Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 06 Oktober 2017

Kerikil-Kerikil Tanah Suci (Cerpen Jawa Pos Radar Bojonegoro, 1 Oktober 2017)

Kerikil-Kerikil Tanah Suci
Cerpen karya Ahmad Zaini

Wajah-wajah para jamaah haji yang baru tiba dari tanah suci terlihat ceria. Senyum mereka merekah bak kembang di musim berbunga menghiasi hari-hari yang mereka lalui. Mereka menyambut kedatangan para tamu yang datang silih berganti dengan saling berjabatan tangan dan berangkulan. Tak sedikit dari para jamaah haji matanya berkaca-kaca saat berjumpa dengan keluarga dekat dan handai taulan yang berkunjung ke rumahnya. Mereka terharu karena dapat bertemu lagi dengan orang-orang dekatnya setelah empat puluh hari berpisah untuk menjalankan ibadah haji di tanah suci.
Haji Kurnadi beserta istri duduk sambil menyandarkan punggungnya di dinding rumahnya. Mereka kelelahan sepulang dari tanah suci. Namun, rasa lelah itu harus ditahan karena harus menemui para tamu yang bersilaturrahim untuk mendapatkan barokah doa dari mereka. Para tamu ini meyakini doa orang yang baru datang dari haji itu mustajabah. Mudah diterima Allah.
Siang hari ketika Haji Kurnadi akan istirahat, datang Haji Saleh beserta istri yang saat ini tinggal di Blora Jawa Tengah. Mereka bersalaman dan berangkulan sebagai pengobat rindu dan rasa haru. Maklumlah pada pemberangkatan haji sebulan sebelumnya, Haji Saleh tidak bisa datang untuk melepas keberangkatan Haji Kurnadi karena ada acara yang tidak bisa ditinggalkan.
Alhamdulillah, Kak kami sekeluarga diberi kesehatan oleh Allah sehingga bisa bertemu lagi dengan keluarga!” kata Haji Kurnadi sambil merangkul Haji Saleh.
”Syukurlah. Kami ikut berbangga dengan kalian!” sambung Haji Saleh.
Haji Kurnadi berserta istrinya mempersilakan mereka duduk di karpet. Beberapa toples dan piring yang berisi makanan ringan khas tanah suci di dekatkan kepada tamunya itu. Kurma, kismis, kacang arab, dan camilan lokal digeser agar lebih dekat dengan tamunya.
”Silakan, silakan dinikmati!” Haji Kurnadi mempersilakan mereka.
Istri Haji Kurnadi sibuk menunangkan air zam-zam ke dalam gelas bewarna emas. Satu persatu gelas mungil yang telah penuh dengan air zam-zam itu disodorkan istri Haji Kurnadi  kepada mereka. Haji Saleh berserta istri menerimanya dengan pelan-pelan agar air tidak tumpah. Mulut mereka berkomat-kamit. Mereka berdoa sebelum minum. Mereka yakin bahwa air zam-zam dapat menyehatkan badan serta bisa menjadi obat berbagai penyakit sesuai dengan kemantaban hatinya.
Sambil menikmati berbagai hidangan mereka bercakap-cakap. Haji Saleh melontarkan berbagai pertanyaan terkait dengan pelaksanaan ibadah haji. Haji Kurnadi menyampaikan jawaban dengan menceritakan pengalamannya di tanah suci. Haji Saleh tertunduk khusuk mendengarkan cerita yang disampaikan oleh tuan rumah. Mereka membayangkan diri mereka saat melaksanakan ibadah yang serupa pada tahun lalu.
”Kami juga sempat mengambil dan membawa pulang kerikil sisa dari melontar jumrah,” kata Haji Kurnadi.
Haji Saleh terkejut saat mendengar pengakuan Haji Kurnadi. Dia mengangkat wajahnya lalu menatap wajah Haji Kurnadi yang seakan bangga setelah membawa pulang kerikil tanah suci.
”Kamu membawa pulang kerikil-kerikil itu?” tanya Haji Saleh dengan nada heran.
”Iya. Kerikil-kerikil itu kusimpan dalam kantong kecil.”
”Sekarang di mana?”
”Kuletakkan di almari.”
”Untuk apa kau membawa pulang kerikil-kerikil tersebut? Itu larangan.”
”Ah, kata siapa itu larangan? Saya membawanya pulang agar kerikil-kerikil itu dapat mendatangkan berkah bagi kehidupan kami.”
Nah, ini yang keliru. Jika kamu meyakini kerikil-kerikil itu dapat memberi manfaat, maka kamu bisa terjerumus dalam perbuatan syirik.”
