok Inah menanyakan siapa yang telah membebaskan Marliah, muncullah wanita yang berdiri sambil bersandar di pintu warung.

“Dia, Mbok yang membebaskan Marliah,” jawab Marliah sembari menunjuk ke arah wanita yang tak lain adalah orang yang memasukkan Marliah ke dalam penjara.
“Terima kasih, Bu! Terima kasih!” kata Mbok Inah sambil menyahut kedua tangan wanita tersebut.

“Sama-sama, Mbok. Mudah-mudahan ini adalah peristiwa pertama dan terakhir yang dialami Marliah. Anggap saja ini adalah pengalaman pahit sebagai pijakan agar kelak di kemudian hari Marliah tidak mudah tergoda oleh rayuan lelaki. Dalam perkara ini, suami saya, Mbok, yang bersalah. Memang semua ini juga karena kesalahan saya yang kurang perhatian kepadanya sehingga dia berbuat sepert itu. Merayu Marliah dengan mengaku masih bujangan.”

“Silakan, Ibu duduk dulu. Ini  kubuatkan kopi.”
Mbok Inah ke belakang sebentar kemudian keluar lagi sambil  membawa secangkir kopi.
“Lho, kok hanya secangkir? Untuk suamiku mana?”
Mbok Inah bingung karena yang ia lihat hanya wanita itu sendirian. Setelah wanita itu berkata demikian, muncullah lelaki yang berbadan tegap dengan wajah yang sangat tampan. Ia masuk ke warung dengan muka tertunduk malu.

“Eh, kamu. Silakan duduk, Pak!”
“Maafkan saya, Mbok! Saya khilaf. Saya telah membuat Mbok kerepotan mengurus warung ini sendirian. Sebagai penebus kesalahanku, saya bersama istri telah membebaskan Marliah agar dia bekerja lagi di sini membantu ibu,” ujar lelaki itu.

“Tak apa-apa, Pak! Manusia tidak luput dari perbuatan salah dan dosa. Saya mengucapkan terima kasih kepada semuanya yang telah membebaskan Marliah,” sambung Mbok Inah.

Seminggu setelah Marliah dibebaskan dari tahanan dan bekerja lagi di warung kopi Mbok Inah, para pelanggan kopi yang sempat pindah ke warung lain kini telah kembali lagi. Mereka setiap hari memenuhi tempat duduk warung Mbok Inah untuk menikmati warung kopi dan pisang goreng serta mendapat bonus bisa melirik wajah manis Marliah secara gratis.

Oleh Ahmad Zaini

Penulis dilahirkan di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di Tabloid Telunjuk, majalah sastra Indupati (Kostela), majalah MPA (Depag Jatim) dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya  terkumpul dalam Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (DKL, 2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006). Sekarang Bergiat di Sanggar Sastra Telaga Biru Lamongan. Email: ilazen@yahoo.co.id.

