Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 06 Juni 2020

Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 7 Juni 2020

Lebaran Mbok Darsi
Cerpen karya Ahmad Zaini

Mbok Darsi bersila di gelaran karpet ruang tamu. Wajahnya menampakkan kecemasan. Hatinya gelisah setiap melihat bermacam sajian menu lebaran. Toples-toples yang sarat makanan khas lebaran masih tertutup rapat. Belum ada satu pun tamu yang unjung-unjung berlebaran ke rumahnya lalu menikmati jajan hasil karyanya. Padahal, Mbok Darsi telah menyiapkan menu lebaran tersebut dari jauh hari sebelumnya.
Kue retih dan madumangsa kesukaan anak-anaknya juga masih utuh. Anak-anaknya yang merantau di Jakarta tidak bisa pulang. Mereka dilarang mudik untuk memutus penyebaran pandemi virus korona. 
Mata Mbok Darsi menatap ruang hampa. Dia kesepian. Tidak ada celoteh cucu dan gelegar tawa anak-anaknya yang bergurau bersama di rumahnya. Tangan keriputnya sesekali mengambil retih. Dia mengamati menu tradisional itu sambil membayangkan Rahmat, anak pertamanya yang sangat menyukai retih. Setelah itu, retih diletakkan lagi di tempatnya. Mbok Darsi juga mengambil madumangsa. Dia mengelupas kulit madumangsa yang terebuat dari kertas kuning dengan perlahan. Dia membayangkan menyuapkan madumangsa buatan sendiri itu ke mulut Ratih, anak keduanya.
Bola mata Mbok Darsi berkaca-kaca. Dia benar-benar kesepian pada lebaran tahun ini. anak-anaknya tidak ada yang pulang. Para tetangga juga baru satu yang datang bertamu ke rumahnya. Itu pun anak dari besannya. Selain itu tidak ada.
Lebaran bagi Mbok Darsi merupakan saat yang dinanti-nanti. Saat berbahagia karena bisa berkumpul bersama keluarga dan para tentangga. Bagi Mbok Darsi, lebaran juga dianggap sebagai kesempatan untuk berbagi-bagi. Dia bisa berbagi rezeki pada anak-anak yang unjung-unjung ke rumahnya. Dia juga biasanya menerima salam tempel dari anak, cucu, dan keponakan. Dalam seminggu lebaran, amplop yang diterima Mbok Darsi bisa mencapai ratusan. Nilai isinya juga bervariasi. Minimal lima puluh ribu, maksimal lima ratus ribu rupiah. Maklumlah para anggota keluarga Mbok Darsi yang kebanyakan sebagai pengusaha warung di Jakarta, terbilang sukses. Warungya ramai. Penghasilan mereka dalam sehari bisa mencapai enam sampai sepuluh juta.
Pada lebaran tahun ini, Mbok Darsi harus mengubur kebahagiaan bisa berkumpul dengan mereka. Keluarganya tidak ada yang bisa pulang. Di samping itu, usahanya mengalami penurunan. Penghasilannya turun drastis. Bahkan ada sebagaian warung keponakannya ditutup total karena terdampak wabah korona.
Lamunan Mbok Darsi buyar seketika saat ada tamu yang mengetuk pintunya. Mbok Darsi berdiri dengan tertatih. Kedua tangannya gemetar memegang tembok tempat bersandar punggungnya agar dapat membantu menyangga tubuhnya. Dia melihat sosok lelaki berbadan tegap berdiri di depan pintu rumahnya.
”Silakan masuk, Nak!” Mbok Darsi memersilakan tamu tersebut.
”Terima kasih, Mbok Darsi,” sahut lelaki itu.
Mbok Darsi terkejut karena lelaki itu bisa menyebut namanya dengan jelas. Tamu tersebut seperti sudah mengenal Mbok Darsi.
”Kamu ini siapa kok seperti sudah mengenal saya?” tanya Mbok Darsi penasaran.
”Iya, Mbok. Saya sudah mengenal nama Mbok Darsi cukup lama. Tapi baru kali ini saya bisa bertatap muka dengan Mbok,” jawab lelaki itu.
”Kenal nama saya dari mana?”
”Saya teman karib Rahmat, anak Mbok Darsi. Saya sudah puluhan tahun kerja dengan Rahmat,” jelasnya.
”Oalah, kamu ini yang bernama Kasim?”
”Benar, Mbok. Saya Kasim.”
”Saya juga sudah lama mengenal namamu dari Rahmat. Ayo, dibuka toplesnya! Silakan dinikmati,” pinta Mbok Darsi.
Setelah dipersilakan, tamu yang ternyata Kasim, teman akrab Rahmat itu mengambil retih. Dia sangat menikmati menu andalan Mbok Darsi. Dalam waktu tidak sampai lima menit, Kasim telah melahap tiga retih.
”Enak sekali retih ini, Mbok,” ucap Kasim.
”Iya. Kue lebaran yang saya buat beberapa hari lalu. Kue kesukaan Rahmat,” sahut Mbok Darsi dengan sedih.
”Oh, iya, Mbok. Ini ada titipan dari Rahmat,” kata Kasim dengan tiba-tiba sambil merogoh amplop dari saku bajunya.
”Apa ini?”
”Kata Rahmat sekadar uang jajan Mbok Darsi.”
