Para Pemuja Jalasuci
Cerpen karya
Ahmad Zaini
Jelang maghrib Selagede berselimut kabut. Jarak pandang
terhalang. Pepohonan besar dan menjulang tak terlihat daun-daunnya. Warung-warung
di sepanjang jalan hanya terlihat kerlip lampunya. Tak terlihat jelas para
lelaki yang ongkang-ongkang kaki menikmati kopi. Bara di ujung rokok juga tak
tampak. Hanya tawa kekeh mereka yang terkadang timbul-tenggelam terdengar
bergantian dengan bunyi tonggeret mengiris senja.
Suwiryo duduk di teras warung. Dia mengibas-ibaskan butir
air gerimis di topi. Dia melapas kedua sepatu. Secara bergantian Suwiryo
mengangkat pelindung kaki untuk mengusir air yang sempat bersarang. Setelah
itu, kedua kaki diangkat dan dilipat di atas kursi panjang sebuah warung.
Lelaki berbadan kurus ini merogoh tas kecil yang
diselempangkan di pinggang. Dia mengambil rokok yang tinggal sebatang. Suwiryo
meminjam korek api pemilik warung. Tak lama kemudian asap mengepul setelah
lelaki ini menyulut ujung rokok. Tak sempurna merokok tanpa kopi. Dia pun
memesan segelas kopi ke penjaga warung. Secangkir kopi disuguhkan oleh pelayan
sekaligus pemilik warung. Suwiryo secara bergantian menikmati menu yang
menurutnya wajib karena kondisi gerimis dan berkabut ini.
Petirtaan Jalasuci yang berada di kawasan Selagede
menjadi tujuan kedatangan Suwiryo. Dia bertekat untuk melakukan perjalanan jauh
dengan sepeda motor ke tempat tersebut untuk mencari kedamaian jiwa. Suwiryo
berencana menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan. Terutama permasalahan keluarga
yang sedang memenuhi batok kepala. Istri Suwiryo mengajukan tuntutan cerai
karena dia dianggap sebagai suami yang gagal. Dia tidak bisa memenuhi kebutuhan
hidup keluarga karena tidak memiliki mata pencaharian lagi. Suwiryo menjadi
korban pemecatan perusahaan karena dampak pandemi korona.
Ayah dari dua anak ini mendapat kabar Jalasuci dari seorang
teman. Menurut temannya, petirtaan Jalasuci merupakan tempat yang bisa menjadi
solusi dari permasalahan hidup yang sedang melilit. Hati Suwiryo semakin yakin
saat temannya menyampaikan ada perubahan hidup setelah dari Jalasuci. Jiwa
lebih tenang daripada sebelumnya. Semua kebutuhan hidup terpenuhi.
Suwiryo sempat bingung. Dia bimbang dengan cara yang
dilakukan oleh temannya. Meski sekarang ini dia dalam posisi terjepit, Suwiryo
tidak serta merta menuruti anjuran temannya. Suwiryo pernah menimba ilmu di pesantren. Dia
pernah mengaji pada Kiai Ahmad. Dia teringat bahwa perbuatan memohon dan memuja
selain kepada Tuhan merupakan perbuatan syirik atau menyekutukan Tuhan.
Dosanya tidak akan terampuni meskipun dia bertaubat sampai kaki bengkak dan mengeluarkan
air mata darah.
”Tidak apa-apa, Wir. Ini satu-satunya jalan agar kamu
tidak menjadi pesakitan dalam keluargamu. Dalam keadaan darurat, apa pun boleh
dilakukan,” kata temannya.
Sejak itulah Suwiryo memutuskan berangkat ke petirtaan Jalasuci.
Dia ingin melakukan ritual sebagaimana yang dituturkan oleh temannya itu.
”Jalasuci masih jauh, Bu?” tanya Suwiryo pada pemilik
warung Selagede.
