Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 18 Desember 2022

Bukan Kisah Laila Majnun, Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 18 Desember 2022

 


Bukan Kisah Laila Majnun

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

”Selamat pagi, Bapak dan Ibu. Perkenalkan namaku Laila. Mulai saat ini aku menjadi bagian dari sekolah ini. Aku senang sekali berada di sekolah bersama Bapak Ibu. Semoga Bapak Ibu berkenan menganggapku sebagai teman atau adik. Eh, adik! Bukankah di kantor ini juga masih banyak yang muda? Maafkanlah! Kalau begitu, anggap saja sebagai saudara atau teman baru,” kata perkenalan Laila di kantor tempat kami bekerja.

Pagi itu memang hari pertama Laila masuk kerja. Dia mutasi dari luar Jawa. Orangnya supel. Mudah bergaul. Baru pertama ke sekolah, dia sudah seperti orang lama di kantor ini. Laila juga pandai berkomunikasi. Dia sangat lancar memperkenalkan diri kepada warga sekolah. Orang-orang meyakinii Laila mumpuni dalam segala bidang. Dari penampilan dan gaya bicaranya, Laila punya kompetensi yang bisa mengangkat prestasi sekolah ini dengan gemilang. Apalagi dari biodata yang sempat dibagikan di grup WA kantor ini. Dia memang memunyai seabrek prestasi dan pengalaman.

Tak ayal setiap pagi suasana di ruang istirahat, tepatnya ruang ngrumpi Laila menjadi trending topic. Setiap kerumunan yang dibicarakan selalu Laila. Bukan hanya ibu-ibu, melainkan bapak-bapak juga turut membahas sosok Laila.

”Dik Laila, perkenalkan nama saya Arif. Saya guru di sini sudah lama. Tapi, lima tahun lagi saya pensiun,” tiba-tiba Arif yang bertubuh tambun dan berambut dua warna ini memperkenalkan diri pada Laila yang waktu itu duduk sendiri.

”Terima kasih Pak Arif. Aku senang sekali bisa sekantor dengan Pak Arif,” sambut Laila dengan bahasa yang luwes.

Pak Arif salah tingkah mendapat balasan yang hangat dari Laila. Hatinya berbunga-bunga. Wajahnya ceria.

Pada kesempatan lain, kaum Adam di sekolah ini bergiliran memperkenalkan diri pada Laila. Di samping untuk menghargai tamu, mereka juga berharap agar Laila betah mengabdi di sekolah ini. Membesarkan hati guru baru agar merasa tidak terasingkan. Memang sudah mashur apabila ada guru baru di sekolah ini, pasti guru baru tersebut langsung kerasan. Seperti Karsan ketika awal masuk di sekolah ini. Karsan disambut dengan hangat sehingga ia merasa dihargai seperti para guru senior. Namun, penyambutan kepada Karsan waktu itu, tidak seheboh penyambutan yang dilakukan pada Laila. Sampai-sampai Pak Arif yang kebetulan mantan pejabat di sekolah dan kurang lima tahun pensiun, menyapa Laila dengan sapaan dik. Sapaan yang lazim buat istri atau para orang yang usianya lebih muda.

Karsan mendapat kesempatan memperkenalkan diri pada Laila pada jam istirahat. Kebetulan Laila duduk anggun di kursi belakang sambil menghadap ke laptop. Karsan menghampirinya.

”Dik, eh, Bu Laila. Saya Karsan. Nama lengkap Mat Karsan. Maaf, nama ndeso. Tapi ingat meskipun nama kampungan, gaya hidup saya tidak kalah dengan orang-orang kota,” kata Karsan pada Laila.

”Terima kasih Mas, eh, Pak Mat Karsan sudah sudi menerima aku menjadi bagian dari sekolah ini. Mas, eh, salah lagi. Pak Mat Karsan tinggal di mana?” tanya balik Laila kepada Karsan.

”Saya tinggal di pelosok desa. Rumah saya di balik  perbukitan. Alamnya indah dan sejuk sekali seperti di Batu Malang. Bila Dik, eh, Bu Laila ingin bermain ke rumah, dengan senang hati saya menerima,” jawab Karsan.

Cie, cie...! Pedekate juga, ya?” celetuk Pak Arif yang tiba-tiba muncul di belakang mereka.

Wih, kamu ini merusak suasana saja. Tidak ada salahnya, kan, saya berkenalan dengan Dik, eh, Bu Laila. Dia sekarang sudah menjadi bagian dari kita, lho,” kata Karsan hati mendongkol.

”Modus ini. Hati-hati, Bu. Pak Karsan ini orangnya berbahaya,” gurau Pak Arif sambil berlari karena takut diserang balik Karsan.

Entah kenapa perkenalan Karsan dengan Laila seperti ada kekuatan yang saling menarik. Seperti dua magnet yang berbeda kutub. Seperti ada hasrat ingin selalu bersama. Namun, Karsan rasa ini tidak mungkin. Di rumah Karsan sudah punya istri dan empat orang anak. Karsan juga belum tahu status Laila. Dia sudah menikah atau belum. Karsan sering melamun. Dia membayangkan pergi berduaan bersamanya di tanah perbukitan dekat rumah. Karsan melihat matahari senja bewarna keemasan, menerpa wajah mereka berdua. Rambut lurus Laila yang menjuntai hingga pinggang berkelebat dibelai angin senja. Karsan membayangkan tangannya membelai rambut panjang Laila dengan penuh kasih sayang. Laila diam dan manja. Akhirnya, ketika matahari senja benar-benar terbenam seakan ditelan pepohonan jati, Karsan mengajak Laila pulang.  Karsan membantu Laila berdiri lalu menggandeng tangannya menuruni jalan setapak di tanah perbukitan. Ah, ilusi belaka, gumam Karsan dalam hati.