Mbok Darsi menerima amplop itu pelan-pelan. Dia merasa berat sekali menerima amplop itu karena hati kecilnya berkata yang diinginkan bukanlah amplop, tapi kehadiran orangnya. Namun, dalam situasi pandemi korona sekarang ini dia tidak boleh arogan. Mbok Darmi harus tegar menerima nasib yang dialaminya. Dia harus ikhlas tidak bertemu dengan anak-anaknya demi keselamatan diri dan anak-anaknya.
”Ngomong-ngomong bagaimana ceritanya kamu bisa pulang, sedangkan Rahmat tidak bisa?” tanya Mbok Darsi.
Kasim bingung. Dia cerita apa adanya atau diam saja tentang kondisi Rahmat. Kalau menyampaikan cerita yang sebenarnya, dia khawatir Mbok Darsi akan semakin sedih. Kalau ditutup-tutupi, dia akan terbebani menyembunyikan cerita yang sesungguhnya pada Mbok Darsi.
”Maaf, Mbok!”
”Kok, maaf! Memangnya ada sesuatu yang kau sembunyikan?”
”Tidak, Mbok. Tidak ada,” jawab Kasim dengan ragu.
”Kamu berbohong. Kamu pasti menyembunyikan sesuatu. Mulutmu bisa berbohong, tapi sorot matamu tidak bisa membohongiku. Ayo, katakan yang sebenarnya,” desak Mbok Darsi.
Kasim semakin bingung. Dia terdesak. Akhirnya, Kasim memutuskan untuk menyampaikan cerita yang sebenarnya pada Mbok Darsi.
”Astaghfirullahal azim! Jadi, Rahmat anakku terkena virus korona?” kata Mbok Darsi sambil menangis sedih.
”Belum positif, baru gejala mirip korona. Jangan menangis, Mbok! Saya merasa berdosa karena tidak bisa memegang janji dengan Rahmat untuk tidak menyampaikan hal ini pada Mbok Darsi,” ujar Kasim.
”Bagaimana saya tidak menangis mendengar kabar anak yang terpapar virus korona?” sergahnya.
”Sekali lagi ini masih gejala, Mbok. Belum positif. Doakan semoga hasil tes di laboratorium menunjukkan hasil negatif!”
”Ya, Allah, selamatkanlah anak-anak dan cucu kami dari ancaman wabah ini,” doa Mbok Darsi sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
”Amin!” sahut Kasim.
”Sekarang mereka tinggal di mana?”
”Rahmat, istri, dan anak-anaknya dikarantina di sebuah hotel yang disiapkan oleh tim buat mereka yang diduga terpapar virus korona. Jika hasil tes mereka dinyatakan negatif, baru diperbolehkan pulang dan harus menjalanani karantina mandiri selama empat belas hari di rumah,” kata Kasim memberi penjelasan kepada Mbok Darsi.
”Masyaallah, anak-anak dan cucuku!”
”Mbok Darsi bersabar, ya! Tetap berdoa buat keluarga dan bertawakkal. Insyaallah hasil tes negatif,” kata Kasim menghibur Mbok Darsi.
”Terima kasih, Nak Kasim!”
”Sama-sama, Mbok. Saya pamit dulu,” kata Kasim untuk undur diri dari perjamuan yang terasa hambar ini.
Mbok Darsi mengusap air mata yang sempat membasahi pipi keriputnya dengan kerudung panjangnya. Dia berjalan pelan mengantar Kasim sampai di pintu rumah. Setelah Kasim meninggalkan halaman rumahnya, Mbok Darsi kembali masuk ke rumah. Dia berdiri mematung sambil memandangi beberapa foto keluarga Rahmat yang dipajang di dinding ruang tamu. Mbok Darsi tak kuasa membendung air mata. Dia menangis setiap terlintas suara Kasim yang menceritakan kondisi Rahmat yang sebenarnya.
Wanita tua yang kini sendirian tinggal di rumah itu duduk lagi. Dia bersila sambil memandangi kue lebaran di atas karpet yang masih utuh. Retih hanya berkurang tiga setelah dimakan Kasim. Madumangsa masih tertutup rapat dalam toples karena anak perempuan penyukanya sudah pasti tidak pulang. Para tetangga  yang lain juga belum ada yang unjung-unjung karena dianjurkan oleh pemerintah desa agar semua warga berlebaran di rumah saja.
Mbok Darsi belajar ikhlas menerima nasib. Dia pasrah pada Allah sambil berharap semoga virus korona segera minggat dari negeri ini. Kesehatan dan keselamatan yang paling penting. Lebaran tahun ini tanpa berkumpul dengan anak cucu tidak apa-apa. Yang penting semua keluarga sehat dan panjang umur. Tahun depan pasti bisa berlebaran dan berkumpul dengan  mereka lagi, harap Mbok Darsi dalam hati. (*)
Wanar, Mei 2020

Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa cerpen, puisi dan esainya pernah di muat di surat kabar. Dia juga telah menerbitkan beberpa buku kumpulan cerpen dan puisi. Buku kumpulan puisi terbarunya berjudul Hanya Waktu Jelang Kematian (Maret, 2020). Saat ini dia tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.