Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Kamis, 13 Agustus 2015

Cerpenku di Majalah Wanita UMMI, edisi Agustus 2015

Serpihan Bunga Kertas
Cerpen Ahmad Zaini*

Serpihan bunga kertas di beranda rumah berserak. Hampir di setiap sudut kutemui cuilan-cuilan bunga kertas. Beranda yang biasanya bersih dan rapi kini tanahnya hampir tak terlihat. Itu semua karena tangan jahil istriku yang selalu memetiki bunga hias di beranda rumah setiap hari. Ia berbuat seperti itu hanya dengan satu alasan, untuk menghilangkan kejenuhan. Aku sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan istriku sampai mengalami kejenuhan. Setiap akan kutanya, dia selalu membuang muka lalu pergi menjauh dariku.
Siang itu dia duduk di beranda rumah. Dia mengurai rambutnya yang sebahu. Kedua tangannya tak henti-henti mencuili bunga-bunga kertas dekat tempat duduknya menjadi beberapa bagian. Jika kedua tangannya tak mampu lagi menggenggam cuilan bunga tersebut, ia segera membuang sampai berserakan di seluruh pelataran rumah.
Aku membiarkan dia melampiaskan kejenuhannya dengan bersikap seperti itu. Aku hanya bisa melihat ulahnya yang seperti anak-anak. Bunga-bunga kertas yang berserak pun aku punguti lalu kumasukkan ke dalam tempat sampah. Kalau tempat sampah sudah penuh maka segera aku buang ke pembakaran di halaman rumah.
Sejenak aku mencari tempat duduk agak jauh darinya. Aku ingin tahu apa yang menyebabkan dia seperti itu. Sebagai seorang suami tentu akan terusik pikirannya jika melihat istrinya seperti itu. Wajar saja kalau saya sebagai suami kemudian ingin bertanya masalah yang dihadapi istri kemudian membantu mencari jalan keluarnya. Akan tetapi, saya sebagai suami merasa kesulitan menghadapi istriku yang sulit diajak bicara seperti sekarang ini.
Dari bayangan kaca jendela rumah, aku melihat mata istriku berkaca-kaca. Tak lama kemudian sorot matanya  meredup agak memerah lalu meneteskan air mata. Linangan air matanya kemudian merembet di pipinya. Aku tak tahan melihat istri yang kunikahi sejak lima belas tahun lalu itu meneteskan air mata. Aku dekati dia. Kusentuh pundaknya. Serta merta dia mengusap air mata yang sempat menetes di kursi tempat duduknya.
“Kenapa kamu menangis?”
Dia diam tak menjawab. Pertanyaanku dianggap seperti angin lalu.
“Dik, kenapa kamu menangis?” tanyaku sekali lagi.
Istriku berdiri lantas berjalan masuk ke rumah. Aku segera menyusulnya ke dalam rumah.
Dia duduk di ruang tamu dengan muka kesal. Wajah yang biasanya tampak manis kini carut marut tak berbentuk.
“Aku kesal.”
“Apa yang menyebabkanmu kesal? Bukankah selama ini saya telah memenuhi semua kebutuhan yang kau perlukan?”
“Aku tahu itu. Setiap hari Mas telah memberiku nafkah.”
“Lantas apa yang menyebabkanmu kesal seperti ini?”
“Coba, Mas lihat! Para tetangga bisa membeli ini dan itu. Sedangkan saya kau biarkan seperti ini,” kata istriku sambil menunjukkan penampilannya yang tak karu-karuan.
“Kamu iri dengan tentangga?”
“Tidak.”
“Kalau tidak iri kenapa kamu selalu nyinyir seperti itu?” tanyaku kesal karena sudah hampir seminggu dia bersikap cuek kepadaku.
Para ibu rumah tangga yang bertetangga denganku saat itu memang usai membeli perhiasan, pakaian, perabot rumah tangga dan lain sebagainya. Mereka mendapatkan rezeki yang  melimpah karena suaminya yang berprofesi sebagai guru baru saja menerima rapelan tunjangan seertifikasi. Mereka telah menerima rapelan tunjangan selama setahun. Tiap bulannya mereka menerima tunjangan kurang lebih satu juta lima ratus ribu rupiah. Sehingga kalau dirapel selama satu tahun mereka menerima sekitar delapan belas juta rupiah. Istriku tidak tahu hal itu. Dia asal iri dan menuntut agar aku bisa memenuhi kebutuhannya seperti mereka.