Rabu, 21 Agustus 2013

Perempuan Berkaca Mata Minus

Perempuan Berkaca Mata Minus
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Genangan air hujan masih membekas di kubangan tanah berpasir. Setiap sisi jalan menuju tempat pusat penanam mangrove masih terlihat becek. Butiran-butiran air masih ada yang tersisa menempel di daun-daun mangrove dan cemara udang.
Aku berhenti sejenak membersihkan butir-butir pasir yang menempel pada bagian bawah celana yang lupa tidak kulipat. Aku membungkukkan badan agar tanganku mampu mencapai pasir pantai yang melekat. Aku terkejut ketika di belakangku terdengar klakson truk pengangkut anak sekolah yang akan berkemah. Seketika itu aku berdiri tegak lalu menepi menghindari truk yang akan lewat.
Dari balik kaca pintu truk sebelah kiri aku melihat sesosok wajah wanita yang sepertinya tidak asing lagi bagiku. Kedua bola matanya yang berkaca mata minus tampak berbinar saat menatapku. Kemudian sesimpul senyum mengembang dari bibir yang berlipstick tipis. Ingatanku mengembara ke masa silam. Memori otakku berputar untuk menjelajahi file wajah wanita yang mungkin masih tersimpan.
Lama aku berdiri di pinggir jalan. Anganku melayang ke sana kemari. Aku sangat penasaran karena file wajah wanita itu belum juga kutemukan. Aku baru mengcancel lamunanku saat sepeda motor penjual bakso menyiramkan air keruh dari kubangan bekas roda truk ke arah badanku.
Woi!” teriakku pada pedagang bakso keliling yang tak peduli dengan tubuhku yang berlepotan air keruh.
Langkahku melompat-lompat. Aku berusaha menghindari lubang jalan yang menganga dan siap menjerumuskan kaki setiap pejalan yang lewat. Saat sampai di lokasi perkemahan, aku melihat lagi wanita berkacamata turun dari truk. Sebentar dia melihatku kemudian dia berjalan ke arah kaplingan lokasi tempat siswanya akan mendirikan tenda. Tubuh langsing yang berbalut seragam pramuka berlenggak-lenggok menyusuri jalan yang di kanan kirinya dipenuhi tanaman mangrove. Tas rangsel yang menggantung di pundaknya sedikit menghalangi gerakan lambaian lengan tangannya. Dia berhenti di sebuah tempat duduk yang terbuat dari beton. Lalu dia duduk sambil meletakkan tas rangsel yang mungkin berisi pakaian ganti atau bekal perkemahan yang lain di samping kanannya.
Saat aku hampir sampai di depan wanita yang duduk di bangku beton itu, tiba-tiba aku teringat bahwa tubuhku berlepotan noda lumpur. Dengan serta merta aku berhenti. Aku berbalik arah memilih jalan yang lain. Aku bergerak menuju bangunan MCK yang berderet di sebelah kanan jalan guna membersihkan noda air keruh yang masih menempel di baju dan celanaku. Satu gayung dua gayung air kuusapkan pada noda yang melakat di pakaianku. Noda-noda itu akhirnya lenyap dan hanya menyisakan bercak-bercak basah pada seragam pramukaku.
Aku berdiri di tengah hembusan angin kencang yang melesat dari pantai yang berjarak sepuluh meter dari tempatku. Aku sengaja berhenti di situ agar hembusan angin pantai di lokasi Pusat Pembibitan Tanaman Mangrove Jenu Tuban ini sedikit membantu mengeringkan bercak basah di seragam yang kukenakan. Sekitar dua menit aku terdiam seperti arca. Lalu kuraba bagian seragamku yang basah tadi sedikit sudah mengering. Aku melanjutkan perjalanan ke tenda utama tempat panitia menunggu daftar ulang peserta perkemahan.
