Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Senin, 16 November 2015

Tas Kecil Mbah Siyem

Tas Kecil Mbah Siyem
Cerpen karya Ahmad Zaini

Lautan manusia tumpah ruah di asrama haji. Mereka saling berhimpitan dan berdesakan agar bisa melihat anggota keluarganya yang akan menjadi tamu Allah di Makkah dan Madinah. Derap langkah kaki para jamaah seperti irama derap tentara yang pergi ke medan jihad menyusuri jalan yang menuntun mereka ke kendaraan yang telah menunggunya. Dari sekian banyak jamaah haji terdapat Mbah Siyem. Dia adalah jamaah haji tertua dalam kloter 35. Mbah Siyem berusia 89 tahun.
“Minggir, Nak!” kata Mbah Siyem.
Saat mendengar seru Mbah Siyem, para jamaah yang berjalan di depannya yang rata-rata usianya lebih muda menyingkir. Mereka memperlambat jalannya sambil membelah barisan untuk memberi kesempatan Mbah Siyem berjalan terlebih dahulu.
“Mbah, hati-hati!” kata salah satu jamaah saat melihat Mbah Siyem berjalan dengan sangat trengginas.
Tanpa menoleh, Mbah Siyem tetap berjalan memecah iring-iringan jamaah lain yang berada di depannya. Laju Mbah Siyem bagai laju kapal yang membelah gelombang di samudra.
“Mbah Yem! Ini bus kita,” kata ketua rombongan calon jamaah haji menunjukkan Mbah Siyem yang akan menyelonong masuk bus rombongan lain.
Meskipun sudah renta, Mbah Siyem berangkat haji sendiri tanpa didampingi keluarga. Dia juga tidak dititipkan oleh keluarganya kepada jamaah lain seperti lazimnya orang yang berangkat haji seorang sendiri. Mbah Siyem merasa mampu menjalani ibadah haji sendiri tanpa pendamping.
“Si Mbah berangkat dengan siapa?” tanya Romlah, jamaah dari rombongan lain.
“Berangkat sendiri. Anak-anakku sudah berangkat haji semua. Tinggal saya yang belum.”
“Di tanah suci terdapat jutaan manusia. Mereka datang dari berbagai negara. Mbah setua ini berangkat sendiri tanpa pendamping. Saya khawatir terjadi apa-apa di sana.”
“Kita ini akan menjadi tamu Allah. Saya yakin Allah akan melindungi dan melayani saya,” kata Mbah Siyem tanpa khawatir sedikit pun.
Mbah Siyem mengambil sapu tangan dari kantong baju batik seragamnya. Dia menyeka keringat yang berleleran di kulit keriputnya. Jilbab putih berseri di lepas. Dia mengelap leher dan seluruh bagian kepala yang dibanjiri keringat.
“Maaf, Nek! Jilbab harap dikenakan lagi karena di bus ini terdapat jamaah laki-laki juga,” tegur ketua rombongan.
“Oh, iya!” kata Mbah Yem yang hampir saja membuang jilbabnya di tempat sampah yang berada di kolong kursi bus.
Tenaga Mbah Yem memang tak diragukan lagi. Dia kuat dan tahan banting. Akan tetapi, sifat pikunnya yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini tidak terlepas dari usia Mbah Siyem yang hampir berkepala Sembilan.
Ketua rombongan mengecek seluruh jamaah di bawah binaannya. Satu persatu dipanggili. Setiap jamaah yang mengacungkan tangannya disuruh mengecek perlengkapan administrasinya seperti paspor, visa dan yang lain-lainnya yang dimasukkan dalam tas kecil.
“Mbah Yem, bagaimana perlengkapannya?” tanya ketua rombongan.
Dengan rasa percaya diri yang sangat tinggi, Mbah Siyem menunjukkan tas kecil yang diikatkan di perutnya.
Seluruh jamaah sudah berada dalam bus. Setelah barang bawaan dan surat-suratnya sudah lengkap, ketua rombongan memberi isyarat kepada sopir agar menjalankan busnya menuju bandara Juanda. Mbah Siyem yang duduk di bangku nomor dua dari depan mulutnya berkomat-kamit. Dia tidak henti-hentinya berdzikir dan membaca salawat.
Mbah Siyem memiliki kebiasaan yang jarang dimiliki orang lain. Dia istiqomah berdzikir dan membaca salawat baik ketika senggang maupun saat sibuk. Keajegan seperti ini sudah dilakukan Mbah Siyem semenjak dia masih belia.
Ketika sampai di bandara Juanda, Mbah Siyem berdiri. Dia akan turun dari bus terlebih dahulu. Padahal, para jamaah yang lain masih duduk tenang menunggu instruksi dari ketua rombongan.
“Sabar, Mbah Yem! Kita menunggu perintah ketua rombongan!” tegur salah satu jamaah yang duduk berdampingan dengan Mbah Siyem. Spontan Mbah Yem membatalkan niatnya. Dia duduk lagi menuruti perintah temannya.
“Para Bapak, Ibu, kita telah sampai di bandara. Kita jangan berpencar agar mudah koordinasinya. Sekarang dicek lagi surat-surat dan barang bawaan yang ada dalam tas Bapak, Ibu,” perintah ketua rombongan.
Para jamaah mengikuti instruksi ketua rombongan, mereka mengecek surat-surat dan barang bawaan ringan yang berada dalam tas jinjingnya, kecuali Mbah Siyem. Dia disibukkan membenahi jilbabnya yang berantakan setelah menempuh perjalanan satu jam dari asrama haji.
“Ayo, Mbah kita turun!” ajak Romlah yang bermaksud memapahnya.
“Terima kasih! Tidak usah menuntunku.  Saya bisa berjalan sendiri,” tolaknya dengan halus. Mbah Siyem turun dari bus. Kedua tangannya mengagapi kursi di depannya sebagai pegangan agar tidak terjatuh.
Mbah Siyem yang tubuhnya tidak tegak lagi berjalan membelah kerumunan orang-orang yang berada di depannya. Dia terus berjalan tanpa ada tanda-tanda kelelahan. Dia ingin segera naik pesawat.
Langkah trengginas Mbah Siyem tidak mampu dikejar jamaah lain yang serombongan. Dia melesat bagai kilat menyelinap di tengah kerumunan manusia. Langkah Mbah Siyem terganggu tas pinggangnya. Tas kecil yang telah diikat di perutnya dilepas begitu saja. Tanpa sadar tas kecil tersebut dibuang Mbah Siyem ke dalam tong sampah yang kebetulan berada di sampingnya. Surat-surat penting seperti paspor dan visa turut masuk dalam tong sampah itu.
Petugas bandara mengecek satu persatu jamaah dengan detector. Para jamaah dicek barang bawaannya. Tidak sedikit tas para jamaah terpaksa dibongkar karena terdeteksi membawa barang bawaan yang dapat mengancam keselamatan penerbangan. Selain diperiksa barang bawaannya, mereka juga dicek paspor dan visanya.
Di tengah kesibukan petugas bandara yang mengecek perlengkapan jamaah, Mbah Siyem melintas begitu saja di depan mereka. Mbah Siyem masuk ke bandara tanpa melalui pemeriksaan petugas. Dia naik pesawat lalu duduk di kursi nomor 10.
Tak ada satu pun petugas atau jamaah calon haji lainnya yang curiga pada Mbah Siyem. Mereka membiarkan Mbah Siyem lewat begitu saja tanpa melalui prosedur seperti yang dilakukan pada para jamaah lainnya. Para jamaah mengalami pengecekan barang dan perlengkapan dengan sangat ketat, sedangkan Mbah Siyem lolos begitu saja.
Jamaah calon haji kloter 35 embarkasi Surabaya sudah lengkap. Mereka sudah berada dalam pesawat dan duduk sesuai dengan nomor kursi masing-masing. Mbah Siyem duduk dengan tenang. Tak ada satu pun jamaah atau pramugari yang mengusik ketenangannya. Beberapa menit kemudian, pesawat lepas landas menuju bandara King Abdul Aziz.
Pesawat yang mengangkut kloter Mbah Siyem mendarat dengan selamat di bandara terbesar di negeri minyak ini. Para jamaah turun dari pesawat dengan tertib. Mereka dicek satu persatu oleh para petugas keimigrasian yang berasal dari Arab Saudi. Para petugas mengecek barang bawaan dan surat-surat penting jamaah calon haji dari embarkasi Surabaya ini.
Ketika para petugas sibuk memeriksa paspor dan visa jamaah, lagi-lagi Mbah Siyem bisa lolos dari pemeriksaan. Tak ada petugas atau askar yang menahan atau menegur nenek renta ini agar mengikuti pengecekan seperti jamaah lainnya.
Ketua rombongan mengumpulkan jamaah. Para jamaah diberi tahu bahwa sekarang mereka sudah berada di tanah suci. Mereka disuruh istirahat sambil menunggu kendaraan hotel yang akan mejemputnya.
“Mbah Yem mana?” tanya ketua rombongan.
“Saya di sini,” jawab Mbah Yem sambil menyeka keringatnya dengan sapu tangan.
Ketua rombongan tersenyum simpul melihat kondisi jamaah tertua pada kloter 35 ini. Dia tidak menyangka kalau Mbah Siyem  sebugar ini. Padahal, sebelumnya mereka khawatir dengan kondisi fisik Mbah Siyem karena ibadah haji itu adalah ibadah yang membutuhkan fisik prima.
Mobil penjemput jamaah calon haji datang. Mereka kemudian dibawa  ke hotel. Sesampai di hotel, mereka beristirahat sambil menikmati hidangan yang telah disediakan. Baru separo ketua rombongan menikmati hidangan, dia dikejutkan oleh suara panggilan yang ditujukan kepadanya. Ketua rombongan bergegas bangkit lalu menuju ke sumber informasi.
“Bapak ketua rombongan dari kloter 35 embarkasi Surabaya?” tanya petugas haji asal Indonesia. Ketua rombongan menatap petugas itu dengan rasa penasaran.
Petugas haji itu kemudian mengeluarkan tas kecil dari dalam tas besarnya. Dia menyerahkan tas kecil yang di depannya tertempel foto Mbah Siyem.
“Ini tas Mbah Siyem?” tanya ketua rombongan dengan raut muka heran.
“Benar Bapak. Ini tadi ada petugas yang menemukan tas atas nama Siyem binti Tukijan di tong sampah bandara Juanda Surabaya,” jelas petugas tersebut.
Ketua rombongan dari kloter 35 ini bengong. Dia hampir tidak percaya tas ini berada dalam tong sampah di bandara Juanda. Sesuatu yang sangat mustahil telah terjadi dan ini adalah peristiwa nyata. Mbah Siyem tanpa membawa dokumen penting seperti paspor dan visa, namun dia bisa lolos dari pemeriksaan petugas haji yang superketat baik di tanah air maupun di tanah suci. Ketua rombongan lalu mencari Mbah Siyem untuk menyerahkan tas tersebut. Semua jamaah yang menyaksikan peristiwa itu menjadi terharu. Mereka menyadari bahwa Mbah Siyem ini bukan Mbah sembarangan. Dia dianugerahi keistimewaan oleh Allah yang tidak dimiliki oleh jamaah lain.(*)
Lamongan, 10 Oktober 2015