Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 26 Juni 2016

KASIDAH CINTA (Radar Bojonegoro, Jawa Pos Grup, Minggu, 5 Juni 2016)

Kasidah Cinta
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Malam baru saja tiba. Hari gelap telah datang bersama desir angin membelai dedaun mangga. Gerakan daun tersebut bagai lemah gemulai penari sufi dalam tarian cinta pada Sang Maha. Di sisi lain juga terlihat ujung cemara melambai-lambai memanggili purnama yang masih enggan muncul. Ujung cemara yang menjulang itu ingin menikmati malam dengan sempurna. Sungguh alam rindu pada kebersamaan, keberpaduan, riang gembira hingga suntuk malam.
Terlihat sekelompok lelaki datang ke surau. Mereka berjalan beriringan dengan membawa rebana berbagai ukuran. Para lelaki itu duduk duduk khusuk lalu bersimpuh sembari membenamkan wajah serta mengendapkan hatinya dalam kasidah cinta.
Salah satu dari mereka beringsut. Dia bergerak lalu mengisi bagian lingkaran yang rumpang. Lingkaran mereka menjadi sempurna. Tak ditemukan celah. Lingkaran itu rapat dan kuat. Mereka menyatukan niat dengan tulus untuk melantunkan puji-pujian pada sosok yang mereka rindukan.
Cinta dan rindu mereka pada sosok lelaki yang berwajah seperti purnama telah menyeret mereka dalam lantunan puji-pujian. Mereka berharap dari puji-pujian yang akan dilantunkan dapat menghadirkan sosok sempurna dalam jagad raya. Para lelaki yang berpakaian serba putih ini ingin sosok tersebut datang di tengah-tengah mereka. Mereka sangat merindukan pada sosok pencerah, pengubah, penuntun jalan umat menuju akhirat dengan keselamatan.
Sangat istimewa sosok berwajah purnama ini. Tak ada manusia dalam jagad raya yang menyamainya. Dia sosok yang dapat menjadi suri tauladan bagi manusia. Perilakunya, tutur sapanya, serta semua yang tergerak dari jasadnya dapat dijadikan cermin manusia di seluruh alam ini.
“Kapan kita mulai? Bukankah kita sudah lengkap?” kata salah satu dari lelaki yang berpakaian serba putih ini. Ia tidak sabar bertemu dengan sosok berwajah purnama, bergerigi seperti biji mentimun, beraroma seperti bau minyak misk yang harumnya tidak akan pernah lenyap dari suatu tempat meskipun sosok itu telah meninggalkannya.
“Bersabarlah! Sebentar lagi  kita akan menyenandungkan puji-pujian. Kita sama-sama ingin bertemu dan bersama beliau selamanya,” jawab lelaki yang bertubuh tinggi serta berwajah teduh ini.
Malam benar-benar telah sempurna. Fajar kemerah-merahan di langit sudah tertelan oleh gelap malam. Angin menghentikan desirnya. Dia membungkam berisik dedaun mangga. Burung-burung malam pun tak berseliweran lagi di angkasa. Mereka berdamai dalam sarang bersama betinanya. Burung-burung itu menahan cericit dan kicau merdunya demi niat mulya para umat yang ingin bertemu sosok yang mereka rindukan. Alam tidak ingin mengganggu kekhusukan dan kesyahduan puji-pujian mereka terhadap sosok lelaki berwajah purnama.
Rancak suara rebana pengiring pujian dimulai. Semua lelaki yang berada di surau itu menunduk khusuk. Mereka memfokuskan ingatannya pada sosok mulya yang tiada tandingannya di dunia. Sosok yang dimulyakan oleh jagad raya beserta isinya.
Shollu Alannabi Muhammad!” lelaki yang sebagai imam bersuara lirih namun merasuk dalam jiwa para lelaki yang hadir dalam surau.
