Serpihan
Bunga Kertas
Cerpen
Ahmad Zaini*
Serpihan
bunga kertas di beranda rumah berserak. Hampir di setiap sudut kutemui cuilan-cuilan
bunga kertas. Beranda yang biasanya bersih dan rapi kini tanahnya hampir tak
terlihat. Itu semua karena tangan jahil istriku yang selalu memetiki bunga hias
di beranda rumah setiap hari. Ia berbuat seperti itu hanya dengan satu alasan,
untuk menghilangkan kejenuhan. Aku sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan
istriku sampai mengalami kejenuhan. Setiap akan kutanya, dia selalu membuang
muka lalu pergi menjauh dariku.
Siang
itu dia duduk di beranda rumah. Dia mengurai rambutnya yang sebahu. Kedua
tangannya tak henti-henti mencuili bunga-bunga kertas dekat tempat duduknya
menjadi beberapa bagian. Jika kedua tangannya tak mampu lagi menggenggam cuilan
bunga tersebut, ia segera membuang sampai berserakan di seluruh pelataran rumah.
Aku membiarkan
dia melampiaskan kejenuhannya dengan bersikap seperti itu. Aku hanya bisa
melihat ulahnya yang seperti anak-anak. Bunga-bunga kertas yang berserak pun
aku punguti lalu kumasukkan ke dalam tempat sampah. Kalau tempat sampah sudah
penuh maka segera aku buang ke pembakaran di halaman rumah.
Sejenak
aku mencari tempat duduk agak jauh darinya. Aku ingin tahu apa yang menyebabkan
dia seperti itu. Sebagai seorang suami tentu akan terusik pikirannya jika
melihat istrinya seperti itu. Wajar saja kalau saya sebagai suami kemudian
ingin bertanya masalah yang dihadapi istri kemudian membantu mencari jalan
keluarnya. Akan tetapi, saya sebagai suami merasa kesulitan menghadapi istriku
yang sulit diajak bicara seperti sekarang ini.
Dari
bayangan kaca jendela rumah, aku melihat mata istriku berkaca-kaca. Tak lama
kemudian sorot matanya meredup agak memerah
lalu meneteskan air mata. Linangan air matanya kemudian merembet di pipinya.
Aku tak tahan melihat istri yang kunikahi sejak lima belas tahun lalu itu
meneteskan air mata. Aku dekati dia. Kusentuh pundaknya. Serta merta dia
mengusap air mata yang sempat menetes di kursi tempat duduknya.
“Kenapa
kamu menangis?”
Dia
diam tak menjawab. Pertanyaanku dianggap seperti angin lalu.
“Dik,
kenapa kamu menangis?” tanyaku sekali lagi.
Istriku
berdiri lantas berjalan masuk ke rumah. Aku segera menyusulnya ke dalam rumah.
Dia
duduk di ruang tamu dengan muka kesal. Wajah yang biasanya tampak manis kini
carut marut tak berbentuk.
“Aku
kesal.”
“Apa
yang menyebabkanmu kesal? Bukankah selama ini saya telah memenuhi semua
kebutuhan yang kau perlukan?”
“Aku
tahu itu. Setiap hari Mas telah memberiku nafkah.”
“Lantas
apa yang menyebabkanmu kesal seperti ini?”
“Coba,
Mas lihat! Para tetangga bisa membeli ini dan itu. Sedangkan saya kau biarkan
seperti ini,” kata istriku sambil menunjukkan penampilannya yang tak
karu-karuan.
“Kamu
iri dengan tentangga?”
“Tidak.”
“Kalau
tidak iri kenapa kamu selalu nyinyir seperti itu?” tanyaku kesal karena
sudah hampir seminggu dia bersikap cuek kepadaku.
Para
ibu rumah tangga yang bertetangga denganku saat itu memang usai membeli
perhiasan, pakaian, perabot rumah tangga dan lain sebagainya. Mereka
mendapatkan rezeki yang melimpah karena
suaminya yang berprofesi sebagai guru baru saja menerima rapelan tunjangan
seertifikasi. Mereka telah menerima rapelan tunjangan selama setahun. Tiap
bulannya mereka menerima tunjangan kurang lebih satu juta lima ratus ribu
rupiah. Sehingga kalau dirapel selama satu tahun mereka menerima sekitar
delapan belas juta rupiah. Istriku tidak tahu hal itu. Dia asal iri dan
menuntut agar aku bisa memenuhi kebutuhannya seperti mereka.
