Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 18 November 2018

Kesaksian Selepas Isyak


Kesaksian Selepas Isyak
Cerpen karya Ahmad Zaini

Dari kejauhan aku sudah merasakan keramaian destinasi wisata ini. Lewat jendela kaca mobil yang kutumpangi, aku melihat ratusan orang berlalu lalang datang dan pergi dari lokasi ini. Lokasi yang sangat indah karena hamparan pasir putih dan lembut memanjakan mata serta gulungan ombak dengan suara debur menggelorakan jiwa.
Seratus meter lagi aku dan teman-teman serombongan segera sampai lokasi itu. Jarak yang sebenarnya sangat dekat apabila ditempuh dengan berjalan kaki. Karena ditempuh dengan mobil, waktu tempuh menjadi agak molor. Antrean kendaraan yang keluar masuk lokasi menahan laju mobil kami.
Pemandu wisata yang kami sewa heran. Lelaki setengah baya ini menggelang-gelengkan kepala. Dia seakan tidak percaya situasi di pantai ini begitu ramai. Padahal, di hari-hari sebelumnya tidak seramai hari ini. Meski harus berjalan merayap dan tersendat-sendat, akhirnya kami serombongan sampai di area parkir wisata.
”Kita turun di sini. Barang-barang yang tidak berharga ditinggal saja di mobil,” kata Mahdi, pemandu wisata yang terpaksa kami butuhkan jasanya karena kami masih asing dengan daerah ini.
Subhanallah, ucapku dalam hati. Baru sekali ini aku melihat pemandangan yang begitu indah. Laut biru membahana dan berair jernih. Sampai-sampai mata telanjangku bisa menembus dasarnya. Aku bisa melihat dengan jelas karang dan biota laut yang berenang-renang. Aku bisa mengamati perilaku para wisatawan asing yang bergurau di kedalaman air.
”Salman, kemari!” Sutris memanggilku.
”Ada apa?” tanyaku penasaran.
”Lihatlah mereka! Apakah kau tetap akan berlama-lama membujang?” tanya Sutris menggodaku sambil menunjuk dua turis wanita mancanegara yang mengenakan bikini sedang berjalan lenggak-lenggok di pantai.
Ah, bisa saja kamu ini,” kataku malu-malu sambil mengintip dua gadis itu dari celah jemari yang menutup wajahku.
Matahari hampir berdiri tegak di atas kepala. Sinarnya sedikit terhalang daun-daun kelapa. Angin terasa agak hangat. Aku dan Sutris mampir di kedai kopi tradisonal untuk beristirahat sambil melihat pengunjung wisata dengan berbagai-bagai perilakunya.
Pemilik kedai ini ramah sekali. Ia bergerak mendekat ke kami. Sambil tersenyum, ia bertanya kepada kami.
”Maaf, Bapak-Bapak, pesan apa?”
”Kopi dua, Pak,” jawabku singkat.
Tak berselang lama, lelaki itu menyuguhkan dua cangkir kopi. Secangkir kubiarkan parkir di depanku, secangkir lagi kugeser ke depan Sutris, temanku.
”Mohon, maaf! Kami tinggal dulu sebentar. Silakan menikmati kopi khas daerah ini,” kata pemilik kedai berpamitan kepada kami.
Aku mengamati lelaki pemilik kedai ini. Dia keluar dari pintu belakang kedai dengan berpakaian salat. Ia mengenakan kopiah, sarung, serta berbaju koko. Aku menatap lelaki itu. Aku ingin tahu ke mana ia pergi. Subhanallah, ternyata pemilik kedai tersebut menuju ke musala yang terletak di sudut area wisata. Rupanya lelaki itu sosok yang taat beribadah. Ia tetap berangkat menunaikan salat meski di kedainya sangat ramai pengunjung.
Di sudut lain, aku melihat para penduduk berlari-lari mendekat ke pantai dengan tergesa-gesa. Mereka membawa timba. Mereka tampak memperebutkan sesuatu. Aku sangat penasaran. Aku berdiri dari tempat duduk agar bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di tempat tersebut.
”Ada apa, Pak?” tanya pemilik kedai yang tiba-tiba sudah kembali ke kedainya ini.
Aku menunjukkan pemilik kedai dengan mengarahkan jari telunjuk ke tempat para penduduk yang saling berebut itu.
”Sepertinya mereka berebut ikan,” sahut pemilik kedai.
”Ternyata benar. Mereka berebut ikan,” kataku setelah melihat salah satu dari mereka yang melintas di depan kedai sambil membawa timba yang penuh ikan laut.
Lelaki pemilik kedai tiba-tiba sudah berganti pakaian. Ia berlari kencang sambil membawa timba ke bibir laut itu tanpa memedulikan kami yang masih duduk di kedainya.
”Pak, kopinya,” teriakku.
”Taruh di situ saja uangnya. Sepuluh ribu,” sahutnya sambil tetap berlari untuk bergabung dengan warga di sana.
***
 Menjelang isyak, kami berhenti di sebuah masjid. Aku melihat puluhan penduduk daerah ini duduk-duduk di serambi masjid untuk menunggu waktu isyak tiba. Sebagian dari mereka ada yang berktikaf. Sebagian lagi ada yang tidur-tiduran, dan yang lainnya ada yang sedang bercengkerama tentang air laut yang sempat surut dan banyak ikan yang terdampar di pantai.
”Permisi, Pak!” kataku sambil menanyakan tempat wudlu.
Mereka memersilakan kami masuk ke masjid dengan sangat sopan. Mereka lantas menunjukkan kami tempat wudlu pria dan wanita. Kami pun menuju ke tempat wudlu sesuai dengan petunjuk lelaki itu.
Azan isyak berkumandang. Para penduduk berdatangan. Mereka yang sudah suci lantas duduk di masjid membentuk shof atau baris dengan lurus. Mereka berdoa dan berzikir sambil menunggu imam masjid datang.
Iqomah dilantunkan seorang remaja dengan suara sangat merdu. Muncul seorang lelaki yang menjadi imam masjid ini. Dia menuju imaman. Setelah seluruh makmum sudah berdiri sempurna di belakangnya, lelaki itu lantas melakukan takbiratul ihram yang diikuti oleh ratusan makmum. Mereka melaksanakan salat berjamaah dengan khusuk.
Pada rakaat kedua, aku terkejut. Tanah seperti bergerak. Orang-orang yang berada di kanan-kiriku seperti juga merasakannya. Mereka tampak tertegun sejenak. Tanah bergerak lagi dengan kekuatan yang semakin tinggi. Lampu yang tergantung di tengah masjid bergoyang-goyang. Almari tempat mukena di tempat jamaah wanita pun berderit. Guncangan itu semakin lama semakin dasyat. Tumpuan kakiku tidak seimbang. Aku terhuyung-huyung dan hampir tersungkur. Demikian halnya dengan para jamaah lainnya. Aku terpaksa membatalkan salatku lantas berlari keluar dari masjid.
Listrik seketika padam. Tak ada penerangan. Suasana gelap gulita. Para jamaah semakin panik. Mereka terlempar ke sana kemari dan berusaha keluar dari masjid untuk menyelematkan diri. Teriak histeris dengan gema takbir tiada berhenti. Mereka menyebut kebesaran Allah dengan kepanikan serta ketakutan. Sebagian kecil dari jamaah yang berhasil keluar lalu berlari ke halaman masjid dan berkumpul dengan kami.
Kami merinding ketakutan dan saling berangkulan. Aku melihat dengan samar kubah masjid yang megah dan indah itu tiba-tiba runtuh diikuti suara gemuruh reruntuhan puing bangunan yang lain. Ratusan jamaah yang panik dan belum berhasil keluar tertimbun reruntuhan itu. Teriak hsiteris mereka dari dalam masjid seketika senyap. Tak terdengar lagi suara takbir mereka di sela guncangan gempa yang melanda.
Astaghfirullah, subhanallah, Allahu Akbar!” ungkapku ketakutan sembari memuji kebesaran Allah di tengah kerumunan warga di halaman masjid.
Isak tangis, rintih, dan ratap kesakitan terdengar pilu di sekitarku. Mereka yang selamat dari reruntuhan puing bangunan saling berangkulan haru. Masjid megah itu runtuh dan rata dengan tanah. Demikian juga dengan rumah-rumah yang berada di sekitarnya. Semua ambruk tanpa sisa.
***
Pagi hari daerah ini tak berbentuk lagi. Daerah yang indah kini luluh lantak dilanda gempa. Warga yang selamat tertunduk lemas meratapi janazah-janazah keluarganya yang terbujur kaku di depannya. Air mata kehilangan keluarga dan tempat tinggal terus mengalir. Tak ada yang bisa membendung deras alirnya meski dengan bantuan material yang kini mulai berdatangan.
Tim SAR dan relawan mulai bekerja. Mereka saling membahu mengurus janazah serta menolong warga yang terluka dengan alat medis seadanya. Di tempat terbuka seperti tanah lapang dan persawahan, mereka merawat para korban gempa. Mereka tidak berani tinggal di bangunan sisa yang berdiri tidak sempurna.
Aku dan teman-teman yang melancong di tempat ini duduk berkerumuan dan bersebelahan dengan reruntuhan bangunan. Ratap dan tangis kematian di sekeliling kami terdengar menyayat hati. Tak ada senyum. Tak ada tawa kekeh yang terdengar seperti di pinggir pantai siang itu. Aku termenung sambil menutup mata yang lembab dengan kedua tangan. Sesekali aku berangkulan dengan teman-teman serombongan yang selamat.
Sinar matahari tak seterang ketika kami mendaratkan kaki di daerah ini. Hembusan angin pagi tak sesegar saat kami kali pertama menghirup udara di sini. Daun-daun mengatup. Bunga-bunga melayu. Semua tampak sendu dalam tangisan pilu. Mobil yang kusewa juga ringsek karena tertimpa reruntuhan gerbang masjid. Kami terpaksa dievakuasi tim SAR dengan mobil bak terbuka menuju ke pelabuhan tempat menyeberang ke daerah kami. (*)
  
  Lamongan, Agustus 2018

Rabu, 17 Oktober 2018

Cerpen Peraih Juara Harapan I dalam Festival Panji Nusantara 2018


Bayang-Bayang Pernikahan Nggotong Omah
Cerpen karya Ahmad Zaini

Sulaiman terbujur di dipan yang berada di balai rumah. Napasnya tersengal-sengal. Lelaki yang baru sehari menjadi wali pernikahan putrinya ini sedang sekarat. Dia hendak menjemput ajal. Tubuhnya yang tinggi dan besar ini sedang berjuang menghadapi maut. Istri dan anak-anak Sulaiman mengerumuninya. Mereka menangis karena tidak tega melihat kondisi Sulaiman yang napasnya tinggal di tenggorokan. Sementara istrinya terus membimbing Sulaiman menyebut asma Allah. Ia membisikkannya di telinga kanan Sulaiman tanpa henti agar saat nyawa terlepas dari raganya kata terakhir yang diucapkannya adalah kata Allah.
