Kesaksian
Selepas Isyak
Cerpen
karya Ahmad Zaini
Dari kejauhan aku sudah merasakan keramaian destinasi
wisata ini. Lewat jendela kaca mobil yang kutumpangi, aku melihat ratusan orang
berlalu lalang datang dan pergi dari lokasi ini. Lokasi yang sangat indah
karena hamparan pasir putih dan lembut memanjakan mata serta gulungan ombak
dengan suara debur menggelorakan jiwa.
Seratus meter lagi aku dan teman-teman serombongan segera
sampai lokasi itu. Jarak yang sebenarnya sangat dekat apabila ditempuh dengan
berjalan kaki. Karena ditempuh dengan mobil, waktu tempuh menjadi agak molor.
Antrean kendaraan yang keluar masuk lokasi menahan laju mobil kami.
Pemandu wisata yang kami sewa heran. Lelaki setengah baya
ini menggelang-gelengkan kepala. Dia seakan tidak percaya situasi di pantai ini
begitu ramai. Padahal, di hari-hari sebelumnya tidak seramai hari ini. Meski
harus berjalan merayap dan tersendat-sendat, akhirnya kami serombongan sampai
di area parkir wisata.
”Kita turun di sini. Barang-barang yang tidak berharga
ditinggal saja di mobil,” kata Mahdi, pemandu wisata yang terpaksa kami
butuhkan jasanya karena kami masih asing dengan daerah ini.
Subhanallah, ucapku dalam hati. Baru sekali ini aku melihat
pemandangan yang begitu indah. Laut biru membahana dan berair jernih. Sampai-sampai
mata telanjangku bisa menembus dasarnya. Aku bisa melihat dengan jelas karang
dan biota laut yang berenang-renang. Aku bisa mengamati perilaku para wisatawan
asing yang bergurau di kedalaman air.
”Salman, kemari!” Sutris memanggilku.
”Ada apa?” tanyaku penasaran.
”Lihatlah mereka! Apakah kau tetap akan berlama-lama
membujang?” tanya Sutris menggodaku sambil menunjuk dua turis wanita
mancanegara yang mengenakan bikini sedang berjalan lenggak-lenggok di pantai.
”Ah, bisa saja kamu ini,” kataku malu-malu sambil mengintip
dua gadis itu dari celah jemari yang menutup wajahku.
Matahari hampir berdiri tegak di atas kepala. Sinarnya
sedikit terhalang daun-daun kelapa. Angin terasa agak hangat. Aku dan Sutris
mampir di kedai kopi tradisonal untuk beristirahat sambil melihat pengunjung
wisata dengan berbagai-bagai perilakunya.
Pemilik kedai ini ramah sekali. Ia bergerak mendekat ke
kami. Sambil tersenyum, ia bertanya kepada kami.
”Maaf, Bapak-Bapak, pesan apa?”
”Kopi dua, Pak,” jawabku singkat.
Tak berselang lama, lelaki itu menyuguhkan dua cangkir
kopi. Secangkir kubiarkan parkir di depanku, secangkir lagi kugeser ke depan
Sutris, temanku.
”Mohon, maaf! Kami tinggal dulu sebentar. Silakan
menikmati kopi khas daerah ini,” kata pemilik kedai berpamitan kepada kami.
Aku mengamati lelaki pemilik kedai ini. Dia keluar dari
pintu belakang kedai dengan berpakaian salat. Ia mengenakan kopiah, sarung,
serta berbaju koko. Aku menatap lelaki itu. Aku ingin tahu ke mana ia pergi. Subhanallah,
ternyata pemilik kedai tersebut menuju ke musala yang terletak di sudut
area wisata. Rupanya lelaki itu sosok yang taat beribadah. Ia tetap berangkat
menunaikan salat meski di kedainya sangat ramai pengunjung.
Di sudut lain, aku melihat para penduduk berlari-lari mendekat
ke pantai dengan tergesa-gesa. Mereka membawa timba. Mereka tampak memperebutkan
sesuatu. Aku sangat penasaran. Aku berdiri dari tempat duduk agar bisa melihat
dengan jelas apa yang terjadi di tempat tersebut.
”Ada apa, Pak?” tanya pemilik kedai yang tiba-tiba sudah
kembali ke kedainya ini.
Aku menunjukkan pemilik kedai dengan mengarahkan jari
telunjuk ke tempat para penduduk yang saling berebut itu.
”Sepertinya mereka berebut ikan,” sahut pemilik kedai.
”Ternyata benar. Mereka berebut ikan,” kataku setelah
melihat salah satu dari mereka yang melintas di depan kedai sambil membawa
timba yang penuh ikan laut.
Lelaki pemilik kedai tiba-tiba sudah berganti pakaian. Ia
berlari kencang sambil membawa timba ke bibir laut itu tanpa memedulikan kami
yang masih duduk di kedainya.
”Pak, kopinya,” teriakku.
”Taruh di situ saja uangnya. Sepuluh ribu,” sahutnya
sambil tetap berlari untuk bergabung dengan warga di sana.
