Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 18 Desember 2022

Bukan Kisah Laila Majnun, Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 18 Desember 2022

 


Bukan Kisah Laila Majnun

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

”Selamat pagi, Bapak dan Ibu. Perkenalkan namaku Laila. Mulai saat ini aku menjadi bagian dari sekolah ini. Aku senang sekali berada di sekolah bersama Bapak Ibu. Semoga Bapak Ibu berkenan menganggapku sebagai teman atau adik. Eh, adik! Bukankah di kantor ini juga masih banyak yang muda? Maafkanlah! Kalau begitu, anggap saja sebagai saudara atau teman baru,” kata perkenalan Laila di kantor tempat kami bekerja.

Pagi itu memang hari pertama Laila masuk kerja. Dia mutasi dari luar Jawa. Orangnya supel. Mudah bergaul. Baru pertama ke sekolah, dia sudah seperti orang lama di kantor ini. Laila juga pandai berkomunikasi. Dia sangat lancar memperkenalkan diri kepada warga sekolah. Orang-orang meyakinii Laila mumpuni dalam segala bidang. Dari penampilan dan gaya bicaranya, Laila punya kompetensi yang bisa mengangkat prestasi sekolah ini dengan gemilang. Apalagi dari biodata yang sempat dibagikan di grup WA kantor ini. Dia memang memunyai seabrek prestasi dan pengalaman.

Tak ayal setiap pagi suasana di ruang istirahat, tepatnya ruang ngrumpi Laila menjadi trending topic. Setiap kerumunan yang dibicarakan selalu Laila. Bukan hanya ibu-ibu, melainkan bapak-bapak juga turut membahas sosok Laila.

”Dik Laila, perkenalkan nama saya Arif. Saya guru di sini sudah lama. Tapi, lima tahun lagi saya pensiun,” tiba-tiba Arif yang bertubuh tambun dan berambut dua warna ini memperkenalkan diri pada Laila yang waktu itu duduk sendiri.

”Terima kasih Pak Arif. Aku senang sekali bisa sekantor dengan Pak Arif,” sambut Laila dengan bahasa yang luwes.

Pak Arif salah tingkah mendapat balasan yang hangat dari Laila. Hatinya berbunga-bunga. Wajahnya ceria.

Pada kesempatan lain, kaum Adam di sekolah ini bergiliran memperkenalkan diri pada Laila. Di samping untuk menghargai tamu, mereka juga berharap agar Laila betah mengabdi di sekolah ini. Membesarkan hati guru baru agar merasa tidak terasingkan. Memang sudah mashur apabila ada guru baru di sekolah ini, pasti guru baru tersebut langsung kerasan. Seperti Karsan ketika awal masuk di sekolah ini. Karsan disambut dengan hangat sehingga ia merasa dihargai seperti para guru senior. Namun, penyambutan kepada Karsan waktu itu, tidak seheboh penyambutan yang dilakukan pada Laila. Sampai-sampai Pak Arif yang kebetulan mantan pejabat di sekolah dan kurang lima tahun pensiun, menyapa Laila dengan sapaan dik. Sapaan yang lazim buat istri atau para orang yang usianya lebih muda.

Karsan mendapat kesempatan memperkenalkan diri pada Laila pada jam istirahat. Kebetulan Laila duduk anggun di kursi belakang sambil menghadap ke laptop. Karsan menghampirinya.

”Dik, eh, Bu Laila. Saya Karsan. Nama lengkap Mat Karsan. Maaf, nama ndeso. Tapi ingat meskipun nama kampungan, gaya hidup saya tidak kalah dengan orang-orang kota,” kata Karsan pada Laila.

”Terima kasih Mas, eh, Pak Mat Karsan sudah sudi menerima aku menjadi bagian dari sekolah ini. Mas, eh, salah lagi. Pak Mat Karsan tinggal di mana?” tanya balik Laila kepada Karsan.

”Saya tinggal di pelosok desa. Rumah saya di balik  perbukitan. Alamnya indah dan sejuk sekali seperti di Batu Malang. Bila Dik, eh, Bu Laila ingin bermain ke rumah, dengan senang hati saya menerima,” jawab Karsan.

Cie, cie...! Pedekate juga, ya?” celetuk Pak Arif yang tiba-tiba muncul di belakang mereka.

Wih, kamu ini merusak suasana saja. Tidak ada salahnya, kan, saya berkenalan dengan Dik, eh, Bu Laila. Dia sekarang sudah menjadi bagian dari kita, lho,” kata Karsan hati mendongkol.

”Modus ini. Hati-hati, Bu. Pak Karsan ini orangnya berbahaya,” gurau Pak Arif sambil berlari karena takut diserang balik Karsan.

Entah kenapa perkenalan Karsan dengan Laila seperti ada kekuatan yang saling menarik. Seperti dua magnet yang berbeda kutub. Seperti ada hasrat ingin selalu bersama. Namun, Karsan rasa ini tidak mungkin. Di rumah Karsan sudah punya istri dan empat orang anak. Karsan juga belum tahu status Laila. Dia sudah menikah atau belum. Karsan sering melamun. Dia membayangkan pergi berduaan bersamanya di tanah perbukitan dekat rumah. Karsan melihat matahari senja bewarna keemasan, menerpa wajah mereka berdua. Rambut lurus Laila yang menjuntai hingga pinggang berkelebat dibelai angin senja. Karsan membayangkan tangannya membelai rambut panjang Laila dengan penuh kasih sayang. Laila diam dan manja. Akhirnya, ketika matahari senja benar-benar terbenam seakan ditelan pepohonan jati, Karsan mengajak Laila pulang.  Karsan membantu Laila berdiri lalu menggandeng tangannya menuruni jalan setapak di tanah perbukitan. Ah, ilusi belaka, gumam Karsan dalam hati.