Pendopo panitia berdiri anggun di tengah area pembibitan mangrove. Panitia berjajar melayani peserta perkemahan yang sedang melakukan daftar ulang. Baru saja aku menginjakkan kaki di pintu utama, tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan perubahan detak jantungku seperti ini. Semakin dekat aku melangkah ke arah panitia, semakin kencang detak jantungku terasa.
“Silakan duduk, Bapak!” suara wanita yang duduk di sebelah kananku.
Saat aku melihat ke arah suara wanita tersebut, ternyata suara itu datang dari wanita berkacamata yang sejak tadi aku perhatikan. Dia dengan ramah mempersilakan diriku duduk di kursi plastik. Aku segera duduk walaupun dengan perasaan agak grogi.
Lagi-lagi pikirku melayang. Pikiranku berusaha mengingat siapa wanita berkaca mata minus yang sejatinya sudah tidak asing lagi bagiku. Peristiwa demi  peristiwa masa lalu coba kueja satu persatu. Mulai dari peristiwa yang kualami pada masa kanak-kanak, masa SD, SMP, SMA sampai pada masa ketika aku belajar di Perguruan Tinggi. Namun, wajah wanita berkaca mata minus itu sama sekali tidak tergores dalam ingatanku. Padahal menurut kata hatiku dia itu tidak begitu asing bagi saya.
“Maaf, Bapak dari sekolah mana?” tanya panitia kepadaku.
Aku tergeragap mendengar pertanyaan itu. Lamunanku buyar. Bayangan masa silam yang kuputar lenyap seketika. Wajah wanita berkaca mata minus itu lambat laun terbang dari ingatanku.
“O, iya. Saya dari SMA Mambaul Ulum Pucuk Lamongan,” jawabku singkat. Lelaki yang menjadi panitia itu sibuk mencatat semua keterangan yang kuberikan.
“Ini kuitansinya,” kata panitia sambil menyodorkan selebar kertas kuitansi berisi biaya pendaftaran yang harus kubayar.
Tangan kananku meraih dompet yang kutaruh di saku celana. Aku mengambil uang untuk melunasi biaya pendaftaran. Saat dompet akan kumasukkan lagi ke dalam celana, KTP-ku jatuh tepat di bawah wanita berkaca mata minus yang duduk di kursi sampingku. Segera dia mengambilkan KTP-ku lalu memberikannya lagi kepadaku.
“Terima kasih, Bu!” kataku kemudian dibalas dengan senyum yang merekah dari bibirnya yang dipoles lipstick tipis.
Wanita berkaca mata minus itu berdiri. Rupanya dia sudah merampungkan daftar ulang peserta peserta perkemahan. Dia berpamitan kepada panitia dan mengangguk pelan ke arahku. Aku pun membalasnya dengan anggukan penasaran kepada wanita berkaca mata minus itu. Sorot mataku terseret oleh gerakan wanita berkaca mata minus yang bergeser menjauh ke belakang. Kepalaku berpaling dari panitia mengikuti ke mana arah wanita berkaca mata minus itu berjalan.
“Ini Bapak uang kembaliannya.” Secepat kilat aku menarik otot-otot kepalaku ke arah panitia yang meyodorkan uang sepuluh ribu rupiah kepadaku.
Proses pendaftaran ulang selesai. Aku menerima kartu tanda pengenal peserta perkemahan sejumlah siswa yang kudaftarkan. Aku lantas berjalan menuju tempat siswa-siswaku yang sedang bergotong royong mendirikan tenda. Kartu tanda pengenal itu kemudian kubagikan kepada para siswaku satu persatu.