Tangis pecah. Seluruh keluarga yang berada di ruang tamu menangis histeris. Istri dan anak-anaknya memeluk jasad Sulaiman yang kini tidak bernyawa lagi. Terlebih Maimunah. Anak pertama yang baru sehari melangsungkan pernikahan. Dia lemas dan pingsan di sisi jasad walinya. 
Sungguh haru persitiwa yang menimpa keluarga Sulaiman. Kebahagiaan mereka belum terpuaskan. Senyum yang baru saja merekah saat resepsi pernikahan direbut paksa oleh tangis duka kematian. Keluarga yang dibantu warga harus menggali tanah kuburan pada saat Pak Jamin sedang menutup lubang yang digalinya dua hari lalu. Galian di belakang rumah sebagai tempat membuang air kotor bekas mencuci piring atau tempat membuang sisa makanan para tamu saat resepsi pernikahan.
***
Seorang lelaki tua berudeng di kepala datang ke rumah duka. Wajahnya tegang dan  seram. Orang ini datang dengan maksud akan menyampaikan sesuatu kepada keluarga Sulaiman. Lelaki tua ini merupakan sosok yang dianggap warga sebagai tokoh yang sedhik peningal atau dapat menerka sesuatu yang belum terjadi. Dia bernama Suro. Warga kampung memanggilnya dengan sebutan Mbah Suro. Dia adalah kakek dari menantu Sulaiman, Surya.
”Jangan kaulanjutkan perjodohan ini! Berbahaya bagi keluarga kita,” bisik Mbah Suro kepada Rukayah, istri Sulaiman di ruang tamu siang itu.
”Maksud Mbah Suro menceraikan mereka?” tanya Rukayah sambil memandang ke kamar Maimunah.
”Benar. Kau harus menceraikannya,” kata Mbah Suro menjawab pertanyaan Rukayah yang masih belum percaya dengan sarannya.
”Tidak, Mbah. Saya tidak akan menceraikan mereka. Mereka saat ini sedang berbahagia menikmati keluarga yang baru mereka bina.”
”Terserah. Itu hakmu. Tapi, jangan menyalahkan aku kalau ada salah satu dari keluargamu atau keluarga cucuku yang menyusul suamimu,” kata Mbah Suro bernada ancaman dengan maksud agar Rukayah menuruti permintaannya.
”Kita punya Tuhan. Hidup mati kita adalah kehendakNya. Mbah Suro jangan mengait-ngaitkan kematian suami saya dengan perjodohan ini,” bantah Rukayah.
Rukayah heran pada Mbah Suro. Dia hampir tidak percaya karena di zaman seperti ini masih ada orang yang mengait-ngaitkan kematian seseorang dengan hal lain di luar takdir Tuhan. Apalagi Rukayah telah melihat anak dan menantunya saling mencintai. Mereka rukun dan bahagia meskipun sehari setelah pernikahannya harus kehilangan sosok bapak untuk selamanya.
”Perjodohan mereka itu nggotong omah. Perjodohan yang akan membawa kesengsaraan dan bahkan kematian anggota keluarga dari kedua belah pihak,” jelas Mbah Suro.
”Suamiku meninggal bukan karena perjodohan nggotong omah. Kang Sulaiman memang mengidap penyakit lemah jantung. Dia kelelahan karena dua hari dua malam tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dia kurang istirahat. Dia kecapekan menerima tamu sehingga jantungnya mengalami masalah,” kata Rukayah menjelaskan perihal kematian suaminya kepada Mbah Suro.
”Seumpama pernikahan itu tidak terjadi, suamimu pasti bisa tertolong,” sela Mbah Suro.
”Kematian itu takdir atau kehendak Allah. Saya dan keluarga sudah ikhlas  menerima takdir tersebut. Saya dan keluarga tidak mengungkit-ungkitnya lagi.”
”Tapi, aku tidak mau pihak keluargaku ada yang menyusul suamimu. Sebagai pihak keluarga Surya, aku tetap akan memisahkan pernikahan mereka. Aku pamit dulu,” pungkas Mbah Suro sembari meninggalkan Rukayah yang tetap bergeming pada keputusannya.
Sebagian masyarakat kampung ini masih memercayai perjodohan nggotong omah atau memikul omah. Yakni, perjodohan antara pihak putra dan putri yang rumahnya saling berhadapan. Kedua rumah tersebut terpisah oleh jalan desa yang dimaknai sebagai pikulan. Oleh karena itu, mereka menamainya dengan istilah nggotong omah. Dalam menggotong atau memikul beban, salah satu atau kedua keluarga pasti ada yang tidak kuat. Pihak yang tidak kuat baik dari pihak putra maupun putri hidupnya akan sengsara. Salah satu anggota keluarganya akan sakit-sakitan bahkan sampai pada kematian. Maka dari itu, sebagian warga kampung ini, terlebih golongan tua menganggap perjodohan seperti itu sebagai suatu pantangan.
