Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 18 November 2018

Kesaksian Selepas Isyak


Kesaksian Selepas Isyak
Cerpen karya Ahmad Zaini

Dari kejauhan aku sudah merasakan keramaian destinasi wisata ini. Lewat jendela kaca mobil yang kutumpangi, aku melihat ratusan orang berlalu lalang datang dan pergi dari lokasi ini. Lokasi yang sangat indah karena hamparan pasir putih dan lembut memanjakan mata serta gulungan ombak dengan suara debur menggelorakan jiwa.
Seratus meter lagi aku dan teman-teman serombongan segera sampai lokasi itu. Jarak yang sebenarnya sangat dekat apabila ditempuh dengan berjalan kaki. Karena ditempuh dengan mobil, waktu tempuh menjadi agak molor. Antrean kendaraan yang keluar masuk lokasi menahan laju mobil kami.
Pemandu wisata yang kami sewa heran. Lelaki setengah baya ini menggelang-gelengkan kepala. Dia seakan tidak percaya situasi di pantai ini begitu ramai. Padahal, di hari-hari sebelumnya tidak seramai hari ini. Meski harus berjalan merayap dan tersendat-sendat, akhirnya kami serombongan sampai di area parkir wisata.
”Kita turun di sini. Barang-barang yang tidak berharga ditinggal saja di mobil,” kata Mahdi, pemandu wisata yang terpaksa kami butuhkan jasanya karena kami masih asing dengan daerah ini.
Subhanallah, ucapku dalam hati. Baru sekali ini aku melihat pemandangan yang begitu indah. Laut biru membahana dan berair jernih. Sampai-sampai mata telanjangku bisa menembus dasarnya. Aku bisa melihat dengan jelas karang dan biota laut yang berenang-renang. Aku bisa mengamati perilaku para wisatawan asing yang bergurau di kedalaman air.
”Salman, kemari!” Sutris memanggilku.
”Ada apa?” tanyaku penasaran.
”Lihatlah mereka! Apakah kau tetap akan berlama-lama membujang?” tanya Sutris menggodaku sambil menunjuk dua turis wanita mancanegara yang mengenakan bikini sedang berjalan lenggak-lenggok di pantai.
Ah, bisa saja kamu ini,” kataku malu-malu sambil mengintip dua gadis itu dari celah jemari yang menutup wajahku.
Matahari hampir berdiri tegak di atas kepala. Sinarnya sedikit terhalang daun-daun kelapa. Angin terasa agak hangat. Aku dan Sutris mampir di kedai kopi tradisonal untuk beristirahat sambil melihat pengunjung wisata dengan berbagai-bagai perilakunya.
Pemilik kedai ini ramah sekali. Ia bergerak mendekat ke kami. Sambil tersenyum, ia bertanya kepada kami.
”Maaf, Bapak-Bapak, pesan apa?”
”Kopi dua, Pak,” jawabku singkat.
Tak berselang lama, lelaki itu menyuguhkan dua cangkir kopi. Secangkir kubiarkan parkir di depanku, secangkir lagi kugeser ke depan Sutris, temanku.
”Mohon, maaf! Kami tinggal dulu sebentar. Silakan menikmati kopi khas daerah ini,” kata pemilik kedai berpamitan kepada kami.
Aku mengamati lelaki pemilik kedai ini. Dia keluar dari pintu belakang kedai dengan berpakaian salat. Ia mengenakan kopiah, sarung, serta berbaju koko. Aku menatap lelaki itu. Aku ingin tahu ke mana ia pergi. Subhanallah, ternyata pemilik kedai tersebut menuju ke musala yang terletak di sudut area wisata. Rupanya lelaki itu sosok yang taat beribadah. Ia tetap berangkat menunaikan salat meski di kedainya sangat ramai pengunjung.
Di sudut lain, aku melihat para penduduk berlari-lari mendekat ke pantai dengan tergesa-gesa. Mereka membawa timba. Mereka tampak memperebutkan sesuatu. Aku sangat penasaran. Aku berdiri dari tempat duduk agar bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di tempat tersebut.
”Ada apa, Pak?” tanya pemilik kedai yang tiba-tiba sudah kembali ke kedainya ini.
Aku menunjukkan pemilik kedai dengan mengarahkan jari telunjuk ke tempat para penduduk yang saling berebut itu.
”Sepertinya mereka berebut ikan,” sahut pemilik kedai.
”Ternyata benar. Mereka berebut ikan,” kataku setelah melihat salah satu dari mereka yang melintas di depan kedai sambil membawa timba yang penuh ikan laut.
Lelaki pemilik kedai tiba-tiba sudah berganti pakaian. Ia berlari kencang sambil membawa timba ke bibir laut itu tanpa memedulikan kami yang masih duduk di kedainya.
”Pak, kopinya,” teriakku.
”Taruh di situ saja uangnya. Sepuluh ribu,” sahutnya sambil tetap berlari untuk bergabung dengan warga di sana.