“Kak Ni dapat salam dari Kakak Saadah,” kata Mala, siswa putriku.
“Kakak Saadah siapa?” tanyaku penasaran.
“Orangnya manis, badannya tinggi semampai dan berkaca mata minus. Dia baru saja pergi ke sana,” kata Mala sambil menunjuk ke arah remaja-remaja putri yang juga sibuk mendirikan tenda.
Rasa penasaranku kepada wanita berkaca mata minus sedikit terkurangi. Paling tidak saya sudah bisa menyimpulkan bahwa dia benar-benar telah mengenalku. Tetapi, kenapa dia tidak langsung menyapaku? Atau dia sengaja bersikap seperti itu agar aku penasaran kepadanya?
Sehelai daun cemara udang luruh di kepalaku. Aku meraih daun itu lantas aku  mematahkan daun tersebut seukuran ruas-ruasnya. Potongan-potongan kecil daun cemara udang itu kugenggam erat lalu kehempaskan pada kolam kecil yang airnya sudah keruh dan berbau agak busuk.
“Bagaimana adik-adik tendanya?” tanyaku kepada siswaku.
“Siap, Kak!” jawab mereka dengan serentak.
“Sekarang kalian harus bersiap-siap mengikuti acara upacara pembukaan perkemahan dengan berpakaian pramuka lengkap!”
“Siap melaksanakan!” Mereka dengan cekatan melengkapi pakaiannya dengan atribut pramuka kemudian berjalan menuju ke lapangan upacara pembukaan perkemahan sesuai dengan isntruksi panitia yang disampaikan lewat pengeras suara.
***
Pada sebuah batu karang, aku melihat wanita berkaca mata minus duduk sendiri menikmati pemandangan  laut. Pandangannya menjelajah pada gulungan ombak yang berjalan ke arahnya lalu pecah berkeping-keping karena membentur batu karang yang didudukinya. Semilir angin sore menambah keanggunan wajah wanita berkaca mata minus yang dipadu dengan jilbab berwarna coklat tua.
Aku memberanikan diri mendakat ke arah wanita berkaca mata minus itu. Pada sebongkah batu karang yang kokoh di sampingnya aku berhenti lantas duduk. Aku mencoba mengawali pembicaraan dengan menyapanya lalu memancingnya dengan lukisan objek laut yang membahana.
Dia membalasnya dengan kata-kata indah tentang suasana laut biru di pantai Panyuran sepuluh tahun silam. Dengan lancar dan jelas bibir indahnya bercerita tentang gadis remaja yang hampir tertimpa dahan kelapa. Untung ada lelaki yang datang menyelamatkannya sampai kepalanya berdarah dan hampir pingsan.
Mendengar tuturannya yang runtut, perlahan-lahan ingatanku hampir saja pada titik temu.
“Kaukah gadis yang waktu itu aku tolong?” tanyaku untuk menegaskan agar tebakanku tidak keliru.
“Benar, Kak Ni. Akulah gadis pendamping peserta kemah siswa SD di Panyuran yang kau tolong waktu itu,” jawabnya dengan tenang.
“Masya Allah, kau sudah sedewasa ini dan sudah menjadi pembina pramuka pada tingkat SLTA! Aku bangga padamu,” kataku kagum kepadanya.
Wanita berkaca mata minus yang ternyata adalah gadis yang kutolong waktu itu kemudian turun dari batu karang tempat duduknya. Dia menjabat tanganku sebagai tanda perjumpaan setelah sekian tahun berpisah. Dia sudah dewasa dan anggun sekali. Dia kemudian mengajakku ke sebuah warung dadakan yang berdiri di bibir pantai. Dia memesankan diriku nasi jagung plus ikan laut serta teh hangat kesukaanku untuk merayakan pertemuanku dengannya dalam sebuah perkemahan di Mangrove Centre Jenu Tuban. (*)
Jenu, 25 Desember 2012

