Hujan
Enggan Datang
Cerpen
Ahmad Zaini
Sudah
hampir setahun hujan belum kunjung turun. Tanah merekah. Pohon-pohon meranggas.
Sumur mengering. Sungai kerontang. Warga sekampung pada musim kemarau kali ini
benar-benar menderita. Mereka kesulitan air. Untuk memenuhi kebutuhan air
bersihnya, mereka harus rela mengantre berjam-jam dengan warga lain. Bahkan
mereka ada yang mengantre berhari-hari di sumur kampung seberang yang jaraknya
tujuh kilometer dari kampung mereka.
Kemarau
tahun ini memang diluar kebiasaannya. Kemarau musim ini bisa dikategorikan
sebagai kejadian luar biasa. Biasanya paling lama musim kemarau hanya
berlangsung empat atau enam bulan. Setelah itu hujan sudah turun. Akan tetapi,
kemarau tahun ini benar-benar di luar batas perkiraan warga.
Debu
siang itu beterbangan melintas di atas kampungku. Matahari menyengatkan
panasnya menembus ubun-ubun. Sambil membawa jerigen, aku mempercepat langkahku
karena kakiku melepuh tak mampu menahan panas permukaan tanah yang kulewati.
Aku ingin segera sampai di sumur untuk mengambil setimba air untuk keperluan
hidup keluargaku.
Di
tengah perjalanan aku beristirahat. Aku duduk di bawah sebatang pohon yang tak
berdaun lagi. Batangnya meranggas. Akarnya rapuh. Belum puas aku beristirahat,
terpaksa aku harus bangkit ketika pohon yang kusandari begerak-gerak karena
hembusan angin. Aku melanjutkan perjalanan agar segera sampai di sumur kemudian
mengantre mengambil air bersama warga yang telah tiba lebih dahulu.
Saat
aku dalam perjalanan, aku mendengar suara orang yang sedang terlibat
percekcokan. Eh, ternyata dua lelaki dewasa yang sedang adu mulut di depan
rumah mereka. Aku bisa mendengar dengan jelas isi percekcokannya. Aku duduk
sambil berpura-pura istirahat di sebuah warung kopi yang sudah tidak terpakai.
“Kamu
yang telah mengambil airku,” tuduh lelaki yang usianya sekitar enam puluhan
tahun.
“Jangan
seenaknya pakde menuduhku!” sangkal laki-laki yang lebih muda yang ternyata
masih keponakan lelaki tua itu.
“Dua
jerigen air yang kudapatkan tiga hari yang lalu raib. Siapa lagi kalau bukan
kamu yang mengambil.”
“Jadi,
pakde masih menuduh aku yang mengambil air pakde?”
Si
lelaki yang masih keponakan lelaki tua itu
berjalan mendekatinya. Ia geram karena telah dituduh mencuri dua jerigen
air milik pakdenya. Tanpa basa-basi, si keponakan itu mendorong pakdenya hingga
tersungkur di permukaan tanah yang kering merekah.
“Pakde,
Pakde! Bangun pakde!” ujar sang keponakan.
Lelaki
tua itu pingsan. Dia tidak sadar karena keningnya terbentur tanah keras seperti
batu di halaman rumah mereka. Sang keponakan segera mengangkat tubuh kurus
pakdenya ke dalam rumah yang kusam dan atapnya penuh debu itu.
Aku
meninggalkan tempat tersebut dengan hati yang miris. Dalam hatiku berkata bahwa
hati mereka benar-benar telah dibutakan oleh kebutuhan air. Air memang sumber
kehidupan. Akan tetapi, jangan sampai air
menjadi sumber percekcokan dengan keluarga. Jika masalah air saja mereka tidak
bisa hidup rukun, mana mungkin Tuhan akan menurunkan hujan!
***
Deratan
para warga mencapai satu kilo meter. Mereka menunggu giliran menimba air di
sumur yang berkedalaman lima puluh meter. Rasa lapar dan dahaga tak mereka
hiraukan. Panas sengatan matahari musim kemarau tak mereka rasakan. Wajah para
warga memelas. Mereka seperti tak bergairah. Mereka lelah karena sudah menunggu
seharian penuh demi mendapatkan giliran menimba air. Guratan-guratan di wajah
mereka seakan menggambarkan sebuah harapan agar penderitaan seperti ini tidak
berlarut-larut. Mereka tak tega melihat keluarganya yang kesulitan air di musim
kemarau ini. Mereka tidak tega keluargnya mandi dengan air bekas mandi yang
ditampung lagi. Sampai-sampai air limbah mandi yang sudah keruh dan berbau
digunakan mandi lagi. Oh, begitu menderintanya warga ini!