Di ruang tengah Rukayah duduk di kursi peninggalan orang tuanya. Tatapan matanya menuju kepada para famili dan tentangga yang ikut membantunya membereskan perabot hajatannya. Dia memikirkan ucapan Mbah Suro yang terkadang masih terngiang di telinganya..
Perjodohan nggotong omah. Hal ini yang masih mengaduk-aduk pikiran Rukayah. Sebelumnya dia belum pernah mendengar istilah itu. Mulai dari lamaran, ganjuran, sampai pada pelaksanaan akad nikah anaknya istilah itu tidak muncul. Namun, kenapa setelah kematian suaminya istilah itu baru muncul dari mulut Mbah Suro yang kempong itu, tanya Rukayah dalam hati.
Dalam agama tidak ada istilah perjodohan nggotong omah atau memikul rumah. Selama Rukayah mengikuti pengajian-pengajian, sekali pun dia tidak pernah mendengar penjelasan dari kiai tentang pantangan perjodohan nggotong omah. Yang diaketahui bahwa pernikahan itu merupakan perbuatan sunnah. Amalan yang sangat dianjurkan oleh agama bagi mereka yang telah mampu memberi nafkah lahir dan batin kepada istrinya. Oleh karena itu, sejak awal rencana sampai pelaksanaan pernikahan anaknya tidak ada yang memermasalahkannya. Semua berjalan dengan lancar tanpa ada perdebatan di antara kedua belah pihak.
Sementara itu, dari atas teras terdengar tawa Sumali. Dia bergirang, berteriak-teriak senang kerena menemukan setakir beras kuning dan sebutir telur ayam kampung. Dia memanggil Kholis, adik Maimunah yang masih berumur sepuluh tahun.
”Kholis, cepat ke sini!” pintanya dari atas teras.
”Ada apa Pakde?” tanya Kholis sambil mendongak ke arah Sumali, kakak kandung ibunya, yang berada di atas teras untuk memasang genting yang sempat dibuka sementara saat pemasangan tarup.
”Cepat terima ini!”
”Tanganku tidak sampai, Pakde,” sahut Kholis yang menjulurkan tangan mungilnya sambil menjinjitkan kedua kaki.
”Ambil kursi itu lalu naiklah agar tanganmu bisa menjangkau takir ini!”
Anak kedua almarhum Sulaiman itu segera mengambil sebuah kursi dari tumpukan kursi di halaman rumah. Dia meletakkan kursi pada bagian tanah yang rata karena khawatir akan terjatuh. Setelah posisi kursi sudah mapan, Kholis menaikinya. Ia menengadahkan tangan untuk menerima sesajen dalam takir atau wadah yang dibentuk dari daun pisang yang menyerupai perahu dari Sumali.
”Asyik, aku dapat telur ayam,” kata Kholis dengan senyum bahagia sambil berlari mendekat ke ibunya.
”Apa ini, Nak?”
”Telur ayam. Diberi Pakde Sumali.”
”Dapat dari mana?”
”Pakde menemukannya di atas teras. Tadi ada campuran beras kuningnya, tapi sudah saya buang,” jawabnya dengan lugu.
Rukayah mengangguk-anggukkan kepala sambil membelai kepala anak keduanya ini. Dia sangat paham pada telur yang dibawa Kholis itu sebagai pelengkap sesajen yang dipasang Mbah Romli sesaat setelah tenda berdiri.
”Minta tolong bude di dapur. Suruh mendadarkan telur ini buat laukmu nanti siang.”
”Baik, Ibu,” kata Kholis sebelum dia berlari menuju dapur menemui budenya.
***
Di hari ketiga setelah pelaksanaan akad nikah, beluarga besar wanita yang kini telah menjanda itu berkumpul lagi. Mereka dengan sukarela membantu Rukayah memersiapkan acara sepasaran. Mereka yang laki-laki mendapat bagian tugas meminjam gelaran dari tetangga untuk digelar di ruang tamu, sedangkan yang perempuan membantu Rukayah memasak di dapur.
Sesaat setelah persiapan rampung, serombongan keluarga besan datang dari rumah yang jaraknya hanya sejengkal. Kedua orang tua Surya berada di bagian depan kemudian diikuti oleh sanak famili lainnya.
Dalam rombongan itu tidak terlihat Mbah Suro. Padahal, saat acara sebelum-sebelumnya dia tidak pernah ketinggalan. Dia selalu turut serta dalam rombongan keluarga Surya sebagai sesepuh keluarga.
”Silakan duduk! Maaf, hanya bisa menyediakan tempat seperti ini,” kata Rukayah memersilakan tamu duduk di gelaran terpal bewarna biru muda.
”Tidak apa-apa, San! Yang penting kita rukun,” sahut Suntini, ibu Surya, dengan sapaan San kependekan dari kata besan.
”Mbah Suro mana?” tanya Surya setelah mengetahui kakeknya tidak turut serta dalam rombongan itu.