***
Menjelang isyak,
kami berhenti di sebuah masjid. Aku melihat puluhan penduduk daerah ini duduk-duduk
di serambi masjid untuk menunggu waktu isyak tiba. Sebagian dari mereka ada
yang berktikaf. Sebagian lagi ada yang tidur-tiduran, dan yang lainnya ada
yang sedang bercengkerama tentang air laut yang sempat surut dan banyak ikan
yang terdampar di pantai.
”Permisi, Pak!” kataku sambil menanyakan tempat wudlu.
Mereka memersilakan kami masuk ke masjid dengan sangat
sopan. Mereka lantas menunjukkan kami tempat wudlu pria dan wanita. Kami pun
menuju ke tempat wudlu sesuai dengan petunjuk lelaki itu.
Azan isyak berkumandang. Para penduduk berdatangan.
Mereka yang sudah suci lantas duduk di masjid membentuk shof atau baris
dengan lurus. Mereka berdoa dan berzikir sambil menunggu imam masjid datang.
Iqomah dilantunkan seorang remaja dengan suara sangat merdu. Muncul
seorang lelaki yang menjadi imam masjid ini. Dia menuju imaman. Setelah
seluruh makmum sudah berdiri sempurna di belakangnya, lelaki itu lantas
melakukan takbiratul ihram yang diikuti oleh ratusan makmum.
Mereka melaksanakan salat berjamaah dengan khusuk.
Pada rakaat kedua, aku terkejut. Tanah seperti bergerak.
Orang-orang yang berada di kanan-kiriku seperti juga merasakannya. Mereka tampak
tertegun sejenak. Tanah bergerak lagi dengan kekuatan yang semakin tinggi.
Lampu yang tergantung di tengah masjid bergoyang-goyang. Almari tempat mukena
di tempat jamaah wanita pun berderit. Guncangan itu semakin lama semakin
dasyat. Tumpuan kakiku tidak seimbang. Aku terhuyung-huyung dan hampir
tersungkur. Demikian halnya dengan para jamaah lainnya. Aku terpaksa membatalkan
salatku lantas berlari keluar dari masjid.
Listrik seketika padam. Tak ada penerangan. Suasana gelap
gulita. Para jamaah semakin panik. Mereka terlempar ke sana kemari dan berusaha
keluar dari masjid untuk menyelematkan diri. Teriak histeris dengan gema takbir
tiada berhenti. Mereka menyebut kebesaran Allah dengan kepanikan serta
ketakutan. Sebagian kecil dari jamaah yang berhasil keluar lalu berlari ke halaman
masjid dan berkumpul dengan kami.
Kami merinding ketakutan dan saling berangkulan. Aku
melihat dengan samar kubah masjid yang megah dan indah itu tiba-tiba runtuh
diikuti suara gemuruh reruntuhan puing bangunan yang lain. Ratusan jamaah yang
panik dan belum berhasil keluar tertimbun reruntuhan itu. Teriak hsiteris
mereka dari dalam masjid seketika senyap. Tak terdengar lagi suara takbir mereka
di sela guncangan gempa yang melanda.
”Astaghfirullah, subhanallah, Allahu Akbar!”
ungkapku ketakutan sembari memuji kebesaran Allah di tengah kerumunan warga di
halaman masjid.
Isak tangis, rintih, dan ratap kesakitan terdengar pilu
di sekitarku. Mereka yang selamat dari reruntuhan puing bangunan saling
berangkulan haru. Masjid megah itu runtuh dan rata dengan tanah. Demikian juga
dengan rumah-rumah yang berada di sekitarnya. Semua ambruk tanpa sisa.
***
Pagi hari daerah ini tak berbentuk lagi. Daerah yang
indah kini luluh lantak dilanda gempa. Warga yang selamat tertunduk lemas
meratapi janazah-janazah keluarganya yang terbujur kaku di depannya. Air mata
kehilangan keluarga dan tempat tinggal terus mengalir. Tak ada yang bisa
membendung deras alirnya meski dengan bantuan material yang kini mulai
berdatangan.
Tim SAR dan relawan mulai bekerja. Mereka saling membahu
mengurus janazah serta menolong warga yang terluka dengan alat medis seadanya.
Di tempat terbuka seperti tanah lapang dan persawahan, mereka merawat para
korban gempa. Mereka tidak berani tinggal di bangunan sisa yang berdiri tidak
sempurna.
Aku dan teman-teman yang melancong di tempat ini duduk
berkerumuan dan bersebelahan dengan reruntuhan bangunan. Ratap dan tangis
kematian di sekeliling kami terdengar menyayat hati. Tak ada senyum. Tak ada
tawa kekeh yang terdengar seperti di pinggir pantai siang itu. Aku termenung
sambil menutup mata yang lembab dengan kedua tangan. Sesekali aku berangkulan
dengan teman-teman serombongan yang selamat.
Sinar matahari tak seterang ketika kami mendaratkan kaki
di daerah ini. Hembusan angin pagi tak sesegar saat kami kali pertama menghirup
udara di sini. Daun-daun mengatup. Bunga-bunga melayu. Semua tampak sendu dalam
tangisan pilu. Mobil yang kusewa juga ringsek karena tertimpa reruntuhan
gerbang masjid. Kami terpaksa dievakuasi tim SAR dengan mobil bak terbuka
menuju ke pelabuhan tempat menyeberang ke daerah kami. (*)
Lamongan, Agustus 2018