Karsan yakin Laila tidak akan pernah berfantasi seperti itu. Hal ini sangat beralasan karena Laila tahu bahwa dirinya sudah berkeluarga. Tapi bisa juga Laila pernah berkhayal pergi berduaan bersama Karsan menikmati pantai di dekat rumahnya. Mungkin juga dia membayangkan duduk berdua dengan Karsan di atas batu karang sambil menikmati riuh debur ombak di laut utara. Mungkin juga tangan lembutnya memegang tangan Karsan lalu mengarahkan pada dua ekor burung camar yang sedang bercumbu rayu di depan mereka. Cih, fantasi kotor yang sangat tidak mungkin terjadi. Lagi-lagi hati kecil Karsan berkata demikian.

Karsan bukanlah Qais, lelaki beruntung yang mendapat cinta Laila dalam kisah Laila Majnun. Karsan hanyalah seorang guru yang berusia hampir setengah abad dan sebagai pendidik siswa di sekolah ini. Sudah ratusan bahkan ribuan siswa telah dia didik menjadi manusia berakhlaq mulia. Masak pak guru Karsan berpacaran dengan Laila.  Eh, tiba-tiba Karsan waras. Dia sadar dan tak mungkin berbuat seperti itu. Berduaan dengan wanita yang bukan muhrim di tempat yang sepi sangat tidak pantas bagi seorang guru. Tapi ingat, setan paling benci terhadap orang baik. Orang yang selalu berjalan di jalan Tuhan. Seetan selalu berupaya menjerumuskan manusia dalam perbuatan hina agar setan punya banyak teman di neraka. Nauzubillah. Semoga Allah melindungi mereka dari hal-hal yang hina-nista.

”Ya, Tuhan. Kenapa akhir-akhir ini saya suka melamun seperti ini. Apa yang harus saya lakukan? Menjauh seketika dan melupakan Laila? Tidak mungkin. Itu akan membuat Laila tersinggung. Ah, bersikap biasa sajalah sebagaimana dengan teman-teman yang lain. Mungkin ini jalan yang tepat yang harus saya lakukan,” tegas Karsan.

”Pak Karsan, ke sini. Aku punya sesuatu,” tiba-tiba Laila menyuruh Karsan menghampirinya.

”Punya apa, Dik?  Eh, Bu Laila,” tanya Karsan penasaran.

Nah, ini minuman kesukaan Pak Karsan. Minuman khas daerahku, legen,” katanya.

Karsan ge-er karena Laila mengetahui minuman kesukaannya. Padahal, Dia belum pernah cerita kepada Laila. Berarti Laila ketika di rumah juga sering berkhayal tentang Karsan. Mungkin dia melihat dari perangai Karsan seperti orang pantai atau karena wajahnya manis sehingga dia memberi legen yang manis juga.

”Ini legen manis Pak Karsan. Silakan diminum,” Laila menyodorkan segelas legen pada Karsan.

”Terima kasih, Dik, eh, Bu,” kata Karsan yang latah menyapa Laila dengan dik.

”Bagaimana Pak Karsan?”

Alhamdulillah, manis sekali. Semanis wajah yang memberi,” jawab Karsan spontan.

”Pak Karsan bisa saja,” sahut Laila dengan tersipu malu.

Karsan meminum segelas legen sampai tetes terakhir. Dia mengakui legen itu sangat manis. Sungguh manis. Bukan karena yang menuangkan legen ke dalam gelas berwajah manis, melainkan manis beneran.

”Mencari apa Dik, eh, Bu Laila?” tanya Karsan saat melihat guru baru itu seperti mencari-cari sesuatu dalam tasnya.

”Mencari undangan,” jawabnya singkat.

”Undangan apa dan untuk siapa?” tanya Karsan penuh selidik.

”Undangan pernikahan untuk semua bapak-ibu guru. Termasuk juga Pak Karsan.

”Penikahan siapa?” lanjut Karsan dengan nada melas.

”Pernikahanku, Pak Karsan.”

Hah, pernikahanmu?”

”Iya. Pernikahanku pekan depan. Memangnya kenapa?”

”Tidak kenapa-kenapa,” kata Karsan dengan nada yang hampir tak bersuara dan tanpa ekspresi.

Begitu mulus perjalanan kisah cinta Laila. Berjalan lurus tanpa liku-liku. Tanpa ada tantangan dari pakdenya. Tanpa ada rintangan dari lelaki lain yang berusaha merebut cintanya. Tanpa drama yang mengharu biru pemirsanya. Laila yang baru dikenal Karsan dan sempat mengaduk-aduk perasaannya ternyata akan naik ke pelaminan. Karsan sadar bahwa ini bukan kisah Laila Majnun, melainkan kisah Laila Magdalena. Gadis pantura yang baru seumur jagung bergabung bersama kami mengabdi di sekolah ini.

Pada hari pernikahan Laila, Karsan dan teman-temannya datang dengan perasaan bahagia tanpa membawa rasa lainnya. Mereka datang memberi doa restu semoga bahtera keluarga yang dibinanya berjalan mulus tanpa diterjang ombak, tanpa dihantam badai, sehingga selamat sampai pelabuhan kebahagiaan nanti.

