Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 19 Januari 2020

Puisi-puisi Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 19 Januari 2020

AHMAD ZAINI
SEBELUM PEMBERANGKATAN

Bayang-bayang wajahmu
berbisik lewat kecup ombak
“doakan aku dalam zikirmu!”

 kulit mengeriput
menggores wajah tuamu
goresan itu membentuk relief pantai
sepeninggal ombak yang undur
saat pagi

lirih suara samar mengharap angin pantai
tak menghempas daun-daun kering bakau
yang sedang bersujud menyelami kemulyaan-Mu
biota pantai menggigit geli
lalu mengangkat derajatmu di geladak
tempat kumelepas kepergianmu
dalam benam kecemasan

desir angin berkabar yang kesekian
kau telah bertamu pada Dzat
yang telah mengundangmu
kau bersimpuh di perjamuan
seperti yang pernah kau katakan
sebelum pemberangkatan

Lamongan, 28 November 2018


AHMAD ZAINI
BATAS WAKTU

Seirama bising baling
Desah keluh merobek hari-harimu
Tanpa kau sadar takdir itu
Telah tertulis jelas di bakal hidupmu

Jika kau tak rela
Pada catatan garis hidup
Carilah Tuhan lain
Selain Dia

Kau tak bisa berpaling
Dari hembus baling di wajahmu
Kau tak bisa menghindar
Dari detak waktu yang berputar
Di lingkar angka usia
Kau tak bisa sembunyi
Di kedalaman telaga
Dari ujung jemari hujan
Yang meremas senja
Kau tak bisa lari tinggalkan takdir
Yang tergores di ubun-ubunmu

Pada takdir
Terdapat serpih upaya
Melurus jalan berliku
Sampai batas waktu
Memotong kisah pilumu

Lamongan, 29 November 2018

AHMAD ZAINI
RENTA HANYALAH USIA

rambut putih bukan berarti letih
kulit keriput bukan berarti sengkarut
garang menerjang segala yang menghadang
akas memberantas segala yang tidak pantas
bahumu yang tak lagi seperti dulu
tandang gawe yang tak biasa

rambut putih hanyalah masa
kulit keriput hanyalah usia
tekadmu tak melukiskan itu
kau memikul beban
mereka yang muda dan perkasa
hingga ia dewasa

kau ikhlas
meski bukan waktunya

Lamongan, 1 Desember 2018

AHMAD ZAINI
PESAN TUHAN

Tuhan menyampaikan pesan
lewat pikun serta uban
serta mengingatkanmu lewat azan
dari surau dan putaran waktu
yang semakin tak menentu

bersegeralah menghias diri
dengan amal yang kau lantunkan
lewat pengajian
kau santunkan lewat anak yatim dan fakir miskin
serta mereka yang masih berkubang
dalam lumpur kesialan

di perempatan jalan dan trotoar
banyak jalan mengukir sisa usia
yang sebentar akan surup 
dalam petang

sebelum matahari berkebalikan
terbit dan terbenam
masuklah pada kesempurnaan keyakinan
yang sebelumnya masih berlubang