*adalah penulis buku kumpulan cerpen Telaga Lanang.
Beberapa karyanya dimuat di berbagai media massa



















Kamis, 01 Agustus 2013

Dominggus, Si Anak Perbatasan

Dominggus, Si Anak Perbatasan
Oleh Ahmad Zaini*

Senja telah menunggu perjalanan waktu. Sebentar lagi bedug maghrib akan bertalu. Matahari merah telah benar-benar dihinggapi rasa kantuk. Ia sebentar lagi akan pergi ke peraduan untuk beristirahat. Raja siang itu telah kelelahan karena seharian penuh dia menyinari alam.
Angin terasa dingin. Perlahan-lahan cahaya hari mulai remang. Aku dan Dominggus duduk di beranda rumah sambil menanti saat berbuka puasa. Nah, ketika terdengar suara bedug maghrib bertalu-talu, kami lantas masuk ke dalam rumah melaksanakan berbuka puasa.
Sebutir kurma kumakan sebagai ta’jil. Kemudian segelas teh manis kuteguk agar rasa dahaga yang kurasa selama seharian sirna. Dominggus hanya terdiam. Ia menatapku dengan penuh tanda tanya. Mungkin saja apa yang kulakukan saat ini tidak pernah ia jumpai saat ia masih tinggal bersama keluarganya di Atambua. Seharian penuh mulai dari terbit fajar hingga matahari tenggelam, aku tidak memakan dan meminum apa-apa. Setelah ada bedug maghrib, aku baru melaksanakan makan dan minum. Dia belum mengerti kalau aku sedang melaksanakan puasa Ramadhan.
“Dominggus, silakan diminum susunya!” Aku mempersilakan Dominggus yang sejak tadi hanya duduk memperhatikanku.
“Terima kasih, Iwan!” sahutnya.
Dominggus berasal dari Atambua. Ia diajak oleh ayahku ke Lamongan. Menurut cerita ayah, Dominggus telah terpisah dengan ayahnya sejak Timor-Timur resmi lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil jajak pendapat itu telah memisahkan dirinya dan ayahnya.
Ayah Dominggus termasuk pejuang prokemerdekaan. Ayah Dominggus selalu berada di baris terdepan pada setiap aksi yang menuntut agar Timor Timur merdeka menjadi negara yang berdiri sendiri atau lepas dari NKRI. Nah, waktu itu pemerintah pusat memberikan opsi kepada warga Timor Timur dengan mengadakan jajak pendapat. Akhirnya, kelompok prokemerdekaanlah yang memenangkan jajak pendapat tersebut.
Timor Timur menjadi negara sendiri. Provinsi termuda Indonesia ini resmi menjadi sebuah negara. Namanya negara Timor Leste. Fransiscus, ayah Dominggus, menentukan sikap politiknya menjadi warga negara Timor Leste.  Oleh karena itu, ia harus pindah ke negara baru tersebut.
Dominggus dan dua adiknya bersikukuh tetap tinggal di Indonesia. Ia tidak ikut dengan jejak ayahnya yang lebih memimilih Timor Leste sebagai negaranya. Dominggus dan dua adiknya tinggal di pengungsian bersama warga Atambua yang lain.
Selama hampir lima tahun Dominggus bertahan di pengungsian. Kebutuhan hidupnya bergantung dari kiriman petugas dari Dinas Sosial. Awal-awal di pengungsian, para pengungsi mendapat pelayanan yang bagus. Akan tetapi, lama-kelamaan fasilitas dan kiriman bahan makanan dari petugas mulai menyendat. Kadang satu atau dua hari baru mendapat kiriman. Akhirnya, Dominggus memilih keluar dari pengungsian untuk mencari kebutuhan hidup bersama kedua adiknya. Setiap hari mereka mencari sisa-sisa makanan para tentara asing yang berjaga di perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste. Setiap hari mereka mengais-ngais tumpukan sampah di dekat markas pasukan penjaga perbatasan untuk mencari bahan pengganjal perut.
Suatu hari, dua adik Dominggus terserang sakit perut. Daniel dan Franklin terguling-guling di emperan bekas toko sambil memegang-megang perutnya. Dominggus berteriak-teriak minta tolong kepada warga yang melintas. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak membawa obat yang bisa mengurangi rasa sakit yang dialami kedua adiknya. Karena hampir dua jam tidak mendapatkan pertolongan, kedua adik Dominggus akhirnya meninggal dunia.
Dominggus terbebani rasa bersalah. Setiap hari ia menangis di depan kuburan adik-adiknya. Dia menyesal karena sewaktu adiknya sakit, dia tidak segera lapor ke petugas kesehatan di markas penjaga perbatasan. Andaikan dia melapor ke petugas, mungkin kedua adiknya bisa diselamatkan.
Kini kedua adiknya telah menyatu dengan tanah.  Tak ada guna ia menyesali apa yang telah terjadi. Dominggus ingin membuka lembaran baru dengan bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah warung. Setiap hari dia mendapat makan dan minum secara gratis dari pemilik warung.
Beberapa tahun dia bekerja di warung. Setiap ia diberi uang oleh pemilik warung, uang tersebut selalu disimpan. Setelah terkumpul banyak, dia ingin membuka usaha kecil-kecilan sepeti membuat makanan ringan lalu dijajakan di markas para penjaga perbatasan.
Dengan bantuan pemilik warung, Dominggus membuat makanan ringan. Satu dua hari Dominggus berjualan dengan lancar. Namun hari-hari berikutnya, usahanya mendapatkan halangan. Anak-anak yang sebaya dengannya sering mengambil jajanannya secara paksa. Akhirnya dia tidak bisa berjualan lagi.
Setiap hari Dominggus menangis. Ia merindukan sosok ayahnya yang tinggal di Timor Leste. Suatu saat ia berharap bisa bertemu dengan ayahnya dan bisa mengajaknya kembali ke Atambua.
Pagi dan sore para warga Timor Leste pergi dan pulang kerja. Mereka selalu berjalan beriringan melintas di jalan dekat dengan perbatasan. Sambil duduk di sebuah batu, Dominggus mengamati wajah para warga. Satu persatu wajah yang melintas ditatapnya. Akan tetapi selama berbulan-bulan dia belum juga menemukan ayahnya.
Ayahku, sang pemilik warung, merasa iba. Ia kemudian menawarkan kepada Dominggus ikut bersama ayah tinggal di Lamongan. Tawaran itu diterima oleh Dominggus. Nah, setelah itu ayahku mengajaknya pulang ke rumahku. (*)

