Bukan Kisah
Laila Majnun
Cerpen karya
Ahmad Zaini
”Selamat pagi,
Bapak dan Ibu. Perkenalkan namaku Laila. Mulai saat ini aku menjadi bagian dari
sekolah ini. Aku senang sekali berada di sekolah bersama Bapak Ibu. Semoga
Bapak Ibu berkenan menganggapku sebagai teman atau adik. Eh, adik!
Bukankah di kantor ini juga masih banyak yang muda? Maafkanlah! Kalau begitu,
anggap saja sebagai saudara atau teman baru,” kata perkenalan Laila di kantor
tempat kami bekerja.
Pagi itu memang
hari pertama Laila masuk kerja. Dia mutasi dari luar Jawa. Orangnya supel.
Mudah bergaul. Baru pertama ke sekolah, dia sudah seperti orang lama di kantor
ini. Laila juga pandai berkomunikasi. Dia sangat lancar memperkenalkan diri
kepada warga sekolah. Orang-orang meyakinii Laila mumpuni dalam segala bidang.
Dari penampilan dan gaya bicaranya, Laila punya kompetensi yang bisa mengangkat
prestasi sekolah ini dengan gemilang. Apalagi dari biodata yang sempat
dibagikan di grup WA kantor ini. Dia memang memunyai seabrek prestasi
dan pengalaman.
Tak ayal setiap
pagi suasana di ruang istirahat, tepatnya ruang ngrumpi Laila menjadi trending
topic. Setiap kerumunan yang dibicarakan selalu Laila. Bukan hanya ibu-ibu,
melainkan bapak-bapak juga turut membahas sosok Laila.
”Dik Laila,
perkenalkan nama saya Arif. Saya guru di sini sudah lama. Tapi, lima tahun lagi
saya pensiun,” tiba-tiba Arif yang bertubuh tambun dan berambut dua warna ini
memperkenalkan diri pada Laila yang waktu itu duduk sendiri.
”Terima kasih
Pak Arif. Aku senang sekali bisa sekantor dengan Pak Arif,” sambut Laila dengan
bahasa yang luwes.
Pak Arif salah
tingkah mendapat balasan yang hangat dari Laila. Hatinya berbunga-bunga.
Wajahnya ceria.
Pada kesempatan
lain, kaum Adam di sekolah ini bergiliran memperkenalkan diri pada Laila. Di
samping untuk menghargai tamu, mereka juga berharap agar Laila betah mengabdi
di sekolah ini. Membesarkan hati guru baru agar merasa tidak terasingkan.
Memang sudah mashur apabila ada guru baru di sekolah ini, pasti guru
baru tersebut langsung kerasan. Seperti Karsan ketika awal masuk di sekolah
ini. Karsan disambut dengan hangat sehingga ia merasa dihargai seperti para
guru senior. Namun, penyambutan kepada Karsan waktu itu, tidak seheboh
penyambutan yang dilakukan pada Laila. Sampai-sampai Pak Arif yang kebetulan
mantan pejabat di sekolah dan kurang lima tahun pensiun, menyapa Laila dengan
sapaan dik. Sapaan yang lazim buat istri atau para orang yang usianya lebih
muda.
Karsan mendapat
kesempatan memperkenalkan diri pada Laila pada jam istirahat. Kebetulan Laila
duduk anggun di kursi belakang sambil menghadap ke laptop. Karsan
menghampirinya.
”Dik, eh, Bu
Laila. Saya Karsan. Nama lengkap Mat Karsan. Maaf, nama ndeso. Tapi
ingat meskipun nama kampungan, gaya hidup saya tidak kalah dengan orang-orang
kota,” kata Karsan pada Laila.
”Terima kasih
Mas, eh, Pak Mat Karsan sudah sudi menerima aku menjadi bagian dari
sekolah ini. Mas, eh, salah lagi. Pak Mat Karsan tinggal di mana?” tanya
balik Laila kepada Karsan.