”Kakekmu tidak bisa datang karena tidak enak badan. Menurut pamanmu yang menyusul ke rumahnya tadi asam urat kakekmu kambuh sehingga tidak bisa berjalan,” jawab ibunya.
Mendengar jawaban besannya itu Rukayah tersenyum dalam hati. Dia agak geli menyimak alasan Mbah Suro yang tidak turut serta dalam acara sepasar sebagaimana yang disampaikan oleh besannya. Hal itu karena Rukayah mengetahui alasan yang sebenarnya perihal ketidakikutsertaan Mbah Suro. Kakek Surya ini menghendaki perjodohan cucunya tersebut dibubarkan.
Di sela-sela percakapan mereka, Rukayah memersilakan keluarga besan agar menikmati hidangan yang disuguhkan dalam piring. Senyum ramah dan sikap rendah diri Rukayah tetap terjaga meski dia masih dalam suasana duka karena kematian suaminya. Dia juga tidak menampakkan sikap kecewa terhadap keinginan Mbah Suro yang hendak menceraikan Surya dan Maimunah.
Tawa ringan sesekali mewarnai pertemuan kedua besan itu. Bahkan ada yang berceloteh tentang rambut pengantin putri yang masih terlihat basah hingga menembus jilbab yang dipakainya.
”Pengantin baru rambutnya masih basah. Semoga cepat punya keturuan!” celetuk dari salah satu dari keluarga Surya yang diikuti oleh gemuruh tawa yang lainnya.
Mendengar gojlokan seperti itu, Maimunah yang bersimpuh di sebelah Rukayah jadi tersenyum malu.
”Nak Maimunah, segeralah duduk di samping Surya. Lekaslah, ke sini!” seru Suntini, ibu Surya yang kemudian dituruti oleh Maimunah.
”Nah, begitu biar tidak seperti pengantin yang tidak patut,” sambung Suntini.
Berbagai hidangan disajikan dalam acara itu. Onde-onde, kucur, reteh, wajik, rengginang tersaji dalam perjamuan tersebut. Wedang sirup warna merah muda tidak ketinggalan. Minuman segar dan memiliki rasa khas ini menambah kental suasana sepasaran keluarga dari kedua belah pihak.
”Silakan dinikmati. Maaf, hidangannya hanya sekadarnya saja,” kata Rukayah merendahkan diri.
Rumah Rukayah yang ramai karena pertemuan keluarga kedua pihak mendadak hening.  Mbah Suro tiba-tiba muncul di depan pintu. Dia berdiri tegak dengan pandangan mata yang tajam. Mulutnya mendesis seperti ular yang sedang membelit mangsa. Lelaki tua yang tak pernah melepas udeng dari kepalanya ini terlihat sesekali menyeringai menahan sakit sambil memegangi kedua lututnya. Dia memaksa dirinya datang ke rumah Rukayah tanpa memedulikan asam uratnya yang kambuh.
”Suntini, ke sini!” kata Mbah Suro dengan suara lantang kepada putri sulungnya. Suntini bergegas mendekat ke Mbah Suro yang masih berdiri di depan pintu.
”Kenapa acara sepasar ini masih kauadakan?” tanya Mbah Suro bernada geram.
”Memangnya ada apa, Pak? Bukankah ini sudah menjadi tradisi di daerah kita,” Suntini berbalik tanya kepada bapaknya dengan heran.
”Ke sini, cepat!” ajak Mbah Suro sambil menyeret tangan anaknya menuju ke teras rumah Suntini yang berada tepat di depan rumah Rukayah.
”Pelan-pelan Bapak. Jangan kasar,” keluh Suntini atas perlakuan ayahnya yang kasar.
”Ceraikan Surya!”
”Maksud Bapak?”
”Kalau kau tidak segera menceraikannya, aku akan menjadi korban berikutnya dari pernikahan Surya, anakmu.”
Astaghfirullah, Bapak! Apa-apaan ini? Kenapa Bapak punya pemikiran seperti ini?”
”Perjodohan anakmu itu adalah pantangan yang harus dihindari. Sulaiman mati karena perjodohan nggotong omah. Asam uratku kambuh seperti ini juga rentetan tulah dari perjodohan anakmu,” ucap Mbah Suro dengan serius.
”Tidak, Pak. Saya tidak percaya dengan hal-hal seperti itu. Saya tidak akan menceraikan mereka. Lihatlah mereka duduk berdampingan dengan bahagia. Mereka cocok sekali. Saya yakin perjodohan mereka akan langgeng,” sergah Suntini.
”Perjodohan anakmu langgeng, namun keluargamu akan mati semua.”
”Bapak, Bapak! Pikiran kotor seperti itu kok masih dirawat. Hidup mati seseorang itu kehendak Allah. Bukan karena yang lain,” kata Suntini menimpali ucapan ayahnya dengan tanpa beban.
”Baiklah kalau begitu. Kau lebih memilih saya mati daripada menceraikan anakmu,” gertak Mbah Suro sambil berdiri dan berkacak pinggang.
”Akan ke mana, Pak? Ayo, ikut ke rumah Rukayah!” ajak Suntini.
”Tidak. Aku tidak sudi datang ke tempat itu,” tolak Mbah Suro.
