Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 28 April 2019

Ema-Emak Perkasa, Cerpen Jawa Pos Grup Radar Bojonegoro, Minggu, 28 April 2019


 Emak-Emak Perkasa
Cerpen karya Ahmad Zaini

Fajar pagi baru tiba. Warna jingga masih menggores langit yang masih meremang. Kabut tebal belum melepas dekapannya pada kampung petani, sebutan kampung yang berada di bantaran Bengawan Solo ini. Demikian juga embun. Butir-butirnya masih terlihat bening menempel di rerumput sepanjang jalan. Kaki-kaki tanpa alas yang melintas dan menyapu butiran embun, akan terasa dingin dan segar. Konon embun pagi itu bisa digunakan sebagai terapi penyakit linu.
Kampung petani masih lengang. Jalanan masih sepi. Binatang peliharaan warga juga masih ditahan di kandang. Mereka belum berani melepas ayamnya karena khawatir kokoknya mengganggu tetangga yang masih tidur pulas. Kambing-kambing juga masih terikat di kandang. Binatang yang dapat digunakan sebagai kurban Idul Adha itu juga belum dipindah ke luar kandang. Pemilik kambing takut embiknya bisa membangunkan anak-anak yang masih meringkuk di bawah ketiak ibunya.
Meski matahari belum muncul, terlihat iringan emak-emak menyusur jalan kampung yang masih petang menuju ke sawah. Mereka bercakap-cakap dan sesekali disertai dengan bergurau. Dengung percakapan mereka terdengar seperti dengung kawanan lebah yang mengerubuti mekar bunga di kanan-kiri jalan yang dilaluinya.
”Yuk Jah, kekurangan wineh di sawah Gus Jan kemarin bagaimana?” tanya Kasri sambil berjalan akas.
”Sudah tercukupi Yuk Sri. Diambilkan wineh dari tampekan Gus Suto,” jawab Senijah yang giginya masih gemeretak menggilas marning yang memenuhi mulutnya.
Percakapan mereka terus mengalir dan baru berhenti ketika kaki-kaki mereka menginjak lumpur di pesawahan, tempat mereka akan tandur.
Di sawah terlihat dengan samar sosok lelaki yang sedang tempah. Tangan kekarnya mengangkati wineh, lalu membanjarnya dengan rata di hamparan sawah. Hal ini dilakukan agar nanti para emak yang tandur bisa dengan mudah menjangkau wineh-wineh yang sudah tersedia di dekatnya.
Sosok lelaki yang tak lain adalah pemilik sawah itu menghampiri emak-emak yang baru tiba di sawahnya. Dia mengecek emak-emak perkasa yang sudah datang dan siap bergelut dengan lumpur di sawahnya.
”Sudah lengkap dan siap tandur, Gus,” jawab Senijah yang masih sibuk membungkus tangannya dengan kaos kaki bekas milik anaknya.
”Syukurlah. Bila nanti kekurangan wineh, supaya lapor ke saya,” pesan lelaki itu.
Sampean mau ke mana?” sambung Kasri.
Yo, tidak ke mana-mana,” jawab lelaki itu dengan enteng.
Walah, kalau tidak ke mana-mana, yo nggak usah lapor-laporan,” celetuk Supateni yang sedang memakai sepatu khusus dirancang untuk mengamankan kakinya dari cangkang keong sawah atau besusul.
Lelaki pemilik sawah itu menepi. Dia duduk di pematang sambil menyeruput sebungkus kopi yang dibelinya dari warung kopi Yuk Jaenah.
Tanpa dikomando, para emak-emak itu langsung terjun ke sawah. Mereka bertarung dengan lumpur untuk menandur wineh di lahan sawah berlumpur dan berair tipis. Mereka bekerja dengan giat tak mengenal lelah. Mereka tidak pernah mengeluh kecapekan. Mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga tandur di sawah orang lain tanpa pernah berhenti. Mereka bekerja untuk membantu suami mencari nafkah agar dapur terus bisa mengepul.
Para emak ini tidak pernah gengsi. Meskipun pekerjaan ini tergolong berat, mereka tidak pernah iri pada suaminya. Mereka tidak mau berdiam diri di rumah menunggu suami pulang kerja. Mereka tidak mau disebut sebagai istri yang hanya bisa menerima, lalu menghabiskan uang belanja pemberian suaminya. Mereka ingin mendapatkan penghasilan sebagaimana suami-suami mereka. Mereka melakukannya dengan penuh keikhlasan.
Para emak sangat menyadari bahwa kebutuhan hidup zaman sekarang sangat tinggi. Bila tidak bisa mengatur pengeluaran, berapa pun uang yang diberi suami akan habis dalam waktu sehari, bahkan dalam hitungan jam. Makanya, emak-emak perkasa ini tidak pernah menolak bila ada orang yang mengajak kerja tandur di sawah.
Kedua tangan para emak terampil bekerja. Tangan kiri memegang wineh, tangan kanan menancapkannya pada lahan sawah yang berlumpur dan berair tipis. Mereka menandur wineh dengan berjalan mundur. Mereka menandur wineh satu demi satu dengan lurus tanpa bantuan benang yang dibentangkan dari satu titik ke titik berikutnya karena sudah terbiasa melakukannya.
