Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 11 Agustus 2019

Rumah di Kelok Jalan Setapak (Minggu, 11 Agustus 2019)


Rumah di Kelok Jalan Setapak
Cerpen karya Ahmad Zaini

Baru kali ini aku berkesempatan berkunjung ke kampungmu. Sebuah kampung yang pada sembilan tahun yang lalu diluluhlantakkan abu vulaknik dan lahar panas. Kampung yang dulu pernah menangis. Kampung yang menjadi perhatian dunia karena semua media pemberitaan internasional juga meliput musibah gunung meletus yang melandanya.
Sudah lama sebenarnya aku ingin berkunjung ke kampungmu. Lebih-lebih saat bencana itu terjadi. Aku waktu itu  hanya bisa menyaksikan dari layar kaca televisi atau mengikutinya lewat berita koran. Aku tidak tega melihat warga harus berlari tunggang-langgang menyelematkan diri dari kejaran wedus gembel. Para warga berlari mencari tempat berlindung dari abu dan bebatuan yang bisa mengancam nyawa. Mereka mencari tempat yang aman dari buruan lava panas yang dapat membakar benda-benda yang dilaluinya.
Setelah menempuh tiga jam perjalanan, aku baru bisa menginjakkan kaki di kampungmu. Mataku menyapu sekeliling. Bola mataku liar mencari jejak-jejak musibah gunung meletus. Aku melihat rumah-rumah warga di kanan kiri jalan yang kulalui. Rumah-rumah sederhana bewarna putih kelabu. Rumah berdinding kusam. Pada bagian-bagian penting tak ada yang sempurna. Atap berlubang. Tiang reot. Dinding di berbagai sisi juga bolong.                                                                 Menurut keterangan warga yang kutemui, rumah-rumah itu memang sengaja dibiarkan dalam kondisi seperti itu. Mereka tak berniat memerbaikinya. Mereka membiarkannya sebagai bukti peristiwa kelam sembilan tahun yang lalu.
Ngapunten, Pak! Di mana rumah Pak Ngatimen?” tanyaku pada warga yang kebetulan berpapasan denganku.
Lelaki yang menyunggi sekarung rumput itu tak segera menjawab. Dia menatap wajahku dengan tatapan kosong. Dia bingung dengan nama yang kutanyakan.
“Pak Ngatimen yang mana, nggih?” lelaki itu balik bertanya.
“Ngatimen yang dulu rumahnya berada di sebelah masjid,” kataku menjelaskan lelaki tersebut.
“Pak Ngatimen yang istrinya bernama Sutiyem?”
“Ya. Benar. Istrinya bernama Sutiyem,” sahutku.
“Bapak jalan saja sekitar dua ratus meter. Setelah ada kelokan, beloklah ke kiri. Di rumah kecil yang berhalaman penuh bebatuan silakan berhenti. Dia sekarang tinggal di situ karena rumahnya yang di sebelah masjid tinggal puing-puingnya saja,” kata lelaki itu sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah yang dimaksud.
“Terima kasih, Bapak!” ucapku padanya. Aku lantas berjalan mengikuti arah sebagaimana yang ditunjukkan oleh lelaki pencari rumput.
Dua ratus meter kulalui dalam waktu sekitar lima belas menit. Secara hitungan, jarak dua ratus meter tidak jauh. Namun, di kampungmu ini aku harus menempuh selama lima belas menit karena jalannya menanjak dan penuh bebatuan. Agar segera sampai ke rumahmu, kakiku terus kupaksa merangkak dan melindas bebatuan terjal. Mataku kupaksa melihat jalan dengan jeli dan berhati-hati. Lengah sedikit, pasti tubuhku akan terpelanting, berguling-guling hingga kembali ke tempat saat aku bertemu dengan lelaki pencari rumput tadi.
Aku melihat sebuah rumah kecil berdinding gedhek atau anyaman bambu. Tiang penyangganya berbahan bongkotan, bagian pangkal bambu. Rumah mungil itu beratap anyaman daun siwalan. Halamannya sempit. Di kanan kiri masih tersisa bongkahan-bongkahan batu sisa letusan gunung.
Kulonuwun! Kulonuwun!” ucapku berkali-kali. Tak ada yang menyahut. Rumah itu sepi tak berpenghuni.
Aku mendekat ke pintu rumah selangkah lagi. Aku mengucapkan permisi sekali lagi. Namun, situasi tetap sama. Tak ada jawaban. Sepi seperti tak berpenghuni. Akhirnya, aku terpaksa meraih daun pintu berbahan sesek atau anyaman bambu yang lebih halus. Pintu kubuka. Aku terhenyak. Aku melihat sosok kurus yang tidur meringkuk di tanah. Dia tidur hanya beralas terpal yang compang-camping.
“Mbah Ngatimen, Mbah, bangun!” seruku sambil mengguncang tubuh yang masih meringkuk itu.
Tubuh kurus itu perlahan-lahan bergerak. Dia melihat ke arahku. Matanya yang tampak kabur melihat jeli ke arahku.
“Kamu Parmin?” katanya dengan suara serak.
“Benar, Mbah. Aku Parmin. Orang yang dulu pernah bermalam di rumahmu selama dua bulan.”
Oalah, kok, bisa sampai ke sini?”
“Iya, Mbah. Maaf, baru bisa ke sini. Ke mana Mbah Sutiyem?” Aku menanyakan istrinya yang dulu dengan sabar memasakkan nasi dan menu ikan asin serta lalapan daun singkong untukku.
Mbah Ngatimen yang kini sudah tua renta diam. Dia tidak segera menjawab pertanyaanku. Perlahan-lahan matanya berkaca-kaca lalu meneteskan air mata bening di pipinya yang berkulit keriput.
“Mbahmu sudah mati. Dia terkena abu panas saat musibah itu terjadi. Aku tak bisa menyelamatkan dia. Dia ketinggalan masuk ke banker sehingga abu panas itu melelehkan tubuhnya,” tuturnya dengan air mata yang semakin deras melintas di pipinya.
Innalillahi wainna ilaihi rojiun! Semoga Mbah Sutiyem bahagia di alam kubur!” doaku setelah mendengar kisah pilu Mbah Ngatimen.
Gurat kesedihan terpancar dari wajah Mbah Ngatimen. Jiwanya pasti tersiksa karena merasa bersalah tidak bisa menyelamatkan Mbah Sutiyem. Jemari tangan kanannya kulihat menggores-gores lantai tanah rumahnya. Dia sepertinya berusaha melukis kenangan indah bersama Mbah Sutiyem sebelum musibah itu terjadi. Namun, takdir Tuhan lebih digdaya. Tak ada seorang pun yang bisa melawannya. Tak ada yang bisa mengelak dari kematian bila Tuhan telah menakdirkannya.
“Ambil minum sendiri. Itu kendinya di atas kotak. Ini tadi saya belum sempat ngliwet. Saya kecapekan setelah lembur kerja menambang pasir di kali.”
“Iya, Mbah. Jangan terlalu dipikirkan. Saya nanti minum sendiri. Ini saya bawakan dua bungkus nasi. Mari kita makan bersama-sama!” ajakku sambil mengeluarkan dua bungkus nasi dari dalam tas kresek.
Kami menikmati makan bersama dengan nasi yang kubeli dari warung di bawah tadi. Aku senang bisa melihat Mbah Ngatimen menikmati nasi bungkus dengan lahap. Dia menghabiskan sebungkus nasi itu dengan cepat sekali. Aku mengambilkan kendi yang berada di atas kotak. Mbah Ngatimen mengangkat kendi tinggi-tinggi lalu mengarahkan paruhnya ke mulut yang sudah dibuka. Air kendi yang jernih itu mengalir ke arah mulut Mbah Ngatimen.  
Alhamdulillah, segar sekali! Kenyang, Min!” ungkapnya dengan senyum kecil mengembang di tengah siang.
“Saya sangat bersyukur bisa sambang Mbah Ngatimen. Sudah lama ingin sekali sambang. Namun, baru kali ini bisa terlaksana,” kataku.
“Saya juga senang karena kamu masih mengingatku. Namun, sayang sekali Mbahmu sudah tiada,” sergahnya dengan nada bersedih.
“Doakan saja, semoga Mbah Sutiyem bahagia di alam sana!”
“Amin!” sahutnya.
Setelah makan bersama, aku mengajak Mbah Ngatimen berjalan-jalan ke rumahnya yang kabarnya luluh lantak akibat letusan gunung. Aku penasaran ingin tahu kondisi rumah yang pernah kusinggahi selama dua bulan. Aku ingin tahu bagaimana bentuk ruang tamu, ruang tidur, dan ruang dapurnya. Ruang-ruang itu menyimpan banyak kenanganku bersama  keluarga Mbah Ngatimen.
“Yang mana rumah Mbah?” tanyaku.
Mbah Ngatimen menyeretku agar mendekat ke sebuah area yang penuh puing reruntuhan bangunan dan bekas-bekas perabot rumah tangga. Aku melihat kerangka kursi. Mbah Ngatimen mengingatkanku bahwa itu adalah kursi yang pernah kududuki. Di ruang berikutnya terdapat televisi yang tinggal tabungnya saja. Antena dan perangkat lainnya sudah meleleh tanpa bentuk. Di ruang belakang juga terdapat berbagai perkakas dapur yang tinggal gagang-gagangnya saja. Rak piring yang reot dan kamar mandi yang tinggal serpihan batu bata yang berserak di lantai yang gosong.
“Inilah bekas rumahku tempat singgahmu dulu,” katanya sambil mengorek-ngorek cuilan benda yang tertutup sisa abu vulkanik.
“Sabar, Mbah! Di balik musibah pasti ada hikmah. Bila Mbah Ngatimen lulus dari ujian hidup ini, maka kebahagiaan sudah menanti di lain hari,” hiburku sambil mendekap tubuh Mbah Ngatimen yang semakin ringkih.
“Iya. Ini kehendak Yang Mahakuasa. Kita sebagai hamba-Nya hanya menjalaninya saja,” katanya dengan tegar.
Setelah hampir dua jam berputar-putar dengan kenangan pilu masa lalu, kami kembali ke rumah yang berada di kelokan jalan setapak. Aku duduk menikmati hari yang mulai malam di rumah mungil tempat tinggal Mbah Ngatimen. Lampu ublik dinyalakan Mbah Ngatimen. Bayang-bayang tubuh ringkih Mbah Ngatimen yang terlihat semakin tua itu meletakkan lampu ublik di tumpukan batus cadas. Dia pasrah menjalani takdir Tuhan sambil menata tempat kami berbaring di ruang mungil ini. (*)

Lamongan, Juli 2019