Mbok
Tuminah dan Alun-Alun Kota
Cerpen
karya Ahmad Zaini*
Senja
telah menunggu akhir dari perjalananku menuju alun-alun kota. Sinar matahari
yang memerah benar-benar telah meredup dan langit pun menjadi kelam. Semebyar
bintang-gemintang mengganti terang sinar matahari sekaligus menjadi pemandangan
indah di langit. Bebintang itu menemani diriku yang ingin mengenang masa silam
di kota yang telah lama kutinggalkan.
Aku
datang ke kota ini bukan menjadi diriku yang dulu lagi. Dua puluh tahun silam
aku di alun-alun kota ini sebagai penjual makanan dan minuman ringan. Setiap
hari aku mengelilingi alun-alun ini sambil menjajakan makanan dan minuman
kepada anak-anak yang rekreasi mengisi waktu liburan. Kini aku datang sebagai pengusaha
sukses. Aku mengenakan pakaian fulldress dengan didampingi dua pengawal
yang selalu setia menemani serta melayani diriku. Aku berjalan-jalan
mengelilingi alun-alun kota yang telah lama kurindukan.
Aku
sudah menduga bahwa alun-alun kota ini akan mengalami perubahan pesat. Aku
mendengar bahwa kota ini dipimpin oleh seorang pejabat yang berprestasi dan
kaya dengan ide kreatif. Tak ayal dugaanku selama ini terbukti ketika aku malam
ini benar-benar berada di tengah alun-alun yang memperlihatkan pemandangan
malam yang indah dihiasi gemerlap ribuan lampu serta aneka hiasan yang begitu
memesona.
“Pengawal,
ikut saya!” ajakku kepada pengawal.
Dua
lelaki bertubuh tegap serta berkaca mata hitam segera mengikuti perintahku.
Mereka berjalan di belakang mengikuti ke mana aku melangkahkan kaki.
“Ke
mana ini, Bos?”
“Ah,
tak perlu tanya macam-macam! Pokoknya ikuti aku!”
Aku
berjalan mengitari alun-alun lalu berhenti di sudut alun-alun kota. Aku melihat
sekeliling alun-alun dan trotoar yang tampak lebih bersih daripada sebelumnya
sambil mencari-cari penjual nasi boran yang dulu berjualan di tempat aku
berdiri sekarang ini.
“Mencari
apa, Bos?”
“Tanya
lagi, tanya lagi! Kalian itu ingin tahu saja.”
“Siapa
tahu kami bisa membantu, Bos.”
“Tak
usah! Saat ini aku tidak membutuhkan bantuan kalian,” jawabku. Kali ini aku
benar-benar ingin menikmati kenangan masa silam.
Di
tempat saya berdiri sekarang ini, dulu ada penjual nasi boran yang bernama Mbok
Tuminah. Dia perempuan yang sudah renta, akan tetapi dia mempunyai semangat
yang tinggi dalam bekerja. Ia berjualan nasi boran di alun-alun ini untuk
membiayai pendidikan anak-anaknya.
Mbok
Tuminah merupakan sosok yang sangat aku segani. Dia jujur, ramah, serta
motivator ulung. Dia bisa memberi motivasi kepada para pelanggan atau kepada
para pedagang asongan yang mangkal di alun-alun ini. Mbok Tuminah pernah
berkata bahwa kesuksesan adalah milik semua orang. Kesuksesan bukan milik orang
yang kaya raya saja, melainkan milik orang yang memiliki kemauan keras demi
meraih kesuksesan. Nah, dari ucapannya itulah, kemudian aku nekat berangkat
merantau ke luar Jawa dengan berbekal tabunganku hasil berjualan makanan dan
minuman di alun-alun ini.
“Bu,
Mbok Tuminah ke mana?” tanyaku kepada penjual tahu campur yang duduk di bawah
lampu penerang alun-alun.
“Tidak
tahu, Pak. Saya pedagang baru di alun-alun ini,” jawabnya.
Aku
mencari Mbok Tuminah ke tempat lain. Aku berjalan dengan didampingi dua orang
pengawal. Aku tidak merasa lelah. Aku terus berjalan dan tidak memedulikan
keringat yang membasahi pakaianku. Aku tidak memedulikan bau badanku yang tak
sedap karena belum sempat mandi semenjak pagi. Aku benar-benar ingin menikmati
tempat yang penuh dengan berjuta-juta kenangan sebelum aku menjadi pengusaha
sukses sekarang ini.
Di
tengah alun-alun, aku mendekati kerumunan pengunjunga. Eh, ternyata tukang
topeng monyet sedang menunjukkan kelihaiannya dalam mengendalikan monyetnya
untuk menghibur pengunjung. Aku berhenti sebentar di tempat itu. Aku berbaur
dengan ibu-ibu yang mendampingin anaknya menikmati pertunjukan topeng monyet.
Aku ikut tertawa sambil bertepuk tangan ketika si monyet lucu sedang
memperagakan kelihaiannya menirukan aksi pembalap. Si monyet tampak seperti crosser
ternama di arena balapnya.
Usai
mempertontokan atraksinya, si tukang topeng monyet menyodorkan topinya untuk
meminta uang sukarela dari pengunjung alun-alun. Aku merogoh saku kanan
celanaku. Tanganku meraih uang kertas seratus ribu. Aku memasukkan uang
tersebut ke dalam topi si tukang topeng monyet. Lelaki pawang monyet itu
terhenyak. Ia menatapku sejenak lalu mengucapkan ribuan terima kasih kepadaku
karena aku telah memberinya uang yang tak pernah didapatkan selama menjadi
tukang atraksi topeng monyet.
“Terima
kasih, Pak! Terima kasih!” ucapnya sambil mencium-cium tangan kananku.
“Sama-sama,
Kang!” balasku.
Tak
ada informasi yang kudapatkan dari pertunjukan topeng monyet tentang keberadaan
Mbok Tuminah.
Aku
segera meninggalkan kerumunan pengunjung alun-alun menuju sudut yang lain. Di
kejauhan aku melihat perempuan tua yang duduk menjaga nasi boran. Aku yakin bahwa
perempuan tua itu pasti Mbok Tuminah. Aku mempercepat langkahku agar bisa cepat
sampai ke tempat perempuan itu. Setelah sampai, ternyata perempuan tua itu
bukan Mbok Tuminah. Ah, betapa kecewanya diriku yang belum juga menemukan Mbok
Tuminah.
Kali
ini aku benar-benar kecapekan. Aku melepas sepatuku lalu duduk lesehan
beralas tikar pandan yang disediakan oleh perempuan tua penjual nasi boran itu.
“Kenapa
kalian berdiri saja? Silakan duduk sini!” perintahku kepada kedua pengawalku
yang bengong berdiri di belakangku.
“Siap,
Bos! Terima kasih!” jawabnya.
“Mbok,
nasi boran tiga pincuk!” pesanku kepada penjual nasi boran.
“Pakai
ikan apa?”
“Sili,
Mbok,” jawabku dengan mantap.
Perempuan
tua itu segera meracikkan nasi boran sejumlah pesananku. Tangan kanannya lemah
gemulai membuat pincukan nasi. Setelah itu,
dia dengan cekatan mengambil beberapa entong nasi dari boran lalu
dituangkan ke pincukan. Perempuan tua itu tak lupa menyiramkan bumbu bercampur
lauk ikan sili di atas nasi dalam pincukan.
“Silakan!”
kata perempuan tua sambil menyodorkan nasi borannya kepada kami.
Kami
memakan nasi boran dengan lahap. Lebih-lebih kedua pengawalku yang seumur
hidupnya baru kali ini memakan makanan khas kota kelahiranku ini.
“Mbah,
sudah lama jualan nasi boran di sini?” tanyaku sambil mencuci tangan kananku ke
dalam baskom yang berada di sampingnya.
“Sudah,
Pak. Saya sudah berdagang nasi boran di alun-alun ini lebih dari dua puluh
tahun.”
“Berarti,
Mbok kenal dengan Mbok Tuminah?”
“Tidak
hanya kenal. Dia itu seperti saudara saya,” jawabnya dengan santai.
“Sekarang
di mana?” tanyaku menyelidik.
“Dia
sudah meninggal hampir sepuluh tahun silam,” jawabnya. Aku kaget mendengar
kabar itu.
“Sakit
apa?”
“Tuminah
tidak sakit. Dia meninggal mendadak ketika pulang dari berjualan. Dia mengidap
penyakit tekanan darah tinggi.”
“Semoga
dia mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah!” doaku buat Mbok Tuminah.
“Amin!”
kata perempuan tua.
Aku
benar-benar tidak menyangka jika Mbok Tuminah telah meninggal dunia. Dia sangat
berjasa pada prestasi dan kesuksesanku ini. Dialah yang mengajari diriku bahwa
aku tidak boleh menyerah dalam berperang melawan nasib. Aku harus mampu meraih
kesuksesan demi mengubah nasib meskipun dengan kondisi ekonomi yang
terpincang-pincang. Dia pernah mengatakan bahwa orang yang sukses kebanyakan
dari keluarga yang tidak mampu.
Dari
wejangan-wejangan yang disampaikan Mbok Tuminah ketika aku duduk lesehan sambil
menikmati nasi boran waktu itu,
benar-benar telah menjadikan diriku bersemangat dalam mengubah nasib hingga
menjadi lebih baik seperti ini.
“Terima
kasih, Mbok! Ini uangnya!” kataku kepada perempuan tua sambil memberinya uang
lima ratus ribu rupiah.
“Wah,
ini uang apa, Pak?” tanya perempuan tua.
“Terima
saja, Mbok! Ini rezeki Mbok.”
Aku
meninggalkan perempuan tua penjual nasi boran yang wajahnya sumringah diterpa
cahaya lampu alun-alun kota. Dia membeber lima lembar uang kertas seratus
ribuan sambil menatap kami bertiga yang pelan-pelan meninggalkan alun-alun kota
yang penuh dengan kenangan ini. (*)
Wanar,
Januari 2014
*Cerpenis
adalah pembina di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
Berdomisili
di Wanar Pucuk Lam0ngan