Wangi bunga yang menghiasi pelaminan menambah anggun wajah Laila Magdalena yang bersanding dengan imam hidupnya. Putih pakaian yang dikenakan dan putih melati di sanggul Laila, seputih dan sesuci harapan masa depan keluarga barunya. Semoga bahagia selamanya, doa mereka buat Laila dan suaminya. (*)

Wanar, 13 Desember 2022

 

Ahmad Zaini, cerpenis tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan. Aktivitasnya sebagai guru di SMKN 1 Lamongan.

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

Senin, 28 November 2022

Butiran Tasbih Cinta, cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 20 November 2022

 



Butiran Tasbih Cinta

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Kenang-kenangan tak ubahnya prasasti kejadian berharga dan berkesan dalam kehidupan. Tak ayal, kenangan-kenangan akan dijadikan sebagai tanda untuk mengukir peristiwa yang sangat bernilai dan memiliki citra kesakralan. Bahkan, kenang-kenangan tidak akan dibiarkan lenyap dari perjalanan hidup seseorang. Kenang-kenangan selalu dirawat dan diabadikan sepanjang hayat sampai kiamat.

Butiran tasbih kugenggam erat. Butiran-butiran kecil itu tidak akan kubiarkan lepas dari hidupku. Meskipun butiran tasbih hanya terbuat dari kayu, akan tetapi memiliki makna yang sangat berarti dalam hidupku. Ke mana pun aku berada, butiran tasbih selalu ikut bersamaku. Dari pagi hingga pagi lagi, benda kenang-kenangan pemberian dari Imelda dan Laila telah menjadi senyawa dengan diriku.

Baru satu bulan aku berkenalan dengan Imelda dan Laila. Di sebuah kantor lembaga bimbel dua gadis itu datang dalam hidupku. Mereka memperkenalkan diri padaku. Mereka mahasiswa yang sedang terlilit kesulitan materi salah satu mata kuliah. Dua gadis ini terang-terangan bahwa mereka tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut. Mereka datang ke lembaga bimbel tempat aku bekerja. 

Kedua mahasiswa ini ternyata sangat supel. Mereka mudah akrab. Mereka secara gamblang menjelaskan inti dari permasalahan yang dihadapi. Kebetulan mata kuliah tersebut menjadi bidang keahlianku. Aku pun menjelaskan secara rinci materi sulit yang kini mereka hadapi.

Semula mereka benar-benar tidak mampu. Ini terlihat dari daya tangkap mereka yang menurut ilmu evaluasi pembelajaran di bawah rata-rata. Mereka serius memperhatikan penjelasanku. Mereka antusias mengikuti tahap demi tahap matari yang kusampaikan sampai berakhir.

Bermula dari sinilah sepertinya dua gadis itu terkesan padaku. Mereka mengangguk-anggukan kepala sebagai tanda telah paham. Aku bisa melihat dari gestur kedua gadis ini memahami materi yang kusampaikan. Dari raut mukanya terlihat tidak setegang sebelumnya. Mereka pun bisa tersenyum lepas tanpa ditahan oleh masalah yang sempat membelenggungnya.

Imelda dan Laila berpamitan lantaran waktu sudah menunjukkan pukul dua puluh. Waktu yang lama, namun terasa singkat bagiku dan bagi mereka. Hal ini tidak terlepas dari suasana bimbingan yang istimewa bagi kami.

”Hati-hati di perjalanan, ya!” pesanku pada dua gadis ini.

”Terima kasih, Master,” sahutnya dengan senyum lepas.

”Sama-sama,” pungkasku.

Pertemuan singkat antara aku dan kedua mahasiswa ini tenyata meninggalkan kesan mendalam. Ketika kami tidak lagi bersama-sama, seperti ada yang hilang dalam hidup. Kami saling merindukan suasana bimbel seperti ketika itu. Kami saling  berkirim kabar sambil melontarkan beberapa pertanyaan yang sebenarnya hanya sebagai lipstick belaka. Kami juga berlomba-lomba membuat jawaban sekenanya karena ini sifatnya hanya sebagai pengobat rindu.

”Master, adakah waktu luang buat kami?” tanya Imelda melalui telepon genggamnya.

”Memangnya ada apa kok menanyakan waktu luang? Untuk kalian tidak ada waktu sibuk. Semua waktu akan kuluangkan buat kalian,” jawabku bergurau.

”Master mulai menggombal, ya?” godanya.

”Serius ini. bahkan, duarius,” selorohku.

”Besok sore kita bertemu di kafe depan tempat bimbel,” ujarnya.

”Siap!” jawabku singkat.

Aku menghela napas pannjang. Bayang-bayang wajah mereka seakan selalu hadir dalam kesibukanku. Senyum mereka mencair dalam situasi apa pun. Sampai-sampai ketika aku dirundung kepenatan, solusinya hanyalah menelepon salah satu dari mereka. Seketika kepenatan itu meleleh dan mencair dalam celotehan.

Sore ketika langit diliput mendung tipis, aku berangkat menepati janji dengan mereka. Tanpa beban aku menuju kafe tempat yang telah kami sepakati. Aku melihat kedua gadis itu sudah duduk di sudut kafe dan telah menikmati menu yang disajikan pelayan kafe. Kafe yang setiap hari tidak pernah sepi ini mempertemukan aku dengan mereka.

”Master, selamat datang,” sambut mereka dengan bibir merekah.

”Terima kasih,” balasku.

Kedua gadis yang bersetatus sebagai mahasiswa ini memanggil pelayan kafe. Pelayan tersebut menyodorkan daftar menu ke kami. Aku memesan menu sederhana. Kentang goreng dan es teh.

