Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Rabu, 03 Juni 2015

Pemburu Matahari



Pemburu Matahari
Cerpen Ahmad Zaini*

Jalan berbatu dan berdebu menuntun langkah seorang wanita renta. Ia setiap hari mengikuti perjalanan matahari dari ufuk timur hingga ufuk barat. Wanita renta itu tak kenal lelah. Ia tetap melangkah meskipun usia kalah oleh waktu yang terus mencari tempat singgah.
Si Mbah Pemburu Matahari biasa warga memanggilnya. Disebut sebagai pemburu matahari karena ia terus mengejar matahari. Setiap pagi, wanita renta selalu berjalan ke Timur. Siang hari ketika matahari tegak di langit biru, wanita renta itu akan berhenti di tempatnya berdiri. Waktu  sore ketika matahari telah lingsir ke barat, ia melanjutkan perjalanan ke barat. Pada malam hari wanita renta merebahkan tubuhnya di tempat ia terakhir berdiri. Jika kebetulan dia berdiri di pelataran rumah warga, ia akan merebahkan tubuhnya di tempat itu. Kalau ia berdiri di pinggir jalan, ia pun akan beristirahat di pinggir jalan. Bahkan suatu ketika ia harus menelentangkan tubuhnya di tengah jalan karena sebelum matahari benar-benar tenggelam dia berdiri di tengah jalan.
Wanita renta itu memburu matahari semenjak anak lelakinya yang berumur tujuh tahun lenyap. Entah mengapa anak pertama yang ia idam-idamkan kelahirannya hilang seperti ditelan bumi. Ia mencari anak lelakinya bersama suaminya ke sana kemari. Namun, usahanya tidak pernah membuahkan hasil. Anak semata wayang yang akan dijadikan sebagai generasi penerus pada silsilah terakhir keluarganya tidak pernah ketemu. Bahkan kabar keberadaannya pun tidak pernah terlacak. Setiap hari mereka bermunajat kepada Tuhan agar dipertemukan dengan anaknya. Akan akan tetapi, Tuhan belum mengabulkan permohonannya. Pada angin yang melintas, pada daun-daun akasia yang berguguran, mereka selalu menanyakan anaknya. Namun, angin dan dedaun akasia selalu menjawab tidak pernah tahu keberadaan anaknya. Mereka juga menangkapi jari-jari hujan yang sempat mengguyurnya. Mereka bertanya tentang anaknya. Rinai hujan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya karena juga tidak mengetahui anaknya. Pada malam purnama mereka duduk menghadap rembulan. Mereka mencoba menanyakan keberadaan anaknya. Rembulan pun hanya tersenyum simpul sambil menggeleng karena tidak mengetahuinya.
“Pada matahari. Ya. Dia pasti mengetahuinya. Mari kita bertanya kepadanya,” kata suaminya dengan yakin.
“Betul. Dia yang mengetahui segalanya. Dia adalah matanya hari. Matanya waktu. Pasti dia mengetahi anak kita,” sambung wanita renta membenarkan ucapan suaminya.
Ketika embun masih menempel pada ujung dan batang rerumputan, mereka duduk di tanah lapang menunggu matahari muncul. Mereka yakin jika upaya mencari anaknya akan berhasil. Mereka mantap pada keyakinannya kalau matahari pasti mengetahuinya.
Sorot cahaya merah jingga melukis langit di ufuk timur. Mata mereka menatap matahari yang baru lahir dari rahim bumi. Mereka berdiri lalu bertanya lantang kepada matahari.
“Matahari, di mana anakku?” teriak suami wanita itu.
“Apakah kau melihat anakku? Di mana ia berada?” sambung wanita renta dengan berteriak pula.
Matahari perlahan menapaki tangga pagi. Matanya tak berkedip untuk memberikan isyarat jawaban pada teriakan suami istri ini. Matahari angkuh. Ia tetap memanjat langit cerah pagi itu tanpa memedulikan teriakan suami istri yang menanyakan keberadaan anak laki-lakinya.
