Puisi-Puisi karya Ahmad Zaini*
Demi Nasib Sang Buruh
bendera nasib
terkibar di tengah arakan nyawa
menghunus tuntutan
agar nasib bisa merasa
bermandi peluh
mengulum kelu
demi taraf hidup
lebih bermutu
arakan berderak melepuh kulit
terbakar bara aspal
di sengat mtahari
perjuangan lebih mendobrak tirani
pada keangkuhan
penguasa dan pengusaha
yang tak berhati
Tamsil Buruh
sehari makan sehari puasa
sehari minum sehari dahaga
itulah tamsil buruh
yang kini menggeliat
di sepanjang jalan tak berujung
mereka berteriak
menggetarkan gedung dan gudang menjulang
mengempis perut memburai suara
menggetarkan meja
orang-orang berdasi berkaca mata
kepekaan tumpul perlu di asah
agar mereka mengerti bagaimana kehidupan buruh
antara ada dan tiada
mengerti nafas buruh
sesak tercekik hidup yang sengsara
Tentang Kematian Seorang Buruh
perlawanan seakan tiada arti
ketika derak langkah kami diterjang badai
tubuh-tubuh kekar itu mengempit gerak
lalu melempar kami pada jurang kematian
apakah kami hanya nyawa tak berarti
hingga kau menyerang tanpa hati?
demi hidup dan martabat
kami berdiri tegak
tetap bergerak menjebol
keangkuhan dan kesemena-menaan
yang kaya pada yang papa
di sebuah gang nyawa melayang
diiring tabur bunga dan air mata
lantaran nganga luka
di ujung parang seorang preman
Selagi Pagi Masih Berembun
kulit dan tulang mengapit nafas
tak ada secuil daging membuka alir udara
kerut ari mengering terhisap kesombongan
dan kematian nurani
adakah segar udara menyejukkan kulit kami
adakah jernih air membilas noda di muka kami
salagi pagi masih berembun
nafas itu akan tetap mengalir
menapaki ujung-ujung sinar matahari
hingga senja melumat hari
Masa Lalu
Embun belum kering
kicau emprit dari balik rindang dedaunan
masih bersahut mengeja pagi yang baru terbit
namun bayangmu telah muncul
di depan pintu waktu yang
dini
senyummu mengungkit masa lalu
sapamu mengurai cerita
tentang kuncup bunga yang baru mekar
tentang biru langit yang berlukis awan
tentang kupu-kupu yang bermetamorfosis
tentang air jernih di telaga kehidupan
yang menyimpan sejuta cinta
masa silam
Engkau yang Kurindu
Suaramu dari seberang
melintasi samudra dan cakrawala
beradu dengan gelegar petir
yang mengiringi musim kemarau basah
senyummu mengirim pesan harapan
yang hidup di tanah gersang dan kerontang
tunggu sampai musim penghujan
aku akan datang dengan harapan
yang kini masih terbungkus debu kehidupan
peluh di kening
telah membakar semangat
bersua denganmu
di perbatasan musim
kekar pundak
kini telah menyatu dengan
bahu yang ngilu
gurauku tak mampu menembus waktu
tergilas suara mesin menderu
engkau yang kurindu tunggu aku
di batas waktu
Wanar, 26 September 2013
*Penyair adalah tenaga pendidik di SMA/MA Raudlatul Muta’allimin
Babat
beralamat di Wanar Pucuk Lamongan