”Master, tak salah dengan menu pesanan ini?” tanya Imelda dengan sedikit kaget.

”Tidak. Menu ini kesukaanku,” jawabku.

”Jauh-jauh dari rumah sampai sini hanya pesan kentang goreng dan es teh. Ini kafe Master,” kelakarnya.

Ah, ini sudah pantas dan istimewa buatku,” pungkasku.

Sudut kafe menjadi tempat favorit bagi kedua gadis itu. mereka memilih ruang bagian sudut dengan alasan tidak terganggu oleh lalu-lalang pengunjung dan pelayan. Memang benar di area tersebut kami bisa bercanda sambil menikmati menu yang ada di atas meja.

”Master, besok kami pamit. Paket bimbel kami sudah habis. Kami akan kembali ke kampus. Kami berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan dengan pembimbing hebat dan baik hati seperti Master. Kami mengucapkan terima kasih karena materi-materi yang telah Master sampaikan dapat menyelesaikan masalah yang sedang kami hadapi selama ini,”  ujar Laila yang kali ini menjadi juru bicaranya.

”Sama-sama. Saya juga senang dapat belajar bersama mahasiswa-mahasiswa pintar seperti kalian,” kataku.

”Nyindir, nih ye,” sahut Imelda.

”Sugguh. Aku tidak menyindir kalian. Kalian benar-benar mahasiswa yang luar biasa. Kalian punya semangat tinggi dalam belajar,” jelasku.

”Terima kasih Master yang baik hati,” kata mereka bersamaan.

Hampir satu jam kami berada di kafe. Matahari telah pamit dan meninggalkan cahaya merah jingga di langit. Aku pamit pada mereka lantaran punya jadwal bimbel malam hari.

”Master, tunggu!”serunya.

Aku menghentikan langkah. Kedua mahasiswa itu mendekat. Mereka memberikan bingkisan kepadaku.

”Apa ini? Tidak usah repot-repot,” kataku.

”Tidak ada yang merepotkan kami, Master. Hanya sekadar kenang-kenangan saja. Semoga Master berkenan menerimanya,” ungkapnya.

”Baiklah. Terima kasih, ya,”  pungkasku sambil meninggalkan mereka berdua yang masih mematung menatap kepergianku.

Ada kekuatan dari bingkisan yang kugenggam. Sepanjang jalan dari kafe sampai tempat bimbel tanganku terasa gemetar. Hatiku juga deg-degan. Rasa penasaran pada isi bingkisan memorakporandakan pikiranku. Sampai-sampai saat dalam perjalanan menuju tempat bimbel tadi, motor yang kukendarai hampir menyenggol tukang becak yang main potong jalan.

Sambil menuggu peserta bimbel, aku duduk di ruang sepi sambil membuka isi bingkisan itu. Kukupas kertas pembungkusnya dengan perlahan agar tidak menimbukan suara yang mengundang kecurigaan orang-orang di tempat bimbingan belajar ini. Kedua anak didik di bimbel ini mungkin sengaja menggodaku atau menguji kesabaranku lantaran kertas pembungkus bingkisan ini berlapis-lapis. Semoga ini adalah lapis terakhir atau yang kelima tersebab pembungkus ini ada tulisan semoga bermanfaat buat Master.

Aku membuka kardus mini yang dibungkus kertas berlapis lima. Ternyata bingkisan ini berupa untaian butiran tasbih dari bahan baku kayu jati yang dipermak dengan sangat indah. Ibu jari dan jari tengah membantu jari tulunjukku mengeluarkan tasbih tersebut. Kuangkat dan kupandang dengan tatapan mata lahir dan batin. Tasbih itu berkilau serta memunculkan makna tersirat sangat dalam. Makna ini dikuatkan oleh tulisan tasbih cinta di secarik kertas yang dijadikan alas benda istimewa itu dalam kardus mini.

Makna dibalik tasbih tersebut kuurai dengan kedalaman jiwa. Benda ini sebagai perantara pesan yang disampaikan oleh Imelda dan Laila kepadaku. Benda sakral yang biasa diputar orang-orang saleh saat berzikir dan bermunajat kepada Allah ini menyentuh lubuk kalbuku yang paling dalam. Aku digugah dan disadarkan oleh mereka agar mendekat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Aku diingatkan mereka melalui tasbih ini agar lebih giat beribadah kepada-Nya dan banyak pesan yang terkandung dalam butiran tasbih cinta ini.

Tabih cinta kepada Allah, cinta kepada sesama manusia, cinta kepada makhluk lain kugenggam erat ke mana dan di mana pun aku berada. Tasbih ini kuanggap sebagai penggugah kesadaran diri sebagai hamba agar semakin ingat dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam kesibukan sehari-hari sebagai mentor di tempat bimbel, ada nilai ibadah dalam setiap gerak dan desah napasku. Kekuatan niat dalam hati serta keikhlasan dalam beraktivitas telah memancarkan kemurnian cahaya. Cahaya penerang jalan kehidupanku menuju rida Tuhan. (*)

 

Wanar, 11 November 2022

Minggu, 09 Oktober 2022

Menziarahimu, cerpen di Jawa Pos Grup Radar Bojonegoro, Minggu, 9 Oktober 2022

 


Menziarahimu

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Hampir setiap malam Jumat aku ingin berziarah ke makammu. Namun, maaf hingga saat ini ada bisikan yang menahanku. Hingga kini aku benar-benar belum sempat melihat pusara dengan tanda dua batu nisan yang bertuliskan nama dan hari kematianmu.

