Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Selasa, 22 Agustus 2017

Cerpen Radar Bojonegoro, Jawa Pos Grup, Minggu, 20 Agustus 2017

Menegakkan Tiang Bendera Miring
Cerpen Ahmad Zaini*

Siang hari Santriman bertelanjang dada. Dia hanya mengenakan kaos dalam sambil bermandi cahaya matahari. Santriman tidak peduli sengatan sinar matahari menggosongkan kulit yang sebenarnya sudah tak kuning lagi. Peluh merembet melintasi otot-otot kekar di lengannya. Berulang-ulang ia menyekanya agar peluh tak melumuri telapak tangannya yang sedang memegang erat tiang penyangga bendera yang doyong.
”Asem! Kemarin tiang bendera ini ujungnya sudah kutanam dalam-dalam. Tak mungkin sekarang doyong seperti ini,” gerutu Santriman di bawah sengat sinar matahari yang semakin panas.
Tangan kekar Santriman berkilau. Lumuran peluh di tangannya seperti olesan oli bekas di batang pinang sewaktu ada lomba panjang pinang beberapa hari kemarin. Dia tetap menggali lubang buat menanam ujung tiang bendera agar tidak doyong lagi.
”Man, pakailah topi ini!” ujar istrinya yang peduli pada kondisi Santriman.
”Tidak usah. Topi ini malah akan mengganggu kerjaku saja,” sahut Santriman sambil melemparkan topi ke arah Ramiseh.
Ramiseh berhenti. Dia menengok ke arah Santriman yang terus menggali lubang demi tegaknya tiang bendera.
”Kenapa kau lemparkan topi ini? Kau sudah tak menyayangi kulit wajahmu yang semakin legam, ya?”
”Biarlah wajahku legam. Yang penting masih punya rasa peduli pada tiang penyangga bendera ini.”
Ramiseh melangkahkan kakinya yang sempat terhenti. Dia tak melihat lagi suaminya yang masih menggali lubang untuk menancapkan tiang bendera. Rambut keriting Santriman mengembang saat angin menerpanya. Kalau dilihat dari kejauhan, rambutnya seperti kawul di tumpukan jerami para petani.
”Siapa pun yang mendoyongkan tiang bendera ini, akan berhadapan denganku, Santriman! Aku tak rela bendera pusakaku berdiri tak sempurna di tanah airku seperti ini,” sumbar Santriman sambil mengepalkan tangan kirinya.
”Kurang lantang, Man!” teriak istrinya dari dalam rumah.
Sesumbar Santriman berhenti sebentar. Dia menelan dahak yang tersangkut di tenggorokan sambil melihat ke arah istrinya yang berseru agar teriakannya lebih lantang daripada sebelumnya.
Linggis yang berada di genggaman tangan kanannya dilepas. Batang besi berujung pipih ini digeletakkan begitu saja di sampingnya. Dia cekatan mengepalkan tangan kanan dan kirinya. Ia menghirup udara lalu menahannya sebentar di perutnya. Ia bersiap-siap melantangkan sesumbarnya lebih keras daripada sebelumnya.
”Siapa pun yang mendoyongkan tiang bendera ini, akan berhadapan denganku!” suara Santriman kali ini menggelegar seakan membelah angkasa.
Ramiseh yang bersandar di kusen pintu rumahnya tersenyum geli. Dia tak habis pikir suaminya seperti orang kesurupan di siang bolong. Lelaki yang telah menjadi imam rumah tangganya semenjak lima puluh tahun ini disibukkan dengan urusan tiang bendera sampai-sampai dia tidak menghiraukan tubuhnya terbakar sinar matahari.
”Berteduh dulu, Man! Apa kau tidak sayang lagi pada kulitmu yang semakin hitam ini?” Ramiseh meminta Santriman beristirahat.
”Tidak, Seh. Aku tidak memedulikan kulit ini. Aku ingin segera menegakkan tiang bendera yang doyong ini. Aku tak sabar ingin melihat bendera ini berkibar lagi di atas tiang penyangga yang sempurna.”
Ramiseh terdiam. Dia tidak mampu membujuk suaminya agar bersitirahat terlebih dulu. Kendi yang dibawanya dibiarkan berada di bawah pohon mangga. Ia kembali duduk di bawah teras rumah sambil melihat suaminya yang terus menggali tanah untuk menancapkan tiang bendera agar bisa semakin kokoh dan tahan angin.
Angin bertiup kencang. Bendera berkibar dengan penyangga yang tak sempurna. Kibaran bendera ini bagai kepakan rajawali di angkasa biru. Sayapnya mengepak melawan hembusan angin siang yang semakin kencang. Tiang bendera yang doyong di samping Santriman semakin miring. Namun, tangan kekar Santriman segera meraih tiang bendera itu lalu menegakkan kembali agar bendera tidak sampai terkapar di tanah berdebu.
”Seh, cepat kemari! Tolong pegangkan tiang ini agar aku bisa menggali tanah ini lebih cepat.”
”Sebentar, Man,” sahut Ramiseh setengah berteriak dari dalam kandang kambing. Ramiseh rupanya memberi makan kambingnya yang sejak tadi selalu mengembik.
Ramiseh tergopoh-gopoh berlari sambil menyingsingkan jariknya menuju ke arah Santriman.
”Cepat pegang tiang ini!”
”Siap, Man.”
Ramiseh berdiri mematung sambil memegang tiang bendera agar tidak roboh. Sedangkan, Santriman menggali tanah dengan linggis lebih cepat agar tiang bendera bisa segera ditancapkan.
”Kok, lama sekali, Man?”
”Iya. Kau harus sabar. Tanahnya ini keras dan banyak batunya. Sebentar lagi pasti akan selesai.”
Sepasang suami istri ini saling membahu menegakkan tiang bendera yang doyong. Dia berjuang menegakkan tiang bendera agar bendera yang sudah menyatu dengan jiwanya berkibar sempurna di langit yang semakin panas ini.
”Sudah selesai, Seh. Bawa sini tiangnya!” perintah Santriman. Ramiseh memberikan tiang bendera kepada Santriman.
Tiang bendera  ditanam Santriman pada galiannya. Dia dibantu istrinya menegakkan tiang bendera yang sempat doyong itu. Mereka tak memedulikan sengatan sinar matahari yang tegak di tengah langit biru. Mereka bahu-membahu menegakkan tiang bendera pusaka. Setelah rampung, mereka duduk di bawah pohon mangga sambil minum air kendi secara bergantian.
Perjuangan mereka demi menegakkan tiang bendera selesai. Namun, mereka tetap mengawasi bendera tersebut agar selalu berkibar dengan sempurna selamanya. Mereka sewaktu-waktu siap menyangga dan menegakkan tiang bendera itu apabila ada angin yang akan merobohkannya. Maklumlah, terpaaan angin di musim kemarau ini semakin kencang dan bisa mengancam kekokohan tiang bendera yang kini sudah berdiri sempurna. (*)


