Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 28 Oktober 2023

Syakaila, cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 29 Oktober 2023

 



Syakaila

Cerpen karya Ahmad Zaini


Alun-alun kota pagi berseri. Aneka tanaman hias bersolek dengan bunga warna-warni beraroma harum. Banyak kumbang beterbangan di sekitarnya. Sesekali kumbang hinggap sekadar menghisap madu. Matahari pagi itu juga tersenyum. Raja siang mengintip pengunjung alun-alun dari celah akasia. Cahayanya menerpa wajahku yang sedang duduk di bangku besi. Serasa aku berada di taman raja didampingi wanita terkasih. 

”Pak, kita jalan-jalan lagi mumpung masih pagi. Nanti pukul delapan sinar matahari sudah panas,” ajak istriku yang setia menemani jalan-jalan pagiku.

”Baik,” sanggupku. 

Istriku menarik kedua tanganku. Dia membantuku berdiri. Dia menggandeng tangan dengan setengah memapah karena fisikku tak sekokoh dulu. Aku dan istri berkeliling alun-alun kota sambil menikmati tanaman hias segar dan berbunga harum. 

Di masa tuaku, hampir setiap pagi waktu kugunakan berolahraga ringan di alun-alun kota. Dengan ditemani istri, aku menggerak-gerakkan anggota tubuh agar tidak kaku. Maklumlah, usiaku kini sudah delapan puluh tahun. Usia yang terbilang bonus dari Tuhan karena rata-rata usia manusia itu hanya sampai enam puluh sampai tujuh puluh. Aku manfaatkan usia bonus ini untuk memperbanyak ibadah kepada Tuhan dan menjaga kondisi fisik. 

Sudah dua puluh tahun aku menikmati masa purnatugas. Masa-masa memanjakan diri dari kesibukan tugas setiap hari. Tumpukan berkas di meja tugas tak ada lagi. Agenda kegiatan yang tertulis di papan kecil ruang kerja juga tidak pernah kulihat lagi. Kini aku menghabiskan waktu setiap hari hanya dengan istri. Ketiga anakku juga sudah hidup bahagia bersama keluarga mereka. Jika rindu anak dan cucu, tinggal video call mereka. Bahagia hatiku apabila sudah bertemu mereka meskipun hanya dari layar ponsel.

Mataku tertambat pada baliho besar di sudut alun-alun. Ada acara konser musik yang dimeriahkan penyanyi ibu kota. Aku amati baliho yang memampang foto bintang tamu dan waktu pelaksanaanya. 

Ada kekuatan menyeret ingatanku saat membaca nama sang bintang tamu, Syakaila. Nama yang tidak asing. Nama itu seperti dekat dengan masa laluku. Lisanku seakan masih ada bekas karena sering menyebut nama bintang tamu. Siapa, ya, dia? 

”Ada apa, Pak? Kuamati dirimu merenung seperti itu? Memikirkan apa?” tanya istriku.

”Lihat baliho itu. Konser musik dengan bintang tamu Syakaila,” jawabku sambil menunjuk ke arah baliho.

”Terus kenapa? Bapak mau menonton konser musik? Ingat usia,” goda istri.

”Bukan itu yang kupikirkan, melainkan nama bintang tamunya. Syakaila itu nama yang sepertinya dekat denganku. Nama itu ada dalam memori ingatanku,” jelasku pada istri.

”Jangan sok kenal sok dekat. Dia itu penyanyi ibu kota. Mana mungkin orang seusiamu dekat dengan penyanyi ibu kota.”

”Benar, Bu. Nama itu ada dalam ingatanku. Tapi, aku lupa siapa?”

”Katanya ada dalam ingatan, kok, lupa. Aneh,” sahut istriku.

Aku diam. Aku masih berusaha menyeret ingatanku ke masa lalu. Aku membuka memori ingatan untuk menemukan nama Syakaila. Aku membuka ingatan di sekitar keluarga, tetangga, dan handai tolan. Nama itu masih belum ketemu. Aku mencoba mengingat-ingat teman dan keluarga mereka di tempat kerja. Aku menyelami memori ingatanku pada satu persatu teman karibku. 

Hasmayati Farida. Dulu dia punya anak kecil yang lucu dan cerdas. Gadis kecil yang menggemaskan ini sering diajak ke tempat dinas. Dia kalau masuk ruang kerja, pinggangku selalu dikitik-kitik. 

”Apakah benar dia, Bu?”

”Siapa yang kamu maksud?”

”Dia itu Kaila. Anak teman saya. Gadis kecil dan imut yang selalu memanggilku Mbah Zain.”

”Ah, tidak mungkin, Pak. Kamu salah orang,” bantah istriku.

”Kita buktikan Minggu depan,” kataku.

Rasa penasaran mengaduk-aduk pikiranku. Wajah Kaila kecil muncul dan berseliweran di kornea mataku. Setiap aku melangkah menapaki jalan kecil berhias bunga di kanan-kiri, wajah Kaila selalu muncul.

”Aku yakin bintang tamu konser musik itu Kaila, Anak Farida,” kataku spontan tanpa kusadari terdengar istriku.

”Hati-hati kalau jalan. Jangan melamun Kaila saja. Besok Minggu kita buktikan,” sergah istriku. 

Tubuhku terasa hangat. Rupanya matahari sudah naik hingga pucuk akasia. Istriku menegur agar jalanku dipercepat untuk bisa sampai di trotoar jalan raya pinggir alun-alun. 

”Becak,” panggil istriku. Tukang becak sedang tidur-tiduran di becaknya bergegas bangun. Dia berdiri lantas menghampiri kami.

Angin sepoi menerpa wajah kami seiring laju becak kian mengencang. Aku melirik wajah istriku ceria. Dia sepertinya juga menikmati semilir angin yang menantang perjalanan. Tak membutuhkan waktu lama, becak berhenti tepat di depan rumah kami.

Perjalanan usia terkadang jarang disadari oleh seseorang. Waktu dibiarkan mengurangi jatah hidup di dunia begitu saja. Usia senja seperti diriku rasanya masih muda. Baru sadar tua ketika mengingat teman-teman sebayaku sudah banyak yang meninggal dunia. 

”Pak, susunya ini segera diminum. Keburu dingin lagi, lho,” seru istriku dari ruang tamu. 

Aku ke ruang tamu. Di atas meja terdapat segelas susu yang masih mengepulkan asap. Aromanya sedap menggiurkan. Kutuang susu dalam lepek. Kubiarkan sesaat kemudian kusruput pelan. 

”Alhamdulillah, pas susunya,” ungkapku disambut tepukan istri di punggungku.

***

Minggu pagi yang kutunggu datang juga. Aku bersama istri seperti biasa. Jogging ringan berkeliling alun-alun kota. Namun, Minggu ini tidak seperti mingu-minggu biasanya. Ada yang istimewa. Aku akan membuktikan bahwa bintang tamu Syakaila itu pasti si kecil imut anak Farida.

Muda-mudi berjubel. Mereka mendekat panggung konser demi ingin bisa melihat langsung penyanyi idolanya. Mereka tak memedulikan orang-orang di depannya. Para penggandrung Syakaila terus merangsek dan merangsek hingga dapat melihat jelas area panggung berdesain seni tinggi. 

”Bu, kita mendekat. Biar dapat melihat Kaila,” ajakku.

”Cukup dari sini saja, Pak. Toh, sudah nyaman,” tolak istriku.

Benar juga. Aku dan istriku berdiri di bawah tanaman perdu. Terlindung dari sengatan sinar matahari kemarau. Tapi rasa penasaranku kepada bintang tamu ini membuat aku ingin sekali lebih mendekat ke panggung. 

”Nah, lihat, Bu! Bintang tamu muncul. Coba kita amati,” kataku dengan sedikit gugup.

Aku dapat melihat dengan jelas penyanyi ibu kota ini. Wajahnya manis. Kulitnya putih. Rambutnya hitam dan lurus. Matanya agak sipit.

”Benar sekali, Bu. Dia Kaila. Anak Farida. Kita mendekat agar bisa menyapanya,” ajakku.

”Yakin bisa berjalan ke depan? Ingat kondisi fisikmu. Jalan saja tidak tegak,” cerca istriku dengan nada kesal.

Aku mengurungkan niatku. Tapi aku tak pantang menyerah. Aku akan mencari cara bagaimana aku bisa bertemu Kaila.

”Kita ke panitia untuk menanyakan mobil Kaila. Kalau dulu mobil ibunya berwarna putih. Yang sekarang aku tidak tahu. Nanti kita menunggu Kaila di mobilnya.”

”Baiklah. Semoga tidak sampai siang, konser sudah selesai,” sanggup istriku yang kali ini menerima ideku.

Benar sekali. Konser musik selesai lebih pagi. Menurut informasi, Kaila hari ini juga akan manggung di tempat lain. Jadi, di alun-alun kota ini dia hanya mendendangkan tiga lagu saja. 

Syakaila turun panggung dan berhenti sejenak. Dia bercakap-cakap dengan panitia konser. Aku dan istri berdiri tepat di depan pintu mobil yang ditunjukkan oleh panitia. Syakaila yang didampingi kru berjalan mendekat ke arahku. Namun, belum sampai Syakaila sampai di mobil, para kru menyuruhku minggir agar tidak menghalangi Syakaila.

”Sebentar. Kami ada perlu penting dengan Syakaila. Aku kerabatnya,” bujukku.

”Baik. Sebentar saja, Pak,” timpal salah satu kru.

Syakaila datang. Aku menyambutnya dengan rasa haru hingga tak kuasa air mataku keluar tanpa sadar. 

”Kaila. Masih ingat aku?” kataku. 

Kaila tengok ke kanan-kiri. Dia pangling. Aku memperkenalkan nama panggilan yang dulu sering digunakan Kaila saat memanggilku.

”Aku Mbah Zain. Teman ibumu,” kataku mengingatkan Kaila.

”Mbah Zain yang dulu sering kukitik-kitik lalu tertawa geli. Mbah Zain yang di meja kerjanya selalu ada makanan dan selalu menawariku menikmatinya,” sahut Kaila.

”Betul sekali. Ternyata ingatanmu tajam sekali. Syukurlah kamu masih seperti Kaila yang dulu. Meskipun menjadi penyanyi nasional, kamu tetap sudi meluangkan waktu sekadar mengobati rasa penasaranku.”

”Sama-sama Mbah Zain. Semoga Mbah Zain dan Nenek sehat selalu. Ini Mbah Zain nomor teleponku. Lain kali kita sambung ngobrolnya lewat telepon,” pungkas Kaila sambil menyodorkan secarik kertas kepadakku. Dia terburu-buru karena agendanya sangat padat.

Syakaila menjabat tanganku dan istriku. Dia tetap bersikap santun kepada siapa pun meskipun sebagai artis ibu kota. Didikan kedua orang tuanyalah yang membuatnya seperti itu.

Kini hatiku puas karena rasa penasaranku sejak tiga minggu lalu terobati. Dugaanku tidak meleset. Dia ternyata Kaila. Gadis imut menggemaskan yang sering diajak ibunya ke tempat kerja. Dia telah  menjadi penyanyi terkenal. Punya ribuan bahkan jutaan penggemar sejagad raya.

Matahari memanjat langit semakin tinggi. Sinarnya panas sekali. Istriku mengajak pulang. Aku mengikutinya sambil menggamit secarik kertas berisi nomor telepon Syakaila, penyanyi ibu kota yang kini digandrungi muda-mudi.(*)

 Wanar, 21 Oktober 2023 


Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa cerpen dan puisinya menyebar di berbagai media cetak dan online serta telah menerbitkan dalam beberapa buku. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Bukan Kisah Laila Majnun (2023).