Matahari pagi sudah beranjak tinggi. Sinar hangatnya menambah semangat emak-emak bekerja. Tangan-tangan mereka semakin perkasa, semakin cekatan menandur wineh di hamparan sawah.
”Sepertinya wineh yang kita genggam ini kurang. Persediaan yang ada ini akan habis dalam sekali jalan,” lapor Senijah pada lelaki pemilik sawah dengan setengah berteriak.
”Kurang berapa larik?” lantang suara lelaki itu menanyakan kekurangan wineh dari pematang sawah.
”Kurang lima larik,” teriak Senijah menimpali pertanyaan lelaki itu.
Tanpa basa-basi lelaki itu bangkit dari pematang. Dia bergegas menuju tampekan yang berada di sudut sawah. Ia ndaut wineh dengan cepat sekali. Tidak sampai sepuluh menit, wineh-wineh itu sudah tercerabut dari tampekan. Laki-laki itu mengikat lalu mengantarkan wineh ke para emak yang masih sibuk tandur.
Matur suwun, Gus! Kembalilah ke pematang menyeruput kopi yang masih tersisa!” seloroh Supateni.
”Seruput apanya? Kopi sudah habis,” sahut lelaki itu sambil meninggalkan mereka yang masih bekerja. Di pematang lelaki itu duduk sambil melihat tanduran yang hampir rata berdiri di sawahnya.
Para emak hampir menyelesaikan tugasnya. Mereka tinggal membutuhkan sekali jalan lagi untuk merampungkannya. Wajah-wajah mereka tetap semringah menantang sinar matahari yang mulai terasa panas. Tatapan matanya penuh semangat sebagaimana sinar matahari siang itu yang tak meredupkan sinarnya menerangi bumi. Gurat wajahnya tak sedikitpun menyiratkan aura kecapekan atau kekesalan. Mereka dengan senang hati bekerja demi membantu suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Tekad mereka adalah untuk menghapus kesan bahwa istri bisanya hanya menengadahkan tangan untuk menerima nafkah dari suami. Mereka ingin menujukkan bahwa wanita bukanlah manusia lemah. Wanita juga bisa bekerja dan punya penghasilan seperti para lelaki.
”Sudah selesai?” tanya lelaki itu saat melihat para pekerjanya sudah mentas  dari sawah.
”Sudah, Gus,” jawab mereka serentak.
”Beristirahatlah dulu di bawah pohon trembesi itu sambil menunggu kiriman istri,” pinta lelaki itu.
”Iya, iya,” sahutnya.
Para emak itu berjalan menuju kubangan air yang bening. Mereka membersihkan kaki dan tangannya dari balutan lumpur. Setelah kaki dan tangan bersih, mereka meninggalkan kubangan yang kini airnya berubah keruh menuju tempat yang ditunjuk oleh pemilik sawah. Mereka duduk di bawah pohon trembesi yang berdaun rindang seperti payung.
Di bawah pohon trembesi emak-emak ini beristirahat. Mereka duduk-duduk sambil membahas jadwal kerja berikutnya. Biasanya mereka dalam sehari bisa bekerja di dua tempat yang berbeda. Pagi di sawah si A, siangnya di sawah si B. Mereka tidak pernah berhenti tandur sampai musim tandur sudah selesai.
Bila lapangan kerja sebagai tenaga tandur sudah habis masa ’kontrak’, mereka tidak lantas menganggur begitu saja. Mereka akan mencari peluang kerja baru. Misalnya, saat tanduran padi di sawah sudah mengakar dan tumbuh subur, biasanya gulma berupa rumput-rumput liar akan bermunculan. Mereka pun beralih pekerjaan dari tenaga tandur menjadi tenaga matun. Mereka akan menerima tawaran matun dari para petani yang kuwalahan menyiangi rumput liar sendirian di sawahnya.
Yuk, kemarilah! Ayo, makan bersama-sama!” ajak istri lelaki yang baru tiba di gubuk sawah..
Para Emak-emak itu bergegas menuju gubuk untuk makan siang. Mereka menikmati menu nasi jagung, sayur lodeh, dan lauk tahu serta ikan pindang. Menu yang sangat cocok untuk mengusir jenuh karena sedari pagi sampai siang mereka bergelut dengan lumpur sawah.
Setelah makan siang, lelaki itu  menghampiri emak-emak. Dia menyampaikan ucapan terima kasih sambil memberikan amplop berisi uang sebagai upah kepada mereka.
Usai makan dan menerima upah dari lelaki tersebut, emak-emak berpindah tempat ke sawah lain yang jaraknya tidak jauh dari sawah lelaki itu. Mereka telah dipesan tenaga tandurnya oleh Tarmijo pada dua hari yang lalu. (*)

*Penulis merupakan guru di SMK Negeri 1 Lamongan
Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Tadarus Hujan (Februari, 2019)
Dia tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan