Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 28 April 2012

Cerpen


Telaga Lanang
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Siang itu air jernih bekilau memantulkan bayangan sampai tanggul telaga. Bias cahayanya melekat pada daun pepohonan mangga yang mengitarinya. Rindang dahan meneduhkan para penduduk yang duduk santai di bawahnya. Lelaki tua becermin di permukaan telaga. Bayangan wajahnya terlihat kusam, keriput di permukaan air telaga yang jernih.
Telaga lanang, penduduk kampung menyebutnya. Konon, telaga yang ada di desa Wanar sejak zaman penjajah, menjadi markas dari para lelanang atau orang laki-laki yang sedang berperang melawan para penjajah. Sehingga mereka memberi nama telaga tersebut dengan telaga lanang. Ada juga yang mengatakan penyematan nama tersebut dengan alasan karena di tengah telaga terlihat gundukan tanah yang menyerupai pulau di tengah lautan. Para penduduk menyimpulkan bahwa gundukan tanah itu adalah kelaminnya yang berarti telaga itu adalah telaga laki-laki atau telaga lanang.
Puluhan tahun silam, telaga tersebut banyak memberikan manfaat kepada para penduduk. Air jernih

Senin, 23 April 2012

Camar di Bibir Pantai


Camar di Bibir Samudera

Pasir terhampar dipijak kaki-kaki angin laut
gemuruh gelombang membahana
di riang siang yang memesona
hati tenggelam pun muncul
di permukaan samudra keceriaan
menikmati laut biru berombak putih tipis
di sela batu karang

camar mengitari cakrawala
menunggu mangsa berenang
di luas samudra
sekali terkam
kenyang
lalu terbang ke sarang
bercumbu dengan pejantan
yang mengerami anaknya

Lamongan, 19 Juli 2011



Anak Pantai

Basah hati berkecipak
dalam suasana riang
lembut percikan gelombang
melukis pelangi di mata
aduhai indah alam ciptaan Tuhan

riuh tawa anak-anak pesisir
saling berkejar di hamparan pasir
mereka bermain di depan ayahnya
yang menebar jala menjaring nafkah
pancaran wajah diterpa matahari pagi
menghangatkan tubuh gigil si kecil
yang berendam sejak dini
biru membahana di laut sana
memendam misteri kehidupan
yang kini belum terang

si kecil membentuk
tepian pantai dengan patung pasir
tentang hari tua
tangan-tangan halus
dibimbing tangan kekar
yang  menarik tambang
kemudian perahu disandarkan di pelabuhan
demi istirahat sebelum
mereka melaut di hari senja