”Sudah dekat, Mas. Tinggal dua kilometer lagi,” jawab
perempuan berdaster itu sambil mengarahkan jari telunjuk ke Jalasuci.
Suwiryo bergegas bangkit. Dia merogoh saku celananya. Lembaran
uang kertas lima ribu rupiah disodorkan ke penjual kopi. Setelah itu, dia
melajukan sepeda motor menyusuri jalan menanjak ke arah Jalasuci.
***
Remang cahaya lampu terhalang kabut malam yang semakin
tebal. Sorot mata Suwiryo tak mampu menembus ketebalan kabut. Tapak demi tapak
jalan dilalui Suwiryo dengan berbekal perasaan dan kira-kira. Aroma mistis
mulai terasa. Bau dupa menyengat hidung. Undakan jalan menuju petirtaan terus
memaksa kaki Suwiryo memijakinya. Tak lama kemudian, gemericik air pancuran
sayup terdengar di telinga lelaki yang ingin manata hidup ini.
Sesampai di pelataran Jalasuci, Suwiryo persiapan
melakukan ritual. Mula-mula Suwiryo menggelar tikar kecil yang diambil dari
dalam tas. Kemudian dia merogoh kembang tujuh rupa dari kantong plastik. Tangan
kanannya menabur kembang itu ke permukaan air di petirtaan. Kecipak aneka ikan
yang memangsa bunga-bunga itu menandakan ritual akan dimulai. Beberapa batang
dupa ditancap Suwiryo di sela-sela bebatuan. Dia menyulut ujung dupa dengan
korek warung kopi yang lipa dikembalikan kepada pemiliknya.Wangi dupa menyeruak
lalu menembus bulu hidung. Suwiryo duduk bersila. Dia memejamkan mata.
Pikirannya fokus maksud pada kekuatan gaib yang dipujanya. Jiwa Suwiryo perlahan terbang terbawa asap
dupa ke alam yang belum pernah iakenal.
Jiwa Suwiryo tak lagi bersarang di raga yang bersila di
tepi petirtaan. Jiwanya kini berada di alam bawah sadar. Tepatnya di sebuah
pasebanan raja yang dikelilingi dayang-dayang dan prajurit.
”Prajurit, persilakan lelaki itu masuk,” perintah raja.
Dua orang prajurit membukakan pintu pasebanan agung lalu mengawal Suwiryo
menghadap raja.
”Siapa namamu dan apa keperluanmu datang kemari?” tanya
raja denga suara menggema.
”Saya Suwiryo. Saya sedang dilanda kesulitan ekonomi.
Saya menganggur karena di depak oleh perusahaan tempat saya bekerja. Istri saya
menuntut cerai karena saya dianggap lelaki tak berguna. Lelaki yang tidak bisa
membahagiakan istri dan anak-anak,” jawab Suwiryo.
”Kamu sudah tahu syarat yang harus kaupenuhi apabila
permintaanmu kukabulkan?”
”Belum. Saya belum tahu sama sekali.”
”Kau sudah telanjur masuk istanaku. Kau akan kusumpah
menjadi pengikut dan harus memenuhi semua permintaanku. Setiap malam purnama
kau harus tinggal di sini bersama istrimu. Kau harus melakukan persembahan
dengan beberapa sesajen. Sasejen purnama pertama adalah anak pertamamu,” pinta
raja yang seram itu.
”Aku bersedia menjadi pengikutmu, namun sesajen purnama
pertama mohon diganti dengan yang lain,” tolak Suwiryo.
”Tidak bisa ditawar. Kau harus memenuhi semua yang
kuminta. Anak pertamamu tetap jadi sesajen purnama pertama.”
”Lebih baik aku mati daripada anak pertamaku kau jadikan sesajen.”
tegas Suwiryo yang menolak anaknya dijadikan wadal.
