Dakwah di Suatu Senja
Cerpen karya Ahmad Zaini
Hari menjelang maghrib. Wajah matahari tersisa separo. Dalam hitungan
detik, raja siang akan benar-benar tenggelam. Udara yang semula gerah, kini
agak mereda. Ditambah semilir angin senja, pergantian waktu siang ke malam ini
terasa syahdu sekali.
Di beberapa tempat masih terlihat kerumunan remaja. Mereka duduk di atas
jok motor masing-masing. Tak jelas apa yang mereka lakukan. Disela
keseriusannya, tiba-tiba mereka tersenyum, tertawa, hingga terbahak-bahak.
Adakah yang lucu? Tentu saja mereka sendiri yang tahu. Mungkinkah mereka
menertawai diri sendiri karena di masa pergantian masa mereka masih berada di
pinggir jalan umum.
Orang tua zaman dahulu akan mengalami kepanikan ketika maghrib anaknya
belum pulang. Mereka mencari anaknya ke sana kemari. Apabila menemukan anaknya,
mereka akan memaksa anaknya pulang untuk mandi, ganti pakaian, dan pergi ke
masjid. Orang tua sekarang tidak lagi seperti itu. Mereka tidak peduli anaknya
sudah pulang atau belum. Yang paling penting mereka sudah berpakaian rapi lalu
pergi ke masjid bersama orang tua lainnya.
Sebagai tokoh masyarakat Jazuli berhenti di
tempat para remaja itu berkerumun. Kebetulan lelaki berkumis tipis ini dalam
perjalanan pulang dari Surabaya. Jazuli menegur mereka agar segera membubarkan
diri.
”Permisi! Kalian jam segini masih di sini. Bukankah ini waktu salat
maghrib? Segeralah pulang untuk melaksanakan salat maghrib,” tegur Jazuli.
Para ABG ini bergeming. Mereka tidak
memedulikan teguran Jazuli. Anak-anak yang berjiwa labill ini masih asyik
memainkan ponsel masing-masing. Alasan mereka nanggung. Jazuli terkejut
mendengar alasan mereka. Ternyata pemuda-pemuda itu lebih mementingkan
menuntaskan game mereka daripada melaksanakan salat maghrib.
Jazuli mengingatkan mereka lagi. Dia memberi petuah bahwa kegiatan mereka
itu tidak berguna. Hanya membuang-buang waktu saja. Jazuli menyentil mereka
dengan peringatan bahwa akhirat itu lebih penting daripada bermain. Salah satu
dari mereka turun dari jok motor. Dia menghampiri Jazuli. Tangan kekarnya
menyambar kerah baju Jazuli kemudian mengangkatnya pelan-pelan.
”Jazuli yang sok alim. Pulanglah sebelum gigimu rontok di sini,”
ancam pemuda itu.
Lelaki bertubuh kurus ini langsung gemetar. Dia cepat-cepat menghindar lalu
memacu motornya meninggalkan tempat itu. Pemuda-pemuda lainnya tertawa
terpingkal-pingkal melihat Jazuli yang menggeber motornya meninggalkan tempat
mangkal mereka.
Sesampai di rumah, Jazuli duduk sebentar. Dia minum segelas air putih. Dia menenangkan hatinya dengan karena hampir saja giginya
dibuat copot oleh anak-anak itu. Jazuli menghela napas panjang. Dia tidak
menyangka mendapat ancaman dari mereka. Tiga detik kemudian Jazuli beranjak
dari tempat duduk, berwudlu, lalu beribadah salat maghrib di masjid.
Kira-kira apa penyebab mereka seperti itu, pikir Jazuli sembari duduk
santai selepas salat maghrib. Mereka sensitif, mudah emosi. Mereka egois, tak
pernah mendengar nasihat orang lain. Mereka tak merasa berdosa meninggalkan
salat begitu saja. Apakah selama ini mereka tidak pernah diperintah orang
tuanya melaksanakan salat? Apakah mereka di sekolah belum mendapatkan ilmu
tentang salat. Mereka anak-anak usia sekolah. Sudah barang tentu mereka telah
mendapatkan bimbingan tentang salat.
”Ada apa, Pak? Sejak tadi seperti ada yang kamu pikirkan,” kata istri
Jazuli yang juga baru turun dari tempat salat.
”Kita beruntung sekali, Bu karena anak-anak kita di pesantren,” ucap
Jazuli.
”Memang kenapa?”
”Di empang sebelah jalan desa, aku menegur anak-anak seusia Tamam, anak
kita. Mereka saya suruh pulang karena sudah saatnya waktu maghrib. Eh, mereka
malawan. Aku hampir dicelakai mereka. Untung saja aku bisa kabur.”
”Tidak usah menegur anak orang lain. Biarkan saja mereka diurus orang tua
masing-masing. Kita urus anak kita sendiri.”
”Tidak boleh seperti itu, Bu. Amar ma’ruf itu dilakukan kepada siapa dan oleh siapa
pun. Tidak bisa hanya mengurusi keluarga sendiri.”
”Tapi kalau mendapat ancaman seperti itu bagaimana?”
