Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 16 Februari 2014

Mbok Tuminah dan Alun-Alun Kota



Mbok Tuminah dan Alun-Alun Kota
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Senja telah menunggu akhir dari perjalananku menuju alun-alun kota. Sinar matahari yang memerah benar-benar telah meredup dan langit pun menjadi kelam. Semebyar bintang-gemintang mengganti terang sinar matahari sekaligus menjadi pemandangan indah di langit. Bebintang itu menemani diriku yang ingin mengenang masa silam di kota yang telah lama kutinggalkan.
Aku datang ke kota ini bukan menjadi diriku yang dulu lagi. Dua puluh tahun silam aku di alun-alun kota ini sebagai penjual makanan dan minuman ringan. Setiap hari aku mengelilingi alun-alun ini sambil menjajakan makanan dan minuman kepada anak-anak yang rekreasi mengisi waktu liburan. Kini aku datang sebagai pengusaha sukses. Aku mengenakan pakaian fulldress dengan didampingi dua pengawal yang selalu setia menemani serta melayani diriku. Aku berjalan-jalan mengelilingi alun-alun kota yang telah lama kurindukan.
Aku sudah menduga bahwa alun-alun kota ini akan mengalami perubahan pesat. Aku mendengar bahwa kota ini dipimpin oleh seorang pejabat yang berprestasi dan kaya dengan ide kreatif. Tak ayal dugaanku selama ini terbukti ketika aku malam ini benar-benar berada di tengah alun-alun yang memperlihatkan pemandangan malam yang indah dihiasi gemerlap ribuan lampu serta aneka hiasan yang begitu memesona.
“Pengawal, ikut saya!” ajakku kepada pengawal.
Dua lelaki bertubuh tegap serta berkaca mata hitam segera mengikuti perintahku. Mereka berjalan di belakang mengikuti ke mana aku melangkahkan kaki.
“Ke mana ini, Bos?”
“Ah, tak perlu tanya macam-macam! Pokoknya ikuti aku!”
Aku berjalan mengitari alun-alun lalu berhenti di sudut alun-alun kota. Aku melihat sekeliling alun-alun dan trotoar yang tampak lebih bersih daripada sebelumnya sambil mencari-cari penjual nasi boran yang dulu berjualan di tempat aku berdiri sekarang ini.
“Mencari apa, Bos?”
“Tanya lagi, tanya lagi! Kalian itu ingin tahu saja.”
“Siapa tahu kami bisa membantu, Bos.”
“Tak usah! Saat ini aku tidak membutuhkan bantuan kalian,” jawabku. Kali ini aku benar-benar ingin menikmati kenangan masa silam.
Di tempat saya berdiri sekarang ini, dulu ada penjual nasi boran yang bernama Mbok Tuminah. Dia perempuan yang sudah renta, akan tetapi dia mempunyai semangat yang tinggi dalam bekerja. Ia berjualan nasi boran di alun-alun ini untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
Mbok Tuminah merupakan sosok yang sangat aku segani. Dia jujur, ramah, serta motivator ulung. Dia bisa memberi motivasi kepada para pelanggan atau kepada para pedagang asongan yang mangkal di alun-alun ini. Mbok Tuminah pernah berkata bahwa kesuksesan adalah milik semua orang. Kesuksesan bukan milik orang yang kaya raya saja, melainkan milik orang yang memiliki kemauan keras demi meraih kesuksesan. Nah, dari ucapannya itulah, kemudian aku nekat berangkat merantau ke luar Jawa dengan berbekal tabunganku hasil berjualan makanan dan minuman di alun-alun ini.
“Bu, Mbok Tuminah ke mana?” tanyaku kepada penjual tahu campur yang duduk di bawah lampu penerang alun-alun.
“Tidak tahu, Pak. Saya pedagang baru di alun-alun ini,” jawabnya.
Aku mencari Mbok Tuminah ke tempat lain. Aku berjalan dengan didampingi dua orang pengawal. Aku tidak merasa lelah. Aku terus berjalan dan tidak memedulikan keringat yang membasahi pakaianku. Aku tidak memedulikan bau badanku yang tak sedap karena belum sempat mandi semenjak pagi. Aku benar-benar ingin menikmati tempat yang penuh dengan berjuta-juta kenangan sebelum aku menjadi pengusaha sukses sekarang ini.
Di tengah alun-alun, aku mendekati kerumunan pengunjunga. Eh, ternyata tukang topeng monyet sedang menunjukkan kelihaiannya dalam mengendalikan monyetnya untuk menghibur pengunjung. Aku berhenti sebentar di tempat itu. Aku berbaur dengan ibu-ibu yang mendampingin anaknya menikmati pertunjukan topeng monyet. Aku ikut tertawa sambil bertepuk tangan ketika si monyet lucu sedang memperagakan kelihaiannya menirukan aksi pembalap. Si monyet tampak seperti crosser ternama di arena balapnya.
Usai mempertontokan atraksinya, si tukang topeng monyet menyodorkan topinya untuk meminta uang sukarela dari pengunjung alun-alun. Aku merogoh saku kanan celanaku. Tanganku meraih uang kertas seratus ribu. Aku memasukkan uang tersebut ke dalam topi si tukang topeng monyet. Lelaki pawang monyet itu terhenyak. Ia menatapku sejenak lalu mengucapkan ribuan terima kasih kepadaku karena aku telah memberinya uang yang tak pernah didapatkan selama menjadi tukang atraksi topeng monyet.
“Terima kasih, Pak! Terima kasih!” ucapnya sambil mencium-cium tangan kananku.
“Sama-sama, Kang!” balasku.
Tak ada informasi yang kudapatkan dari pertunjukan topeng monyet tentang keberadaan Mbok Tuminah.
Aku segera meninggalkan kerumunan pengunjung alun-alun menuju sudut yang lain. Di kejauhan aku melihat perempuan tua yang duduk menjaga nasi boran. Aku yakin bahwa perempuan tua itu pasti Mbok Tuminah. Aku mempercepat langkahku agar bisa cepat sampai ke tempat perempuan itu. Setelah sampai, ternyata perempuan tua itu bukan Mbok Tuminah. Ah, betapa kecewanya diriku yang belum juga menemukan Mbok Tuminah.
Kali ini aku benar-benar kecapekan. Aku melepas sepatuku lalu duduk lesehan beralas tikar pandan yang disediakan oleh perempuan tua penjual nasi boran itu.
“Kenapa kalian berdiri saja? Silakan duduk sini!” perintahku kepada kedua pengawalku yang bengong berdiri di belakangku.
“Siap, Bos! Terima kasih!” jawabnya.
“Mbok, nasi boran tiga pincuk!” pesanku kepada penjual nasi boran.
“Pakai ikan apa?”
“Sili, Mbok,” jawabku dengan mantap.
Perempuan tua itu segera meracikkan nasi boran sejumlah pesananku. Tangan kanannya lemah gemulai membuat pincukan nasi. Setelah itu,  dia dengan cekatan mengambil beberapa entong nasi dari boran lalu dituangkan ke pincukan. Perempuan tua itu tak lupa menyiramkan bumbu bercampur lauk ikan sili di atas nasi dalam pincukan.
“Silakan!” kata perempuan tua sambil menyodorkan nasi borannya kepada kami.
Kami memakan nasi boran dengan lahap. Lebih-lebih kedua pengawalku yang seumur hidupnya baru kali ini memakan makanan khas kota kelahiranku ini.
“Mbah, sudah lama jualan nasi boran di sini?” tanyaku sambil mencuci tangan kananku ke dalam baskom yang berada di sampingnya.
“Sudah, Pak. Saya sudah berdagang nasi boran di alun-alun ini lebih dari dua puluh tahun.”
“Berarti, Mbok kenal dengan Mbok Tuminah?”
“Tidak hanya kenal. Dia itu seperti saudara saya,” jawabnya dengan santai.
“Sekarang di mana?” tanyaku menyelidik.
“Dia sudah meninggal hampir sepuluh tahun silam,” jawabnya. Aku kaget mendengar kabar itu.
“Sakit apa?”
“Tuminah tidak sakit. Dia meninggal mendadak ketika pulang dari berjualan. Dia mengidap penyakit tekanan darah tinggi.”
“Semoga dia mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah!” doaku buat Mbok Tuminah.
“Amin!” kata perempuan tua.
Aku benar-benar tidak menyangka jika Mbok Tuminah telah meninggal dunia. Dia sangat berjasa pada prestasi dan kesuksesanku ini. Dialah yang mengajari diriku bahwa aku tidak boleh menyerah dalam berperang melawan nasib. Aku harus mampu meraih kesuksesan demi mengubah nasib meskipun dengan kondisi ekonomi yang terpincang-pincang. Dia pernah mengatakan bahwa orang yang sukses kebanyakan dari keluarga yang tidak mampu.
Dari wejangan-wejangan yang disampaikan Mbok Tuminah ketika aku duduk lesehan sambil menikmati nasi boran waktu itu,  benar-benar telah menjadikan diriku bersemangat dalam mengubah nasib hingga menjadi lebih baik seperti ini.
“Terima kasih, Mbok! Ini uangnya!” kataku kepada perempuan tua sambil memberinya uang lima ratus ribu rupiah.
“Wah, ini uang apa, Pak?” tanya perempuan tua.
“Terima saja, Mbok! Ini rezeki Mbok.”
Aku meninggalkan perempuan tua penjual nasi boran yang wajahnya sumringah diterpa cahaya lampu alun-alun kota. Dia membeber lima lembar uang kertas seratus ribuan sambil menatap kami bertiga yang pelan-pelan meninggalkan alun-alun kota yang penuh dengan kenangan ini. (*)
Wanar, Januari 2014

*Cerpenis adalah pembina di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
Berdomisili di Wanar Pucuk Lam0ngan