Karsan yakin Laila tidak akan pernah berfantasi seperti itu. Hal ini sangat beralasan karena Laila tahu bahwa dirinya sudah berkeluarga. Tapi bisa juga Laila pernah berkhayal pergi berduaan bersama Karsan menikmati pantai di dekat rumahnya. Mungkin juga dia membayangkan duduk berdua dengan Karsan di atas batu karang sambil menikmati riuh debur ombak di laut utara. Mungkin juga tangan lembutnya memegang tangan Karsan lalu mengarahkan pada dua ekor burung camar yang sedang bercumbu rayu di depan mereka. Cih, fantasi kotor yang sangat tidak mungkin terjadi. Lagi-lagi hati kecil Karsan berkata demikian.

Karsan bukanlah Qais, lelaki beruntung yang mendapat cinta Laila dalam kisah Laila Majnun. Karsan hanyalah seorang guru yang berusia hampir setengah abad dan sebagai pendidik siswa di sekolah ini. Sudah ratusan bahkan ribuan siswa telah dia didik menjadi manusia berakhlaq mulia. Masak pak guru Karsan berpacaran dengan Laila.  Eh, tiba-tiba Karsan waras. Dia sadar dan tak mungkin berbuat seperti itu. Berduaan dengan wanita yang bukan muhrim di tempat yang sepi sangat tidak pantas bagi seorang guru. Tapi ingat, setan paling benci terhadap orang baik. Orang yang selalu berjalan di jalan Tuhan. Seetan selalu berupaya menjerumuskan manusia dalam perbuatan hina agar setan punya banyak teman di neraka. Nauzubillah. Semoga Allah melindungi mereka dari hal-hal yang hina-nista.

”Ya, Tuhan. Kenapa akhir-akhir ini saya suka melamun seperti ini. Apa yang harus saya lakukan? Menjauh seketika dan melupakan Laila? Tidak mungkin. Itu akan membuat Laila tersinggung. Ah, bersikap biasa sajalah sebagaimana dengan teman-teman yang lain. Mungkin ini jalan yang tepat yang harus saya lakukan,” tegas Karsan.

”Pak Karsan, ke sini. Aku punya sesuatu,” tiba-tiba Laila menyuruh Karsan menghampirinya.

”Punya apa, Dik?  Eh, Bu Laila,” tanya Karsan penasaran.

Nah, ini minuman kesukaan Pak Karsan. Minuman khas daerahku, legen,” katanya.

Karsan ge-er karena Laila mengetahui minuman kesukaannya. Padahal, Dia belum pernah cerita kepada Laila. Berarti Laila ketika di rumah juga sering berkhayal tentang Karsan. Mungkin dia melihat dari perangai Karsan seperti orang pantai atau karena wajahnya manis sehingga dia memberi legen yang manis juga.

”Ini legen manis Pak Karsan. Silakan diminum,” Laila menyodorkan segelas legen pada Karsan.

”Terima kasih, Dik, eh, Bu,” kata Karsan yang latah menyapa Laila dengan dik.

”Bagaimana Pak Karsan?”

Alhamdulillah, manis sekali. Semanis wajah yang memberi,” jawab Karsan spontan.

”Pak Karsan bisa saja,” sahut Laila dengan tersipu malu.

Karsan meminum segelas legen sampai tetes terakhir. Dia mengakui legen itu sangat manis. Sungguh manis. Bukan karena yang menuangkan legen ke dalam gelas berwajah manis, melainkan manis beneran.

”Mencari apa Dik, eh, Bu Laila?” tanya Karsan saat melihat guru baru itu seperti mencari-cari sesuatu dalam tasnya.

”Mencari undangan,” jawabnya singkat.

”Undangan apa dan untuk siapa?” tanya Karsan penuh selidik.

”Undangan pernikahan untuk semua bapak-ibu guru. Termasuk juga Pak Karsan.

”Penikahan siapa?” lanjut Karsan dengan nada melas.

”Pernikahanku, Pak Karsan.”

Hah, pernikahanmu?”

”Iya. Pernikahanku pekan depan. Memangnya kenapa?”

”Tidak kenapa-kenapa,” kata Karsan dengan nada yang hampir tak bersuara dan tanpa ekspresi.

Begitu mulus perjalanan kisah cinta Laila. Berjalan lurus tanpa liku-liku. Tanpa ada tantangan dari pakdenya. Tanpa ada rintangan dari lelaki lain yang berusaha merebut cintanya. Tanpa drama yang mengharu biru pemirsanya. Laila yang baru dikenal Karsan dan sempat mengaduk-aduk perasaannya ternyata akan naik ke pelaminan. Karsan sadar bahwa ini bukan kisah Laila Majnun, melainkan kisah Laila Magdalena. Gadis pantura yang baru seumur jagung bergabung bersama kami mengabdi di sekolah ini.

Pada hari pernikahan Laila, Karsan dan teman-temannya datang dengan perasaan bahagia tanpa membawa rasa lainnya. Mereka datang memberi doa restu semoga bahtera keluarga yang dibinanya berjalan mulus tanpa diterjang ombak, tanpa dihantam badai, sehingga selamat sampai pelabuhan kebahagiaan nanti.

Wangi bunga yang menghiasi pelaminan menambah anggun wajah Laila Magdalena yang bersanding dengan imam hidupnya. Putih pakaian yang dikenakan dan putih melati di sanggul Laila, seputih dan sesuci harapan masa depan keluarga barunya. Semoga bahagia selamanya, doa mereka buat Laila dan suaminya. (*)

Wanar, 13 Desember 2022

 

Ahmad Zaini, cerpenis tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan. Aktivitasnya sebagai guru di SMKN 1 Lamongan.