Menegakkan
Tiang Bendera Miring
Cerpen Ahmad Zaini*
Siang hari Santriman bertelanjang dada. Dia hanya
mengenakan kaos dalam sambil bermandi cahaya matahari. Santriman tidak peduli
sengatan sinar matahari menggosongkan kulit yang sebenarnya sudah tak kuning
lagi. Peluh merembet melintasi otot-otot kekar di lengannya. Berulang-ulang ia
menyekanya agar peluh tak melumuri telapak tangannya yang sedang memegang erat
tiang penyangga bendera yang doyong.
”Asem! Kemarin tiang bendera ini ujungnya sudah kutanam
dalam-dalam. Tak mungkin sekarang doyong seperti ini,” gerutu Santriman di
bawah sengat sinar matahari yang semakin panas.
Tangan kekar Santriman berkilau. Lumuran peluh di
tangannya seperti olesan oli bekas di batang pinang sewaktu ada lomba panjang
pinang beberapa hari kemarin. Dia tetap menggali lubang buat menanam ujung
tiang bendera agar tidak doyong lagi.
”Man, pakailah topi ini!” ujar istrinya yang peduli pada
kondisi Santriman.
”Tidak usah. Topi ini malah akan mengganggu kerjaku
saja,” sahut Santriman sambil melemparkan topi ke arah Ramiseh.
Ramiseh berhenti. Dia menengok ke arah Santriman yang
terus menggali lubang demi tegaknya tiang bendera.
”Kenapa kau lemparkan topi ini? Kau sudah tak menyayangi
kulit wajahmu yang semakin legam, ya?”
”Biarlah wajahku legam. Yang penting masih punya rasa
peduli pada tiang penyangga bendera ini.”
Ramiseh melangkahkan kakinya yang sempat terhenti. Dia
tak melihat lagi suaminya yang masih menggali lubang untuk menancapkan tiang
bendera. Rambut keriting Santriman mengembang saat angin menerpanya. Kalau
dilihat dari kejauhan, rambutnya seperti kawul di tumpukan jerami para
petani.
”Siapa pun yang mendoyongkan tiang bendera ini, akan
berhadapan denganku, Santriman! Aku tak rela bendera pusakaku berdiri tak
sempurna di tanah airku seperti ini,” sumbar Santriman sambil mengepalkan
tangan kirinya.
”Kurang lantang, Man!” teriak istrinya dari dalam rumah.
Sesumbar Santriman berhenti sebentar. Dia menelan dahak
yang tersangkut di tenggorokan sambil melihat ke arah istrinya yang berseru
agar teriakannya lebih lantang daripada sebelumnya.
Linggis yang berada di genggaman tangan kanannya dilepas.
Batang besi berujung pipih ini digeletakkan begitu saja di sampingnya. Dia cekatan
mengepalkan tangan kanan dan kirinya. Ia menghirup udara lalu menahannya
sebentar di perutnya. Ia bersiap-siap melantangkan sesumbarnya lebih keras
daripada sebelumnya.
”Siapa pun yang mendoyongkan tiang bendera ini, akan
berhadapan denganku!” suara Santriman kali ini menggelegar seakan membelah
angkasa.
Ramiseh yang bersandar di kusen pintu rumahnya tersenyum
geli. Dia tak habis pikir suaminya seperti orang kesurupan di siang bolong. Lelaki
yang telah menjadi imam rumah tangganya semenjak lima puluh tahun ini
disibukkan dengan urusan tiang bendera sampai-sampai dia tidak menghiraukan
tubuhnya terbakar sinar matahari.
”Berteduh dulu, Man! Apa kau tidak sayang lagi pada
kulitmu yang semakin hitam ini?” Ramiseh meminta Santriman beristirahat.
”Tidak, Seh. Aku tidak memedulikan kulit ini. Aku ingin
segera menegakkan tiang bendera yang doyong ini. Aku tak sabar ingin melihat
bendera ini berkibar lagi di atas tiang penyangga yang sempurna.”
Ramiseh terdiam. Dia tidak mampu membujuk suaminya agar
bersitirahat terlebih dulu. Kendi yang dibawanya dibiarkan berada di bawah
pohon mangga. Ia kembali duduk di bawah teras rumah sambil melihat suaminya
yang terus menggali tanah untuk menancapkan tiang bendera agar bisa semakin
kokoh dan tahan angin.
Angin bertiup kencang. Bendera berkibar dengan penyangga
yang tak sempurna. Kibaran bendera ini bagai kepakan rajawali di angkasa biru.
Sayapnya mengepak melawan hembusan angin siang yang semakin kencang. Tiang
bendera yang doyong di samping Santriman semakin miring. Namun, tangan kekar
Santriman segera meraih tiang bendera itu lalu menegakkan kembali agar bendera
tidak sampai terkapar di tanah berdebu.
”Seh, cepat kemari! Tolong pegangkan tiang ini agar aku
bisa menggali tanah ini lebih cepat.”
”Sebentar, Man,” sahut Ramiseh setengah berteriak dari
dalam kandang kambing. Ramiseh rupanya memberi makan kambingnya yang sejak tadi
selalu mengembik.
Ramiseh tergopoh-gopoh berlari sambil menyingsingkan
jariknya menuju ke arah Santriman.
”Cepat pegang tiang ini!”
”Siap, Man.”
Ramiseh berdiri mematung sambil memegang tiang bendera
agar tidak roboh. Sedangkan, Santriman menggali tanah dengan linggis lebih
cepat agar tiang bendera bisa segera ditancapkan.
”Kok, lama sekali, Man?”
”Iya. Kau harus sabar. Tanahnya ini keras dan banyak batunya.
Sebentar lagi pasti akan selesai.”
Sepasang suami istri ini saling membahu menegakkan tiang
bendera yang doyong. Dia berjuang menegakkan tiang bendera agar bendera yang
sudah menyatu dengan jiwanya berkibar sempurna di langit yang semakin panas ini.
”Sudah selesai, Seh. Bawa sini tiangnya!” perintah
Santriman. Ramiseh memberikan tiang bendera kepada Santriman.
Tiang bendera
ditanam Santriman pada galiannya. Dia dibantu istrinya menegakkan tiang
bendera yang sempat doyong itu. Mereka tak memedulikan sengatan sinar matahari
yang tegak di tengah langit biru. Mereka bahu-membahu menegakkan tiang bendera
pusaka. Setelah rampung, mereka duduk di bawah pohon mangga sambil minum air
kendi secara bergantian.
Perjuangan mereka demi menegakkan tiang bendera selesai. Namun,
mereka tetap mengawasi bendera tersebut agar selalu berkibar dengan sempurna
selamanya. Mereka sewaktu-waktu siap menyangga dan menegakkan tiang bendera itu
apabila ada angin yang akan merobohkannya. Maklumlah, terpaaan angin di musim
kemarau ini semakin kencang dan bisa mengancam kekokohan tiang bendera yang
kini sudah berdiri sempurna. (*)
Wanar, Agustus 2017