Tas
Kecil Mbah Siyem
Cerpen karya
Ahmad Zaini
Lautan manusia tumpah
ruah di asrama haji. Mereka saling berhimpitan dan berdesakan agar bisa melihat
anggota keluarganya yang akan menjadi tamu Allah di Makkah dan Madinah. Derap
langkah kaki para jamaah seperti irama derap tentara yang pergi ke medan jihad menyusuri jalan yang menuntun
mereka ke kendaraan yang telah menunggunya. Dari sekian banyak jamaah haji
terdapat Mbah Siyem. Dia adalah jamaah haji tertua dalam kloter 35. Mbah Siyem
berusia 89 tahun.
“Minggir, Nak!” kata Mbah
Siyem.
Saat mendengar seru Mbah
Siyem, para jamaah yang berjalan di depannya yang rata-rata usianya lebih muda
menyingkir. Mereka memperlambat jalannya sambil membelah barisan untuk memberi
kesempatan Mbah Siyem berjalan terlebih dahulu.
“Mbah, hati-hati!” kata
salah satu jamaah saat melihat Mbah Siyem berjalan dengan sangat trengginas.
Tanpa menoleh, Mbah
Siyem tetap berjalan memecah iring-iringan jamaah lain yang berada di depannya.
Laju Mbah Siyem bagai laju kapal yang membelah gelombang di samudra.
“Mbah Yem! Ini bus
kita,” kata ketua rombongan calon jamaah haji menunjukkan Mbah Siyem yang akan
menyelonong masuk bus rombongan lain.
Meskipun sudah renta, Mbah
Siyem berangkat haji sendiri tanpa didampingi keluarga. Dia juga tidak
dititipkan oleh keluarganya kepada jamaah lain seperti lazimnya orang yang
berangkat haji seorang sendiri. Mbah Siyem merasa mampu menjalani ibadah haji
sendiri tanpa pendamping.
“Si Mbah berangkat
dengan siapa?” tanya Romlah, jamaah dari rombongan lain.
“Berangkat sendiri.
Anak-anakku sudah berangkat haji semua. Tinggal saya yang belum.”
“Di tanah suci terdapat
jutaan manusia. Mereka datang dari berbagai negara. Mbah setua ini berangkat
sendiri tanpa pendamping. Saya khawatir terjadi apa-apa di sana.”
“Kita ini akan menjadi
tamu Allah. Saya yakin Allah akan melindungi dan melayani saya,” kata Mbah
Siyem tanpa khawatir sedikit pun.
Mbah Siyem mengambil
sapu tangan dari kantong baju batik seragamnya. Dia menyeka keringat yang
berleleran di kulit keriputnya. Jilbab putih berseri di lepas. Dia mengelap
leher dan seluruh bagian kepala yang dibanjiri keringat.
“Maaf, Nek! Jilbab
harap dikenakan lagi karena di bus ini terdapat jamaah laki-laki juga,” tegur
ketua rombongan.
“Oh, iya!” kata Mbah
Yem yang hampir saja membuang jilbabnya di tempat sampah yang berada di kolong
kursi bus.
Tenaga Mbah Yem memang
tak diragukan lagi. Dia kuat dan tahan banting. Akan tetapi, sifat pikunnya
yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini tidak terlepas dari usia Mbah Siyem yang
hampir berkepala Sembilan.
Ketua rombongan
mengecek seluruh jamaah di bawah binaannya. Satu persatu dipanggili. Setiap
jamaah yang mengacungkan tangannya disuruh mengecek perlengkapan
administrasinya seperti paspor, visa dan yang lain-lainnya yang dimasukkan
dalam tas kecil.
“Mbah Yem, bagaimana
perlengkapannya?” tanya ketua rombongan.
Dengan rasa percaya
diri yang sangat tinggi, Mbah Siyem menunjukkan tas kecil yang diikatkan di
perutnya.