Rabu, 03 Juli 2013

Tangis Tanah Rencong

Tangis Tanah Rencong

Lengking tangis pecah
berderap degup kepanikan
memecah tanah lepas nyawa
tinggalkan raga membujur kaku di atas derai air mata

apakah ini ujian Ramadhan sejengkal di depan menanti
atau ujian kesabaran dari rentetan musibah yang enggan berhenti

tanah rencong menangis
merah putih menangis
ibu pertiwi menangis
bak gerimis yang tak kunjung berhenti


Wanar, 4 Juli 2013 

Minggu, 23 Juni 2013

Makelar Proposal

Makelar Proposal
Cerpen Ahmad Zaini*

Nama Haji Suro terkenal di seantero daerah ini. Semua orang mulai dari kalangan supir hingga tukang semir, tukang patri hingga tukang jual roti dan juga para petani mengetahui atau paling tidak pernah mendengar nama tersebut. Ia terkenal sebagai sosok yang kaya raya, sosialnya tinggi karena peduli kepada orang yang tidak mampu, serta ia mempunyai sebuah rumah mewah dan megah di kampung halamannya.
Lelaki bertinggi badan 165 cm dengan berat badan 100 kg  atau biasa disebut dengan pendekar (pendek dan mekar) ini tergolong orang yang sangat sukses. Setiap hari Haji Suro terlihat sibuk dengan urusan di luar kampung. Pagi-pagi ia pergi dengan membawa setumpuk proposal, sore-sore ia pulang dengan lenggang kangkung. Para warga tidak tahu proposal siapa dan apa isinya serta kepada siapa proposal itu akan ditujukan. Warga kampung tidak ambil pusing dengan memikirkan pekerjaan Haji Suro. Mereka lebih senang memikirkan nasibnya yang sedang mengalami guncangan ekonomi yang dasyat ini.
Dalam kurun waktu satu hingga dua tahun ini warga yang tinggal satu kampung dengan Haji Suro sedang dalam kesulitan. Berbagai macam usaha yang mereka lakukan selalu gagal. Mulai dari bertani, berdagang, berkebun bahkan mereka yang suka merantau gagal semua.
Warga kampung yang menggarap sawah selalu gagal panen. Tanaman padi atau sejenisnya jika musim panen tiba selalu mengeluh karena penghasilannya jauh dari harapan. Sebidang sawah yang biasanya mendapatkan satu ton gabah, kini hanya mendapatkan dua atau tiga kwintal gabah. Itu pun kualitas gabahnya sangat buruk. Hal itu terjadi lantaran para petani tak mampu merawat dan memelihara tanaman mereka dengan baik karena tak mampu membeli obat-obatan pertanian yang harganya tinggi. Mereka tidak bisa mengusir berbagai hama penyakit padi. Karena itulah, mereka membiarkan penyakit-penyakit itu mengurangi dan menggerogoti kualitas padinya.
Demikian halnya dengan warga kampung yang berdagang di kampung halaman atau yang sedang merantau juga mengalami gulung tikar. Mereka tak mampu mengembangkan usahanya karena kekurangan modal. Usaha mereka antara hidup dan mati. Modal yang mereka miliki tak dapat digunakan untuk mengembangkan usahanya karena barang dagangan yang selama ini menjadi andalan mereka harganya melambung tinggi akibat kenaikan harga BBM.
Warga mengeluh dan hampir putus asa. Mereka tidak mempunyai jalan keluar dari kesulitan yang mereka hadapi. Mereka ibarat anak ayam yang kehilangan induknya. Mereka tidak mempunyai tempat mengadu dan menggantungkan nasibnya yang semakin terpuruk.  Kondisi semacam ini terbaca oleh Haji Suro. Dia mempunyai rencana jitu dengan memanfaatkan keterpurukaan warga demi mendongkrak popularitasnya agar mendapatkan simpati dari masyarakat atau pencitraan. Haji Suro lantas menyusun proposal permohonan modal usaha untuk warga miskin.