Mbah Suro emosi. Mukanya memerah karena terbakar api amarah. Dia mencak-mencak keluar rumah sampai-sampai kakinya tersandung batu kumbung yang agak menonjol di pintu rumah Suntini. Tubuh Mbah Suro terhuyung-huyung. Kedua kakinya yang asam urat tidak mampu menahan tubuh gemuk namun berkulit kendor ini. Mbah Suro tersungkur di tengah jalan yang memisahkan rumah Suntini dan Rukayah.
”Bapak, kenapa?” teriak Suntini yang berlari lalu merangkul tubuh bapaknya yang tak berdaya di tengah jalan.
Rukayah, Maimunah, Surya, dan para anggota keluarga kedua mempelai yang berada di rumah Rukayah berhamburan keluar. Mereka menolong Mbah Suro yang lunglai karena pingsan. Sumali dan ayah Surya dibantu kerabat yang lain membopong tubuh Mbah Suro ke dalam rumah Suntini. Mereka membaringkan tubuh Mbah Suro di dipan bambu dengan pelan-pelan. Maimunah tidak ketinggalan. Dia bergegas menuju ke rumah mertuanya dengan membawa minyak angin.
Sang cucu menantu itu mengoleskan minyak angin di bawah lubang hidung Mbah Suryo. Tangan kanan Maimunah tidak merasa risih meskipun menyentuh kumis Mbah Suro yang memutih. Tangan kanannya lemah gemulai menari-nari meratakan minyak angin di bawah lubang hidung Mbah Suro. Tak berselang lama jari-jemari Mbah Suro bergerak. Kedua kelopak matanya perlahan terbuka. Matanya melihat orang-orang di sekelilingnya meski masih agak kabur.
Saat tatapan mata Mbah Suro yang berbaring ini berhenti di wajah Maimunah yang berdiri di sampingnya, ia duduk seketika. Dia mendorong tubuh Maimunah yang baru saja mengoleskan minyak angin dengan lembut di bawah lubang hidungnya. Maimunah jatuh terpental sambil memegang lututnya yang terbentur tanah.
”Menjauhlah dariku. Kau pembawa sial,” bentaknya dengan suara serak.
”Maimunah!” teriak Rukayah mendekati anaknya yang jatuh lalu mendekapnya,”kau tidak apa-apa, Nak?”
”Tidak apa-apa, Bu,” jawab lirih Maimunah sambil menyeringai menahan pedih luka di lututnya.
”Apa yang kaulakukan, Pak?” tanya Suntini sambil mengguncang-guncang badan bapaknya.
”Usir mereka! Suruh pergi semua keluarga besanmu itu,” perintahnya dengan paksa. Mata Mbah Suro terbelalak lebar. Bola matanya seperti mau melompat keluar.
Suntini tidak enak kepada pihak keluarga besannya. Mata Suntini melihat wajah-wajah keluarga besannya yang masih terpaku di samping dipan tua itu. Ia malu karena ulah bapaknya. Dia pun langsung menyembunyikan wajahnya dengan menunduk dalam-dalam.
”Sabar, Mbak Suntini. Kami akan keluar dulu,” kata Rukayah yang masih memapah Maimunah untuk berpamitan pada Suntini. Suntini membalas pamitan itu dengan anggukan. Ia enggan berbicara karena jiwanya terpukul atas sikap bapaknya.
Rukayah dan keluarganya kembali ke rumahnya. Mereka berjalan pelan dengan memendam rasa penasaran atas sikap Mbah Suro yang ganjil. Rukayah berjalan sambil menggandeng Maimunah. Dia berusaha menghibur hati anaknya agar tidak memikirkan sikap kakek Surya yang  hampir saja mencelakakannya.
”Tidak ada apa-apa, Bu. Mungkin kakek sudah pikun sehingga dia berbuat seperti itu pada saya,” kata Maimunah bernada datar.
”Syukurlah, kalau begitu,” ucap Rukayah lega.
Setelah keluarga Rukayah meninggalkan mereka, terjadi perdebatan sengit dalam rumah Suntini. Mbah Suro masih bersikukuh memertahankan pendapatnya. Keyakinannya kokoh laksana tugu kampung yang tak mudah goyah meskipun setiap hari dinaiki dan dibuat pijakan lompatan warga kampung yang menghibur diri. Saran demi saran dari Suntini dan anggota keluarga yang lain dianggapnya seperti angin lalu. Saran-saran tersebut tak sedikit pun menggoyahkan keyakinan Mbah Suro.
”Sampai kapan pun aku akan berusaha menceraikan mereka. Aku tidak mau menjadi korban dari kengawuran kalian,” ancam Mbah Suro memungkasi perdebatan panjang dalam rumah tersebut.
”Antarkan aku pulang!” pinta Mbah Suro.
Salah seorang anggota keluarga segera mengambil sepeda motor. Dia membonceng Mbah Suro dengan dipangku oleh Surya.
Suntini bingung. Ia berada dalam situasi yang dilematis. Bagai judul film Maju Kena Mundur Kena yang dibintangi oleh Dono, Kasino, dan Indro. Seperti peribahasa bagai makan buah simalakama. Dimakan mati bapak, tidak dimakan mati ibu. Menuruti kata bapaknya yang keras kepala atau memertahankan pernikahan anaknya yang masih hangat ini? Serba sulit menghadapi masalah pelik seperti ini bagi seorang wanita seperti Suntini.