Mendengar ucapan Suwiryo, raja yang bercambang lebat dan
bermata lebar itu murka. Wajahnya membara. Kedua telinganya bak mengeluarkan
api. Dia berdiri lalu menghampiri Suwiryo hendak membunuhnya.
Suwiryo tidak mau mati sia-sia di jalan sesat yang telah
ditempuhnya. Dia berusaha melarikan diri dari terkaman raja berhati iblis itu.
Usaha pelarian Suwiryo sempat dihalangi beberapa prajurit yang menjaga gerbang.
Dengan segala upaya Suwiryo mampu menerobos barisan para prajurit.
Di tengah usaha menyelamatkan diri, Suwiryo bertemu
dengan sosok yang tidak jelas rupanya. Sosok bercahaya putih itu berdiri di depannya.
”Jangan takut. Tenanglah. Aku akan menolongmu,” katanya.
Lelaki yang sedang dirundung masalah ini duduk meringkuk
di depan sosok bercahaya putih. Dia sangat berterima kasih kepadanya. Sosok bercahaya
putih yang berdiri terpat di depan Suwiryo mengusap kepala Suwiryo. Dia merasakan
betul usapan tangan sosok bercahaya putih. Jiwanya dingin dan ringan. Tak lama
kemudian jiwanya terbang keluar dari tempat tersebut.
Jasad Suwiryo yang duduk bersila di pinggir petirtaan
Jalasuci bergerak-gerak. Suwiryo tergeragap. Dia pun mengakhiri ritualnya yang tidak
sesuai dengan harapannya. Dia membuka mata pelan-pelan. Dia tidak sadar ternyata
perjalanan ritualnya berlangsung sehari, dari malam sampai malam lagi. Dia
bersyukur karena diselamatkan sosok bercahaya putih dari angkara murka raja
iblis petirtaan.
Warung-warung di sekitar petirtaan sepi. Tidak ada
percakapan atau pemujaan orang-orang di sekitarnya. Dia hanya melihat beberapa
bekas alas duduk dan abu sisa dupa. Suwiyo berdiri. Dia meninggalkan tempatnya
bersila selama sehari. Ketika Suwiryo baru melangkahkan kaki kanannya, dari
kejauhan terdengar suara angin ribut. Terdengar pula jeritan manusia yang
muncul bergantian dengan suara angin. Suara angin itu semakin lama semakin
mendekat. Suwiryo bergegas lari meninggalkan tempat itu. Dia berlindung di
teras warung yang di dalamnya ada beberapa orang yang berlindung.
Hempasan angin semakin kencang. Suaranya bergemuruh. Ranting
dan dahan pohon banyak yang patah. Beberapa atap warung mengelupas. Atap yang
terbuat dari seng dan esbes itu beterbangan tebawa pusaran angin. Kekuatan
angin yang bertenaga seperti raksasa itu juga mencabut pohon besar yang berusia
ratusan tahun. Pohon itu tumbang kemudian menimpa warung tempat Suwiryo dan
orang-orang berlindung.
Seketika itu suasana senyap. Tidak terdengar rintih atau
jerit orang-orang di bawahnya. Mereka meregang nyawa tertimpa pohon tempat
memuja dan menyajikan sesajen dalam setiap ritual.
Lima menit berlalu. Jalasuci porak-poranda oleh amukan
angin. Para warga yang selamat datang ke lokasi untuk mencari para korban.
Mereka menemukan lima orang korban tertimpa pohon yang dikeramatkan para
pemuja. Salah satu korban adalah Suwiryo. Dia yang berusaha memperbaiki nasib
hidupnya terhadang ajal. Keinginannya pupus direnggut amukan angin yang
sekaligus melenyapkan hidupnya.
Orang-orang di sekitar Suwiryo miris. Mereka berempati
pada kehidupan Suwiryo. Hidupnya tragis. Dia meregang nyawa ketika ingin
memperbaiki nasib hidup keluarga dengan caranya. (*)
Wanar, 3 Desember 2021