***
Haji Suro mengumpulkan warga kampung. Ia mengundang seluruh warga berkumpul di halaman rumahnya. Para warga yang sebagian besar adalah kaum Adam ini datang dengan semangat tinggi.
Dengan mengenakan gamis putih berpadu dengan surban bermotif kotak-kotak yang melingkar di lehernya, Haji Suro menyambut para warga dengan senyum khasnya. Ia mempersilakan warga duduk di gelaran yang telah disiapkan oleh anak buah Haji Suro.
“Pak Haji, warga sudah kumpul semua, acara siap dimulai,” anak buah Haji Suro melapor kepada majikannya.
“Syafii datang?” tanya Haji Suro.
Lelaki kepercayaan Haji Suro itu menengok ke sana kemari mencari Syafii. Ia tidak melihat Syafii di tempat itu.
“Tidak ada Pak Haji. Syafii tidak datang,” jawabnya dengan menunduk-nundukkan kepalanya di hadapan Haji Suro.
Sosok Syafii sangat ditakuti oleh Haji Suro. Dia pemuda yang sangat kritis dan mempunyai wawasan yang sangat luas. Ia akan selalu mengkritisi perilaku yang dinilai tidak wajar dan akan mengusut hingga tuntas. Jika ada penyelewengan yang dilakukan seseorang maka dia tidak segan-segan mengangkat masalah tersebut ke ranah hukum. Apalagi penyimpangan itu sangat merugikan warga kecil.
“Syukurlah kalau dia tidak datang!” ungkapnya dalam hati.
Haji Suro beranjak dari tempat berdirinya semula. Didampingi orang kepercayaannya, Haji Suro menuju podium yang dibuat dari meja yang hanya dibungkus taplak meja saja. Suara lantang Haji Suro menembus gendang telinga para warga. Haji Suro berpidato dengan berapi-api. Ia memberikan sejuta harapan kepada para warga yang sedang mengalami paceklik.
Dalam pidatonya, Haji Suro menyampaikan kepada warga tentang rencananya memberikan bantuan modal usaha kepada para warga. Rencana setiap warga akan mendapatkan bantuan sesuai dengan tingkat kesulitan yang mereka alami. Tingkat kesulitan yang paling tinggi akan mendapatkan bantuan tiga juta rupiah, kesulitan sedang mendapatkan bantuan dua juta rupiah, sedangkan untuk tingkat kesulitan paling ringan akan mendapatkan bantuan satu juta rupiah.
Para warga yang mendengar rencana program itu terngaga keheranan. Mereka tertegun dan menyambut dengan antusias tinggi setelah mendengar program yang akan dilaksanakan oleh Haji Suro tanpa menanyakan dari mana dana itu didapatkan Haji Suro. Para warga berandai-andai. Jika benar-benar terwujud program yang disampaikan oleh Haji Suro, maka kepailitan yang mereka alami saat ini akan segera sirna. Mereka akan hidup lebih sejahtera daripada yang mereka alami dalam waktu dua tahun ini. Wajah para warga yang datang memenuhi halaman rumah Haji Suro berbinar-binar. Harapan masa depan lebih cerah terbentang dalam janji-janji program Haji Suro.
“Kapan kita bisa menerima bantuan itu Pak Haji?” tanya warga yang mengenakan caping kusam.
“Sabar dulu. Kami akan melakukan pendataan. Kami belum tahu jumlah warga yang memerlukan bantuan dan tingkat kesulitan yang warga hadapi. Jadi, dalam minggu-minggu ini, anak buah kami akan datang ke rumah warga untuk melakukan pendataan,” kata Haji Suro.
Lima anak buah Haji Suro berunding di beranda rumah Haji Suro. Mereka membagi tugas untuk mendata para warga. Para lelaki kepercayaan Haji Suro segera beraksi. Mereka datang ke rumah warga dengan mengapit stop map. Bak gayung bersambut, para warga sudah bersiap-siap menunggu kedatangan anak buah Haji Suro. Mereka berdiri di depan pintu rumah masing-masing dengan menyiapkan fotokopi KTP, fotokopi kartu keluarga dan berkas-berkas yang lain.