“Pak,
bagaimana ini?” tanya warga yang mengantre giliran menimba.
“Apanya
yang bagaimana?” tanyaku balik kepadanya.
“Ya,
kemarau panjang ini, Pak.”
“Terus?”
“Kapan
berakhirnya?”
“Ya,
tidak tahu. Hujan atau tidak tergantung dari kemurahan Tuhan kepada kita. Tuhan
akan memberikan kemurahanNya jika kita mau mendekat kepadaNya.”
“Mendekat
bagaimana, Pak?” tanya warga awam itu kepadaku.
“Maksud
mendekat kepada Tuhan itu, kita harus meningkatkan amal ibadah kita serta
memperbanyak amal kebaikan. Jauhkan sifat-sifat tercela dalam diri kita. Jangan
lagi melakukan dosa dengan berbuat maksiat.”
“Pak
Ustadz, perbuatan maksiat itu seperti apa?”
“Perbuatan
maksiat adalah perbuatan yang melanggar larangan-larangan Tuhan. Contohnya
mencuri, minum-minuman yang memabukkan, berzina, dan masih banyak lagi yang
lainnya ,” jelasku kepadanya.
“Berzina?
Wah, kalau yang satu ini di kampung ini sudah menjadi kebiasaan Pak. Dalam
waktu setengah tahun ini sudah lebih dari selusin gadis dan janda yang hamil.
Yang terkahir anak Pak RT yang masih usia belasan tahun. Dia dihamili anak
kepala desa.”
“Benarkah
yang kamu katakan ini?” tanyaku.
“Benar,
Pak.”
“Jika
benar, hal inilah yang menjadi penyebab kampung kita dilanda kekeringan. Tuhan
tidak akan menurunkan hujan kepada kaumNya yang sudah berbuat dosa besar
seperti berzina.”
Aku
terkejut mendengar cerita warga tersebut. Aku merasa ikut berdosa karena tidak
mengetahui jika di kampungku telah terjadi hal yang memalukan seperti itu. Aku
harus bertindak untuk memberikan pengertian kepada para warga bahwa berzina itu
adalah perbuatan dosa besar yang bisa mendatangkan bencana. Kekeringan yang
mereka rasakan selama ini adalah salah satu contoh bencana yang diturunkan oleh
Tuhan sebagai teguran bagi umatNya yang telah berbuat dosa.
“Lho,
akan ke mana?” tanyaku pada lelaki itu.
“Pulang,
Pak. Air di sumur itu sudah habis. Sumbernya mampet,” jawabnya dengan nada
kecewa.
“Sudah
hampir sehari menunggu giliran menimba. Eh, tinggal menunggu empat orang saja airnya
sudah habis! Sial!” gurutunya sambil melintas di depanku.
“Eh,
tunggu!”
“Ada
apa Pak Ustadz?”
“Mari
kita pulang bersama kemudian temani aku ke rumah kepala desa!”
“Memangnya
ada apa Pak?”
“Ini
untuk mencari jalan keluar dari permasalahan di kampung kita. Kekeringan
melanda desa ini karena banyak warganya yang telah lari menjauh dari aturan
Tuhan.”
“Maksudnya
hujan tidak turun karena banyak warga kampung yang berbuat zina?”
“Betul.”
“Lha
wong, mereka melakukannya atas dasar suka sama suka, kok, Pak!”
“Maka
dari itu kita harus menyadarkan warga melalui kepala desa.”
“Percuma,
Pak. Anak kepala desa sendiri baru saja menghamili anak ketua RT. Mana mungkin
dia mau menyadarkan warganya?”
“Jangan
berperasangka buruk seperti itu. Kita coba saja datang kepadanya.”
“Baiklah,
Pak Ustadz. Biar hujan cepat turun.”
Kami
melangkah meninggalkan sumur yang telah mengering menuju kampung halaman. Kami
berjalan menyusuri jalan-jalan berkerikil tajam. Di kanan kiri jalan tak ada
sesuatu yang bisa menyegarkan pandangan. Semuanya kering kerontang tak ada
tanda-tanda kehidupan bagi tetumbuhan.
