Kerikil-Kerikil
Tanah Suci
Cerpen
karya Ahmad Zaini
Wajah-wajah para jamaah haji yang baru tiba dari tanah
suci terlihat ceria. Senyum mereka merekah bak kembang di musim berbunga
menghiasi hari-hari yang mereka lalui. Mereka menyambut kedatangan para tamu
yang datang silih berganti dengan saling berjabatan tangan dan berangkulan. Tak
sedikit dari para jamaah haji matanya berkaca-kaca saat berjumpa dengan
keluarga dekat dan handai taulan yang berkunjung ke rumahnya. Mereka terharu
karena dapat bertemu lagi dengan orang-orang dekatnya setelah empat puluh hari berpisah
untuk menjalankan ibadah haji di tanah suci.
Haji Kurnadi beserta istri duduk sambil menyandarkan
punggungnya di dinding rumahnya. Mereka kelelahan sepulang dari tanah suci.
Namun, rasa lelah itu harus ditahan karena harus menemui para tamu yang
bersilaturrahim untuk mendapatkan barokah doa dari mereka. Para tamu ini meyakini
doa orang yang baru datang dari haji itu mustajabah. Mudah diterima
Allah.
Siang hari ketika Haji Kurnadi akan istirahat, datang
Haji Saleh beserta istri yang saat ini tinggal di Blora Jawa Tengah. Mereka
bersalaman dan berangkulan sebagai pengobat rindu dan rasa haru. Maklumlah pada
pemberangkatan haji sebulan sebelumnya, Haji Saleh tidak bisa datang untuk melepas
keberangkatan Haji Kurnadi karena ada acara yang tidak bisa ditinggalkan.
”Alhamdulillah, Kak kami sekeluarga diberi
kesehatan oleh Allah sehingga bisa bertemu lagi dengan keluarga!” kata Haji
Kurnadi sambil merangkul Haji Saleh.
”Syukurlah. Kami ikut berbangga dengan kalian!” sambung
Haji Saleh.
Haji Kurnadi berserta istrinya mempersilakan mereka duduk
di karpet. Beberapa toples dan piring yang berisi makanan ringan khas tanah
suci di dekatkan kepada tamunya itu. Kurma, kismis, kacang arab, dan camilan
lokal digeser agar lebih dekat dengan tamunya.
”Silakan, silakan dinikmati!” Haji Kurnadi mempersilakan
mereka.
Istri Haji Kurnadi sibuk menunangkan air zam-zam ke dalam
gelas bewarna emas. Satu persatu gelas mungil yang telah penuh dengan air
zam-zam itu disodorkan istri Haji Kurnadi kepada mereka. Haji Saleh berserta istri
menerimanya dengan pelan-pelan agar air tidak tumpah. Mulut mereka
berkomat-kamit. Mereka berdoa sebelum minum. Mereka yakin bahwa air zam-zam
dapat menyehatkan badan serta bisa menjadi obat berbagai penyakit sesuai dengan
kemantaban hatinya.
Sambil menikmati berbagai hidangan mereka bercakap-cakap.
Haji Saleh melontarkan berbagai pertanyaan terkait dengan pelaksanaan ibadah
haji. Haji Kurnadi menyampaikan jawaban dengan menceritakan pengalamannya di
tanah suci. Haji Saleh tertunduk khusuk mendengarkan cerita yang disampaikan
oleh tuan rumah. Mereka membayangkan diri mereka saat melaksanakan ibadah yang
serupa pada tahun lalu.
”Kami juga sempat mengambil dan membawa pulang kerikil
sisa dari melontar jumrah,” kata Haji Kurnadi.
Haji Saleh terkejut saat mendengar pengakuan Haji
Kurnadi. Dia mengangkat wajahnya lalu menatap wajah Haji Kurnadi yang seakan
bangga setelah membawa pulang kerikil tanah suci.
”Kamu membawa pulang kerikil-kerikil itu?” tanya Haji
Saleh dengan nada heran.
”Iya. Kerikil-kerikil itu kusimpan dalam kantong kecil.”
”Sekarang di mana?”
”Kuletakkan di almari.”
”Untuk apa kau membawa pulang kerikil-kerikil tersebut?
Itu larangan.”
”Ah, kata siapa itu larangan? Saya membawanya pulang agar
kerikil-kerikil itu dapat mendatangkan berkah bagi kehidupan kami.”
”Nah, ini yang keliru. Jika kamu meyakini
kerikil-kerikil itu dapat memberi manfaat, maka kamu bisa terjerumus dalam
perbuatan syirik.”
