Kasidah Cinta
Cerpen
karya Ahmad Zaini*
Malam baru saja tiba. Hari gelap telah datang bersama desir angin membelai
dedaun mangga. Gerakan daun tersebut bagai lemah gemulai penari sufi dalam tarian
cinta pada Sang Maha. Di sisi lain juga terlihat ujung cemara melambai-lambai
memanggili purnama yang masih enggan muncul. Ujung cemara yang menjulang itu
ingin menikmati malam dengan sempurna. Sungguh alam rindu pada kebersamaan,
keberpaduan, riang gembira hingga suntuk malam.
Terlihat sekelompok lelaki datang ke surau. Mereka berjalan beriringan
dengan membawa rebana berbagai ukuran. Para lelaki itu duduk duduk khusuk lalu
bersimpuh sembari membenamkan wajah serta mengendapkan hatinya dalam kasidah
cinta.
Salah satu dari mereka beringsut. Dia bergerak lalu mengisi bagian
lingkaran yang rumpang. Lingkaran mereka menjadi sempurna. Tak ditemukan celah.
Lingkaran itu rapat dan kuat. Mereka menyatukan niat dengan tulus untuk
melantunkan puji-pujian pada sosok yang mereka rindukan.
Cinta dan rindu mereka pada sosok lelaki yang berwajah seperti purnama telah
menyeret mereka dalam lantunan puji-pujian. Mereka berharap dari puji-pujian
yang akan dilantunkan dapat menghadirkan sosok sempurna dalam jagad raya. Para
lelaki yang berpakaian serba putih ini ingin sosok tersebut datang di
tengah-tengah mereka. Mereka sangat merindukan pada sosok pencerah, pengubah,
penuntun jalan umat menuju akhirat dengan keselamatan.
Sangat istimewa sosok berwajah purnama ini. Tak ada manusia dalam jagad
raya yang menyamainya. Dia sosok yang dapat menjadi suri tauladan bagi manusia.
Perilakunya, tutur sapanya, serta semua yang tergerak dari jasadnya dapat
dijadikan cermin manusia di seluruh alam ini.
“Kapan kita mulai? Bukankah kita sudah lengkap?” kata salah satu dari
lelaki yang berpakaian serba putih ini. Ia tidak sabar bertemu dengan sosok
berwajah purnama, bergerigi seperti biji mentimun, beraroma seperti bau minyak misk yang harumnya tidak akan pernah
lenyap dari suatu tempat meskipun sosok itu telah meninggalkannya.
“Bersabarlah! Sebentar lagi kita
akan menyenandungkan puji-pujian. Kita sama-sama ingin bertemu dan bersama
beliau selamanya,” jawab lelaki yang bertubuh tinggi serta berwajah teduh ini.
Malam benar-benar telah sempurna. Fajar kemerah-merahan di langit sudah tertelan
oleh gelap malam. Angin menghentikan desirnya. Dia membungkam berisik dedaun
mangga. Burung-burung malam pun tak berseliweran lagi di angkasa. Mereka
berdamai dalam sarang bersama betinanya. Burung-burung itu menahan cericit dan
kicau merdunya demi niat mulya para umat yang ingin bertemu sosok yang mereka
rindukan. Alam tidak ingin mengganggu kekhusukan dan kesyahduan puji-pujian
mereka terhadap sosok lelaki berwajah purnama.
Rancak suara rebana pengiring pujian dimulai. Semua lelaki yang berada di
surau itu menunduk khusuk. Mereka memfokuskan ingatannya pada sosok mulya yang
tiada tandingannya di dunia. Sosok yang dimulyakan oleh jagad
raya beserta isinya.
“Shollu Alannabi Muhammad!” lelaki yang sebagai imam bersuara lirih
namun merasuk dalam jiwa para lelaki yang hadir dalam surau.
Para lelaki yang
berpakaian serba putih meningkatkan konsentrasi. Mereka khusuk menyatukan
jiwanya dengan sifat-sifat luhur dari sosok
yang diidolakan. Perlahan suara puji-pujian merayapi ruang dalam surau
sederhana di tepi telaga. Gema suara yang semakin meninggi ini menghipnotis
makhluk Allah yang berada di sekitar surau.