bukankah hanya mereka
yang sempurna
dapat masuk di jamuan kenikmatan surga

Lamongan, 3 Desember 2018

Sabtu, 11 Januari 2020

Cerpen Jawa Pos grup Radar BJN, Minggu, 12 Januari 2020

Kemboja Luruh saat Banjir Merenggut Senyumnya

Cerpen karya Ahmad Zaini

Rumah Mbok Sri seminggu ini sepi. Setelah manghrib tak terdengar lagi suara putrinya yang sedang melantunkan ayat suci Alquran. Suara merdu dengan nada bayati, jawabul jawab, dan nada baca lainnya sudah lenyap. Setiap malam rumah Mbok Sri tak ubahnya seperti rumah tak bertuan. Senyap bagai suasana di pekuburan.
Setelah maghrib Fatimah selalu mengaji dengan suara merdu dan melengking sejak ia datang dari pesantren karena sekolah dan pesantren libur. Dia berencana menikmati liburan dengan bersilaturrahim ke rumah kakaknya di Jakarta. Semula Mbok Sri tak mengizinkan Fatimah pergi ke ibu kota. Dia masih ingin berlama-lama dengan Fatimah untuk melepas rindu pada anaknya itu. Maklumlah karena Fatimah baru sehari pulang setelah empat bulan berangkat ke pesantren di Kediri. Di kota tahu tersebut Fatimah belajar di sebuah Madrasah Aliyah sambil menetap di pesantren untuk belajar serta memperdalam ilmu agama Islam.
”Tak perlu ke Jakarta. Lebaran tahun ini kakakmu juga pulang,” kata Mbok Sri membujuk Fatimah agar membatalkan niatnya.
”Saya kangen kakak, Mbok. Lebaran kemarin kakak tidak pulang. Boleh, ya, Mbok?” rengek Fatimah pada Mboknya yang sudah berusia tujuh puluh tahun.
Mbok Sri diam. Dia menyembunyikan rasa gusarnya dengan meraih secikal kelapa yang berada di sampingya. Dia memarut kelapa tersebut sebagai persiapan membuat sayur lodeh kesukaan Fatimah.
Seharian Fatimah memohon izin pada ibunya. Berbagai alasan Fatimah sampaikan kepada wanita yang selalu menjadi sumber doa restu bagi keselamatan dan kusuksesan dirinya. Karena Fatimah terus merengek meminta Mboknya legowo melepas ke rumah kakaknya, wanita itu akhirnya memberikan izin pada anaknya.
”Dengan syarat jangan lama-lama. Cukup lima hari saja di sana,” pintanya.
”Kurang, Mbok. Fatimah pengen melihat suasana pergantian tahun baru di Jakarta yang penuh dengan pesta kembang api dan petasan. Aku akan mengajak kakak ke monas pada malam yang dinanti-nanti semua orang itu, Mbok.”
”Walah, kamu pengen juga ya seperti mereka. Tak usah meniru-niru mereka. Malam pergantian tahun baru itu digunakan untuk muhasabah. Merenungi diri sambil mengingat kebaikan dan kejelekan yang telah diperbuat selama setahun. Bukan untuk berfoya-foya seperti itu.”
”Sekali ini saja. Mbok,” desaknya.
”Baiklah. Setelah itu segera pulang. Mbokmu ini masih kangen denganmu. Rasa hati ini sangat tenteram jika setelah maghrib kamu mengaji dengan suara merdumu itu.”
”Inggih, Mbok,” pungkas Fatimah dengan wajah yang berbinar-binar.
Fatimah mengemasi pakaian sebagai ganti setelah sampai di Jakarta nanti. Dia memasukkan pakaian yang telah diseterika dan dilipat dengan rapi. Fatimah memesan tiket kereta api secara online. Dia mendapat tiket dengan harga 300 ribu. Dia berangkat dari stasiun Babat besok malam setelah isyak.
Fatimah tak sabar menanti kapan tiba waktu pemberangkatan. Dia membayangkan betapa ramainya ibu kota pada saat malam pergantian tahun baru.
”Nduk, ada apa senyum-senyum sendiri?” tanya Mbok Sri yang membuyarkan lamunan Fatimah.
”Eh, Mbok mengangetkan saja,” sahut Fatimah terkejut.
”Sudah kau kemasi semua pakaian dan barang bawaanmu?”
”Sudah semua, Mbok. Tinggal berangkat.”
Mbok Sri tertegun sekaligus terharu dengan kebahagiaan yang terpancar dari wajah anaknya. Wanita yang sebenarnya sudah berumur senja ini sampai tak sadar butir air mata keluar dari kelopak matanya yang keriput. Dia berdiri mematung sambil menatap anak yang wajahnya berbinar-binar memandangi bukti cetak pemesanan tiket online hingga azan isyak berkumandang.
Malam itu paman Fatimah menunggu di depan rumah. Dia akan mengantarkan keponakannya ini ke stasiun Babat dengan sepeda motor. Fatimah berpamitan pada Mbok Sri. Dia mencium tangan wanita yang menyimpan surga baginya itu dengan penuh hormat. Mbok Sri membalas dengan peluk erat kasih sayang. Dia berharap Fatimah selamat sampai tujuan dan bahagia bersama kakaknya yang lebih dari setahun tidak bertemu.
Fatimah berangkat. Dia mengucap salam dan dijawab dengan salam pula oleh ibunya. Air sisa hujan semalam masih menggenang di pelataran rumah. Roda sepeda motor paman Fatimah menggilas genangan air hujan itu hingga memercik bunga kemboja di pelataran rumah yang ditanam Fatimah beberapa bulan yang lalu.