Para lelaki yang berpakaian serba putih meningkatkan konsentrasi. Mereka khusuk menyatukan jiwanya dengan sifat-sifat luhur dari sosok  yang diidolakan. Perlahan suara puji-pujian merayapi ruang dalam surau sederhana di tepi telaga. Gema suara yang semakin meninggi ini menghipnotis makhluk Allah yang berada di sekitar surau.
Shollu alaih!” suara mereka serentak menirukan imam.
Ketiplak suara rebana bergantian secara rancak mengiringi puji-pujian cinta pada manusia mulya. Mereka hanyut dalam sifat-sifat mulya dari sosok yang sangat mereka idolakan dan rindukan.
Ya, nabi salam alaika, ya, rasul salam alaika, ya, habib salam alaika, salawatullah alaika!”
Doa-doa suci berkumandang dari surau kecil yang dikelilingi pohon mangga. Suara itu menggema dan beterbangan di seluruh jagad raya. Doa keselamatan serta sanjungan cinta tiada henti berhamburan dari para lelaki yang berpakaian serba putih. Gema doa itu membentuk gumpalan-gumpalan putih dan bersinar di langit yang memayungi surau.
Langit yang semula kelam kian bercahaya. Lantunan salawat telah memancarkan cahaya lalu menyinari serta menghiasi malam. Para lelaki itu kian bersemangat serta khusuk melantunkan puji-pujian dan doa keselamatan bagi lelaki yang sangat diidolakan. Mata mereka terpejam. Mereka berusaha menyatukan jiwanya dengan salawat yang mereka kumandangkan.
Ketika mereka sedang khusuk melantunkan sanjungan pada sosok yang mereka idam-idamkan syafaatnya, tiba-tiba aroma wangi datang memenuhi surau sederhana itu. Aroma wangi surgawi itu semakin lama semakin menusuk penciuman para lelaki. Mereka yakin bahwa sosok tersebut akan segera hadir di tengah-tengah mereka.
Lewat perasaan dan mata batin mereka, tampaklah cahaya seperti purnama yang muncul dari arah yang tidak diketahui mereka. Cahaya itu tiba-tiba bersinar terang hingga suasana malam pun seperti siang.
Ya, nabi salam alaika, ya, rasul salam alaika, ya, habib salam alaika, salawatullah alaika!”
Para lelaki yang berpakaian serba putih itu tiada henti melantunkan salawat. Mereka menyenandungkan doa keselamatan bagi sosok yang dijadikan suri tauladan. Mereka teringat tausiah imamnya yang pernah mengatakan bahwa sekali menyampaikan salam pada beliau maka kita akan mendapatkan balasan sepuluh kali salam darinya. Para lelaki tersebut tidak merasa letih meskipun telah berjam-jam melantunkan salawat pada sosok yang sempurna itu.
Allahumma sholli wasallim wabarik alaihi.”
Doa pamungkas dari sang imam mengakhiri perjamuan para lelaki bersama cahaya cemerlang yang berada di tengah-tengah mereka. Mereka perlahan mengembalikan kesadarannya  di alam nyata. Mata kasatnya perlahan dibuka. Tak lama kemudian mereka saling memandang.
“Kekasih kita telah datang malam ini. Manusia sempurna yang kita dambakan syafaatnya telah berada di tengah-tengah kita. Cahaya putih berseri itu merupakan serpihan cahaya kemulyaan sifatnya.”
Para lelaki itu mengamati seluruh sisi ruang surau. Mereka tidak menemukan cahaya putih yang dilihatnya sewaktu melantunkan puji-pujian. Akan tetapi, aroma wangi itu masih tajam dan  tertinggal di surau.
Subhanallah!” ucap para lelaki di surau itu. Mereka linglung dengan derai air mata kebahagiaan. Mereka hampir tak sadarkan diri. Para lelaki yang berpakaian serba putih itu terharu karena majlis mereka dihadiri cahaya wajah lelaki yang bersinar sempurna bagai bulan purnama. Sosok manusia yang diharapkan memberi syafaat kepada umat manusia di hari pembalasan. (*)

Wanar, Januari 2016