Seluruh jamaah sudah
berada dalam bus. Setelah barang bawaan dan surat-suratnya sudah lengkap, ketua
rombongan memberi isyarat kepada sopir agar menjalankan busnya menuju bandara
Juanda. Mbah Siyem yang duduk di bangku nomor dua dari depan mulutnya
berkomat-kamit. Dia tidak henti-hentinya berdzikir dan membaca salawat.
Mbah Siyem memiliki
kebiasaan yang jarang dimiliki orang lain. Dia istiqomah berdzikir dan membaca salawat baik ketika senggang maupun
saat sibuk. Keajegan seperti ini sudah dilakukan Mbah Siyem semenjak dia masih belia.
Ketika sampai di
bandara Juanda, Mbah Siyem berdiri. Dia akan turun dari bus terlebih dahulu.
Padahal, para jamaah yang lain masih duduk tenang menunggu instruksi dari ketua
rombongan.
“Sabar, Mbah Yem! Kita
menunggu perintah ketua rombongan!” tegur salah satu jamaah yang duduk
berdampingan dengan Mbah Siyem. Spontan Mbah Yem membatalkan niatnya. Dia duduk
lagi menuruti perintah temannya.
“Para Bapak, Ibu, kita
telah sampai di bandara. Kita jangan berpencar agar mudah koordinasinya.
Sekarang dicek lagi surat-surat dan barang bawaan yang ada dalam tas Bapak,
Ibu,” perintah ketua rombongan.
Para jamaah mengikuti
instruksi ketua rombongan, mereka mengecek surat-surat dan barang bawaan ringan
yang berada dalam tas jinjingnya, kecuali Mbah Siyem. Dia disibukkan membenahi
jilbabnya yang berantakan setelah menempuh perjalanan satu jam dari asrama
haji.
“Ayo, Mbah kita turun!”
ajak Romlah yang bermaksud memapahnya.
“Terima kasih! Tidak
usah menuntunku. Saya bisa berjalan
sendiri,” tolaknya dengan halus. Mbah Siyem turun dari bus. Kedua tangannya
mengagapi kursi di depannya sebagai pegangan agar tidak terjatuh.
Mbah Siyem yang
tubuhnya tidak tegak lagi berjalan membelah kerumunan orang-orang yang berada
di depannya. Dia terus berjalan tanpa ada tanda-tanda kelelahan. Dia ingin
segera naik pesawat.
Langkah trengginas Mbah
Siyem tidak mampu dikejar jamaah lain yang serombongan. Dia melesat bagai kilat
menyelinap di tengah kerumunan manusia. Langkah Mbah Siyem terganggu tas
pinggangnya. Tas kecil yang telah diikat di perutnya dilepas begitu saja. Tanpa
sadar tas kecil tersebut dibuang Mbah Siyem ke dalam tong sampah yang kebetulan
berada di sampingnya. Surat-surat penting seperti paspor dan visa turut masuk
dalam tong sampah itu.
Petugas bandara
mengecek satu persatu jamaah dengan detector.
Para jamaah dicek barang bawaannya. Tidak sedikit tas para jamaah terpaksa
dibongkar karena terdeteksi membawa barang bawaan yang dapat mengancam
keselamatan penerbangan. Selain diperiksa barang bawaannya, mereka juga dicek
paspor dan visanya.
Di tengah kesibukan
petugas bandara yang mengecek perlengkapan jamaah, Mbah Siyem melintas begitu
saja di depan mereka. Mbah Siyem masuk ke bandara tanpa melalui pemeriksaan
petugas. Dia naik pesawat lalu duduk di kursi nomor 10.
Tak ada satu pun
petugas atau jamaah calon haji lainnya yang curiga pada Mbah Siyem. Mereka membiarkan
Mbah Siyem lewat begitu saja tanpa melalui prosedur seperti yang dilakukan pada
para jamaah lainnya. Para jamaah mengalami pengecekan barang dan perlengkapan
dengan sangat ketat, sedangkan Mbah Siyem lolos begitu saja.
Jamaah calon haji
kloter 35 embarkasi Surabaya sudah lengkap. Mereka sudah berada dalam pesawat
dan duduk sesuai dengan nomor kursi masing-masing. Mbah Siyem duduk dengan
tenang. Tak ada satu pun jamaah atau pramugari yang mengusik ketenangannya.
Beberapa menit kemudian, pesawat lepas landas menuju bandara King Abdul Aziz.
Pesawat yang mengangkut
kloter Mbah Siyem mendarat dengan selamat di bandara terbesar di negeri minyak
ini. Para jamaah turun dari pesawat dengan tertib. Mereka dicek satu persatu
oleh para petugas keimigrasian yang berasal dari Arab Saudi. Para petugas
mengecek barang bawaan dan surat-surat penting jamaah calon haji dari embarkasi
Surabaya ini.
Ketika para petugas
sibuk memeriksa paspor dan visa jamaah, lagi-lagi Mbah Siyem bisa lolos dari
pemeriksaan. Tak ada petugas atau askar
yang menahan atau menegur nenek renta ini agar mengikuti pengecekan seperti
jamaah lainnya.
Ketua rombongan
mengumpulkan jamaah. Para jamaah diberi tahu bahwa sekarang mereka sudah berada
di tanah suci. Mereka disuruh istirahat sambil menunggu kendaraan hotel yang akan
mejemputnya.
“Mbah Yem mana?” tanya
ketua rombongan.
“Saya di sini,” jawab Mbah
Yem sambil menyeka keringatnya dengan sapu tangan.
Ketua rombongan
tersenyum simpul melihat kondisi jamaah tertua pada kloter 35 ini. Dia tidak
menyangka kalau Mbah Siyem sebugar ini.
Padahal, sebelumnya mereka khawatir dengan kondisi fisik Mbah Siyem karena
ibadah haji itu adalah ibadah yang membutuhkan fisik prima.
Mobil penjemput jamaah
calon haji datang. Mereka kemudian dibawa
ke hotel. Sesampai di hotel, mereka beristirahat sambil menikmati
hidangan yang telah disediakan. Baru separo ketua rombongan menikmati hidangan,
dia dikejutkan oleh suara panggilan yang ditujukan kepadanya. Ketua rombongan
bergegas bangkit lalu menuju ke sumber informasi.
“Bapak ketua rombongan
dari kloter 35 embarkasi Surabaya?” tanya petugas haji asal Indonesia. Ketua
rombongan menatap petugas itu dengan rasa penasaran.
Petugas haji itu
kemudian mengeluarkan tas kecil dari dalam tas besarnya. Dia menyerahkan tas kecil
yang di depannya tertempel foto Mbah Siyem.
“Ini tas Mbah Siyem?”
tanya ketua rombongan dengan raut muka heran.
“Benar Bapak. Ini tadi
ada petugas yang menemukan tas atas nama Siyem binti Tukijan di tong sampah
bandara Juanda Surabaya,” jelas petugas tersebut.
Ketua rombongan dari
kloter 35 ini bengong. Dia hampir tidak percaya tas ini berada dalam tong
sampah di bandara Juanda. Sesuatu yang sangat mustahil telah terjadi dan ini
adalah peristiwa nyata. Mbah Siyem tanpa membawa dokumen penting seperti paspor
dan visa, namun dia bisa lolos dari pemeriksaan petugas haji yang superketat
baik di tanah air maupun di tanah suci. Ketua rombongan lalu mencari Mbah Siyem
untuk menyerahkan tas tersebut. Semua jamaah yang menyaksikan peristiwa itu
menjadi terharu. Mereka menyadari bahwa Mbah Siyem ini bukan Mbah sembarangan.
Dia dianugerahi keistimewaan oleh Allah yang tidak dimiliki oleh jamaah lain.(*)
Lamongan, 10
Oktober 2015