Kamu orang baik. Semasa hidupmu kuanggap sebagai kakakku. Kamu penuh perhatian kepadaku dan keluargaku. Setiap kali kamu ingin keluar kota selalu meneleponku. Kamu mengajakku beserta istri dan anak-anakku. Kamu selalu membuat diriku sekeluarga turut senang dan bahagia sebagaimana kamu membahagiakan istri dan anak-anakmu.

Aku masih ingat kebaikanmu yang lain. Yakni, tatkala ayah kandungku sakit. Kamu memberi perhatian pada ayahku dengan mencarikan tempat pengobatan yang terbaik bagi ayahku. Kamu mengajakku ke daerah Panceng untuk menemui guru spiritualmu. Di tempat itu kamu menyuruhku menceritakan ihwal sakit yang diderita ayahku kepada gurumu. Aku pun menceritakan kondisi yang sebenarnya. Ayahku seperti terkena guna-guna ceritaku pada gurumu. Gurumu waktu itu membantah ceritaku bahwa itu bukan guna-guna. Aku sempat berdebat dengan gurumu. Kamu menengah-nengahi perselisihan ini. perdebetanku selesai.

”Sudah larut malam. Ayo, kita pulang,” ajakmu.

Aku menurutimu. Kamu membimbingku berjalan keluar dari rumah gurumu yang beraksesori nuansa mistis. Sesampai di sebuah surau kau mengajakku berhenti. Kamu menasihatiku seperti menasihati adikmu sendiri. Aku salut pada usahamu. Aku mengerti dan memahami maksudmu. Kamu ingin membantu penyembuhan ayahku dengan caramu sendiri.

”Besok malam aku ke rumah ayahmu,” janjimu padaku.

”Silakan. Apa yang dapat kamu perbuat untuk ayahku?” tanyaku sangsi.

”Ikhtiar zahir. Aku akan mengobati ayahmu dengan bantuan guruku dari jarak jauh.”

”Bisakah?”

”Lihat saja besok malam,” katamu menjanjikanku.

”Baiklah.”

Selepas isyak aku menunggumu di rumah ayahku. Hampir satu jam menunggu, kamu tidak muncul. Aku jadi ragu. Kamu serius atau tidak. Bisa mengobati penyakit ayahku atau hanya janji-janji palsu untuk menghiburku. Ternyata tidak. Prasangkaku keliru. Kamu benar-benar memenuhi janji. Kamu datang bersama teman seperguruanmu untuk melakukan pengobatan alternatif kepada ayahku.

Berkopiah hitam dengan ujung lancip mencari ciri khas dirimu. Kamu duduk berhadapan dengan ayahku. Sedangkan temanmu meletakkan kedua telapak tangannya ke punggungmu. Matamu terpejam. Mulutmu komat-kamit. Kamu meraih tangan kanan ayahku yang tak bisa bergerak sejak hampir tiga bulan. Kedua tanganmu menggosok-gosok lengan kanan ayah. Bibirmu terampil melafalkan doa-doa sambil sesekali kau berkomunikasi jarak jauh dengan gurumu. Sejenak aku terhenyak. Aku kaget ternyata kamu termasuk orang sakti karena bisa berkomunikasi jarak jauh dengan gurumu.

”Selesai,” katamu setelah hampir setengah jam memijit dan menggosok-gosok lengan ayahku.

”Mana hasilnya?” tanyaku.

”Lihat sendiri lengan ayahmu. Pakde, coba Panjenengan angkat lengan kanan perlahan,” perintahnya.

Aku mengamati dengan hati-hati perubahan lengan ayah. Kelima jarinya dapat digerak-gerakkan  pelan. Tak lama kemudian ayahku mampu mengangkat lengan kanannya. Wih, luar biasa. Ternyata kamu benar-benar bisa memulihkan kondisi tangan kanan ayahku.

”Kamu benar-benar sakti. Kamu mampu menyembuhkan penyakit ayah. Aku percaya padamu,” kataku.

”Bukan saya yang menyembuhkan ayahmu. Saya hanya sebagai perantara dalam pengobatan. Yang memberi sakit dan yang menyembuhkannya adalah Tuhan,” jawabmu merendahkan diri.

Setelah itu kamu pamit pulang bersama temanmu. Kujabatkan selembar amplop sebagai ungkapan terima kasih atau paling tidak sebagai ganti bensin sepeda motor. Namun, kamu menolak. Kamu tidak menerima pemberianku.

”Saya ini ikhlas menolong ayahmu. Anggap saja ini adalah kewajiban yang harus saya lakukan sesama manusia. Apalagi itu yang saya pijit tadi adalah ayahmu,” balasmu.

Kamu punya kelebihan dapat mengobati orang lain yang sakit, termasuk ayahku. Kamu bisa membuat resep dan memberi anjuran kepada orang lain agar terhindar dari penyakit yang membahayakan seperti kelumpuhan dan lain-lain. Tapi, kenapa kamu tidak berdaya ketika penyakit demi penyakit datang menggerogoti kesehatanmu. Tapi, kenapa kamu tidak bisa menasihati dirimu sendiri agar menghindari makanan dan minuman yang menjadi penyebab penyakit-penyakitmu itu? Bahkan, kamu mengabaikan anjuran dari beberapa dokter yang pernah kamu datangi untuk pengobatan penyakitmu itu. Saran istri dan keluargamu juga saranku tak pernah kamu dengarkan. Kamu selalu menerjang beberapa pantangan yang seharusnya kamu tinggalkan. Kamu selalu beralibi bahwa semua orang akan mati. Makan atau tidak makan pantangan itu pada saatnya nanti akan mengalami kematian. Selalu itu yang kaujadikan alasan melanggar pantangan.