”Tidak. Saya tidak keliru. Hanya dirimu saja yang mengada-ada,” pungkas Haji Kurnadi.
Haji Saleh heran dengan sikap Haji Kurnadi. Dia bersikukuh mempertahankan keyakinan bahwa kerikil-kerikil tanah suci bisa mendatangkan keberkahan dalam hidupnya. Padahal, itu pendapat yang keliru. Salah.
Ia teringat peristiwa tiga tahun silam ketika kakaknya, Haji Mursam, menyimpan kerikil-kerikil tanah suci sebagai azimat. Dia ingin mendapatkan berkah dari kerikil-kerikil tersebut. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Musibah demi musimbah menimpa dirinya. Mulai dari dirinya sendiri sampai anaknya yang meninggal karena kecelakaan. Usut punya usut ternyata Haji Mursam menyimpan kerikil-kerikil dari tanah suci di rumahnya. Pak Yai Ahmad sebagai tokoh agama di desa Haji Mursam menyarankan agar kerikil-kerikil itu dikembalikan ke tanah suci apabila dia ingin musibah-musibah itu tidak menghampirinya lagi. Haji Mursam sempat menolak saran tersebut meskipun pada akhirnya dia menuruti saran Pak Yai Ahmad yang terkenal sedik peningal itu.
Istri Haji Saleh mendukung saran suaminya agar Haji Kurnadi segera mengembalikan kerikil-kerikil itu dengan alasan seperti yang dikemukakan oleh suaminya. Malah istri Haji Saleh ini secara terus terang menyampaikan beberapa akibat apabila kerikil-kerikil itu masih disimpan di rumahnya.
”Keponakan saya dulu sampai meninggal karena kakak saya menyimpan kerikil tanah suci itu di rumahnya. Sebelumnya, orang tuanya juga mengalami beberapa kali musibah. Alhamdulillah, setelah kerikil itu dikembalikan ke tanah suci, kehidupan mereka menjadi damai kembali,” jelas istri Haji Saleh.
Istri Haji Kurnadi memerhatikan cerita-cerita yang disampaikan Haji Saleh dan istrinya. Dia mulai khawatir jangan-jangan cerita yang disampaikan oleh Haji Saleh itu akan menimpa dirinya. Dia teringat anak-anaknya. Dia tidak ingin musibah itu bakal menimpa keluarganya.
”Pak, terima saja saran mereka! Aku takut,” bisik istri Haji Kurnadi di telinganya.
”Tidak bisa. Saya membawa kerikil-kerikil ini dengan susah payah. Saya berusaha mati-matian agar kerikil ini lolos dari penggeledahan petugas. Sekarang kerikil ini bisa selamat sampai rumah malah disuruh mengembalikan. Enak saja!” Haji Kurnadi menolah permintaan istrinya dengan muka memerah.
Istri Haji Kurnadi permisi kepada kedua tamunya itu. Dia menyeret tangan kanan Haji Kurnadi lalu mengajaknya ke dalam kamar. Mereka berdua terlibat dalam perdebatan yang sangat seru. Keduanya bersikukuh memertahankan pendapat-pendapatnya. Setelah beberapa lama mereka berdebat sampai air mata istri Haji Kurnadi terkuras, akhirnya selesai juga. Haji Kurnadi menerima saran yang disampaikan oleh Haji Saleh.
”Baiklah, Kak! Saya menerima saran kalian,” kata Kurnadi dengan melas.
”Syukurlah, kalian menerima saran kami!”
”Lantas bagaimana aku harus mengembalikannya?”
”Titipkan orang yang akan berangkat umroh!”
”Siapa yang akan berangkat umroh dalam waktu dekat ini? Saya kan tidak tahu.”
”Saya punya teman pengelola jasa umroh. Akan saya tanyakan kepadanya siapa yang akan berangkat umroh dalam waktu dekat ini.”
Keesokan harinya Haji Saleh mendapatkan jawaban dari temannya tentang kepastian orang yang akan berangkat umroh minggu depan. Dia lantas mengantarkan Haji Kurnadi beserta istri menemui orang yang akan berangkat umroh tersebut. Setelah bertemu, mereka menyerahkan kantong kain kecil yang berisi kerikil-kerikil tanah suci kepada orang itu dan berpesan agar dikembalikan lagi ke tempatnya.
”Terima kasih, Pak! Terima Kasih!” ucap Haji Kurnadi dan istri kepada orang tersebut dengan perasaan lega. (*)
Wanar, September 2017