Ketika warga sedang antusias mendukung program Haji Suro, tiba-tiba ada sekelompok pemuda yang sangat menentang program tersebut. Kelompok pemuda yang dipimpin oleh Syafii ini menyerukan kepada warga agar tidak tergiur oleh program-program yang telah dijanjikan oleh Hajo Suro. Mereka melarang warga menyerahkan fotokopi KTP, kartu keluarga dan tanda tangan kepada Haji Suro karena dia mempunyai rencana yang sangat licik. Haji Suro akan memanfaatkan penderitaan yang dialami para warga untuk kepentingan peribadinya. Berkas serta tanda tangan warga akan digunakan oleh Haji Suro untuk mengajukan proposal bantuan yang bernilai milyaran rupiah kepada pemerintah. Dana sebesar itu 90 persen akan dimanfaatkan untuk kepentingan prbadinya sedangkan yang disalurkan kepada warga hanya 10 persen saja.
Mendengar propaganda yang disampaikan oleh Syafii dan kawan-kawan, warga sempat berang dan marah kepada mereka. Akan tetapi, setelah warga diberi pengertian serta akibat yang bakal dihadapi jika mereka menerima sumbangan itu, para warga memahami dan menerima seruan dari kelompok Syafii ini. Para warga akhirnya berbalik menentang program Haji Suro dan mendukung kelompok Syafii.
Anak buah Haji Suro segera melaporkan ulah kelompok Syafii kepada sang juragan. Haji Suro terkejut dengan aksi yang dilakukan oleh orang-orang yang dianggapnya bisa membahayakan kredibilitas serta kariernya.
Apa yang telah ditakutkan Haji Suro selama ini terbukti. Kelompok pemuda yang telah memiliki catatan serta data lengkap perihal kelicikan yang dilakukannya sedang beraksi. Mereka bakal membongkar boroknya sebagai makelar proposal atau marsal. Menurut data mereka, Haji Suro sering mengajukan proposal fiktif kepada pemerintah dengan memanfaatkan penderitaan orang  warga untuk kepentingan pribadinya. Korbannya sudah sangat banyak termasuk keluarga Syafii.
Para warga yang dikomandani oleh kelompok Syafii berduyun-duyun datang ke rumah Haji Suro. Mereka menuntut Haji Suro yang sering memanfaatkan penderitaan yang mereka alami untuk kepentingan pribadinya selama ini. Para warga mencaci maki Haji Suro dengan tulisan serta ucapan yang sangat menyudutkan orang yang sebelumnya dielu-elukan ini.
“Kurang ajar!” umpat Haji Suro dengan memegang dada sebelah kirinya.
Perlahan-lahan tokoh berbadan pendekar ini roboh. Dia terkapar di hadapan para anak buahnya karena serangan jantung. Para warga serta anak buah Haji Suro yang akan menolong serentak menghentikan niatnya. Mereka semburat berlarian menjauh dari rumah Haji Suro. Rumah megah dan mewah Haji Suro tiba-tiba bergerak kemudian perlahan-lahan roboh hingga mengubur pemiliknya. Para warga tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa mengucap subhanallah atas peristiwa di luar nalar ini.
Kini para warga tenang dan lega serta berterima kasih kepada kelompok Syafii yang menyadarkan mereka dari kelicikan Haji Suro yang telah menghisap keringat dan darah mereka. Kini lembaran dengan sejuta kisah Haji Suro serta kelicikannya telah terkubur dalam-dalam oleh reruntuhan rumah hasil hobinya sebagai makelar proposal. Kebesaran nama dan ketenarannya lenyap oleh ulah dan perilaku jeleknya sendiri. Nama Haji Suro terkenang di hati warga sebagai makelar proposal yang menghisap darah warga.  (*)
Wanar, Juni 2013