Kami
melintasi kampung tetangga sambil melihat para warga yang mandi kemudian
limbahnya ditampung lagi di penampung air. Air bekas mandi tersebut akan
digunakan mandi lagi oleh anggota keluarga yang lain. Jika sudah selesai mandi
semua, maka air yang telah ditampung tadi akan disimpan lalu digunakan mandi
pada hari berikutnya.
***
“Ada
perlu apa, Pak Ustadz kemari?” tanya kepala desa.
“Maaf,
Pak. Kedatangan saya kemari hanya ingin membicarakan nasib warga kampung yang
menderita karena kekeringan.”
“Lantas?”
“Saya
ingin mengajak para warga kampung bertaubat karena sudah banyak warga yang
telah berbuat maksiat dengan berzina.”
“Kau
menyindir anakku, ya?”
“Tidak,
Pak. Saya tidak bermaksud menyindir anak Bapak. Saya hanya ingin menyadarkan
para warga bahwa kekeringan yang melanda desa ini karena ulah mereka mereka
sendiri yang telah melanggar aturan-aturan Tuhan.”
“Sok
tahu kamu. Aku ini kepala desa yang tentu lebih mengerti daripada kamu.
Kekeringan melanda desa ini karena hujan belum turun. Kalau hujan sudah turun,
kekeringan akan lenyap sendiri.”
“Tapi,
Pak, musim kemarau ini sudah hampir satu tahun. Ini bukan musim kemarau seperti
tahun-tahun lalu. Kekeringan melanda desa karena banyak warga yang berzina.
Para gadis dan janda banyak yang hamil di luar nikah.”
“Urusan
apa kau dengan semua itu?” tanya kepala desa dengan sengol.
“Untuk
meluruskan mereka agar kembali ke jalan Tuhan. Para warga akan saya ajak
beristighfar sambil melaksanakan shalat istisqo’, memohon hujan kepada Tuhan.”
“Silakan!
Terserah kau! Kalau belum waktunya hujan, ya, kekeringan tetap akan melanda
desa ini. Sok, tahu!” ucap kepala desa.
Aku
berpamitan kepada kepala desa. Dengan ditemani seorang warga, kami berjalan
menuju ke mushalla desa untuk mengumumkan kepada para warga bahwa besok siang
sekitar pukul 10.00 akan diadakan shalat istisqo’ di tanah lapang.
Para warga kami himbau datang dengan membawa binatang ternak yang mereka miliki
serta mengenakan pakaian yang sudah kumal yang suci.
Para
warga menyambut rencana kami dengan antusias tinggi. Para warga menyiapkan
segala keperluan untuk melaksanakan shalat memohon hujan kepada Allah. Tak
terkecuali kepala desa. Dia juga menyiapkan tiga ekor sapi hasil bantuan dari
gubernur untuk dibawa ke tanah lapang ketika pelaksanaan shalat istisqo’ nanti.
Kepala
desa dengan terpaksa harus ikut dalam pelaksanaan shalat tersebut karena dia
harus memberikan contoh yang baik kepada warga yang mayoritas mendukung
kegiatan itu.
Warga
berduyun-duyun datang ke tanah lapang. Mereka menuntun binatang ternaknya
sambil mengenakan pakaian kusam yang mereka miliki menuju hamparan persawahan
yang kering kerontang itu. Saya dan beberapa warga yang mandegani
kegiatan tersebut sibuk mengatur para warga yang ikut melaksanakan shalat.
Kami
melihat kepala desa datang beserta anak lelakinya sambil menuntun tiga ekor
sapi. Hati kami sangat lega karena ucapan-ucapan kepala desa yang pesimis
dengan kegiatan ini tidak terbukti. Dia beserta anaknya datang dan berbaur
dengan warga.
“Mari,
Pak!” kataku mempersilakan kepala desa.
Dia
tak mereaksi sapaanku. Dia nyelonong menuju ke tempat yang telah kami
sediakan. Rupa-rupanya dia belum ikhlas mengikuti kegiatan ini.
Matahari
siang itu mengganas. Raja siang tersebut mengeluarkan sinar panasnya menyengat
tubuh para warga. Keringat bercucuran. Cairan limbah makanan itu membasahi
pakaian kusam yang dikenakan para warga. Mereka tetap tenang dan khusuk
berdzikir, beristighfar memohon ampunan kepada Tuhan.
Kepala
desa berdiri. Dia lantas berjalan mendekati kami yang masih menunggu dan
mengatur jamaah yang lain.