Benar sekali omonganmu. Semua manusia yang hidup pasti akan mati. Namun, perlu diingat manusia harus berikhtiar untuk mempertahankan hidupnya. Termasuk menghindari makanan dan minuman atau lainnya yang bisa menjadi penyebab kematian.

Keras kepala dan egois. Dua sifat yang patut disematkan padamu. Kamu sosok yang sulit mendengarkan omongan orang lain. Lebih-lebih pesan kesehatan. Banyak orang yang memperhatikan kondisi kesehatanmu. Termasuk aku. Tubuhmu yang dulu gemuk, kini kurus. Seperti tinggal tulang dan kulit saja. Kornea matamu juga kekuning-kuningan. Apalagi perutmu sering sakit dan muntah-muntah. Siapa yang tega membiarkan dirimu dalam kondisi seperti ini. Tidak ada yang tega. Semua orang berempati kepadamu. Termasuk juga rival-rivalmu dalam dunia perpolitikan. Setiap kali ada masukan agar kamu harus beristirahat, kamu selalu menolaknya. Kamu menyanggah dengan argumen-argumen sebagai pembenar dirimu. Kamu malah sengaja sering ke restauran dan memesan makanan-makanan yang mengandung lemak. Bahkan, kamu juga pesan makanan yang pedas. Kamu sendiri tahu bahwa makanan pedas dan berlemak tinggi akan semakin memperparah kondisi kesehatanmu.

Sore itu kamu benar-benar tak berdaya. Kesehatanmu down. Kamu pingsan. Keluargamu panik lalu meneleponku. Aku datang lalu membantu istrimu melarikanmu ke rumah sakit. Beberapat perawat membawamu ke UGD. Kamu menjalani perawatan intensif. Lalu kamu dibiarkan bebarapa saat sebagai masa observasi atas perkembangan kondisimu. Kamu belum sadarkan diri hingga satu hari. Kamu tidak mengalami perubahan. Kemudian dokter merujukmu ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lebih lengkap dengan dokter-dokter andal.

”Keluarga Zakaria?” tanya dokter.

”Betul, Dok. Saya adiknya dan ini istrinya,” jawabku.

Dokter mengajak kami berdua masuk ke ruangannya. Dia mengabarkan kepada kami kamu terkena liver stadium akhir. Dokter juga bilang bahwa kamu dalam keadaan kritis.

”Doakan saja semoga Tuhan menurunkan mukjizat untuk kesembuhannya,” kata dokter.

Sesuatu yang tidak mungkin. Mukjizat itu keistimewaan yang diberikan Tuhan kepada nabinya. Sedangkan aku sendiri tahu kalau kamu ini bukan nabi. Kamu hanya orang biasa yang diberi kelebihan ilmu berdakwah dan punya banyak penggemar. Kamu hampir tiap malam kamu tidak di rumah karena memenuhi undangan ceramah sampai-sampai kamu kelelahan. Menurut dokter kelelahan inilah yang menjadi salah satu sebab liver yang kamu derita saat ini.

”Harapan tipis, Mbak,” bisikku pada istrimu.

Istrimu tak merespon bisikanku. Istrimu hanya bisa menyembunyikan wajahnya di jilbab yang basah oleh air mata. Tak lama  kemudian dokter datang untuk mengabarkan bahwa kamu telah tiada. Tuhan menjemputmu dengan perantaraan sakit liver tepat azan subuh berkumandang.

Aku tidak bisa menyembunyikan kesedihan saat itu. Aku tak doyan makan selama tiga hari. Hari-hariku diliputi ketidakpercayaan pada kematianmu. Kamu seolah-olah masih hidup dan mengajakku jalan-jalan ke luar kota. Tapi, fakta tak bisa dipungkiri. Takdir benar-benar telah merenggutmu. Kamu dan aku kini telah berbeda alam.

***

 Tiga tahun sudah kamu berada di peristirahatan akhir. Rasa rindu dan rasa hutang budi pada kebaikanmu menyentuh hatiku. Aku ingin menziarahimu pada tulat, Kamis malam Jumat. Senin ini aku berjanji akan datang menjenguk gundukan tanah bertanda dua batu nisan bertuliskan namamu dan hari tanggal kematianmu. Aku tak akan mengingkari janji seperti beberapa Kamis yang lalu.

Pemakaman desamu begitu rapi dan bersih. Warga kampung memiliki rasa tanggung jawab tinggi untuk merawat pemakaman. Di bagian timur pemakaman aku duduk sambil menghadap makammu. Aku berbincang-bincang dengan istrimu yang mengantarku ke makam sebelum berdoa bersama. Aku yakin bahwa kamu mengetahui kedatanganku. Aku yakin kamu mendengar pembicaraanku bersama istrimu yang masih setia menjanda. Aku yakin kamu juga mendengar dan mengamini doa-doa yang kulantunkan. Aku yakin kamu juga mendoakanku dari dalam kubur. Aku melihat tanda-tanda itu melalui semut dan serangga yang menghentikan jalannya tepat di ujung batu nisanmu.

”Maafkan aku karena baru bisa menziarahimu. Damailah di alammu, semoga Allah merahmatimu!” pintaku.

