Kacamata Gerhana
Cerpen
karya Ahmad Zaini*
Adit sejak dua hari ini
selalu murung. Dia mengurung diri di rumah. Teman-temannya setiap sore
mencarinya. Mereka ingin mengajak Adit bermain air di empang sambil mencari
ketam lalu dilombakan. Adit dan teman-teman ingin menikmati suasana meriah dan
penuh gairah perlombaan ketam seperti hari-hari sebelumnya.
“Adit! Adit! Ayo ke
empang!” teriak teman-teman Adit dari luar rumah.
Adit bergeming. Dia
tidak menggubris teriakan teman-temannya. Dia tetap duduk di kursi ruang tengah
sambil termenung sendiri.
Ibu Adit pulang dari
rumah saudaranya yang sedang hajatan. Dai terkejut saat melihat anak-anak
berkerumun di depan rumahnya.
“Anak-anak, ada apa?
Adit di mana?”
“Tidak tahu Tante. Kami
sudah memanggilnya berulang-ulang, akan tetapi Adit tidak muncul-muncul,” jawab
Riko.
“Tunggu sebentar ya!
Akan Tante panggilkan.”
Ibu Adit masuk ke
rumah. Dia tertegun keheranan karena melihat Adit duduk sendiri sambil
termenung di kursi ruang tengah.
“Adit, kenapa kamu?
Teman-teman mencarimu di luar. Apakah kau tidak mendengar panggilan mereka?”
“Dengar, Bu.”
“Kenapa Kua tidak
menemuinya?”
Adit diam. Dia tidak
segera memberikan jawaban sebagai alasan atas sikapnya yang tak menghiraukan
panggilan teman-temannya. “
“Kenapa Adit? Ayo,
katakan kepada Ibu!” Setelah Adit didesak oleh ibunya, akhirnya dia membuka
mulutnya.
“Aku malu pada mereka.
Teman-teman sudah dibelikan kacamata gerhana oleh ayahnya. Sedangkan aku belum
punya.”
“Oalah, itu tho yang membuatmu diam di sini sampai
tidak mau menemui teman-temanmu,” “apakah itu harus kau miliki?” sambungnya.
“Iya, Bu. Kata ayah
mereka kalau waktu gerhana matahari kita tidak memakai kacamata gerhana maka
mata kita akan buta.”
“Iya, benar. Itu kalau
kita melihat matahari secara langsung. Kalau kita tidak melihatnya, ya tidak
apa-apa.”
“Tapi, Bu. Saya ingin
melihat proses gerhana matahari bersama teman-teman. Bapak guru IPA memberi
tugas kami untuk mengamati proses gerhana matahari.”
“Baiklah kalau begitu.
Besok pagi akan ibu belikan.”
“Bu, gerhana
mataharinya terjadi besok pagi mulai pukul 06.30? Apabila besok pagi baru Ibu belikan, ya
percuma!” sahut Adit dengan muka cemberut.
“Lantas kamu meminta
ibu membelikan kacamata gerhana sekarang?
“Iya.”
“Ayahmu belum pulang
kerja Adit.”
“Nah, kebetulan. Ibu
tinggal menelepon ayah agar saat pulang kerja ayah mampir ke toko untuk
membelikan kacamata gerhana buat saya.”
“Benar juga. Baiklah
ibu akan menelepon ayahmu,” kata ibu Adit sambil mengusap kepala anaknya yang
sejak dua hari ini murung.
Ibu Adit segera
memenuhi janjinya. Dia segera mengambil hape lalu menelepon suaminya di tempat
kerja.
“Bagaimana, Bu?” tanya
Adit.
“Ayahmu akan membelikan
kacamata gerhana buat anaknya yang paling cakep ini.”
“Benarkah? Terima
kasih, Bu!” kata Adit sambil melompat-lompat kegirangan.
Adit segera keluar
rumah menemui teman-temannya. Dia menyampaikan kabar kepada teman-temannya
bahwa dia akan dibelikan kacamata gerhana oleh ayahnya.
Setelah itu, mereka
berangkat menuju empang untuk bermain air dan mencari ketam bersama-sama.
Menjelang sore saat
matahari sudah berwarna jingga, Adit dan teman-temannya baru pulang dari
empang. Mereka berkerumun di depan rumah sederhana yang ditumbuhi tanaman hias
di sekelilingnya. Teman-teman Adit ingin memastikan kabar yang disampaikan
Adit. Mereka ingin mengetahui kacamata gerhana Adit yang dibelikan ayahnya.
“Mana, Dit kecamata
gerhanamu?” tanya mereka pada Adit yang baru keluar dari rumahnya.
Adit diam. Dia
tertunduk lesu. Dia tidak berani menatap wajah teman-temannya.
“Kenapa, Dit?” tanya
teman-temannya.
“Ayah belum datang.
Padahal, biasanya jam-jam sekian ayah sudah pulang kerja.”
“Sabar, Dit! Kita
tunggu sampai ayahmu datang. Mari kita bermain dulu!” Mereka mengajak Adit
bermain petak umpet sambil menunggu ayahnya datang.
Baru beberapa saat
mereka bermain petak umpet, dari halaman rumahnya terdengar suara motor ayah
Adit. Mereka menghentikan permainannya. Adit dan teman-teman segera berlari
mendekati ayah Adit yang masih belum turun dari sepeda motornya.
“Ayah, mana kacamata gerhanaku?”
tanya Adit.
Ayah Adit yang bekerja
sebagai sales buku anak-anak perlahan turun dari sepeda. Dia mengambil sesuatu
dari dalam tasnya. Saat ayah Adit mengeluarkan kacamata gerhana dari dalam tas,
teman-teman Adit tercengang. Mereka takjub pada kacamata gerhana Adit yang
lebih bagus daripada miliknya.
“Wow, bagus sekali
Adit!” ungkap mereka.
“Terima kasih, Ayah!
Terima kasih!” kata Adit kepada ayahnya.
Teman-teman Adit sangat
lega dan bahagia karena Adit sudah memunyai kacamata gerhana. Mereka pun pulang
ke rumah masing-masing. Mereka sebelumnya sudah janjian berkumpul di empang
besok pagi untuk melihat proses gerhana matahari dengan memakai kacamata
gerhana. (*)