Wanar, Agustus 2017

Kamis, 03 Agustus 2017

Karena Raketku Patah, Majalah Media Jawa Timur, edisi Juli 2017

Karena Raketku Patah
Karya Ahmad Zaini

Aku masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. Usiaku sepuluh tahun. Di antara teman-teman satu kelas, aku termasuk murid yang paling pendek. Aku terkadang minder pada mereka. Di samping tubuhku yang pendek, kulitku juga yang paling hitam jika dibanding teman-temanku. Aku sempat hilang rasa percaya diriku. Untunglah aku punya ayah yang pandai membesarkan hatiku dan memberi semangat kepadaku.
Ayahku seorang pegawai. Ayah bekerja lima hari dalam seminggu. Hari Sabtu dan Minggu ayah libur. Waktu liburan itulah ayah selalu mengajakku bermain bulu tangkis di gedung olahraga kecamatan. Di sela-sela bulu tangkis ayah selalu memberi semangat dan membesarkan hatiku.
”Jo, semua orang punya kelebihan dan kelemahan. Namun, dua hal ini janganlah membuat seseorang menjadi sombong dan minder,” kata ayahku.
Aku tidak mengerti dengan kata-kata ayah. Aku terdiam dan mencoba memahaminya. Akan tatapi, selalu gagal.
”Maksud ayah?”
”Di samping kelemahan yang ada pada dirimu, kamu punya kelebihan. Nah, kamu harus bisa memanfaatkan kelebihanmu untuk menutupi kelemahanmu,” sambung ayahku sambil mengelap keringatku yang meleler di keningku. Aku sedikit mengerti maksud dari ucapan ayah. Dia mencoba membangkitkan semangatku yang sering terpuruk akibat sering diejek oleh teman-teman.
Teman-temanku sering menyebutku cebol karena tubuhku pendek. Mereka juga sering menghinaku dengan sebutan negro karena kulitku hitam. Aku sering meceritakan semua kejadian yang kualami itu pada ayah sambil menangis di pangkuannya.
”Maksud ayah, aku harus memanfaatkan kelebihanku dengan belajar bulu tangkis?” tanyaku.
”Benar sekali.”
”Mana mungkin ayah. Tubuhku kan pendek.”
”Pemain bulu tangkis tidak harus bertubuh tinggi. Banyak pemain kelas dunia yang berpostur pendek. Yang penting adalah penguasaan teknik bermain bulu tangkis yang benar.”
“Baiklah ayah. Ajari saya bermain bulu tangkis dengan teknik yang benar,” pintaku pada ayah dengan penuh semangat.
Setiap hari Sabtu dan Minggu atau pada sore hari sepulang ayah dari kantor, aku selalu mengajak ayah bermain bulu tangkis. Aku meminta ayah agar mengajariku bermain bulu tangkis dengan teknik yang benar. Ayah mengajari bagaimana cara melakukan servis yang mematikan lawan dan cara melakukan smas. Ayah memberiku beberapa trik penempatan bola ke daerah lawan yang tidak bisa dijangkau oleh lawan tersebut. Ayah juga mengajariku teknik melangkahkan kaki saat memukul atau menerima bola. Berkat keuletan dan ketekunanku berlatih bersama ayah, aku mulai bisa menerapkan teknik seusai keinginan dari ayah.
”Saya bangga kepadamu, Jo. Kamu sudah bisa bermain dengan bagus. Postur tubuhmu yang pendek  tidak terlihat lagi karena tertutupi smas-smasmu yang mematikan. Saya bangga padamu,” kata ayah yang semakin membuatku percaya diri.