”Saya tinggal
di pelosok desa. Rumah saya di balik perbukitan.
Alamnya indah dan sejuk sekali seperti di Batu Malang. Bila Dik, eh, Bu
Laila ingin bermain ke rumah, dengan senang hati saya menerima,” jawab Karsan.
”Cie, cie...!
Pedekate juga, ya?” celetuk Pak Arif yang tiba-tiba muncul di belakang mereka.
”Wih, kamu
ini merusak suasana saja. Tidak ada salahnya, kan, saya berkenalan
dengan Dik, eh, Bu Laila. Dia sekarang sudah menjadi bagian dari kita, lho,”
kata Karsan hati mendongkol.
”Modus ini.
Hati-hati, Bu. Pak Karsan ini orangnya berbahaya,” gurau Pak Arif sambil
berlari karena takut diserang balik Karsan.
Entah kenapa
perkenalan Karsan dengan Laila seperti ada kekuatan yang saling menarik.
Seperti dua magnet yang berbeda kutub. Seperti ada hasrat ingin selalu bersama.
Namun, Karsan rasa ini tidak mungkin. Di rumah Karsan sudah punya istri dan
empat orang anak. Karsan juga belum tahu status Laila. Dia sudah menikah atau
belum. Karsan sering melamun. Dia membayangkan pergi berduaan bersamanya di
tanah perbukitan dekat rumah. Karsan melihat matahari senja bewarna keemasan,
menerpa wajah mereka berdua. Rambut lurus Laila yang menjuntai hingga pinggang
berkelebat dibelai angin senja. Karsan membayangkan tangannya membelai rambut
panjang Laila dengan penuh kasih sayang. Laila diam dan manja. Akhirnya, ketika
matahari senja benar-benar terbenam seakan ditelan pepohonan jati, Karsan
mengajak Laila pulang. Karsan membantu
Laila berdiri lalu menggandeng tangannya menuruni jalan setapak di tanah
perbukitan. Ah, ilusi belaka, gumam Karsan dalam hati.
Karsan yakin
Laila tidak akan pernah berfantasi seperti itu. Hal ini sangat beralasan karena
Laila tahu bahwa dirinya sudah berkeluarga. Tapi bisa juga Laila pernah
berkhayal pergi berduaan bersama Karsan menikmati pantai di dekat rumahnya.
Mungkin juga dia membayangkan duduk berdua dengan Karsan di atas batu karang
sambil menikmati riuh debur ombak di laut utara. Mungkin juga tangan lembutnya memegang
tangan Karsan lalu mengarahkan pada dua ekor burung camar yang sedang bercumbu
rayu di depan mereka. Cih, fantasi kotor yang sangat tidak mungkin
terjadi. Lagi-lagi hati kecil Karsan berkata demikian.
Karsan bukanlah
Qais, lelaki beruntung yang mendapat cinta Laila dalam kisah Laila Majnun. Karsan
hanyalah seorang guru yang berusia hampir setengah abad dan sebagai pendidik
siswa di sekolah ini. Sudah ratusan bahkan ribuan siswa telah dia didik menjadi
manusia berakhlaq mulia. Masak pak guru Karsan berpacaran dengan Laila. Eh, tiba-tiba Karsan waras. Dia
sadar dan tak mungkin berbuat seperti itu. Berduaan dengan wanita yang bukan muhrim
di tempat yang sepi sangat tidak pantas bagi seorang guru. Tapi ingat, setan
paling benci terhadap orang baik. Orang yang selalu berjalan di jalan Tuhan. Seetan
selalu berupaya menjerumuskan manusia dalam perbuatan hina agar setan punya
banyak teman di neraka. Nauzubillah. Semoga Allah melindungi mereka dari
hal-hal yang hina-nista.
”Ya, Tuhan.