Terus terang aku tak mampu memenuhi semua itu karena aku hanya bekerja serabutan. Pendapatanku setiap hari tidak menentu. Saat ini penghasilanku hanya cukup digunakan untuk membeli sembako.
“Mas, apakah Sampeyan tidak bisa menjadi guru lagi agar mendapat gaji seperti mereka?”
Mendengar pertanyaan istriku itu aku hanya tersenyum kecut. Aku diam tak menjawab pertanyaannya. Kursi yang sejak tadi kubiarkan tanpa penghuni, kini kududuki lagi. Dengan menyandarkan punggung aku menghela napas panjang untuk menjawab pertanyaan istriku.
Semenjak aku masih kuliah sebenarnya aku sudah menjadi guru. Ketika itu saya diminta oleh kepala sekolah untuk mengajar di sekolah tempat kumenimba ilmu di tingkat dasar. Sebagai alumni sekolah tersebut, saya pun menerima permintaan kepala sekolah menjadi tenaga pendidik di situ. Setiap hari saya bergelut dengan buku dan belajar bersama murid-murid sekolah tersebut. Aku melaksanakan tugas itu dengan senang hati. Aku bangga dengan profesi yang sangat mulya ini. Aku menjalankan tugas mengajar dengan semangat yang tinggi walau dengan gaji yang sangat rendah. Setiap bulan saya hanya menerima gaji tujuh puluh lima ribu rupiah. Gaji sejumlah itu tak mengendurkan niatku untuk selalu mengabdi pada masyarakat demi mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
Setelah lulus kuliah aku memutuskan untuk menikahi gadis yang kuincar semenjak aku masih di bangku SMA.  Dia sangat senang karena mempunyai suami yang  berprofesi sebagai guru. Dia bangga karena para tetangga atau murid-murid saya memanggilnya dengan panggilan ‘Bu’. Wah, senangnya bukan main dia ketika ada orang yang memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Dia merasa terhormat karena sudah ikut-ikutan dituakan oleh murid-murid saya sebagaimana aku yang dipanggil dengan panggilan ‘Pak’.
“Ini, Dik gaji saya,” kataku kepada istriku sambil menyodorkan amplop yang berisi gajiku mengajar satu bulan.
Saat istriku menerima amplop dariku, aku melihat senyum bahagianya merekah. Kedua bibirnya selalu mengembang dengan sorot mata berbinar-binar. Aku pun turut senang karena mempunyai istri yang qonaah. Dia senang menerima amplop walau isinya hanya tujuh puluh lima ribu rupiah.
Wajah istriku mendadak murung. Mukanya merah padam dengan mata yang melotot seperti akan melompat keluar. Aku terhenyak melihat ekspresi istriku yang berubah seratus delapan puluh derajat celsius.
“Kok, hanya ini ke mana yang lain?”
“Dik, uangnya, ya, hanya itu. Tak ada yang lain.”
Dia lantas tertunduk lesu. Amplop yang baru saja dibuka dibiarkan tergeletak di pangkuannya. Dia menangis sesenggukan.
“Dapat rezeki kok malah menangis? Disyukuri saja, Dik! Barang siapa yang mensyukuri nikmat Allah, niscaya Allah akan menambahnya,” ucapku menenangkannya.
“Mas, kalau setiap bulan saya hanya menerima uang segini, aku bisa mati berdiri,” katanya  menuntutku.
“Habis bagaimana lagi, gajiku memang segitu.”
“Mulai besok, Mas berhenti jadi guru,” sahutnya dengan sewot.
“Tidak. Aku tidak akan berhenti menjadi guru. Ini pilihan hidupku.”
Mendengar jawabanku, istriku langsung berlari masuk ke kamar.
Brak!” suara pintu yang ditutup istriku dengan keras.
Aku membiarkan dia mengurung diri dalam kamar hingga emosinya mereda. Percuma kalau dalam suasana seperti itu aku masuk ke kamar menyusulnya. Biarlah dia menenangkan pikirannya.