Aku meninggalkan tanah pemakaman setelah matahari sore terlihat semakin menguning. Kawanan kelelawar yang terbang di atas pemakaman mengisyaratkan bahwa sebentar lagi akan terjadi pergantian waktu dari siang menjadi malam. Cericit kelelawar berkabar janganlah lupa pada kebaikan orang yang telah mati. (*)

 

Wanar, 24 September 2022

Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Selain itu juga sebagai anggota Kostela. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Lelaki yang Menikahi Bayangan Sendiri. Beralamat di Wanar, Pucuk, Lamongan.

Sabtu, 27 Agustus 2022

Jiwa Berontak Veteran Perang, Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 28 Agustus 2022

 



Jiwa Berontak Veteran Perang

Cerpen Ahmad Zaini

 

Mbah Sadimen gelisah. Seperti ada masalah pelik yang bersarang di batok kepalanya. Duduk tak nyaman. Berdiri pun tak enak. Terkadang jari-jari tangannya menggaruk-garuk kepala. Desis mulutnya terdengar seperti ular berbisa. Semacam ada sesuatu yang ingin dikeluarkan dari tenggorokannya.

”Merdeka!” pekik Mbah Sadimen sambil berdiri tiba-tiba. Setelah itu dia duduk kembali dengan lunglai.

Apa gerangan yang membuat Mbah Sadimen seperti itu setiap menjelang peringatan hari kemerdekaan? Pertanyaan inilah yang menjadi teka-teki cucu dan para tetangga yang mengetahui kebiasaannya.

Sorot mata Mbah Sadimen menggambarkan kegelisahan, kecemasan, dan kekecewaan. Perasaan-perasaan itulah yang mengaduk-aduk jiwa Mbah Sadimen. Namun, apa yang digelisahkan, dicemaskan, dan dikecewakan? Lagi-lagi muncul teka-teki baru dari Mbah Sadimen buat orang-orang terdekatnya.

Mbah Sadimen merupakan veteran perang. Dia mantan pejuang kemerdekaan. Usianya sekarang sudah 95 tahun. Masa mudanya dia turut mengangkat senjata bergabung dengan tentara-tentara lainnya. Mereka mengusir para penjajah yang mencoba memasuki daerahnya.

Kaki kanan Mbah Sadimen ada bekas luka. Bekas luka itulah yang sering diceritakan Mbah Sadimen kepada anak dan cucu-cucunya saat ini. Sebuah peluru bundar pernah bersarang di kakinya ketika terlibat pertempuran sengit untuk mempertahankan wilayahnya. Dalam pertempuran tersebut teman-teman Mbah Sadimen banyak yang gugur. Termasuk kakaknya sendiri, Dirno. Menurut Mbah Sadimen kakaknya itu tidak sempat berlari ke perlindungan sehingga dua butir puluru bersarang di dadanya.

Mata Mbah Sadimen berkaca-kaca setiap bercerita masa peperangan kepadacucu dan tetangganya. Peperangan melawan penjajah menelan banyak korban. Korban harta benda, darah, dan nyawa. Hidup sengsara. Paceklik pangan dan sandang. Rumah jarang ditempati karena takut disergap musuh. Mbah Sadimen sering tidur di atas pepohonan, di bawah jembatan sambil berjaga-jaga bila musuh datang tiba-tiba untuk merebut wilayahnya. Sengsara sekali para pejuang saat itu.

”Mbah, tenang. Duduk yang manis, ini susunya,” kata Maryamah, sang cucu yang sekarang merawatnya.

”Tidak. Saya tidak bisa tenang,” kata Mbah Sadimen.

”Apa yang membuat Mbah tidak bisa tenang?”

”Mereka,” jawabnya singkat sambil menunjuk ke luar.

Maryamah bingung. Siapa yang dimaksud mereka sebagai biang keladi kegelisahannya. Padahal, di luar rumah tidak ada siapa-siapa. Hanya tadi ada beberapa orang yang melintasi jalan di depan rumah yang akan menuju lapangan untuk mengadakan karnaval agustusan.

”Mbah, mereka siapa?” selidik Maryamah.

”Itu tadi yang lewat di depan rumah,” sambung Mbah Sadimen menjelaskan Maryamah.

Benar sekali. Ternyata yang dimaksud Mbah Sadimen adalah orang-orang yang akan mengikuti kegiatan karnaval.

Maryamah berpikir lagi kenapa Mbah Sadimen geram setiap melihat orang-orang yang akan karnaval. Padahal, mereka itu ingin memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan. Mestinya Mbah Sadimen senang karena perjuangan para pejuang itu dikenang oleh para generasi sekarang. Perjuangan mereka tidak dilupakan oleh anak cucunya. Karnaval tersebut juga bisa menjadi pengingat bahwa kemerdekaan yang kita rasakan saat ini bukanlah pemberian hadiah dari penjajah. Akan tetapi kemerdekaan ini direbut dengan tenaga, pikiran, darah, dan air mata. Bahkan, dipertaruhkan dengan nyawa. Nah, dengan karnaval agustusan inilah biar generasi muda saat ini tahu jerih payang para pejuang demi mencapai kemerdekaan. Biar pemuda-pemuda saat ini tidak hidup berfoya-foya saja. Biar mereka tahu rasa berterima kasih, mengisi kemerdekaan ini dengan kegiatan-kegiatan positif demi kemajuan bangsa dan negara.

”Mestinya Sampean itu senang setiap kali ada karnaval. Bukannya malah sewot seperti ini,” celetuk Maryamah.

Heleh, cucu macam apa kamu ini,” sela Mbah Sadimen dengan menangis. Dia pun tidak mau menyeruput susu yang diminumkan oleh Maryamah.