”Kamu ini sejak tadi seperti orang bingung. Mondar-mandir ke sana dan ke sini,” tiba-tiba muncul suara Mat Rokim, suami Suntini.
”Aku bingung. Apa yang harus kita lakukan untuk memertahankan pernikahan Surya sekaligus bisa melunakkan hati bapak,” keluh Suntini kepada suaminya.
”Kita pindah rumah saja,” jawab Mat Rokim dengan enteng.
Mat Rokim yang sejak awal diam tiba-tiba berujar yang teryata bisa menjadi pertimbangan bagi masalah yang sedang mereka hadapi. Suntini lantas teringat rumah kosong kakak kandungnya yang sudah bertahun-tahun tidak dihuni. Rumah itu dibiarkan kosong karena kakak dan anak istrinya sudah menempati rumah permanennya di perantauan.
”Masuk akal juga usulanmu. Rumah Kakak Hambali kosong. Kita bisa pindah ke situ. Apabila suatu saat kakak pulang kampung, mereka biar menempati rumah ini.”
”Itu solusi yang sudah saya rencanakan semenjak bapak punya rencana menceraikan pernikahan anak kita gara-gara takut tulah nggotong omah,” sahut Mat Rokim.
Suntini dan Mat Rokim bergegas menyusul anaknya ke rumah Mbah Suro. Mereka hendak menyampaikan solusi dari permasalah yang dihadapi setelah kematian besannya, Sulaiman. Dengan sepeda onthel mereka menyusuri jalan kampung. Suntini yang berada diboncengan Mat Rokim duduk tenang. Tangannya melingkar erat di perut Mat Rokim agar tidak terjatuh dari boncengan. Wajah wanita ini sudah mulai ceria. Tidak seperti dua, tiga hari sebelumnya yang selalu cemberut karena menyedihkan sikap bapaknya.
Sesampai di rumah bapaknya, Mat Rokim menyandarkan sepeda onthelnya di tiang teras rumah Mbah Suro. Mereka masuk ke dalam rumah sederhana yang hanya dihuni oleh bapaknya itu. Mereka terkejut saat melihat Surya menenggelamkan diri dalam kesedihan dan ketakutan. Suntini lekas mendekati Surya.
”Kenapa, Nak?” tanya Suntini.
”Kakek, Bu.” jawabnya singkat.
Suntini sudah bisa menebak penyebab Surya bersedih seperti itu. Dia yakin bapaknya telah menyampaikan permasalahan perjodohan nggotong omah itu kepada anaknya.
”Mbah Suro memaksa agar saya menceraikan Maimunah,” sambung Surya.
”Jangan bersedih. Ayah dan ibu sudah menemukan jalan keluarnya. Pernikahanmu tidak akan bubar. Tidak akan ada perceraian,” kata Suntini meyakinkan Surya.
”Benarkah? Terima kasih Bu,” kata Surya sambil mengangkat wajahnya lalu menatap ibunya. Kedua orang ini saling berpelukan dengan perasaan penuh keharuan. Mereka berharap agar Mbah Suro bersedia menerima solusi yang saat itu sedang disampaikan oleh Mat Rokim di dalam kamar.
Suntini dan Surya menunggu Mat Rokim yang masih berada dalam kamar. Ibu dan anak itu gelisah karena khawatir Mbah Suro tidak menerima gagasan yang disampaikan oleh imam keluarganya.
Setelah hampir satu jam, Mat Rokim muncul dari kamar Mbah Suro. Wajahnya cemberut tidak mencerminkan kepuasan. Dia perlahan-lahan menyarangkan bokongnya di kursi yang terbuat dari anyaman rotan. Dia duduk di sisi kanan Suntini.
”Bagaimana, Pak?” tanya Suntini hampir bersamaan dengan Surya.
Mat Rokim tidak segera menjawab. Dia masih membenamkan wajahnya sambil menatap lantai rumah Mbah Suro. Suntini dan Suryo semakin gelisah. Mereka takut Mat Rokim tidak berhasil membujuk Mbak Suro.
”Bapak Suro..., Bapak Suro..., menerima saran kita,” jawab Mat Rokim dengan gaya seakan-akan usahanya gagal, namun dipertegas dengan keberhasilannya membujuk Mbah Suro.
Alhamdulillah, Alhamdulillah!” kata Suntini dan Surya untuk mengungkapkan kebahagiaannya.
Saat mereka berdiri dan hendak masuk ke dalam kamar Mbah Suro untuk menyampaikan terima kasih, tiba-tiba lelaki tua itu muncul dari balik kelambu kamarnya. Mbah Suro sudah berpakaian rapi dengan udeng di kepalanya. Wajahnya tampak santai tidak setegang sebelumnya.
”Mari kita ke rumah mertua Suryo untuk menyampaikan rencana ini sekaligus meminta maaf atas sikap emosi saya kepada mereka,” ajak Mbah Suro.
Sore hari ketiga orang ini berjalan bersama-sama menuju rumah Rukayah. Mbah Suro berjalan agak pincang karena menahan sakit asam uratnya. Surya berada di samping kiri kakeknya, sedangkan Suntini dan Mat Rokim yang menuntun sepeda onthelnya berjalan di belakang mereka.
