Pemburu Matahari
Cerpen
Ahmad Zaini*
Jalan berbatu dan
berdebu menuntun langkah seorang wanita renta. Ia setiap hari mengikuti
perjalanan matahari dari ufuk timur hingga ufuk barat. Wanita renta itu tak
kenal lelah. Ia tetap melangkah meskipun usia kalah oleh waktu yang terus
mencari tempat singgah.
Si Mbah Pemburu Matahari
biasa warga memanggilnya. Disebut sebagai pemburu matahari karena ia terus
mengejar matahari. Setiap pagi, wanita renta selalu berjalan ke Timur. Siang
hari ketika matahari tegak di langit biru, wanita renta itu akan berhenti di
tempatnya berdiri. Waktu sore ketika
matahari telah lingsir ke barat, ia
melanjutkan perjalanan ke barat. Pada malam hari wanita renta merebahkan
tubuhnya di tempat ia terakhir berdiri. Jika kebetulan dia berdiri di pelataran
rumah warga, ia akan merebahkan tubuhnya di tempat itu. Kalau ia berdiri di
pinggir jalan, ia pun akan beristirahat di pinggir jalan. Bahkan suatu ketika
ia harus menelentangkan tubuhnya di tengah jalan karena sebelum matahari
benar-benar tenggelam dia berdiri di tengah jalan.
Wanita renta itu
memburu matahari semenjak anak lelakinya yang berumur tujuh tahun lenyap. Entah
mengapa anak pertama yang ia idam-idamkan kelahirannya hilang seperti ditelan
bumi. Ia mencari anak lelakinya bersama suaminya ke sana kemari. Namun,
usahanya tidak pernah membuahkan hasil. Anak semata wayang yang akan dijadikan
sebagai generasi penerus pada silsilah terakhir keluarganya tidak pernah
ketemu. Bahkan kabar keberadaannya pun tidak pernah terlacak. Setiap hari
mereka bermunajat kepada Tuhan agar dipertemukan dengan anaknya. Akan akan
tetapi, Tuhan belum mengabulkan permohonannya. Pada angin yang melintas, pada
daun-daun akasia yang berguguran, mereka selalu menanyakan anaknya. Namun,
angin dan dedaun akasia selalu menjawab tidak pernah tahu keberadaan anaknya. Mereka
juga menangkapi jari-jari hujan yang sempat mengguyurnya. Mereka bertanya
tentang anaknya. Rinai hujan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya karena juga
tidak mengetahui anaknya. Pada malam purnama mereka duduk menghadap rembulan.
Mereka mencoba menanyakan keberadaan anaknya. Rembulan pun hanya tersenyum
simpul sambil menggeleng karena tidak mengetahuinya.
“Pada matahari. Ya. Dia
pasti mengetahuinya. Mari kita bertanya kepadanya,” kata suaminya dengan yakin.
“Betul. Dia yang
mengetahui segalanya. Dia adalah matanya hari. Matanya waktu. Pasti dia
mengetahi anak kita,” sambung wanita renta membenarkan ucapan suaminya.
Ketika embun masih
menempel pada ujung dan batang rerumputan, mereka duduk di tanah lapang
menunggu matahari muncul. Mereka yakin jika upaya mencari anaknya akan
berhasil. Mereka mantap pada keyakinannya kalau matahari pasti mengetahuinya.
Sorot cahaya merah
jingga melukis langit di ufuk timur. Mata mereka menatap matahari yang baru
lahir dari rahim bumi. Mereka berdiri lalu bertanya lantang kepada matahari.
“Matahari, di mana
anakku?” teriak suami wanita itu.
“Apakah kau melihat
anakku? Di mana ia berada?” sambung wanita renta dengan berteriak pula.
Matahari perlahan
menapaki tangga pagi. Matanya tak berkedip untuk memberikan isyarat jawaban
pada teriakan suami istri ini. Matahari angkuh. Ia tetap memanjat langit cerah
pagi itu tanpa memedulikan teriakan suami istri yang menanyakan keberadaan anak
laki-lakinya.
“Matahari … di manakah
anakku?” tanya mereka bersama-sama.
Hingga suara mereka
parau matahari tidak memberikan jawaban pasti pada kedua orang tua yang telah
kehilangan anaknya.
“Dia tahu. Matahari
mengetahui keberadaan anak kita,” kata wanita itu.
“Tapi mengapa dia tidak
menjawab?” sahut suaminya.
“Dia telah
menyembunyikan sesuatu. Jangan-jangan dia yang telah menculik anak kita!”
“Mungkin saja. Andaikan
dia tidak mengetahuinya pasti dia menjawab tidak tahu. Atau paling tidak dia
akan menggeleng-gelengkan kepala sebagai isyarat tidak mengetahuinya.”
“Bukan mungkin lagi.
Dia pasti yang menculiknya. Dia yang telah mengambil anak kita.”
“Lantas apa yang bisa
kita lakukan?” tanya suaminya.
“Kita akan memburunya
sampai dia menyerahkan anak kita.”
“Baiklah, mari kita
buru!”
Hanya berbekal beras
satu kaleng serta sekendi air minum mereka bangkit dari duduknya. Mereka
berjalan ke arah timur ke tempat matahari yang masih berada di ujung pepohonan
rindang.
“Percepat jalanmu
sebelum matahari meninggi!”
Wanita itu menuruti
ucapan suaminya. Ia mempercepat langkahnya menuju ke timur. Ke arah matahari
yang belum meninggi meninggalkan bumi.
Perjalanan jauh mereka
melintasi bebatuan dan perbukitan belum membuahkan hasil. Semakin jauh mereka melangkah
semakin tinggi matahari meninggalkan mereka. Suami-istri itu pun duduk di
tengah gundukan tanah untuk melepas lelah. Sedangkan matahari semakin tegak di
tengah langit yang cerah.
“Kita beristirahat
dulu,” ucap wanita sambil menuangkan air kendi ke dalam batok. Mereka
meminumnya dengan bergantian.
Setelah meminum air
dari batok kelapa, napas suaminya tersengal-sengal. Ia kolap. Wanita itu panik.
Dia tidak bisa menyelamatkan suaminya yang sekarat. Pada akhirnya, sang suami
yang telah menemani perjalanan memburu matahari itu menutup mata. Suaminya
meninggal dunia di bawah terpaan sinar matahari yang terik.
Wanita itu
menelentangkan tubuh suaminya di atas gundukan tanah. Dia diam sambil meratapi
nasih yang menimpanya. Dia tak punya teman perjalanan lagi dalam memburu
matahari yang masih belum berhasil hingga kini. Harapan satu-satunya tinggallah
pada anak lelaki semata wayangnya yang menurut keyakinannya masih disembunyikan
matahari.
Wanita yang kini
sebatang kara itu terkejut. Dia kehilangan jasad suaminya. Dia tidak mendapati
jasad suaminya yang tadi ditelentangkan di atas gundukan tanah.
“Di manakah kau …???”
suaranya menggema di tengah siang yang menyala.
Gundukan tanah yang
diduduki itu bergerak. Tanah itu seakan memberitahu bahwa jasad suaminya telah
menyelinap di dalamnya.
“Baiklah kalau begitu.
Tenanglah di alammu. Aku akan mengejar matahari sendirian hingga dia
menyerahkan anak kita. Aku akan menerjang segala rintangan meskipun nyawa
taruhannya!” kata wanita itu berjanji.
Dengan bekal yang tersisa,
wanita itu melanjutkan perjalanan ke arah barat karena matahari saat itu telah
berada di sore hari. Dia akan tetap melangkah meskipun harus melintasi daratan
dan lautan. Semak belukar akan dia terjang, gunung-gunung tinggi akan ia daki,
serta lautan akan ia seberangi. Semua itu akan dia lakukan hanya demi satu
tujuan. Yakni, menangkap matahari yang telah menyembunyikan anak semata
wayangnya. Anak generasi terakhir dari silsilah keluarganya. (*)
Wanar, 28 Mei
2015
Dimuat di Radar Bojonegoro (Jawa Pos Grup) Minggu, 31 Mei 2015