Lamongan, 21 Juli 2011

Gelas-Gelas Retak


Cerpen Ahmad Zaini*

Halaman depan kantor, tempat Ahmad bekerja, sedikit becek akibat hujan yang turun kemarin sore. Jalan licin yang mengantar ke ruang tampatnya berkerja siap menggelincirkan setiap kaki yang menginjaknya. Ia melangkah hati-hati agar terhindar dari petaka yang menghadangnya kini. Bunga-bunga di depan kantor masih basah. Kupu-kupu enggan menghinggapinya. Setelah sejam berlalu, sinar matahari perlahan mengusir air yang melapis tipis mahkotanya.
Setahun lalu, di kantor ini para karyawan tampak familier. Nuansa kekeluargaan sangat kental. Hubungan antarkaryawan sangat hangat hingga tak ada lagi yang membatasi hubungan mereka. Latar belakang sosial, keluarga,  bahkan faham yang dianut mereka abaikan. Yang ada hanyalah sesama karyawan yang memiliki nasib dan tujuan bersama. ”Mangan gak mangan, sing penting kumpul. Mikul dhuwur mendhem jero” prinsip orang jawa itu yang mereka pegang erat. Juga peribahasa ”Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”.
Rasa persaudaraan yang kuat antarkaryawan di kantor itu, juga dirasakan Ahmad bisa semakin mengencangkan ikatan batin mereka. Apa yang dirasakan oleh salah satu karyawan, maka yang lain ikut merasakannya. Pernah suatu ketika ada karyawan yang mengalami musibah. Ia jatuh dari motor ketika pulang dari bekerja. Para karyawan yang ada di kantor tersebut menggalang dana secara spontan untuk meringankan beban dari temannya yang sedang mengalami musibah. Dalam sekejap terkumpul dana hingga satu juta rupiah. Kemudian dana yang terkumpul itu diserahkan bersama-sama ke rumah temannya itu.
”Pagi, Pak Ahmad!” sapa tukang sapu.
”Pagi! Tolong, Pak! Nanti kalau Amir sudah datang suruh ke ruanganku,” perintahnya.
”Baik, Pak!” jawab tukang sapu.
Ahmad masuk ke ruang kerja. Dia membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di meja kerjanya. Tangannya sedikit tergores oleh kaca meja saat mengelap permukaan mejanya. Luka sayatan di jari telunjuknya kemudian ditetesi obat merah yang diambil dari  kotak P3K yang tersimpan di belakang meja kerjanya.
Pagi ini benar-benar hari yang suram bagi Ahmad. Ia merasakan sesuatu yang ganjil di kantor itu. Ia sangat merasakan hubungan yang tidak harmonis antarkaryawan. Suasana familier seperti tahun-tahun yang lalu, kini jarang ia temui. Para karyawan kantornya seakan-akan lebih mementingkan urusan masing-masing. Bahkan ia merasakan ada semacam persaingan yang tidak sehat dalam kantornya.
”Jika hal ini kubiarkan, mana mungkin bisa maju lembaga ini!” katanya dalam hati.
Ibarat sebatang pohon, agar bisa menghasilkan buah yang berkualitas maka diperlukan kerjasama yang baik antarunsur-unsur pohon tersebut. Akar, batang, dahan, ranting, sampai daun harus bersatu untuk menghasilkan buah hingga dapat dirasakan oleh orang lain. Demkian halnya di kantor itu, antara karyawan, staf, dan pimpinan harus bersatu padu untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya agar dapat bermanfaat bagi manusia yang lain.
Ahmad merenung sebentar. Ia diam sambil menundukkan kepalanya. Ia berusaha merekatkan lagi gelas-gelas retak yang selama ini sangat bermanfaat bagi manusia. Kantor di bidang usaha peminjaman modal usaha kecil dan menengah yang selama ini ia kelola sudah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar hingga kantornya pernah mendapatkan penghargaan dari Bupati sebagai kantor yang memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Dengan indikasi ada keretakan  antarkaryawan, dimungkinkan akan muncul keluhan-keluhan masyarakat terhadap pelayanan kantor yang dipimpinnya itu.
”Maaf, Pak ada surat tagihan dari dinas perpajakan,” tukang kurir menyodorkan surat dari dinas perpajakan.
Ahmad perlahan membuka amplop yang baru saja ia terima. Ternyata isinya tagihan pajak yang belum dilunasi.
Dengan tenang, ia mencari penyebab keterlambatan pembayaran pajak. Dia memanggil bagian keuangan. Ia menanyakan pada karyawan bagian keuangan yang ruangannya bersebelahan dengan ruangannya.
”Bulan lalu saat akan kubayarkan ke dinas pajak, saya mengalami musibah. Anakku sakit keras dan dirawat inap di rumah sakit. Maka uang itu kugunakan dulu untuk keperluan pengobatan anakku,” jawab karyawan bagian keuangan.
Pak Ahmad mengelus dada dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sendiri heran mengapa ada salah satu karyawannya yang terkena musibah dia sendiri sampai tidak tahu?
Mungkin yang disinyalir selama ini jika hubungan antarkayawan di kantornya sudah tak harmonis lagi itu benar.
Setelah mendapatkan keterangan dari bagian keuangan tersebut, dia menepuk-nepuk pundak bawahannya itu. Dia memberikan semangat agar dia tetap bekerja dengan baik.
“Kalau begitu masalahnya, ya sudah. Tapi ingat kejadian seperti ini jangan diulangi lagi. Kalau Saudara terkena musibah, lapor saja ke saya. Insya Allah akan saya bantu. Jadi, kita tidak sampai ditagih dari dinas perpajakan gara-gara terlambat membayar pajak,” jelas Ahmad kepada karyawannya itu.