“Ayo,
cepat dimulai! Sudah panas ini. Becus atau tidak kalian menyelenggarakan
shalat minta hujan ini? Kalau tidak bisa, bubarkan saja!” umpat kepala desa
kepada kami.
“Sabar,
Pak! Masih menunggu warga yang lain.”
“Halah...,
alasan!” umpatan kepala desa itu tidak berlanjut karena tangannya keburu
ditarik anaknya kemudian diajak duduk lagi.
Setelah
warga kampung sudah berkumpul, kami bersiap-siap melaksanakan shalat istisqo’.
Para warga mempersilakan saya menjadi imam dalam pelaksanaan shalat ini.
Aku
berjalan menuju tempat imam. Di barisan depan terlihat kepala desa beserta anak
lelakinya. Kami memulai shalat yang diikuti warga yang menjadi makmum. Rakaat
pertama dengan takbir tujuh kali kemudian kami lanjutkan rakaat kedua dengan
takbir lima kali sebagaimana shalat id. Usai melaksanakan shalat kami
melanjutkan dengan khutbah dua kali.
Dalam
khutbah saya berpesan kepada jamaah agar mereka memperbanyak amal shaleh serta
menghindari perbuatan-perbuatan dosa, seperti berzina dan minum-minuman keras.
“Hai,
kamu menyindir anak saya, ya?” sanggah kepala desa kepada saya.
Sontak
para jamaah melihat ke arah kepala desa.
Aku
tak menghiraukan sanggahannya karena ini bukan diskusi. Ini adalah khutbah yang
tidak boleh disela-selai dengan tanya jawab atau sanggahan-sanggahan. Aku tetap
melanjutkan khutbah sambil melirik kepala desa yang ditenangkan oleh anak
lelakinya.
Ulah
kepala desa ini tak perlu dicontoh. Sebagai seorang pemimpin, semestinya dia
harus memberikan contoh yang baik kepada
para warga. Bukan malah sebaliknya. Dia seharusnya menunjukkan sikap yang arif
bijaksana dalam bertutur serta bertindak.
“Sabar,
Bapak! Sabar!” kata anak kepala desa menenangkan ayahnya.
“Sabar
ada batasnya. Dia selalu menyindir keluargaku. Aku tidak terima.”
Suara
kepala desa lantang di tengah lapang. Suaranya hampir mengalahkan suaraku saat
memberikan khutbah kepada jamaah. Anak lelakinya serta para jamaah tidak mampu
mengendalikan emosi kepala desa. Dengan sangat terpaksa, anak semata wayang
tersebut menyeret tangan kanan ayahnya pergi meninggalkan tanah lapang agar
tidak mengganggu kekhusukan jamaah yang lain.
Peluh
di kening kuusap dengan ujung surban. Butiran-butiran keringat lenyap dalam
sekejap. Sudah hampir lima belas menit saya berkhutbah. Akhirnya, khutbah
kuakhiri. Para warga saling berjabat tangan sebelum meninggalkan tanah lapang.
Mereka saling bermaafan agar Tuhan segera menurunkan hujan.
“Allahummasqina
ghoisan mughisa, wala taj’alna minalqonithin!” gemuruh suara doa para
jamaah sambil meninggalkan tanah lapang yang kering-kerontang itu. Mereka
kembali ke kampung sambil menuntun binatang ternak masing-masing.
Matahari
meredup. Mendung bergulung menutup awan biru. Suasana siang seperti senja.
Udara gerah berubah menjadi agak dingin. Para warga berharap-harap cemas
menanti air dicurahkan Tuhan dari langit. Mereka bersiap-siap menyambut
kedatangan tamu alam yang sudah setengah tahun mereka tunggu.
Gemerisik
kaki-kaki hujan menginjak rontokan dedaun pohon jati kering di kampung sebelah.
Suaranya semakin lama semakin mendekat. Kami sudah tak sabar lagi ingin
mengambil air hujan dengan penampung air yang sudah kami siapkan. Ketika satu
dua tetes hujan sempat mampir di penampungan air, lambat laun gemuruh suara
hujan di kejauhan mereda. Langit kembali cerah. Gumpalan mendung pun sirna
dihempas tiupan angin ke belahan langit yang jauh di sana.
Kami
tertegun. Kami hampir tidak percaya dengan fenomena yang baru saja kami alami.
Kami harus bersabar dengan ujian ini. Kami juga tahu diri mengapa hujan enggan
turun di kampung ini. Kami harus berbenah diri. (*)
Lamongan,
Oktober 2012