“Matahari … di manakah anakku?” tanya mereka bersama-sama.
Hingga suara mereka parau matahari tidak memberikan jawaban pasti pada kedua orang tua yang telah kehilangan anaknya.
“Dia tahu. Matahari mengetahui keberadaan anak kita,” kata wanita itu.
“Tapi mengapa dia tidak menjawab?” sahut suaminya.
“Dia telah menyembunyikan sesuatu. Jangan-jangan dia yang telah menculik anak kita!”
“Mungkin saja. Andaikan dia tidak mengetahuinya pasti dia menjawab tidak tahu. Atau paling tidak dia akan menggeleng-gelengkan kepala sebagai isyarat tidak mengetahuinya.”
“Bukan mungkin lagi. Dia pasti yang menculiknya. Dia yang telah mengambil anak kita.”
“Lantas apa yang bisa kita lakukan?” tanya suaminya.
“Kita akan memburunya sampai dia menyerahkan anak kita.”
“Baiklah, mari kita buru!”
Hanya berbekal beras satu kaleng serta sekendi air minum mereka bangkit dari duduknya. Mereka berjalan ke arah timur ke tempat matahari yang masih berada di ujung pepohonan rindang.
“Percepat jalanmu sebelum matahari meninggi!”
Wanita itu menuruti ucapan suaminya. Ia mempercepat langkahnya menuju ke timur. Ke arah matahari yang belum meninggi meninggalkan bumi.
Perjalanan jauh mereka melintasi bebatuan dan perbukitan belum membuahkan hasil. Semakin jauh mereka melangkah semakin tinggi matahari meninggalkan mereka. Suami-istri itu pun duduk di tengah gundukan tanah untuk melepas lelah. Sedangkan matahari semakin tegak di tengah langit yang cerah.
“Kita beristirahat dulu,” ucap wanita sambil menuangkan air kendi ke dalam batok. Mereka meminumnya dengan bergantian.
Setelah meminum air dari batok kelapa, napas suaminya tersengal-sengal. Ia kolap. Wanita itu panik. Dia tidak bisa menyelamatkan suaminya yang sekarat. Pada akhirnya, sang suami yang telah menemani perjalanan memburu matahari itu menutup mata. Suaminya meninggal dunia di bawah terpaan sinar matahari yang terik.
Wanita itu menelentangkan tubuh suaminya di atas gundukan tanah. Dia diam sambil meratapi nasih yang menimpanya. Dia tak punya teman perjalanan lagi dalam memburu matahari yang masih belum berhasil hingga kini. Harapan satu-satunya tinggallah pada anak lelaki semata wayangnya yang menurut keyakinannya masih disembunyikan matahari.
Wanita yang kini sebatang kara itu terkejut. Dia kehilangan jasad suaminya. Dia tidak mendapati jasad suaminya yang tadi ditelentangkan di atas gundukan tanah.
“Di manakah kau …???” suaranya menggema di tengah siang yang menyala.
Gundukan tanah yang diduduki itu bergerak. Tanah itu seakan memberitahu bahwa jasad suaminya telah menyelinap di dalamnya.
“Baiklah kalau begitu. Tenanglah di alammu. Aku akan mengejar matahari sendirian hingga dia menyerahkan anak kita. Aku akan menerjang segala rintangan meskipun nyawa taruhannya!” kata wanita itu berjanji.
Dengan bekal yang tersisa, wanita itu melanjutkan perjalanan ke arah barat karena matahari saat itu telah berada di sore hari. Dia akan tetap melangkah meskipun harus melintasi daratan dan lautan. Semak belukar akan dia terjang, gunung-gunung tinggi akan ia daki, serta lautan akan ia seberangi. Semua itu akan dia lakukan hanya demi satu tujuan. Yakni, menangkap matahari yang telah menyembunyikan anak semata wayangnya. Anak generasi terakhir dari silsilah keluarganya. (*)
Wanar, 28 Mei 2015


Dimuat di Radar Bojonegoro (Jawa Pos Grup) Minggu, 31 Mei 2015