Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 01 April 2016

Kacamata Gerhana (Majalah Media Jatim, edisi April 2016)

Kacamata Gerhana
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Adit sejak dua hari ini selalu murung. Dia mengurung diri di rumah. Teman-temannya setiap sore mencarinya. Mereka ingin mengajak Adit bermain air di empang sambil mencari ketam lalu dilombakan. Adit dan teman-teman ingin menikmati suasana meriah dan penuh gairah perlombaan ketam seperti hari-hari sebelumnya.
“Adit! Adit! Ayo ke empang!” teriak teman-teman Adit dari luar rumah.
Adit bergeming. Dia tidak menggubris teriakan teman-temannya. Dia tetap duduk di kursi ruang tengah sambil termenung sendiri.
Ibu Adit pulang dari rumah saudaranya yang sedang hajatan. Dai terkejut saat melihat anak-anak berkerumun di depan rumahnya.
“Anak-anak, ada apa? Adit di mana?”
“Tidak tahu Tante. Kami sudah memanggilnya berulang-ulang, akan tetapi Adit tidak muncul-muncul,” jawab Riko.
“Tunggu sebentar ya! Akan Tante panggilkan.”
Ibu Adit masuk ke rumah. Dia tertegun keheranan karena melihat Adit duduk sendiri sambil termenung di kursi ruang tengah.
“Adit, kenapa kamu? Teman-teman mencarimu di luar. Apakah kau tidak mendengar panggilan mereka?”
“Dengar, Bu.”
“Kenapa Kua tidak menemuinya?”
Adit diam. Dia tidak segera memberikan jawaban sebagai alasan atas sikapnya yang tak menghiraukan panggilan teman-temannya. “
“Kenapa Adit? Ayo, katakan kepada Ibu!” Setelah Adit didesak oleh ibunya, akhirnya dia membuka mulutnya.
“Aku malu pada mereka. Teman-teman sudah dibelikan kacamata gerhana oleh ayahnya. Sedangkan aku belum punya.”
“Oalah, itu tho yang membuatmu diam di sini sampai tidak mau menemui teman-temanmu,” “apakah itu harus kau miliki?” sambungnya.
“Iya, Bu. Kata ayah mereka kalau waktu gerhana matahari kita tidak memakai kacamata gerhana maka mata kita akan buta.”
“Iya, benar. Itu kalau kita melihat matahari secara langsung. Kalau kita tidak melihatnya, ya tidak apa-apa.”
“Tapi, Bu. Saya ingin melihat proses gerhana matahari bersama teman-teman. Bapak guru IPA memberi tugas kami untuk mengamati proses gerhana matahari.”
“Baiklah kalau begitu. Besok pagi akan ibu belikan.”
“Bu, gerhana mataharinya terjadi besok pagi mulai pukul 06.30?  Apabila besok pagi baru Ibu belikan, ya percuma!” sahut Adit dengan muka cemberut.
“Lantas kamu meminta ibu membelikan kacamata gerhana sekarang?
“Iya.”
“Ayahmu belum pulang kerja Adit.”
“Nah, kebetulan. Ibu tinggal menelepon ayah agar saat pulang kerja ayah mampir ke toko untuk membelikan kacamata gerhana buat saya.”
“Benar juga. Baiklah ibu akan menelepon ayahmu,” kata ibu Adit sambil mengusap kepala anaknya yang sejak dua hari ini murung.
Ibu Adit segera memenuhi janjinya. Dia segera mengambil hape lalu menelepon suaminya di tempat kerja.
“Bagaimana, Bu?” tanya Adit.
“Ayahmu akan membelikan kacamata gerhana buat anaknya yang paling cakep ini.”
“Benarkah? Terima kasih, Bu!” kata Adit sambil melompat-lompat kegirangan.
Adit segera keluar rumah menemui teman-temannya. Dia menyampaikan kabar kepada teman-temannya bahwa dia akan dibelikan kacamata gerhana oleh ayahnya.
Setelah itu, mereka berangkat menuju empang untuk bermain air dan mencari ketam bersama-sama.
Menjelang sore saat matahari sudah berwarna jingga, Adit dan teman-temannya baru pulang dari empang. Mereka berkerumun di depan rumah sederhana yang ditumbuhi tanaman hias di sekelilingnya. Teman-teman Adit ingin memastikan kabar yang disampaikan Adit. Mereka ingin mengetahui kacamata gerhana Adit yang dibelikan ayahnya.
“Mana, Dit kecamata gerhanamu?” tanya mereka pada Adit yang baru keluar dari rumahnya.
Adit diam. Dia tertunduk lesu. Dia tidak berani menatap wajah teman-temannya.
“Kenapa, Dit?” tanya teman-temannya.
“Ayah belum datang. Padahal, biasanya jam-jam sekian ayah sudah pulang kerja.”
“Sabar, Dit! Kita tunggu sampai ayahmu datang. Mari kita bermain dulu!” Mereka mengajak Adit bermain petak umpet sambil menunggu ayahnya datang.
Baru beberapa saat mereka bermain petak umpet, dari halaman rumahnya terdengar suara motor ayah Adit. Mereka menghentikan permainannya. Adit dan teman-teman segera berlari mendekati ayah Adit yang masih belum turun dari sepeda motornya.
“Ayah, mana kacamata gerhanaku?” tanya Adit.
Ayah Adit yang bekerja sebagai sales buku anak-anak perlahan turun dari sepeda. Dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Saat ayah Adit mengeluarkan kacamata gerhana dari dalam tas, teman-teman Adit tercengang. Mereka takjub pada kacamata gerhana Adit yang lebih bagus daripada miliknya.
“Wow, bagus sekali Adit!” ungkap mereka.
“Terima kasih, Ayah! Terima kasih!” kata Adit kepada ayahnya.

Teman-teman Adit sangat lega dan bahagia karena Adit sudah memunyai kacamata gerhana. Mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Mereka sebelumnya sudah janjian berkumpul di empang besok pagi untuk melihat proses gerhana matahari dengan memakai kacamata gerhana. (*)