Terus
terang aku tak mampu memenuhi semua itu karena aku hanya bekerja serabutan.
Pendapatanku setiap hari tidak menentu. Saat ini penghasilanku hanya cukup
digunakan untuk membeli sembako.
“Mas,
apakah Sampeyan tidak bisa menjadi guru lagi agar mendapat gaji seperti
mereka?”
Mendengar
pertanyaan istriku itu aku hanya tersenyum kecut. Aku diam tak menjawab
pertanyaannya. Kursi yang sejak tadi kubiarkan tanpa penghuni, kini kududuki
lagi. Dengan menyandarkan punggung aku menghela napas panjang untuk menjawab
pertanyaan istriku.
Semenjak
aku masih kuliah sebenarnya aku sudah menjadi guru. Ketika itu saya diminta
oleh kepala sekolah untuk mengajar di sekolah tempat kumenimba ilmu di tingkat
dasar. Sebagai alumni sekolah tersebut, saya pun menerima permintaan kepala
sekolah menjadi tenaga pendidik di situ. Setiap hari saya bergelut dengan buku
dan belajar bersama murid-murid sekolah tersebut. Aku melaksanakan tugas itu
dengan senang hati. Aku bangga dengan profesi yang sangat mulya ini. Aku
menjalankan tugas mengajar dengan semangat yang tinggi walau dengan gaji yang
sangat rendah. Setiap bulan saya hanya menerima gaji tujuh puluh lima ribu
rupiah. Gaji sejumlah itu tak mengendurkan niatku untuk selalu mengabdi pada
masyarakat demi mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
Setelah
lulus kuliah aku memutuskan untuk menikahi gadis yang kuincar semenjak aku
masih di bangku SMA. Dia sangat senang
karena mempunyai suami yang berprofesi
sebagai guru. Dia bangga karena para tetangga atau murid-murid saya
memanggilnya dengan panggilan ‘Bu’. Wah, senangnya bukan main dia ketika ada
orang yang memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Dia merasa terhormat karena
sudah ikut-ikutan dituakan oleh murid-murid saya sebagaimana aku yang dipanggil
dengan panggilan ‘Pak’.
“Ini,
Dik gaji saya,” kataku kepada istriku sambil menyodorkan amplop yang berisi
gajiku mengajar satu bulan.
Saat
istriku menerima amplop dariku, aku melihat senyum bahagianya merekah. Kedua
bibirnya selalu mengembang dengan sorot mata berbinar-binar. Aku pun turut
senang karena mempunyai istri yang qonaah. Dia senang menerima amplop
walau isinya hanya tujuh puluh lima ribu rupiah.
Wajah
istriku mendadak murung. Mukanya merah padam dengan mata yang melotot seperti
akan melompat keluar. Aku terhenyak melihat ekspresi istriku yang berubah
seratus delapan puluh derajat celsius.
“Kok,
hanya ini ke mana yang lain?”
“Dik,
uangnya, ya, hanya itu. Tak ada yang lain.”
Dia
lantas tertunduk lesu. Amplop yang baru saja dibuka dibiarkan tergeletak di
pangkuannya. Dia menangis sesenggukan.
“Dapat
rezeki kok malah menangis? Disyukuri saja, Dik! Barang siapa yang mensyukuri
nikmat Allah, niscaya Allah akan menambahnya,” ucapku menenangkannya.
“Mas,
kalau setiap bulan saya hanya menerima uang segini, aku bisa mati berdiri,”
katanya menuntutku.
“Habis
bagaimana lagi, gajiku memang segitu.”
“Mulai
besok, Mas berhenti jadi guru,” sahutnya dengan sewot.
“Tidak.
Aku tidak akan berhenti menjadi guru. Ini pilihan hidupku.”
Mendengar
jawabanku, istriku langsung berlari masuk ke kamar.
“Brak!”
suara pintu yang ditutup istriku dengan keras.
Aku
membiarkan dia mengurung diri dalam kamar hingga emosinya mereda. Percuma kalau
dalam suasana seperti itu aku masuk ke kamar menyusulnya. Biarlah dia
menenangkan pikirannya.