Maryamah jadi heran. Kenapa Mbah Sadimen sangat benci dengan perayaan agustusan ini. adakah yang salah? Teka-teki ini muncul dari sikap veteran yang berusia 95 tahun ini.

”Sekarang begini saja, Mbah. Tolong katakan penyebab sikap Mbah yang tidak senang dengan perayaan memperingati hari kemerdekaan bangsa ini. Biar saya dan para tetangga ini tidak bingung dengan ulah Mbah yang aneh ini,” pinta Maryamah.

”Jauh, jauh dengan tujuan,” katanya.

Lho, ya membingungkan orang lagi. Apanya yang jauh? Saya sejak tadi kan dekat dengan Mbah,” goda Maryamah.

”Kamu itu cucu macam apa tidak tahu tujuan,” celetuk Mbah Sadimen.

Wes, nang crita biar saya dengarkan,” pungkas Maryamah.

Mbah Sadimen memperbaiki posisi duduknya. Dia menyandarkan punggung yang tinggal kulit dan tulang karena digerogoti usia. Matanya berkaca-kaca menatap ke halaman rumah. Dia sesekali berdiri sambil mengarahkan jari telunjuknya ke luar ketika ada orang yang melintas di depan rumahnya.

”Mana susunya?”

Maryamah pun cekatan. Dia meminumkan susu yang tinggal setengah gelas sambil mengamati mulut yang seakan masih membekas suara pekikan merdeka.

Setelah menghabiskan segelas susu, Mbah Sadimen menyuruh Maryamah diam untuk mendengarkan jawaban dari teka-teki sikapnya.

Mbah Sadimen menceritakan semua yang menjadi alasan kenapa dia benci dan marah ketika ada karnaval peringatan hari kemerdekaan. Dia mengemukakan beberapa alasannya. Kemerdekaan itu anugerah dari Allah, Tuhan yang Mahakuasa yang harus disyukuri. Cara mensyukurinya adalah mengisi kemerdekaan dengan hal-hal baik yang dapat  memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat. Termasuk juga dengan mencerdasakan kehidupan anak bangsa agar bisa mewujudkan cita-cita luhur para pejuang kermerdekaan.

”Upacara dan karnaval apa tidak cukup sebagai upaya bersyukur?” sela Maryamah.

”Jauh. Jauh sekali dari rasa bersyukur,” jawab Mbah Sadimen singkat.

Mbah Sadimen melanjutkan ucapannya. Dia mengatakan bahwa karnaval saat ini tidak ada nilai rasa syukurnya pada Allah. Hanya hura-hura dan senang-senang belaka. Hanya joget-joget, mengumbar nafsu, dan perbuatan-perbuatan fasiq lainnya. Bahkan, Mbah Sadimen bilang karnaval agurtusan ini hanyalah mengkufuri nikmat kemerdekaan.

Mosok karnaval membawa dan minum tuak. Mereka berjalan-jalan sambil mabuk-mabukan. Tak jarang mereka tawuran karena pengaruh minuman keras,” imbuhnya.

Oalah, ini to yang menyebabkan Sampean benci karnaval,” sergah Maryamah.

”Iyalah. Keringat, darah, dan air mata para pejuang diganti dengan tuak. Minuman haram yang memabukkan. Ini namanya pelecehan. Bisa menodai nilai-nilai suci kepahlawanan. Selain itu, ada joget-jogetan laki-laki dan perempuan. Roknya cingkrang. Tidak seperti itu bersyukur pada Allah,” ucap Mbah Sadimen.

”Tapi, yang baik-baik juga ada,” sanggah Maryamah.

”Yang baik-baik biarlah. Tapi, yang mabuk-mabukan dan joget-jogetan itu yang saya benci. Mencemari nilai perjuangan saja. Kasihan mereka,” katanya.

”Mereka siapa lagi, Mbah?”

”Para pejuang kemerdekaan yang sudah gugur. Bukannya didoakan malah dinodai nilai perjuanganya dengan perbuatan dosa,” pungkasnya.

Maryamah lega. Dia sudah tahu alasan kakeknya yang membenci karnaval perayaan hari kemerdekaan. Dia punya bahan yang banyak untuk bisa disampaikan kepada para tetangga yang selama ini dirundung rasa penasaran atas sikak mbahnya.

Baru saja Maryamah ke belakang membawa gelas susu Mbah Sadimen yang sudah kosong, terdengar riuh suara drumband dan aneka musik dari kejauhan. Maryamah berlari-lari kecil keluar. Dia akan  melihat kemeriahan karnaval peringatan hari kemerdekaan.

Nduk, nduk, nduk. Mau ke mana?” tanya Mbah Sadimen dengan tangan hendak menahannya.

”Lihat karnaval, Mbah. Di situ saja, ya,” jawab cucu Mbah Sadimen yang sudah beranak tiga ini.

Mbah Sadimen mengelus dada. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Lelaki berusia hampir seabad ini hanya bisa meratap dan menyesali perbuatan fasiq yang biasanya mewarnai karnaval hari ulang tahun kemerdekaan bangsa ini. Dia hanya bisa berdoa dan berharap semoga generasi saat ini sadar pada tanggung jawabnya melanjutkan cita-cita luhur para pejuang bangsa (*)

Wanar, 27 Agustus 2022

 

Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa cerpen dan puisinya bertebaran di berbagai media cetak dan online. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Lelaki yang Menikahi Bayangan Sendiri. Penulis beralamat di Wanar, Pucuk, Lamongan.