”Ya, kita harus menyadarkannya pelan-pelan dan tidak boleh putus asa.”
”Kenapa kamu lari? Hajar saja mereka hingga mau melaksanakan salat
maghrib.”
”Berdakwah tidak boleh dengan kekerasan. Harus dilakukan dengan cara yang
bijaksana.”
”Paham. Aku sangat paham. Tapi, kamu jangan kecewa terhadap mereka. Kamu
harus berlapang dada mendapat perlakukan kasar mereka,” pungkas istri Jazuli.
”Siap. Aku tidak kecewa,” sanggup Jazuli.
Percakapan mereka selesai. Istri Jazuli balik kanan lalu berjalan menuju
ruang dapur. Dia membuatkan kopi kesukaan suaminya.
Dalam temaram lampu ruang tamu, suami istri ini terlibat diskusi
kecil-kecilan. Mereka ditemani secangkir kopi. Nyamuk-nyamuk mengusili mereka.
Sesekali gigitannya membuyarkan kefokusan mereka.
”Orang mengajak kebaikan pasti ada tantangan. Jangankan manusia biasa.
Setingkat nabi masih mendapat perlawanan dari umatnya. Yang penting manusia
tetap menunaikan kewajibannya. Yakni, menyeru orang lain melakukan kebaikan,”
kata Jazuli setelah menyeruput kopi panas.
”Kalau tantangan itu sampai membahayakan dirinya bagaimana? Bukankah Allah
melarang hamba-Nya agar tidak terjerumus ke dalam kerusakan?” sanggah istrinya.
”Berdakwah sesuai dengan kemampuan. Bila kita sudah berusaha maksimal,
kemudian mereka tetap menolak bahkan mengancam kita, cukuplah berdakwah dengan
hati. Hati kita benci terhadap kemungkaran yang mereka lakukan,” jelas Jazuli.
Istri Jazuli mulai puas. Dia
bersyukur karena suaminya memahami semua permasalahan dakwah. Sejak awal istri
Jazuli takut suaminya berdakwah dengan kasar kemudian keselamatannya terancam.
Malam sudah larut. Suasana di luar rumah sepi sekali. Tak terdengar suara
motor melintas di jalan. Anak-anak tetangga juga telah pulas di dekap orang
tua. Mata Jazuli juga tampak tidak mampu menahan kantuk. Demikian juga
istrinya. Mereka pun beristirahat agar keessokan harinya dapat melaksanakan
salat subuh berjamaah di masjid.
Sungguh mulia orang yang masih ingat kewajiban berdakwah. Mereka tidak
memikirkan diri dan keluarganya saja, tetapi juga orang lain. Betapa damai dan
indahnya kehidupan ini apabila masih ada yang ikhlas berdakwah untuk menyeru
kepada kebaikan. Kegaduhan dan keresahan akan hilang karena Allah menurunkan
keberkahan hidup di tempat itu. Tempat yang nyaman penuh ampunan dari Allah.
Sore hari ketika Jazuli pulang kerja, dia tidak melihat kerumunan remaja
yang sempat mengancam keselamatannya. Tempat itu sepi. Tidak ada satu pun
pemuda yang duduk ongkang-ongkang kaki di jok motornya. Tidak terdengar tawa
terbahak-bahak mereka. Tidak ada suara siulnya saat ada gadis melintas. Jazuli
berhenti. Dia turun dari sepeda motor. Dia ingin memastikan anak-anak muda itu
tidak di tempat tersebut. Setelah yakin bahwa mereka tidak berada di tempat
mangkal ini, Jazuli melanjutkan perjalanan pulang.
Azan maghrib berkumandang dari masjid. Suara muazin merdu sekali.
Jazuli dan warga lain penasaran karena selama ini belum pernah terdengar suara
azan semerdu ini. Jazuli dan warga berbondong-bondong datang ke masjid guna
melaksanakan salat maghrib berjamaah seperti biasanya. Subhanallah, ucap
Jazuli dalam hati. Ternyata pemuda yang sempat menarik kerah baju Jazuli itu muazinnya.
Di belakang pemuda itu, terlihat beberapa teman nongkrongnya duduk
khusuk sambil mendengar dan menjawab azan temannya.
Hidayah Allah kapan dan kepada siapa akan diberikan, itu rahasia. Sebagai
buktinya adalah para pemuda itu. Sesering apapun dakwah diberikan kepada umat,
jika belum mendapat hidayah Allah, mereka tetap berada dalam kemungkaran.
Apabila Allah telah menurunkan hidayah pada umat-Nya, sekali diajak atau bahkan
tidak ada yang mengajaknya, mereka akan mentas dari kubang kemungkaran.
Setelah melaksanakan salat maghrib para pemuda itu menghampiri Jazuli yang
saat itu sebagai imam. Mereka menjabat tangan Jazuli sambil berbisik minta maaf
atas kesalahan yang dilakukan. Para pemuda itu salut dan berterima kasih kepada
Jazuli. Lantaran nasihat-nasihat yang disampaikan Jazuli kala itu, Allah
menurunkan hidayah kepada mereka. (*)
Lamongan, 29 November 2023