Sebagai seorang pimpinan, ia juga merasa bersalah. Mestinya, setiap hari ia harus mengontrol keberadaan para karyawannya. Ahmad kemudian teringat kisah Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz. Seorang kholifah yang selalu peduli kepada rakyat-rakyatnya. Agar ia mengetahui kondisi rakyatnya, dia sampai rela setiap malam keluyuran memantau keadaan rakyatnya.
Pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz menjumpai seorang perempuan tua yang sedang memasak. Kholifah mengamati rakyat jelata yang duduk lesu di depan tungkunya itu. Nyala api kayu bakar menyinari wajahnya yang cemberut memikirkan sesuatu. Sekian lamanya perempuan tua itu memasak, belum juga usai. Kholifah penasaran. Lalu beliau mendekati perempuan itu.
”Sedang apa, Bu?”
”Saya sedang memasak,” jawabnya.
”Tapi kenapa sejak tadi belum selesai?”
”Iya. Karena yang kumasak adalah batu-batu yang kuambil di piggir jalan.”
”Subhannallah!” Kholifah Umar kaget.
”Kenapa ibu memasak batu?”
”Ini kulakukan untuk mengelabui anakku yang sejak tadi menangis kelaparan minta makan. Sementara kami tidak mempunyai beras sejak kemarin,” jawab perempuan tua itu sambil menunjuk ke arah anak lelakinya yang meringkuk kelaparan.
Mendengar jawaban perempuan tua tersebut, kemudian beliau pergi ke baitul mal untuk mengambil sekarung beras kemudian diberikan kepada perempuan miskin tadi.
Dari kisah itu, kemudian Ahmad menitikkan air mata. Sebagai pemimpin dia tidak tahu kalau ada karyawannya yang terkena musibah hingga berani menggunakan uang pembayaran pajak kantornya untuk membiayai anaknya yang dirawat di rumah sakit.
Kejadian itu juga imbas dari hubungan para karyawan yang luput dari pengawasannya. Mereka satu sama lain tak pernah bersentuhan. Mereka hidup sendiri-sendiri. Mereka tak peduli dengan rekan kerjanya yang tekena musibah. Yang ada dalam pikiran mereka adalah bekerja untuk kebutuhan mereka sendiri dan keluarganya.
Sapu tangan yang terselip di saku celananya kemudia diraih. Dengan sigap ia mengusap air mata yang sempat keluar dari kelopak matanya. Ia mengibaratkan kantornya ini seperti gelas retak yang tak mampu lagi menampung air. Gelas itu sudah tak ada gunanya lagi.
”Mir, buat undangan untuk rapat besok pagi! Hari ini para karyawan harus sudah menerima undangan semuanya. Karena ini masalah penting,” perintahnya kepada Amir, sekretarisnya.
Pagi hari saat jam kerja tiba, Ahmad sudah berada di ruang pertemuan. Dia mengumpulkan para karyawan untuk memberikan pengarahan-pengarahan tentang masa depan kantornya yang sempat terseok di tengah perjalan akibat dari kekurangharmonisan  hubungan para karyawan.
”Kita harus menyatukan visi dan misi instansi ini. Buang jauh-jauh kepentingan pribadi yang tidak memberikan kemaslahatan bagi kita dan juga masyarakat.  Kita harus guyup, bersatu demi kemajuan instansi kita. Gelas-gelas yang sempat retak, mari kita rekatkan lagi agar gelas tersebut berguna lagi bagi kita dan juga masyarakat,” kata Pak Ahmad dalam sambutannya. Para karyawan diam. Mereka mendengarkan sambutan dari pimpinannya dengan serius. Mereka merenungi bahwa yang selama ini mereka lakukan adalah salah.
Di akhir pertemuan, para karyawan yang selama ini tak pernah bersentuhan, kemudian saling berjabat tangan untuk merekatkan lagi tali silaturrahim yang selama ini sempat memudar. Ahmad sebagai pimpinan di instansi tersebut tersenyum gembira melihat bawahannya yang rukun, dan bersatu lagi seperti beberapa tahun yang lalu.
Bunga di halaman kantor mekar dan menebarkan aroma wangi. Kupu-kupu dan kumbang jalang mengerubuti bunga itu berebut menghisap madunya. Langit yang sempat mendung kini cerah menerangi wajah-wajah ceria dalam suasana kebersamaan.  (*)

_____________________________________________________________________
* Lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak. Di antaranya Tabloid Telunjuk, majalah Indupati, majalah MPA dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya  juga dimuat dalam Antologi Puisi Bersama Dewan Kesenian Lamongan (DKL) seperti Bulan Merayap (2004), Lanskap Telunjuk (2004), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006).  Selain menulis, juga sebagai guru dpk di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat Lamongan. Sekarang beralamat di Sanggar Sastra ”Telaga Biru”,  Wanar, Pucuk, Lamongan. e-mail: ilazen@yahoo.co.id.


Minggu, 22 April 2012


Cerpen


Perempuan di Ambang Senja
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Pagi masih  berkabut. Mata masih remang menatap titik di depan. Jalan yang membentang masih tak jelas tepinya. Kaki Zainab merayap dengan penuh konsentrasi agar tidak tergelincir dan terjerembab ke lumpur persawahan.

Sabtu, 14 April 2012