Rumah di Kelok Jalan Setapak
Cerpen
karya Ahmad Zaini
Baru kali ini
aku berkesempatan berkunjung ke kampungmu. Sebuah kampung yang pada sembilan
tahun yang lalu diluluhlantakkan abu vulaknik dan lahar panas. Kampung yang
dulu pernah menangis. Kampung yang menjadi perhatian dunia karena semua media
pemberitaan internasional juga meliput musibah gunung meletus yang melandanya.
Sudah lama
sebenarnya aku ingin berkunjung ke kampungmu. Lebih-lebih saat bencana itu
terjadi. Aku waktu itu hanya bisa
menyaksikan dari layar kaca televisi atau mengikutinya lewat berita koran. Aku
tidak tega melihat warga harus berlari tunggang-langgang menyelematkan diri
dari kejaran wedus gembel. Para warga
berlari mencari tempat berlindung dari abu dan bebatuan yang bisa mengancam
nyawa. Mereka mencari tempat yang aman dari buruan lava panas yang dapat
membakar benda-benda yang dilaluinya.
Setelah menempuh
tiga jam perjalanan, aku baru bisa menginjakkan kaki di kampungmu. Mataku
menyapu sekeliling. Bola mataku liar mencari jejak-jejak musibah gunung
meletus. Aku melihat rumah-rumah warga di kanan kiri jalan yang kulalui.
Rumah-rumah sederhana bewarna putih kelabu. Rumah berdinding kusam. Pada
bagian-bagian penting tak ada yang sempurna. Atap berlubang. Tiang reot.
Dinding di berbagai sisi juga bolong.
Menurut keterangan warga yang kutemui, rumah-rumah itu memang sengaja
dibiarkan dalam kondisi seperti itu. Mereka tak berniat memerbaikinya. Mereka
membiarkannya sebagai bukti peristiwa kelam sembilan tahun yang lalu.
“Ngapunten, Pak! Di mana rumah Pak
Ngatimen?” tanyaku pada warga yang kebetulan berpapasan denganku.
Lelaki yang menyunggi sekarung rumput itu tak segera
menjawab. Dia menatap wajahku dengan tatapan kosong. Dia bingung dengan nama
yang kutanyakan.
“Pak Ngatimen
yang mana, nggih?” lelaki itu balik
bertanya.
“Ngatimen yang
dulu rumahnya berada di sebelah masjid,” kataku menjelaskan lelaki tersebut.
“Pak Ngatimen
yang istrinya bernama Sutiyem?”
“Ya. Benar. Istrinya
bernama Sutiyem,” sahutku.
“Bapak jalan
saja sekitar dua ratus meter. Setelah ada kelokan, beloklah ke kiri. Di rumah
kecil yang berhalaman penuh bebatuan silakan berhenti. Dia sekarang tinggal di
situ karena rumahnya yang di sebelah masjid tinggal puing-puingnya saja,” kata
lelaki itu sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah yang dimaksud.
“Terima kasih,
Bapak!” ucapku padanya. Aku lantas berjalan mengikuti arah sebagaimana yang
ditunjukkan oleh lelaki pencari rumput.
Dua ratus meter
kulalui dalam waktu sekitar lima belas menit. Secara hitungan, jarak dua ratus
meter tidak jauh. Namun, di kampungmu ini aku harus menempuh selama lima belas
menit karena jalannya menanjak dan penuh bebatuan. Agar segera sampai ke
rumahmu, kakiku terus kupaksa merangkak dan melindas bebatuan terjal. Mataku
kupaksa melihat jalan dengan jeli dan berhati-hati. Lengah sedikit, pasti
tubuhku akan terpelanting, berguling-guling hingga kembali ke tempat saat aku
bertemu dengan lelaki pencari rumput tadi.
Aku melihat
sebuah rumah kecil berdinding gedhek
atau anyaman bambu. Tiang penyangganya berbahan bongkotan, bagian pangkal bambu. Rumah mungil itu beratap anyaman
daun siwalan. Halamannya sempit. Di kanan kiri masih tersisa
bongkahan-bongkahan batu sisa letusan gunung.
“Kulonuwun! Kulonuwun!” ucapku
berkali-kali. Tak ada yang menyahut. Rumah itu sepi tak berpenghuni.
Aku mendekat ke
pintu rumah selangkah lagi. Aku mengucapkan permisi sekali lagi. Namun, situasi
tetap sama. Tak ada jawaban. Sepi seperti tak berpenghuni. Akhirnya, aku
terpaksa meraih daun pintu berbahan sesek
atau anyaman bambu yang lebih halus. Pintu kubuka. Aku terhenyak. Aku
melihat sosok kurus yang tidur meringkuk di tanah. Dia tidur hanya beralas
terpal yang compang-camping.
“Mbah Ngatimen,
Mbah, bangun!” seruku sambil mengguncang tubuh yang masih meringkuk itu.
Tubuh kurus itu
perlahan-lahan bergerak. Dia melihat ke arahku. Matanya yang tampak kabur
melihat jeli ke arahku.
“Kamu Parmin?”
katanya dengan suara serak.
“Benar, Mbah.
Aku Parmin. Orang yang dulu pernah bermalam di rumahmu selama dua bulan.”
“Oalah, kok, bisa sampai ke sini?”
“Iya, Mbah.
Maaf, baru bisa ke sini. Ke mana Mbah Sutiyem?” Aku menanyakan istrinya yang
dulu dengan sabar memasakkan nasi dan menu ikan asin serta lalapan daun
singkong untukku.