Di rumah Rukayah, tepatnya di balai-balai rumah, Rukayah dan keluarga lainnya berusaha menenangkan hati Maimunah. Mereka mengerubuti istri Surya ini sambil menasihati agar dia bersabar atas ulah kakek suaminya secara bergantian.
Maimunah tengkurap di atas dipan luas yang berada di ruang di sebelah kiri ruang tamu. Dia menutup wajahnya dengan bantal bermotif bunga mawar. Jiwanya sedang terluka oleh sayatan pernyataan Mbah Suro yang hendak memisahkannya dengan Surya. Dia takut menjadi janda kepagian. Janda muda dari usia perkawinannya yang baru sepasar.
Assalamualaikum!” ucap salam Mbah Suro dari depan pintu secara tiba-tiba.
Mereka yang sedang dalam suasana sedih lantas menjawab suara salam yang sudah tidak asing bagi mereka.
Semua pandangan mengarah ke pintu rumah. Mereka melihat Mbah Suro, Surya, Mat Rokim, dan Suntini. Rukayah bergegas menyambut kedatangan mereka lalu memersilakan duduk di gelaran terpal warna biru.
Maimunah bangkit. Dia mengangkat wajahnya yang dibenamkan di atas bantal. Ia pun berdiri dan menyalami mereka satu persatu. Mata Maimunah masih lembab. Air mata yang sempat terkuras belum kering sepenuhnya. Sisa-sisa kepedihan dan ketakutan masih tergores jelas di wajah itu.
”Duduklah di sebelah kiri Surya, Nduk!” pinta Mbah Suro.
Rukayah dan keluarga heran dan hampir tidak percaya pada sikap Mbah Suro. Sikapnya berubah menjadi lunak. Tutur sapanya tidak sekeras seperti sebelumnya. Mbah Suro menyampaikan permintaan maaf atas perilakunya yang kasar pada Maimunah dan keluarga. Dia juga menyampaikan telah mengurungkan niatnya yang hendak membubarkan rumah tangga Surya dan Maimunah.
Suntini menyambung pembicaraan bapaknya. Ia menyampaikan rencananya yang akan pindah rumah. Suntini dan keluarga menempati rumah saudaranya yang berada di dekat rumah Mbah Suro. Rumahnya yang berhadapan dengan rumah Rukayah akan dikosongkan. Suatu saat apabila saudaranya pulang dari perantauan, rumah tersebut akan ditempati saudaranya itu.
Suasana telah mencair. Kedua pihak keluarga telah mendapatkan jalan keluar untuk memertahankan mahligai rumah tangga yang baru dibentuk oleh Surya dan Maimunah. Mereka larut dalam suasana haru dengan saling meminta dan memberi maaf. Mereka sangat senang dan bersyukur kepada Tuhan. Mereka telah mampu memertahankan adat untuk menghormati orang tuanya dan memertahankan keutuhan keluarga yang baru dibangun oleh Surya dan Maimunah. (*)

Lamongan, Juni 2018



BIODATA PENULIS


Ahmad Zaini, Lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya sastranya baik berupa cerpen maupun puisi pernah dimuat oleh beberapa media massa. Antara lain Kompas.com, okezone.com. Radar Bojonegoro, Duta Masyarakat, majalah MPA (kemenag Jawa Timur), majalah Indupati, Tabloid Maarif Lamongan, Tabloid Lensa Lamongan, Media (PGRI Jawa Timur), dan Majalah Wanita UMMI Jakarta.
Puisi-puisinya terkumpul dalam buku antologi bersama di antaranya Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Sehelai Waktu (Scolar, 2011), , Pengembaraan Burung (DKL, 2015), Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016), Antologi Puisi Penyair Dunia Kopi 1.550 mdpl (Takengon, Aceh, 2016), Mengunyah Geram (Yayasan Manikaya Kauci, YMK, Bali, 2017), Musafir Ilmu (Perkumpulan Rumah Seni Asnur, Depok, 2018).
Cerpen-cerpennya terkumpul dalam buku kumpulan cerpenTelaga Lanang (Lima Dua, Gresik, 2012), A Moment to Feel (Pustaka Jingga, 2012), Sayap-Sayap Cinta (D3M Kail Tangerang, 2013), Matahari Baru Buat Katro (D3M Kail Tengerang, 2014), Lentera Sepanjang Rel Kereta (Pustaka Ilalang,2014), Titik Nol (Pustaka Ilalang, 2015), Bukit Kalam (DKL, 2015) dan Penitis Jiwa (Pena Ananda Indie Publishing, Tulungagung). Salah satu cerpennya yang berjudul Bayang-Bayang Pernikahan Nggotong Omah meraih juara harapan I pada Sayembara Penulisan Prosa (cerpen) dalam rangka Festival Panji Nusantara 2018. Novel perdananya berjudul Mahar Cinta Berair Mata (Pustaka Ilalang, 2017). Saat ini berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur. Nomor HP/Wa 085732613412, Facebook: ilazen@yahoo.co.id/ Ahmad Zaini. Nomor rekening 0532067634, Bank Jatim atas nama A. Zaini.