”Tidak. Saya tidak keliru. Hanya dirimu saja yang
mengada-ada,” pungkas Haji Kurnadi.
Haji Saleh heran dengan sikap Haji Kurnadi. Dia
bersikukuh mempertahankan keyakinan bahwa kerikil-kerikil tanah suci bisa
mendatangkan keberkahan dalam hidupnya. Padahal, itu pendapat yang keliru.
Salah.
Ia teringat peristiwa tiga tahun silam ketika kakaknya,
Haji Mursam, menyimpan kerikil-kerikil tanah suci sebagai azimat. Dia ingin
mendapatkan berkah dari kerikil-kerikil tersebut. Namun, yang terjadi justru
sebaliknya. Musibah demi musimbah menimpa dirinya. Mulai dari dirinya sendiri
sampai anaknya yang meninggal karena kecelakaan. Usut punya usut ternyata Haji
Mursam menyimpan kerikil-kerikil dari tanah suci di rumahnya. Pak Yai Ahmad
sebagai tokoh agama di desa Haji Mursam menyarankan agar kerikil-kerikil itu
dikembalikan ke tanah suci apabila dia ingin musibah-musibah itu tidak
menghampirinya lagi. Haji Mursam sempat menolak saran tersebut meskipun pada
akhirnya dia menuruti saran Pak Yai Ahmad yang terkenal sedik peningal
itu.
Istri Haji Saleh mendukung saran suaminya agar Haji
Kurnadi segera mengembalikan kerikil-kerikil itu dengan alasan seperti yang
dikemukakan oleh suaminya. Malah istri Haji Saleh ini secara terus terang
menyampaikan beberapa akibat apabila kerikil-kerikil itu masih disimpan di
rumahnya.
”Keponakan saya dulu sampai meninggal karena kakak saya
menyimpan kerikil tanah suci itu di rumahnya. Sebelumnya, orang tuanya juga
mengalami beberapa kali musibah. Alhamdulillah, setelah kerikil itu
dikembalikan ke tanah suci, kehidupan mereka menjadi damai kembali,” jelas
istri Haji Saleh.
Istri Haji Kurnadi memerhatikan cerita-cerita yang
disampaikan Haji Saleh dan istrinya. Dia mulai khawatir jangan-jangan cerita
yang disampaikan oleh Haji Saleh itu akan menimpa dirinya. Dia teringat
anak-anaknya. Dia tidak ingin musibah itu bakal menimpa keluarganya.
”Pak, terima saja saran mereka! Aku takut,” bisik istri
Haji Kurnadi di telinganya.
”Tidak bisa. Saya membawa kerikil-kerikil ini dengan
susah payah. Saya berusaha mati-matian agar kerikil ini lolos dari
penggeledahan petugas. Sekarang kerikil ini bisa selamat sampai rumah malah
disuruh mengembalikan. Enak saja!” Haji Kurnadi menolah permintaan istrinya
dengan muka memerah.
Istri Haji Kurnadi permisi kepada kedua tamunya itu. Dia
menyeret tangan kanan Haji Kurnadi lalu mengajaknya ke dalam kamar. Mereka
berdua terlibat dalam perdebatan yang sangat seru. Keduanya bersikukuh
memertahankan pendapat-pendapatnya. Setelah beberapa lama mereka berdebat
sampai air mata istri Haji Kurnadi terkuras, akhirnya selesai juga. Haji
Kurnadi menerima saran yang disampaikan oleh Haji Saleh.
”Baiklah, Kak! Saya menerima saran kalian,” kata Kurnadi
dengan melas.
”Syukurlah, kalian menerima saran kami!”
”Lantas bagaimana aku harus mengembalikannya?”
”Titipkan orang yang akan berangkat umroh!”
”Siapa yang akan berangkat umroh dalam waktu dekat ini?
Saya kan tidak tahu.”
”Saya punya teman pengelola jasa umroh. Akan saya
tanyakan kepadanya siapa yang akan berangkat umroh dalam waktu dekat ini.”
Keesokan harinya Haji Saleh mendapatkan jawaban dari
temannya tentang kepastian orang yang akan berangkat umroh minggu depan. Dia
lantas mengantarkan Haji Kurnadi beserta istri menemui orang yang akan
berangkat umroh tersebut. Setelah bertemu, mereka menyerahkan kantong kain
kecil yang berisi kerikil-kerikil tanah suci kepada orang itu dan berpesan agar
dikembalikan lagi ke tempatnya.
”Terima kasih, Pak! Terima Kasih!” ucap Haji Kurnadi dan
istri kepada orang tersebut dengan perasaan lega. (*)
Wanar, September 2017