Saat yang kutunggu-tunggu telah datang. Di sekolahku diadakan lomba bulu tangkis. Yang menjadi juara akan mewakili sekolah mengikuti lomba tingkat kecamatan. Juara di tingkat kecamatan akan mewakili lomba yang sama di tingkat kabupaten dan seterusnya.
Perlombaan di mulai. Para peserta memperlihatkan kelihaiannya mengolah suttlecock di lapangan. Para pendukung bersorak dan meneriaki mereka yang sedang berlaga. Tiba saatnya giliranku bermain. Aku berhadapan dengan lawan yang selama ini mengejekku.
”Hahahahaha. Si cebol main bulu tangkis,” ejek mereka.
Setelah permainan dimulai aku menerapkan teknik-teknik yang pernah diajarkan oleh ayah. Lawanku tidak berkutik. Dia tidak bisa menerima bola-bola sulit dariku. Perolehan angkaku melaju pesat hingga aku memenangkan pertandingan. Teman-teman yang selalu mengejekku terdiam. Mereka tidak berani mengeluarkan kata-kata ejekan lagi. Aku menjadi juara pada lomba tingkat sekolah dan akan berlaga ditingkat kecamatan.
Di tingkat kecamatan aku juga menjadi juara. Aku menyingkirkan lawan-lawanku yang postur tubuhnya lebih tinggi daripada aku. Aku pun menjadi wakil kecamatan untuk berlaga di tingkat kabupaten.
Saat berlaga di tingkat kabupaten aku mendapatkan masalah. Ibuku tidak menghendaki aku juara lagi. Ibu tidak setuju kalau aku nanti akan menjadi wakil kabupaten untuk  berlaga di tingkat provinsi. Ibu beralasan kelebihanku  bermain bulu tangkis ini akan dapat mengganggu belajarku. Di samping itu ibu kasihan melihatku yang selau bermandi keringat di tengah lapangan. Aku sempat melihat ayah dan ibuku cekcok di pinggir lapangan. Mereka berdebat tentang masa depanku di lapangan bulu tangkis.
Ayahku tetap memaksa dan menginginkan aku harus menjadi juara di tingkat kabupaten. Ayah menghendaki aku mewakili kabupaten di tingkat provinsi. Aku menuruti semua keinginan ayah. Aku bermain dengan sungguh-sungguh dan berhasil melibas lawan-lawanku. Akan tetapi, pada saat partai final ketika aku sudah mengungguli perolehan angka lawan, tiba-tiba raketku patah dan mengenai kakiku. Aku cidera serius karena gagang raketku menghantam tulang keringku hingga bengkak. Aku pun mundur dari permainan ini dan dinyatakan kalah oleh wasit. Aku gagal juara.
Ibu yang berada di tribun VIP langsung berlari masuk ke lapangan. Ibu mendekapku dengan derai air mata. Ayah yang menjadi motivatorku juga iku merangkulku. Dia pun ikut menangis.
”Kau hebat, Jo. Meskipun kau dinyatakan kalah, kau tetap yang terbaik. Aku bangga padamu Jo. Berlaga pada partai final tingkat kabupaten, sudah cukup bagimu untuk menutupi kekuranganmu,” kata ayah.
Suara tepuk tangan terdengar di seluruh penjuru gedung olahraga. Mereka memberikan penghormatan atas perjuanganku dalam ajang bulu tangkis ini. Aku bangga dan tetap bertekad untuk menjadi yang terbaik pada ajang yang sama tahun depan demi kebahagian orang-orang yang menyayangiku. (*)
 


*Guru SMA Raudlatul Muta’allimin Babat dan
SMA Mambaul Ulum Wanar Pucuk