Mbah Ngatimen
yang kini sudah tua renta diam. Dia tidak segera menjawab pertanyaanku.
Perlahan-lahan matanya berkaca-kaca lalu meneteskan air mata bening di pipinya
yang berkulit keriput.
“Mbahmu sudah
mati. Dia terkena abu panas saat musibah itu terjadi. Aku tak bisa
menyelamatkan dia. Dia ketinggalan masuk ke banker sehingga abu panas itu
melelehkan tubuhnya,” tuturnya dengan air mata yang semakin deras melintas di
pipinya.
“Innalillahi wainna ilaihi rojiun! Semoga
Mbah Sutiyem bahagia di alam kubur!” doaku setelah mendengar kisah pilu Mbah
Ngatimen.
Gurat kesedihan
terpancar dari wajah Mbah Ngatimen. Jiwanya pasti tersiksa karena merasa
bersalah tidak bisa menyelamatkan Mbah Sutiyem. Jemari tangan kanannya kulihat
menggores-gores lantai tanah rumahnya. Dia sepertinya berusaha melukis kenangan
indah bersama Mbah Sutiyem sebelum musibah itu terjadi. Namun, takdir Tuhan
lebih digdaya. Tak ada seorang pun yang bisa melawannya. Tak ada yang bisa
mengelak dari kematian bila Tuhan telah menakdirkannya.
“Ambil minum
sendiri. Itu kendinya di atas kotak. Ini tadi saya belum sempat ngliwet. Saya kecapekan setelah lembur
kerja menambang pasir di kali.”
“Iya, Mbah.
Jangan terlalu dipikirkan. Saya nanti minum sendiri. Ini saya bawakan dua
bungkus nasi. Mari kita makan bersama-sama!” ajakku sambil mengeluarkan dua
bungkus nasi dari dalam tas kresek.
Kami menikmati
makan bersama dengan nasi yang kubeli dari warung di bawah tadi. Aku senang
bisa melihat Mbah Ngatimen menikmati nasi bungkus dengan lahap. Dia
menghabiskan sebungkus nasi itu dengan cepat sekali. Aku mengambilkan kendi
yang berada di atas kotak. Mbah Ngatimen mengangkat kendi tinggi-tinggi lalu
mengarahkan paruhnya ke mulut yang sudah dibuka. Air kendi yang jernih itu mengalir
ke arah mulut Mbah Ngatimen.
“Alhamdulillah, segar sekali! Kenyang,
Min!” ungkapnya dengan senyum kecil mengembang di tengah siang.
“Saya sangat
bersyukur bisa sambang Mbah Ngatimen. Sudah lama ingin sekali sambang. Namun,
baru kali ini bisa terlaksana,” kataku.
“Saya juga
senang karena kamu masih mengingatku. Namun, sayang sekali Mbahmu sudah tiada,”
sergahnya dengan nada bersedih.
“Doakan saja,
semoga Mbah Sutiyem bahagia di alam sana!”
“Amin!”
sahutnya.
Setelah makan
bersama, aku mengajak Mbah Ngatimen berjalan-jalan ke rumahnya yang kabarnya luluh
lantak akibat letusan gunung. Aku penasaran ingin tahu kondisi rumah yang
pernah kusinggahi selama dua bulan. Aku ingin tahu bagaimana bentuk ruang tamu,
ruang tidur, dan ruang dapurnya. Ruang-ruang itu menyimpan banyak kenanganku
bersama keluarga Mbah Ngatimen.
“Yang mana rumah
Mbah?” tanyaku.
Mbah Ngatimen
menyeretku agar mendekat ke sebuah area yang penuh puing reruntuhan bangunan
dan bekas-bekas perabot rumah tangga. Aku melihat kerangka kursi. Mbah Ngatimen
mengingatkanku bahwa itu adalah kursi yang pernah kududuki. Di ruang berikutnya
terdapat televisi yang tinggal tabungnya saja. Antena dan perangkat lainnya
sudah meleleh tanpa bentuk. Di ruang belakang juga terdapat berbagai perkakas
dapur yang tinggal gagang-gagangnya saja. Rak piring yang reot dan kamar mandi
yang tinggal serpihan batu bata yang berserak di lantai yang gosong.
“Inilah bekas
rumahku tempat singgahmu dulu,” katanya sambil mengorek-ngorek cuilan benda
yang tertutup sisa abu vulkanik.
“Sabar, Mbah! Di
balik musibah pasti ada hikmah. Bila Mbah Ngatimen lulus dari ujian hidup ini,
maka kebahagiaan sudah menanti di lain hari,” hiburku sambil mendekap tubuh
Mbah Ngatimen yang semakin ringkih.
“Iya. Ini
kehendak Yang Mahakuasa. Kita sebagai hamba-Nya hanya menjalaninya saja,”
katanya dengan tegar.
Setelah hampir
dua jam berputar-putar dengan kenangan pilu masa lalu, kami kembali ke rumah
yang berada di kelokan jalan setapak. Aku duduk menikmati hari yang mulai malam
di rumah mungil tempat tinggal Mbah Ngatimen. Lampu ublik dinyalakan Mbah
Ngatimen. Bayang-bayang tubuh ringkih Mbah Ngatimen yang terlihat semakin tua itu
meletakkan lampu ublik di tumpukan batus cadas. Dia pasrah menjalani takdir
Tuhan sambil menata tempat kami berbaring di ruang mungil ini. (*)
Lamongan,
Juli 2019