“Shollu alaih!” suara mereka serentak menirukan imam.
Ketiplak suara rebana
bergantian secara rancak mengiringi puji-pujian cinta pada manusia mulya. Mereka
hanyut dalam sifat-sifat mulya dari sosok yang sangat mereka idolakan dan
rindukan.
“Ya, nabi salam alaika, ya, rasul salam alaika, ya, habib salam alaika,
salawatullah alaika!”
Doa-doa suci
berkumandang dari surau kecil yang dikelilingi pohon mangga. Suara itu menggema
dan beterbangan di seluruh jagad raya. Doa keselamatan serta sanjungan cinta
tiada henti berhamburan dari para lelaki yang berpakaian serba putih. Gema doa
itu membentuk gumpalan-gumpalan putih dan bersinar di langit yang memayungi surau.
Langit yang semula
kelam kian bercahaya. Lantunan salawat telah memancarkan cahaya lalu menyinari
serta menghiasi malam. Para lelaki itu kian bersemangat serta khusuk
melantunkan puji-pujian dan doa keselamatan bagi lelaki yang sangat diidolakan.
Mata mereka terpejam. Mereka berusaha menyatukan jiwanya dengan salawat yang
mereka kumandangkan.
Ketika mereka sedang
khusuk melantunkan sanjungan pada sosok yang mereka idam-idamkan syafaatnya,
tiba-tiba aroma wangi datang memenuhi surau sederhana itu. Aroma wangi surgawi itu
semakin lama semakin menusuk penciuman para lelaki. Mereka yakin bahwa sosok
tersebut akan segera hadir di tengah-tengah mereka.
Lewat perasaan dan mata
batin mereka, tampaklah cahaya seperti purnama yang muncul dari arah yang tidak
diketahui mereka. Cahaya itu tiba-tiba bersinar terang hingga suasana malam pun
seperti siang.
“Ya, nabi salam alaika, ya, rasul salam alaika, ya, habib salam alaika,
salawatullah alaika!”
Para lelaki yang
berpakaian serba putih itu tiada henti melantunkan salawat. Mereka
menyenandungkan doa keselamatan bagi sosok yang dijadikan suri tauladan. Mereka
teringat tausiah imamnya yang pernah mengatakan bahwa sekali menyampaikan salam
pada beliau maka kita akan mendapatkan balasan sepuluh kali salam darinya. Para
lelaki tersebut tidak merasa letih meskipun telah berjam-jam melantunkan
salawat pada sosok yang sempurna itu.
“Allahumma sholli wasallim wabarik alaihi.”
Doa pamungkas dari sang
imam mengakhiri perjamuan para lelaki bersama cahaya cemerlang yang berada di
tengah-tengah mereka. Mereka perlahan mengembalikan kesadarannya di alam nyata. Mata kasatnya perlahan dibuka.
Tak lama kemudian mereka saling memandang.
“Kekasih kita telah
datang malam ini. Manusia sempurna yang kita dambakan syafaatnya telah berada di
tengah-tengah kita. Cahaya putih berseri itu merupakan serpihan cahaya
kemulyaan sifatnya.”
Para lelaki itu
mengamati seluruh sisi ruang surau. Mereka tidak menemukan cahaya putih yang
dilihatnya sewaktu melantunkan puji-pujian. Akan tetapi, aroma wangi itu masih
tajam dan tertinggal di surau.
“Subhanallah!” ucap para lelaki di surau itu. Mereka linglung dengan
derai air mata kebahagiaan. Mereka hampir tak sadarkan diri. Para lelaki yang
berpakaian serba putih itu terharu karena majlis
mereka dihadiri cahaya wajah lelaki yang bersinar sempurna bagai bulan purnama.
Sosok manusia yang diharapkan memberi syafaat kepada umat manusia di hari
pembalasan. (*)
Wanar, Januari
2016