Kenapa akhir-akhir ini saya suka melamun seperti ini. Apa yang harus saya
lakukan? Menjauh seketika dan melupakan Laila? Tidak mungkin. Itu akan membuat
Laila tersinggung. Ah, bersikap biasa sajalah sebagaimana dengan teman-teman
yang lain. Mungkin ini jalan yang tepat yang harus saya lakukan,” tegas Karsan.
”Pak Karsan, ke
sini. Aku punya sesuatu,” tiba-tiba Laila menyuruh Karsan menghampirinya.
”Punya apa, Dik?
Eh, Bu Laila,” tanya Karsan
penasaran.
”Nah, ini
minuman kesukaan Pak Karsan. Minuman khas daerahku, legen,” katanya.
Karsan ge-er
karena Laila mengetahui minuman kesukaannya. Padahal, Dia belum pernah cerita
kepada Laila. Berarti Laila ketika di rumah juga sering berkhayal tentang Karsan.
Mungkin dia melihat dari perangai Karsan seperti orang pantai atau karena wajahnya
manis sehingga dia memberi legen yang manis juga.
”Ini legen
manis Pak Karsan. Silakan diminum,” Laila menyodorkan segelas legen pada Karsan.
”Terima kasih,
Dik, eh, Bu,” kata Karsan yang latah menyapa Laila dengan dik.
”Bagaimana Pak
Karsan?”
”Alhamdulillah,
manis sekali. Semanis wajah yang memberi,” jawab Karsan spontan.
”Pak Karsan
bisa saja,” sahut Laila dengan tersipu malu.
Karsan meminum
segelas legen sampai tetes terakhir. Dia mengakui legen itu sangat manis.
Sungguh manis. Bukan karena yang menuangkan legen ke dalam gelas berwajah
manis, melainkan manis beneran.
”Mencari apa
Dik, eh, Bu Laila?” tanya Karsan saat melihat guru baru itu seperti
mencari-cari sesuatu dalam tasnya.
”Mencari
undangan,” jawabnya singkat.
”Undangan apa
dan untuk siapa?” tanya Karsan penuh selidik.
”Undangan
pernikahan untuk semua bapak-ibu guru. Termasuk juga Pak Karsan.
”Penikahan
siapa?” lanjut Karsan dengan nada melas.
”Pernikahanku,
Pak Karsan.”
”Hah,
pernikahanmu?”
”Iya.
Pernikahanku pekan depan. Memangnya kenapa?”
”Tidak
kenapa-kenapa,” kata Karsan dengan nada yang hampir tak bersuara dan tanpa
ekspresi.
Begitu mulus
perjalanan kisah cinta Laila. Berjalan lurus tanpa liku-liku. Tanpa ada
tantangan dari pakdenya. Tanpa ada rintangan dari lelaki lain yang berusaha
merebut cintanya. Tanpa drama yang mengharu biru pemirsanya. Laila yang baru dikenal
Karsan dan sempat mengaduk-aduk perasaannya ternyata akan naik ke pelaminan. Karsan
sadar bahwa ini bukan kisah Laila Majnun, melainkan kisah Laila Magdalena.
Gadis pantura yang baru seumur jagung bergabung bersama kami mengabdi di
sekolah ini.
Pada hari
pernikahan Laila, Karsan dan teman-temannya datang dengan perasaan bahagia
tanpa membawa rasa lainnya. Mereka datang memberi doa restu semoga bahtera
keluarga yang dibinanya berjalan mulus tanpa diterjang ombak, tanpa dihantam
badai, sehingga selamat sampai pelabuhan kebahagiaan nanti.
Wangi bunga
yang menghiasi pelaminan menambah anggun wajah Laila Magdalena yang bersanding
dengan imam hidupnya. Putih pakaian yang dikenakan dan putih melati di sanggul
Laila, seputih dan sesuci harapan masa depan keluarga barunya. Semoga bahagia
selamanya, doa mereka buat Laila dan suaminya. (*)
Wanar, 13 Desember 2022
Ahmad Zaini, cerpenis tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan. Aktivitasnya sebagai guru di SMKN 1 Lamongan.