Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 12 Desember 2020

Tahun Duka Robiah, cerpen Lembar Budaya Jawa Pos grup Radar Bjn, Minggu, 13 Desember 2020


 

Tahun Duka Robiah

Cerpen karya Ahmad Zaini


Malam itu purnama bersinar tak sempurna. Cahayanya terhalang mendung di awal pergantian musim. Semilir angin sesekali menyibak gumpalan mendung yang menutup wajah planet malam itu. Purnama menyempatkan diri menyinari sebuah ruang isolasi yang dihuni Robiah berserta keempat anaknya yang masih kecil. 

Robiah terjaga di malam itu. Mata sayunya menatap jarum jam dinding yang berlabuh di angka dua belas. Wanita yang sedang menjalani ujian jiwa dan raga ini turun dari ranjang menuju toilet di sudut ruang isolasi. Rupanya hujan sore itu telah mengubah udara malam menjadi sangat dingin sehingga Robiah beberapa kali harus bangun untuk buang air kecil.

Wanita berambut sepundak ini hendak merebahkan tubuhnya di pembaringan. Namun, tubuhnya tiba-tiba seperti ada yang menahan saat pendangannya menatap keempat anaknya yang tertidur pulas. Ia turun lagi dari pembaringan untuk membenahi selimut anak keempat yang sempat melorot hingga kakinya. Dengan penuh kasih sayang, bibir Robiah mengecup kening anak bungsunya yang sedang bermimpi bertemu dengan ayah, nenek, dan kakeknya di surga.

Robiah tak mampu memejamkan matanya. Pandangan Robiah selalu mengarah ke anak-anaknya. Bayangan demi bayangan masa depan anak-anaknya menahan kelopak mata menutup korneanya. Ia hampir tak mampu berpikir bagaimana nanti masa depan mereka.

”Robiah, kamu harus tegar. Kamu harus tabah menghadapi ujian ini. Kamu jangan larut dalam kesedihan. Fokuslah pada masa depan anak-anakmu. Mereka generasi penerus orang-orang tercintamu yang sekarang sudah damai di alamnya,” bisik Santi, teman akrabnya menjelang keberangkatan ke tempat isolasi di rumah sakit.

Bagaimana seorang wanita mampu memikirkan masa depan keempat anak yang masih kecil sendirian? Pertanyaan seperti ini selalu muncul dari dalam hati Robiah. Ia ragu dapat menjalaninya. Robiah sangat beruntung mempunyai teman-teman yang sangat perhatian padanya. Beberapa pesan yang masuk di ponselnya memberikan nutrisi semangat hidup bagi diri dan anak-anaknya.

”Kelahiran anak-anakmu adalah kehendak Allah. Rezeki mereka telah tersedia. Jangan anggap setelah berpulangnya orang-orang tercintamu, anak-anakmu jadi telantar. Itu anggapan yang salah. Sekali lagi pemberi rezeki dan penentu masa depan anak-anakmu adalah Allah, bukan orang-orang tercintamu yang telah mendahuluimu untuk menghadap ke hadiratNya,” tukas Khozin, teman akrab suaminya.

Hati Robiah menjadi tenang setelah membaca pesan-pesan teman karibnya. Samangat sembuh dan hidup untuk membangun masa depan anak-anaknya kembali bangkit. Robiah sadar bahwa dia hidup tidak hanya beserta keempat anaknya, tetapi juga bersama teman-temannya. 

***

Dalam lingkaran kalender tahun ini, Robiah kehilangan orang-orang yang sangat peduli dan perhatian padanya. Orang-orang yang sangat menyayangi dan menjadi inspirasi dalam hidupnya. Mereka satu persatu menghadap ke pangkuan Tuhan. Mereka meninggal dalam rentang waktu yang tak lama. 

Bulan Mei merupakan awal masa kesedihan Robiah. Mertuanya meninggal dunia. Ayah dari suaminya ini meninggal secara mendadak. Lebih sedih lagi para tetangga menduga mertuanya meninggal karena terpapar virus yang sangat berbahaya. Para tetangga tidak ada yang berani datang ke rumah mertuanya untuk bertakziyah. Mereka takut tertular virus.

Berselang lima bulan, tepatnya bulan November ibu kandung Robiah sakit. Masa sakitnya juga tidak lama. Tidak sampai seminggu. Hasil pemeriksaan dokter, ibunya juga diduga terpapar virus yang sama seperti mertuanya. Sakit ibunya semakin hari semakin parah. Akhirnya, ibu kandung Robiah juga menghadap ke Sang Pencipta.

