Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 18 April 2020

Gadis Korona, cerpen Jawa Pos Radar Bojonegoro, Minggu, 19 April 2020



Gadis Korona
Cerpen karya Ahmad Zaini

Pintu kamar Karina tertutup rapat. Tak ada celah sama sekali. Binatang kecil seperti semut kesulitan masuk. Apalagi tikus yang biasanya mencabik-cabik pernik di dalamnya. Binatang yang menjadi simbol koruptor itu hanya bisa mondar-mandir sambil menahan liur di depan pintu kamar. Meskipun kamar Karina yang kini dijadikan ruang karantina mandiri itu tertutup rapat, fasilitas di dalamnya sangat lengkap. Mulai kebutuhan hidup seperti makan, minum, hingga MCK. Demikian juga dengan kebutuhan sekundernya. Ruang pendingin, dispenser, dan alat elektronik lainnya juga terpenuhi. Sehingga, Karina sangat betah mengisolasi diri dalam kamar yang berukuran empat meter persegi itu.
Empat belas hari lamanya Karina harus menjalani karantina mandiri di kamar. Dia tidak ingin kepulangannya meninbulkan bencana baru di rumah. Dia tidak ingin keluarga dan tetangganya terdampak virus akibat kelalaiannya. Karina baru diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit setelah dinyatakan sembuh dari virus korona. Atas kesadaran peribadi dia harus tetap mengisolasi diri demi menyelamatkan seluruh anggota keluarga, tetangga, dan masyarakat yang tinggal di lingkungannya.
Gadis berhidung mancung, berparas cantik ini duduk di depan cermin. Dia menyisir rambutnya yang sebahu sambil menirukan lagu yang diputar lewat VCD. Gadis yang berprofesi sebagai perawat ini berusaha mengusir kejenuhan dalam kamar dengan membuat masker. Dia memotong kain bahan kaos. Kemudian, lentik jari-jemari Karina merangkai beberapa potongan kain itu menjadi masker.
Karina teringat beberapa pasien yang pernah dirawatnya. Mereka yang terpapar virus korona karena mengabaikan anjuran mengenakan masker saat keluar rumah. Beberapa pasien yang dia rawat itu ada yang sembuh, bahkan ada yang sampai meninggal.
Gadis lulusan Akademi Perawat ini sering terlibat menangani beberapa pasien yang terindikasi terpapar korona. Rata-rata mereka mengalami batuk-batuk, suhu badan tinggi, dan sesak napas. Jika kondisinya sudah parah, mata mereka mendelik. Napasnya tersengal-sengal. Tak lama kemudian meninggal. Jika ada pasien meninggal, Karina dan para perawat lainnya langsung mengurus jenazah dengan mematuhi protokoler kesehatan. Para perawat harus memakai alat pelindung diri secara lengkap. Setelah itu, mereka baru mengurus janazah mulai dari memandikan, mengafani, hingga melapisi janazah dengan plastik.
Karina kecapekan. Dia dihantui rasa takut tertular pasien. Dia gelisah. Karina beberapa kali terlihat duduk menyendiri di depan ruang pasien. Dia terkadang menyempatkan diri membuka ponsel. Dia menghubungi keluarganya dan berpesan agar tetap berada di rumah. Melarang ayah, ibu, dan adik-adiknya keluar rumah, rajin cuci tangan dengan sabun. Jika terpaksa keluar rumah, mereka dianjurkan memakai masker.
Dia terkadang membayangkan penyakit yang dialami pasien itu terjadi pada diri dan keluarganya. Pasti dia dan keluarganya akan merasakan hal yang sama dengan para pasien itu. Dia dan keluarganya akan dikarantina untuk mendapatkan pengawasan dan perawatan yang sama seperti yang ia lakukan pada beberapa pasien saat ini.
”Karina, bangun! Bangun! Jadwalmu sudah selesai. Waktu istirahat,” seorang perawat datang membangunkan Karina yang tergolek lemas di depan ruang perawatan.
Gadis berparas cantik itu bergeming. Matanya terpejam dengan tubuh yang terkulai di depan ruang isolasi. Perawat tersebut menggoyang-goyang tubuh Karina. Namun, rekannya itu masih diam saja. Perawat yang selama ini menjadi mitra kerja Karina lantas menghubungi teman-temannya dan pada dokter piket. Dokter mengecek kondisi Karina yang lemas.
”Dia pingsan. Segera dibawa ke ruang pemeriksaan!” pinta dokter yang bertugas saat itu.
Mereka yang mengenakan alat pelindung diri dengan lengkap itu segera membopong Karina ke ruang pemeriksaan. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Karina mengalami gejala seperti para pasien yang terpapar virus korona. Suhu badannya sangat tinggi dan sesak napas. Ternyata betul. Seminggu berikutnya hasil laboratorium menunjukkan bahwa Karina positif korona.
Karina menyadari kondisi dirinya yang terpapar virus korona. Dia mematuhi dan menjalani proses penyembuhan seperti yang ia perintahkan pada para pasien yang pernah dirawatnya. Setelah kondisinya membaik, dia diperbolehkan pulang. Dia mengisolasi diri dalam kamar atas kesadaran dirinya.
”Karin, ini sarapan pagimu,” suara ibu Karina dari depan pintu kamarnya.
Karina yang saat itu menyisir rambutnya yang indah, segera meletakkan sisirnya di atas meja riasnya. Dia membuka sedikit daun pintu kamarnya. Gemulai tangannya menerima sepiring nasi dan segelas air hangat dari ibunya. Dia sangat berhati-hati agar tangannya tidak menyentuh tangan ibunya yang sudah mengeriput termakan usia.
”Terima kasih, Bu! Adik-adik sudah berangkat sekolah?” tanya Karina pada ibunya.
”Adik-adikmu tidak ke sekolah. Mereka santai di ruang depan sambil menunggu tugas dari gurunya,” jawabnya.
Karina tercenung sebelum menutup pintu kamarnya. Dia baru ingat sekolah adik-adiknya diliburkan gara-gara pandemi virus korona yang merajalela. Meskipun belajar di rumah, tugas yang mereka terima dari gurunya lebih banyak daripada ketika belajar di sekolah. Setiap hari hampir tiga sampai lima tugas yang harus diselesaikan dalam sehari.
Gadis manis itu meletakkan menu sarapan paginya di meja rias. Dia sementara menggunakan meja riasnya sebagai penopang menu sarapannya. Sebelum makan dia mencuci tangannya dengan air yang dipancurkan dari dispenser. Dia menekan tombol merah. Karina cuci tangan dengan air hangat. Dia tidak  lupa menggunakan sabun agar tangannya benar-benar steril. Bebas dari kuman dan virus.
Sisir dan bedak yang berada di meja itu disingkirkan sementara agar menu sarapan paginya mendapat ruang yang nyaman dan aman. Bibir yang terlihat agak sensual Karina berkomat-kamit. Dia berdoa sebelum menyantap menu sarapan paginya.
”Mbak Karin, ada Mas Teguh di depan,” seru adiknya dari luar kamar.
”Ya. Masih sarapan,” sahutnya.
Dalam hati Karina bertanya-tanya. Ada keperluan apa Teguh pagi-pagi bertandang kerumahnya? Ditemui atau tidak? Karina bingung karena saat ini dia masih menjalani karantina mandiri di kamarnya.
Karina meninggalkan piring dan gelas yang sudah kosong di atas meja. Dia melesat ke pintu kamar dengan harapan adiknya masih berada di situ. Ternyata adiknya sudah kembali ke ruang depan. Karina menutup pintu kamarnya dengan rapat. Karina kembali ke tempat makan. Dia mencuci piring dan gelas bekas tempat makanan dan minumannya.
”Karin, ini Mas Teguh mau menyampaikan sesuatu,” suara ibunya dari depan pintu kamarnya.
Karina segera membuka sedikit pintu kamarnya. Dia mengintip Teguh yang mengenakan masker berdiri di samping ibunya.
”Maaf, Karin! Mengganggu sebentar. Ini ada bingkisan sebagai ucapan selamat karena kamu lolos dalam seleksi tenaga kontrak dinas kesehatan,” kata Teguh sembari menyodorkan bingkisan yang dikemas rapi dengan kertas bermotif bunga melati.
”Benarkah? Alhamdulillah! Kamu bagaimana?” ujar Karina sambil menerima bingkisan dari celah pintu kamar.
”Saya belum seberuntung kamu.”
”Yang sabar, ya! Saya yakin kamu akan diterima pada gelombang berikutnya.”
”Amin!” sahut Teguh.
”Terima kasih atas hadiah Mas Teguh. Semoga bermanfaat!” ucap Karina.
Teguh undur diri. Lelaki yang berteman dengan Karina sejak kecil  ini meninggalkan Karina yang kembali masuk ke kamar karantina. Mereka sama-sama paham kalau berlama-lama dalam kerumunan itu tidak diperkenankan dalam suasana seperti ini.
Bibir indah Karina mengembang seperti bunga di taman rumahnya. Dia sangat senang menerima hadiah dari Teguh. Lentik jemari kedua tangan Karina gemulai mengurai kemasan bingkisan. Dia membuka bingkisan yang ternyata berisi masker dan alat pelindung diri.
Karina bersyukur punya teman seperti Teguh. Dia sangat senang pada hadiah yang diberikan kepadanya. Teguh sangat memahami dirinya. Meski bingkisan yang diberikan kepadanya hanya masker dan alat pelindung diri, namun ini sangat bermanfaat bagi dirinya. Lebih-lebih profesinya saat ini sebagai perawat yang telah lolos seleksi tenaga kontrak di dinas kesehatan kabupaten.
Gadis yang hampir tuntas menjalani karantina mandiri di kamarnya ini meletakkan hadiah Teguh dari pelukannya. Dia melanjutkan aktivitasnya setelah sarapan pagi. Dia berjemur di depan jendela kamar sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya. Dia juga melompat-lompat ringan agar segera berkeringat. Butir-butir keringat menyembul dari kening. Karina menyekanya dengan tisu di atas mejanya.
Setelah sarapan pagi, berjemur sambil berolahraga ringan, Karina mengemasi beberapa masker yang dibuat selama karantina mandiri di kamar. Ada lima kardus masker hasil karyanya. Beberapa masker ini rencananya akan dibagikan kepada warga sekitar. Dia tidak ingin ada tetangga dan masyarakat yang lain terpapar virus korona seperti yang pernah ia alami. (*)

Wanar, 17 April 2020

Ahmad Zaini merupakan guru SMKN 1 Lamongan dan ketua PC Lesbumi NU Babat.
Beberapa karyanya pernah dimuat dibeberapa media cetak dan telah menerbitkan beberapa buku. Buku kumpulan puisi terbarunya berjudul Hanya Waktu Jelang Kematian (Maret, 2020). Dia tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.