Beberapa
saat kemudian aku mengetuk daun pintu kamar. Dia bergeming tak mau membuka
pintu yang terbuat dari bahan triplek itu. Sejenak aku ingin mendobrak
pintu, tetapi aku berpikir uang dari mana yang kugunakan untuk memperbaikinya
jika pintu itu rusak. Akhirnya, kubiarkan saja sampai dia keluar kamar.
Seharian
dia belum juga keluar. Aku menunggu di kursi ruang tamu hingga ketiduran.
Dengan terpaksa aku mencongkel engsel pintu kemudian aku berhasil membukanya.
Aku terkejut melihat istriku tidur terlentang dengan mulut berbusa. Ternyata
dia nekat ingin mengakhiri hidupnya hanya gara-gara tuntutannya agar aku
berhenti menjadi guru tidak kuturuti. Untung saja ketika itu nyawanya dapat
diselamatkan. Kalau tidak, dia pasti tidak bisa nyiyir mencibirku lagi.
Sejak kejadian itulah saya berhenti menjadi guru dan bekerja sebagai tenaga
serabutan yang berpenghasilan tidak pasti. Terkadang sehari mendapat seratus
ribu, namun terkadang pula dua hari tidak mendapatkan pekerjaan. Jadi, tekor.
Cocok dengan pepatah ‘besar pasak daripada tiang’.
***
“Bisa
kan Mas menjadi guru lagi?” desak istriku.
“Dulu
siapa yang meminta saya berhenti menjadi guru sampai-sampai akan bunuh diri
hanya karena uang gaji tujuh puluh lima ribu rupiah?” Istriku tertunduk mendengar
pertanyaanku. Dia diam tak menjawabnya.
“Sekarang
ketika pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru, Sampeyan menuntutku
lagi menjadi guru. Tidak mungkin, Dik!”
“Dicoba,
Mas!” rengeknya.
Aku
mencoba menuruti permintaannya biar setiap hari dia tidak nyiyir terus.
Aku datang ke sekolah tempatku mengajar dulu yang telah kutinggalkan hampir
sepuluh tahun lamanya. Dengan berbekal surat lamaran yang kulampiri dengan
fotokopi ijazah, akta IV, serta KTP yang kumasukkan ke dalam amplop, aku
mengajukan lamaran menjadi guru di sekolah tersebut.
“Maaf,
Bapak! Untuk sementara surat lamaran ini saya terima. Akan tetapi saya tidak
bisa memastikan apakah Bapak diterima atau ditolak. Saat ini kebutuhan guru
sudah lebih dari cukup. Jam mengajar mereka tidak bisa dikurangi karena mereka sudah
masuk menjadi guru sertifikasi yang dituntut mengajar dengan beban 24 jam tatap muka perminggunya. Jadi,
sangat kecil peluang Bapak diterima di sekolah ini,” jelas kepala sekolah yang
baru.
Usai
menerima penjelasan dari kepala sekolah, saya pun pamit dan meninggalkan kantor
sekolah yang sudah mengalami banyak kemajuan. Dulu ketika saya masih mengajar,
gedungnya banyak yang rusak. Sekarang gedung sekolah kelihatan megah dan
bersih. Dulu di tempat parkir, yang saya lihat hanya beberapa sepeda onthel
milik para guru. Sekarang sudah ganti sepeda motor terbaru semua.
“Andaikan
istriku melihat peningkatan kesejahteraan guru di sekolah ini, saya yakin dia
akan nyinyir lagi! Untung dia tidak ikut mengawalku tadi!”
Sesampai
di rumah istriku sudah nyanggong di depan pintu dengan muka kecut. Dia
sudah mengira bahwa lamaranku menjadi guru ditolak oleh kepala sekolah. Dia
kecewa kepadaku. Namun apa boleh buat nasi telah menjadi bubur. Aku tak bisa
menjadi guru lagi sehingga tidak mendapatkan tunjangan sertifikasi. Aku tak
bisa memenuhi keinginan istriku seperti istri-istri guru sertifikasi. Biarlah
aku menjadi tenaga serabutan yang berpenghasilan tidak menentu. Aku pasrah! (*)
*Cepenis tinggal di Lamongan Jawa Timur