Robiah telah kehilangan dua orang tuanya. Orang tua mertua dan orang tua kandung. Robiah terpukul atas peristiwa tersebut. Namun, Robiah tahu dan paham bahwa kematian itu adalah kehendak Allah. Hak prerogatif Allah. Tidak ada manusia yang bisa menolak takdir kematian. Dia sangat mengerti dan memahami bahwa semua manusia yang hidup ini akan mengalami kematian. Ibarat sebuah bangunan, kematian adalah pintunya. Semua orang pasti akan melewati pintu tersebut. Hanya saja Allah merahasiakan kapan dan di mana ajal menjemput manusia. Pada usia berapa dan dalam keadaan bagaimana kematian itu terjadi. Semua manusia tidak ada yang tahu. Yang paling penting adalah manusia harus selalu berbuat kebajikan ketika hidup agar saat ajal menjemput, perjalanan hidupnya berakhir khusnul khotimah.

”Mbak Robiah, Mas Naufal, Mas Naufal,” lapor salah satu tetangga dekatnya dengan tergopoh-gopoh.

”Kenapa, kenapa suamiku?” tanya Robiah dengan perasaan yang tidak menentu.

”Mas Naufal pingsan. Sekarang dia dibawa ke rumah sakit oleh teman-temannya,” jelasnya.

Setelah mendengar penjelasan tetangganya, jiwa Robiah terguncang-guncang. Jantungnya berdegub kencang. Ia takut. Ia teringat peristiwa kematian yang telah merenggut dua orang tua sebelumnya. Pikiranya semrawut tak beraturan. Ia menjerit hingga keempat anaknya berlarian mendekat dan memeluk dirinya.

”Ada apa, Ma? Ada apa, kok, Mama menangis?” tanya anak sulungnya.

Robiah tak mampu membuka mulut untuk menjawab pertanyaan anaknya. Dia menggandeng keempat anaknya berjalan pelan masuk ke rumah. Dengan derai air mata, Robiah berusaha tetap tegar sambil berdoa semoga suaminya tidak apa-apa. 

Mendung benar-benar memayungi kehidupan keluarga Robiah. Ia bertubi-tubi dirundung duka. Robiah berusaha menenagkan diri. Ia duduk sambil berharap-harap cemas pada kabar perkembangan suaminya. Maklum, ia hanya bisa menunggu kabar karena tidak bisa meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil-kecil di rumah. Dia tidak bisa berangkat ke rumah sakit untuk menunggui suaminya yang sedang menjalani perawatan.

Wajah ibu dari empat anak yang masih kecil-kecil ini menampakkan kecemasan. Kerut di keningnya terlihat jelas. Apalagi semenjak pagi dia belum sempat memoles wajah dengan make up istimewa hadiah ulang tahun dari suaminya tercinta. Jelas sekali wajah Robiah menggambarkan jiwanya sedang berada dalam kondisi tak menentu.

Beberapa kali Robiah hendak mengusir rasa itu dengan mengajak bicara anak-anaknya yang masih bergelayut di kedua lengannya. Namun, usaha itu selalu gagal. wajarlah, karena sekarang ini tinggal suaminya yang bisa diharapkan bisa melindungi dan mendampingi dirinya dalam mengasuh dan membina anak-anak. 

”Sekuat-kuatnya wanita tak mungkin bisa hidup sendiri bersama keempat anaknya yang masih kecil secara normal tanpa bantuan orang lain. Tumpuan terakhirnya dalam menjalani hidup sesudah kematian kedua orang tua terkasihnya adalah suami. Lebih-lebih Robiah anak tunggal. Dia tidak punya siapa-siapa lagi selain suaminya saat ini,” cibir salah satu tetangga yang sempat iri pada kedamaian di rumah Robiah sebelumnya. 

Robiah melepas perlahan rangkulan anak-anaknya. Ia menyandarkan anak-anaknya di kursi. Ia mengambil ponsel yang berdering di atas meja. Tangannya terasa berat bergerak untuk mengambil ponsel. Ia khawatir kabar buruk bakal diterimanya. Ketakutan itu buyar. Tangannya berubah menjadi gesit. Ia menyambar ponsel tersebut setelah mengetahui yang menelepon dirinya adalah sang suami.

”Selamat siang, Bu Robiah! Ini kami dari pihak rumah sakit mengabarkan bahwa suami Ibu telah meninggal dunia. Mohon Ibu bersabar dan bertawakkal kepada Tuhan!” suara salah satu petugas rumah sakit yang menelepon Robiah dengan menggunakan ponsel suaminya.

Darah yang mengalir di tubuh Robiah seakan berhenti. Ia berdiri seperti patung. Energi di sekujur tubuhnya sirna dengan perlahan. Jari-jari yang menggenggam ponsel melemah. Kekuatannya hilang meski hanya dibuat menggenggam ponsel. Ponsel jatuh hingga pecah berantakan.