***
Menjelang shubuh Fatimah sudah sampai di stasiun Senin Jakarta. Dia sudah ditunggu oleh kakaknya. Saat bertemu dua saudara kandung ini meluapkan rasa rindunya dengan saling berangkulan. Senyum bahagia mengembang dari kakak dan adik ini. Setelah itu, mereka meninggalkan keramaian para tukang ojek online yang mencari calon penumpangnya.
Sesampai di rumah kakaknya, matahari belum muncul dari tempatnya bersemayam. Jarum jam juga masih berlabuh di angka lima. Kedua orang bersaudara yang taat beribadah ini lantas melaksanakan salat subuh berjamaah. Baru saja Fatimah melepas mukenanya, atap rumah kontrakan kakaknya ini sudah diketuk-ketuk oleh jemari hujan. Pagi pertama yang semestinya dipenuhi oleh sinar hangat matahari, kini dikurung oleh hujan. Fatimah tidak bisa keluar rumah untuk sekadar menghirup udara segar di Jakarta meskipun tidak sesegar udara di kampung halamannya.
Sampai hari kelima setiap pagi sampai siang ibu kota selalu diguyur hujan. Jalan-jalan sudah mulai tergenang air karena got-got tak mampu lagi menampung curah air hujan yang tinggi. Genangan air itu semakin tinggi. Ombak-ombak kecil di jalan saat ada motor melintas mulai menjilat teras rumah kontrakan kakak Fatimah. Semakin siang air itu semakin tinggi. Saat sore hari air benar-benar masuk ke rumah yang sudah hampir lima tahun ini dikontrak oleh kakak Fatimah.
”Kak, nanti malam kita ke monas untuk menyaksikan pesta kembang api malam pergantian tahun baru,” kata Fatimah.
”Mana mungkin ada pesta kembang api jika hujan tak kunjung reda seperti ini,” jawabnya dengan wajah murung.
”Siapa tahu sore nanti reda,” sambung Fatimah dengan penuh harap. Kakak Fatimah mengangguk untuk mengamini harapan adiknya. Dia ingin agar adiknya itu senang dan bahagia di Jakarta ini.
Hujan turun semakin lebat. Hampir sembilan jam air itu tertumpah dari langit ke bumi ibu kota. Air yang masuk ke rumah kontrakan kakak Fatimah semakin tinggi. Mereka sibuk  menyelamatkan barang-barang elektronik yang dimiliki ke atas meja dan kursi.
Saat mereka bekerja keras mengamankan barang miliknya, dari kejauhan terdengar suara jerit histeris warga dan gemuruh air. Fatimah dan kakaknya hendak keluar rumah ingin tahu penyebabnya. Baru saja mereka bergerak satu langkah, tiba-tiba air bah menerjang mereka. Tubuh Fatimah terjungkal dan terseret air bah, sedangkan kakaknya berhasil selamat dengan meraih tiang rumah yang hampir ambruk karena terjangan air yang tiba-tiba datang itu.
”Adikkkk!” teriak histeris kakak Fatimah berulang-ulang memanggil adiknya yang lenyap terbawa arus air. Kakak Fatimah mencebur ke air yang keruh untuk mencari adiknya.
Beberapa saat kemudian, di sudut gang dia berhenti. Dia mengamati semua barang yang terapung di permukaan arus air yang sangat deras. Matanya tak berkedip melihat benda di sekitarnya meski bola matanya tenggelam air mata. Dari jarak sekitar sepuluh meter, ia melihat ujung pakaian yang dikenakan Fatimah tersangkut akar pohon yang terbawa air bah. Ia lantas mengikuti arus air bah ke arah itu. Kakak Fatimah berteriak-teriak meminta pertolongan pada orang terdekat. Dia menemukan tubuh adiknya tertindih sebatang pohon dalam kondisi  tidak bernyawa lagi.
Orang-orang yang kebetulan berada di situ segera membantunya dengan mengangkat pohon tersebut. Setelah itu, kakak yang baru lima hari melihat senyum adiknya ini berhasil mengangkat jasad adiknya yang matanya telah terpejam untuk selamanya. Tangis pilu kakak Fatimah terdengar menyayat hati orang-orang yang mendengarnya. Tak sedikit para tetangga rumah kontrakannya yang selamat dari amukan banjir bandang itu turut meneteskan air mata.
Sementara itu, di kampung halaman, bunga kamboja yang ditanam Fatimah tiba-tiba layu. Mekar bunganya turut larut dalam duka ibu dan paman Fatimah. Bunga-bunga itu luruh dan rebah di pelataran rumah Mbok Sri. Bunga putih yang masih menyisakan aroma wangi itu turut menyambut kedatangan janazah Fatimah. Jenazah gadis pelantun ayat suci Alquran itu dikemas dalam peti berkalung aneka bunga surga. Sanak kerabat dan para tetangga yang bertakziyah di rumah duka tenggelam dalam kesedihan yang dialami oleh kerluarga Mbok Sri. (*)

Wanar, 4 Januari 2020

Ahmad Zaini, guru di SMK N 1 Lamongan. Saat ini menjabat ketua PC Lesbumi NU Babat. Dia aktif dalam Forum Penulis dan Pegiat Literasi (FP2L) Lamongan serta Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela). Tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.