***
 Menjelang isyak, kami berhenti di sebuah masjid. Aku melihat puluhan penduduk daerah ini duduk-duduk di serambi masjid untuk menunggu waktu isyak tiba. Sebagian dari mereka ada yang berktikaf. Sebagian lagi ada yang tidur-tiduran, dan yang lainnya ada yang sedang bercengkerama tentang air laut yang sempat surut dan banyak ikan yang terdampar di pantai.
”Permisi, Pak!” kataku sambil menanyakan tempat wudlu.
Mereka memersilakan kami masuk ke masjid dengan sangat sopan. Mereka lantas menunjukkan kami tempat wudlu pria dan wanita. Kami pun menuju ke tempat wudlu sesuai dengan petunjuk lelaki itu.
Azan isyak berkumandang. Para penduduk berdatangan. Mereka yang sudah suci lantas duduk di masjid membentuk shof atau baris dengan lurus. Mereka berdoa dan berzikir sambil menunggu imam masjid datang.
Iqomah dilantunkan seorang remaja dengan suara sangat merdu. Muncul seorang lelaki yang menjadi imam masjid ini. Dia menuju imaman. Setelah seluruh makmum sudah berdiri sempurna di belakangnya, lelaki itu lantas melakukan takbiratul ihram yang diikuti oleh ratusan makmum. Mereka melaksanakan salat berjamaah dengan khusuk.
Pada rakaat kedua, aku terkejut. Tanah seperti bergerak. Orang-orang yang berada di kanan-kiriku seperti juga merasakannya. Mereka tampak tertegun sejenak. Tanah bergerak lagi dengan kekuatan yang semakin tinggi. Lampu yang tergantung di tengah masjid bergoyang-goyang. Almari tempat mukena di tempat jamaah wanita pun berderit. Guncangan itu semakin lama semakin dasyat. Tumpuan kakiku tidak seimbang. Aku terhuyung-huyung dan hampir tersungkur. Demikian halnya dengan para jamaah lainnya. Aku terpaksa membatalkan salatku lantas berlari keluar dari masjid.
Listrik seketika padam. Tak ada penerangan. Suasana gelap gulita. Para jamaah semakin panik. Mereka terlempar ke sana kemari dan berusaha keluar dari masjid untuk menyelematkan diri. Teriak histeris dengan gema takbir tiada berhenti. Mereka menyebut kebesaran Allah dengan kepanikan serta ketakutan. Sebagian kecil dari jamaah yang berhasil keluar lalu berlari ke halaman masjid dan berkumpul dengan kami.
Kami merinding ketakutan dan saling berangkulan. Aku melihat dengan samar kubah masjid yang megah dan indah itu tiba-tiba runtuh diikuti suara gemuruh reruntuhan puing bangunan yang lain. Ratusan jamaah yang panik dan belum berhasil keluar tertimbun reruntuhan itu. Teriak hsiteris mereka dari dalam masjid seketika senyap. Tak terdengar lagi suara takbir mereka di sela guncangan gempa yang melanda.
Astaghfirullah, subhanallah, Allahu Akbar!” ungkapku ketakutan sembari memuji kebesaran Allah di tengah kerumunan warga di halaman masjid.
Isak tangis, rintih, dan ratap kesakitan terdengar pilu di sekitarku. Mereka yang selamat dari reruntuhan puing bangunan saling berangkulan haru. Masjid megah itu runtuh dan rata dengan tanah. Demikian juga dengan rumah-rumah yang berada di sekitarnya. Semua ambruk tanpa sisa.
***
Pagi hari daerah ini tak berbentuk lagi. Daerah yang indah kini luluh lantak dilanda gempa. Warga yang selamat tertunduk lemas meratapi janazah-janazah keluarganya yang terbujur kaku di depannya. Air mata kehilangan keluarga dan tempat tinggal terus mengalir. Tak ada yang bisa membendung deras alirnya meski dengan bantuan material yang kini mulai berdatangan.
Tim SAR dan relawan mulai bekerja. Mereka saling membahu mengurus janazah serta menolong warga yang terluka dengan alat medis seadanya. Di tempat terbuka seperti tanah lapang dan persawahan, mereka merawat para korban gempa. Mereka tidak berani tinggal di bangunan sisa yang berdiri tidak sempurna.
Aku dan teman-teman yang melancong di tempat ini duduk berkerumuan dan bersebelahan dengan reruntuhan bangunan. Ratap dan tangis kematian di sekeliling kami terdengar menyayat hati. Tak ada senyum. Tak ada tawa kekeh yang terdengar seperti di pinggir pantai siang itu. Aku termenung sambil menutup mata yang lembab dengan kedua tangan. Sesekali aku berangkulan dengan teman-teman serombongan yang selamat.
Sinar matahari tak seterang ketika kami mendaratkan kaki di daerah ini. Hembusan angin pagi tak sesegar saat kami kali pertama menghirup udara di sini. Daun-daun mengatup. Bunga-bunga melayu. Semua tampak sendu dalam tangisan pilu. Mobil yang kusewa juga ringsek karena tertimpa reruntuhan gerbang masjid. Kami terpaksa dievakuasi tim SAR dengan mobil bak terbuka menuju ke pelabuhan tempat menyeberang ke daerah kami. (*)
  
  Lamongan, Agustus 2018