Beberapa saat kemudian aku mengetuk daun pintu kamar. Dia bergeming tak mau membuka pintu yang terbuat dari bahan triplek itu. Sejenak aku ingin mendobrak pintu, tetapi aku berpikir uang dari mana yang kugunakan untuk memperbaikinya jika pintu itu rusak. Akhirnya, kubiarkan saja sampai dia keluar kamar.
Seharian dia belum juga keluar. Aku menunggu di kursi ruang tamu hingga ketiduran. Dengan terpaksa aku mencongkel engsel pintu kemudian aku berhasil membukanya. Aku terkejut melihat istriku tidur terlentang dengan mulut berbusa. Ternyata dia nekat ingin mengakhiri hidupnya hanya gara-gara tuntutannya agar aku berhenti menjadi guru tidak kuturuti. Untung saja ketika itu nyawanya dapat diselamatkan. Kalau tidak, dia pasti tidak bisa nyiyir mencibirku lagi. Sejak kejadian itulah saya berhenti menjadi guru dan bekerja sebagai tenaga serabutan yang berpenghasilan tidak pasti. Terkadang sehari mendapat seratus ribu, namun terkadang pula dua hari tidak mendapatkan pekerjaan. Jadi, tekor. Cocok dengan pepatah ‘besar pasak daripada tiang’.
***
“Bisa kan Mas menjadi guru lagi?” desak istriku.
“Dulu siapa yang meminta saya berhenti menjadi guru sampai-sampai akan bunuh diri hanya karena uang gaji tujuh puluh lima ribu rupiah?” Istriku tertunduk mendengar pertanyaanku. Dia diam tak menjawabnya.
“Sekarang ketika pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru, Sampeyan menuntutku lagi menjadi guru. Tidak mungkin, Dik!”
“Dicoba, Mas!” rengeknya.
Aku mencoba menuruti permintaannya biar setiap hari dia tidak nyiyir terus. Aku datang ke sekolah tempatku mengajar dulu yang telah kutinggalkan hampir sepuluh tahun lamanya. Dengan berbekal surat lamaran yang kulampiri dengan fotokopi ijazah, akta IV, serta KTP yang kumasukkan ke dalam amplop, aku mengajukan lamaran menjadi guru di sekolah tersebut.
“Maaf, Bapak! Untuk sementara surat lamaran ini saya terima. Akan tetapi saya tidak bisa memastikan apakah Bapak diterima atau ditolak. Saat ini kebutuhan guru sudah lebih dari cukup. Jam mengajar mereka tidak bisa dikurangi karena mereka sudah masuk menjadi guru sertifikasi yang dituntut mengajar dengan  beban 24 jam tatap muka perminggunya. Jadi, sangat kecil peluang Bapak diterima di sekolah ini,” jelas kepala sekolah yang baru.
Usai menerima penjelasan dari kepala sekolah, saya pun pamit dan meninggalkan kantor sekolah yang sudah mengalami banyak kemajuan. Dulu ketika saya masih mengajar, gedungnya banyak yang rusak. Sekarang gedung sekolah kelihatan megah dan bersih. Dulu di tempat parkir, yang saya lihat hanya beberapa sepeda onthel milik para guru. Sekarang sudah ganti sepeda motor terbaru semua.
“Andaikan istriku melihat peningkatan kesejahteraan guru di sekolah ini, saya yakin dia akan nyinyir lagi! Untung dia tidak ikut mengawalku tadi!”
Sesampai di rumah istriku sudah nyanggong di depan pintu dengan muka kecut. Dia sudah mengira bahwa lamaranku menjadi guru ditolak oleh kepala sekolah. Dia kecewa kepadaku. Namun apa boleh buat nasi telah menjadi bubur. Aku tak bisa menjadi guru lagi sehingga tidak mendapatkan tunjangan sertifikasi. Aku tak bisa memenuhi keinginan istriku seperti istri-istri guru sertifikasi. Biarlah aku menjadi tenaga serabutan yang berpenghasilan tidak menentu. Aku pasrah! (*)


*Cepenis tinggal di Lamongan Jawa Timur