”Mama...!” jerit anak-anaknya yang seketika mengembalikan kekuatannya.

Robiah duduk lantas merengkul keempat anaknya. Mereka larut ke dalam tangis karena kehilangan orang terakhir yang menjadi tumpuan hidupnya. Robiah menciumi kening keempat anaknya satu persatu. Ia memeluk erat para buah hati dari pernikahan dengan Naufal, suaminya. Bayang-bayang masa depan keempat anaknya terlintas dalam bening air mata yang menggenangi wajahnya.

Duka mendalam benar-benar dialami oleh Robiah setelah kematian ayah mertua, ibu kandung, dan kini suaminya. Apalagi saat ini dia tidak bisa menyaksikan secara langsung pemakaman suami dan ayah dari keempat anaknya yang tercinta. Dia tidak boleh turut serta bersama para tetangga dekat untuk memberikan penghormatan terakhir imam hidupnya. Hasil swab menyatakan Robiah dan keempat anaknya dinyatakan positif covid-19. Mereka terpaksa harus menjalani isolasi di rumah sakit. Robiah dan anak-anaknya hanya bisa menyaksikan pemakaman suaminya memalui video call tetangganya.  (*)


Wanar, 5 Desember 2020 


Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan. Ia tercatat sebagai ketua PC Lesbumi NU Babat, aktif sebagai anggota Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela), serta Forum Penulis dan Pegiatan Literasi (FP2L) Lamongan. Beberapa karyanya telah terbukukan dan sering dimuat di berbagai media cetak dan online. Saat ini ia berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan.
















Selasa, 06 Oktober 2020

Layang-Layang Buku-Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, edisi MInggu, 4 Oktober 2020

 



Layang-Layang Buku

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Buku-buku anakku berserakan di samping meja belajar. Beberapa pensil dan penghapus berjumpalitan di atas meja. Tas menganga. Tlepak atau tempat alat tulis mulutnya terbuka. Seragam sekolahnya pun tergantung tak rapi di samping almari. Sepatu dan kaos kaki olahraganya dibiarkan berdaki sampai baunya seperti ikan asin yang dijemur namun belum kering.

”Abduh, di mana kamu?” tanyaku dengan suara datar.

”Di kamar belajarnya,” sahut istriku yang sedang menyiapkan sarapan pagi.

”Tidak ada di kamar belajarnya. Buku dan alat tulis lainnya berserakan. Amburadul semua.”

Aku mencarinya ke belakang tempat dia biasanya membuat layang-layang. Aku tidak menemukannya. Aku hanya mendapati bilahan bambu yang akan dibuat kerangka layang-layang yang tersandar di pohon mangga. Aku menuju ke tempat yang biasanya digunakan anakku bersembunyi untuk bermain game. Di tempat itu juga tidak ada. Aku hanya menemukan bekas kepalan tangannya yang memukul-mukul tanah jika dia kecewa karena kalah dalam permainan.

Beberapa hari ini aku melihat sikap dan tingkahnya agak berbeda. Dia tak seperti biasanya yang rajin dan sigap mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan sekolahnya. Untuk kali ini dia hanya menatap jadwal pelajaran yang tertempel di depan meja belajar. Beberapa detik kemudian dia pergi. Dia membiarkan buku-buku yang morat-marit di atas meja tanpa membuka, membaca, menata lalu memasukkan bukunya ke dalam tas.

Belajar dari rumah secara daring memang cara yang terpaksa diterapkan oleh sekolah dalam masa pendemi virus corona  ini. Anak-anak menerima materi yang disampaikan oleh gurunya dengan menggunakan laptop atau sejenisnya. Pembelajaran nontatap muka ini ternyata mendapat reaksi yang berbeda dari para siswa. Ada siswa yang serius mengikutinya. Ada siswa yang kurang serius. Bahkan, ada pula siswa yang mengabaikan pembelajaran jarak jauh ini. Siswa tidak peduli. Dia mengacuhkan semua materi dan tugas yang disampaikan oleh gurunya.

”Saya bosan dengan tugas-tugas dari guru, Yah,” ungkap anakku karena lelah mengerjakan beberapa tugas yang diberikan oleh gurunya hari itu.

”Yang sabar, Nak. Kerjakan yang mudah-mudah dulu. Yang sulit dicatat atau diberi tanda, kemudian tanyakan ke bapak atau ibu guru.”

”Sudah, Yah. Namun saya tidak mengerti dengan penjelasannya yang hanya lewat tulisan. Saya ingin dijelaskan secara langsung seperti biasanya,” sanggah anakku.

Aku memaklumi alasan anakku. Aku mengerti bagaimana kondisi fisik dan psikis anak saat menghadapi tugas yang menumpuk. