Emak-Emak
Perkasa
Cerpen karya Ahmad Zaini
Fajar pagi baru tiba. Warna jingga masih menggores langit
yang masih meremang. Kabut tebal belum melepas dekapannya pada kampung petani,
sebutan kampung yang berada di bantaran Bengawan Solo ini. Demikian juga embun.
Butir-butirnya masih terlihat bening menempel di rerumput sepanjang jalan.
Kaki-kaki tanpa alas yang melintas dan menyapu butiran embun, akan terasa
dingin dan segar. Konon embun pagi itu bisa digunakan sebagai terapi penyakit
linu.
Kampung petani masih lengang. Jalanan masih sepi. Binatang
peliharaan warga juga masih ditahan di kandang. Mereka belum berani melepas
ayamnya karena khawatir kokoknya mengganggu tetangga yang masih tidur pulas.
Kambing-kambing juga masih terikat di kandang. Binatang yang dapat digunakan
sebagai kurban Idul Adha itu juga belum dipindah ke luar kandang. Pemilik
kambing takut embiknya bisa membangunkan anak-anak yang masih meringkuk
di bawah ketiak ibunya.
Meski matahari belum muncul, terlihat iringan emak-emak menyusur
jalan kampung yang masih petang menuju ke sawah. Mereka bercakap-cakap dan
sesekali disertai dengan bergurau. Dengung percakapan mereka terdengar seperti
dengung kawanan lebah yang mengerubuti mekar bunga di kanan-kiri jalan yang
dilaluinya.
”Yuk Jah, kekurangan wineh di sawah Gus Jan
kemarin bagaimana?” tanya Kasri sambil berjalan akas.
”Sudah tercukupi Yuk Sri. Diambilkan wineh dari tampekan
Gus Suto,” jawab Senijah yang giginya masih gemeretak menggilas marning yang
memenuhi mulutnya.
Percakapan mereka terus mengalir dan baru berhenti ketika
kaki-kaki mereka menginjak lumpur di pesawahan, tempat mereka akan tandur.
Di sawah terlihat dengan samar sosok lelaki yang sedang tempah.
Tangan kekarnya mengangkati wineh, lalu membanjarnya dengan rata di
hamparan sawah. Hal ini dilakukan agar nanti para emak yang tandur bisa
dengan mudah menjangkau wineh-wineh yang sudah tersedia di dekatnya.
Sosok lelaki yang tak lain adalah pemilik sawah itu
menghampiri emak-emak yang baru tiba di sawahnya. Dia mengecek emak-emak perkasa
yang sudah datang dan siap bergelut dengan lumpur di sawahnya.
”Sudah lengkap dan siap tandur, Gus,” jawab
Senijah yang masih sibuk membungkus tangannya dengan kaos kaki bekas milik
anaknya.
”Syukurlah. Bila nanti kekurangan wineh, supaya
lapor ke saya,” pesan lelaki itu.
”Sampean mau ke mana?” sambung Kasri.
”Yo, tidak ke mana-mana,” jawab lelaki itu dengan
enteng.
”Walah, kalau tidak ke mana-mana, yo nggak usah
lapor-laporan,” celetuk Supateni yang sedang memakai sepatu khusus dirancang
untuk mengamankan kakinya dari cangkang keong sawah atau besusul.
Lelaki pemilik sawah itu menepi. Dia duduk di pematang
sambil menyeruput sebungkus kopi yang dibelinya dari warung kopi Yuk Jaenah.
Tanpa dikomando, para emak-emak itu langsung terjun ke
sawah. Mereka bertarung dengan lumpur untuk menandur wineh di lahan
sawah berlumpur dan berair tipis. Mereka bekerja dengan giat tak mengenal
lelah. Mereka tidak pernah mengeluh kecapekan. Mereka setiap hari bekerja
sebagai tenaga tandur di sawah orang lain tanpa pernah berhenti. Mereka
bekerja untuk membantu suami mencari nafkah agar dapur terus bisa mengepul.
Para emak ini tidak pernah gengsi. Meskipun pekerjaan ini
tergolong berat, mereka tidak pernah iri pada suaminya. Mereka tidak mau
berdiam diri di rumah menunggu suami pulang kerja. Mereka tidak mau disebut sebagai
istri yang hanya bisa menerima, lalu menghabiskan uang belanja pemberian suaminya.
Mereka ingin mendapatkan penghasilan sebagaimana suami-suami mereka. Mereka
melakukannya dengan penuh keikhlasan.
Para emak sangat menyadari bahwa kebutuhan hidup zaman
sekarang sangat tinggi. Bila tidak bisa mengatur pengeluaran, berapa pun uang
yang diberi suami akan habis dalam waktu sehari, bahkan dalam hitungan jam. Makanya,
emak-emak perkasa ini tidak pernah menolak bila ada orang yang mengajak kerja tandur
di sawah.
Kedua tangan para emak terampil bekerja. Tangan kiri
memegang wineh, tangan kanan menancapkannya pada lahan sawah yang
berlumpur dan berair tipis. Mereka menandur wineh dengan berjalan
mundur. Mereka menandur wineh satu demi satu dengan lurus tanpa bantuan
benang yang dibentangkan dari satu titik ke titik berikutnya karena sudah
terbiasa melakukannya.
Matahari pagi sudah beranjak tinggi. Sinar hangatnya
menambah semangat emak-emak bekerja. Tangan-tangan mereka semakin perkasa,
semakin cekatan menandur wineh di hamparan sawah.
”Sepertinya wineh yang kita genggam ini kurang. Persediaan
yang ada ini akan habis dalam sekali jalan,” lapor Senijah pada lelaki pemilik
sawah dengan setengah berteriak.
”Kurang berapa larik?” lantang suara lelaki itu
menanyakan kekurangan wineh dari pematang sawah.
”Kurang lima larik,” teriak Senijah menimpali pertanyaan
lelaki itu.
Tanpa basa-basi lelaki itu bangkit dari pematang. Dia
bergegas menuju tampekan yang berada di sudut sawah. Ia ndaut wineh
dengan cepat sekali. Tidak sampai sepuluh menit, wineh-wineh itu sudah
tercerabut dari tampekan. Laki-laki itu mengikat lalu mengantarkan wineh
ke para emak yang masih sibuk tandur.
”Matur suwun, Gus! Kembalilah ke pematang
menyeruput kopi yang masih tersisa!” seloroh Supateni.
”Seruput apanya? Kopi sudah habis,” sahut lelaki itu
sambil meninggalkan mereka yang masih bekerja. Di pematang lelaki itu duduk
sambil melihat tanduran yang hampir rata berdiri di sawahnya.
Para emak hampir menyelesaikan tugasnya. Mereka tinggal
membutuhkan sekali jalan lagi untuk merampungkannya. Wajah-wajah mereka tetap semringah
menantang sinar matahari yang mulai terasa panas. Tatapan matanya penuh
semangat sebagaimana sinar matahari siang itu yang tak meredupkan sinarnya
menerangi bumi. Gurat wajahnya tak sedikitpun menyiratkan aura kecapekan atau
kekesalan. Mereka dengan senang hati bekerja demi membantu suami untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga. Tekad mereka adalah untuk menghapus kesan bahwa istri
bisanya hanya menengadahkan tangan untuk menerima nafkah dari suami. Mereka
ingin menujukkan bahwa wanita bukanlah manusia lemah. Wanita juga bisa bekerja
dan punya penghasilan seperti para lelaki.
”Sudah selesai?” tanya lelaki itu saat melihat para
pekerjanya sudah mentas dari
sawah.
”Sudah, Gus,” jawab mereka serentak.
”Beristirahatlah dulu di bawah pohon trembesi itu sambil
menunggu kiriman istri,” pinta lelaki itu.
”Iya, iya,” sahutnya.
Para emak itu berjalan menuju kubangan air yang bening.
Mereka membersihkan kaki dan tangannya dari balutan lumpur. Setelah kaki dan tangan
bersih, mereka meninggalkan kubangan yang kini airnya berubah keruh menuju
tempat yang ditunjuk oleh pemilik sawah. Mereka duduk di bawah pohon trembesi
yang berdaun rindang seperti payung.
Di bawah pohon trembesi emak-emak ini beristirahat.
Mereka duduk-duduk sambil membahas jadwal kerja berikutnya. Biasanya mereka
dalam sehari bisa bekerja di dua tempat yang berbeda. Pagi di sawah si A,
siangnya di sawah si B. Mereka tidak pernah berhenti tandur sampai musim
tandur sudah selesai.
Bila lapangan kerja sebagai tenaga tandur sudah
habis masa ’kontrak’, mereka tidak lantas menganggur begitu saja. Mereka akan mencari
peluang kerja baru. Misalnya, saat tanduran padi di sawah sudah mengakar
dan tumbuh subur, biasanya gulma berupa rumput-rumput liar akan bermunculan. Mereka
pun beralih pekerjaan dari tenaga tandur menjadi tenaga matun.
Mereka akan menerima tawaran matun dari para petani yang kuwalahan
menyiangi rumput liar sendirian di sawahnya.
”Yuk, kemarilah! Ayo, makan bersama-sama!” ajak
istri lelaki yang baru tiba di gubuk sawah..
Para Emak-emak itu bergegas menuju gubuk untuk makan
siang. Mereka menikmati menu nasi jagung, sayur lodeh, dan lauk tahu serta ikan
pindang. Menu yang sangat cocok untuk mengusir jenuh karena sedari pagi sampai
siang mereka bergelut dengan lumpur sawah.
Setelah makan siang, lelaki itu menghampiri emak-emak. Dia menyampaikan ucapan
terima kasih sambil memberikan amplop berisi uang sebagai upah kepada mereka.
Usai makan dan menerima upah dari lelaki tersebut, emak-emak
berpindah tempat ke sawah lain yang jaraknya tidak jauh dari sawah lelaki itu.
Mereka telah dipesan tenaga tandurnya oleh Tarmijo pada dua hari yang
lalu. (*)
*Penulis merupakan guru di SMK Negeri 1 Lamongan
Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Tadarus Hujan
(Februari, 2019)
Dia tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan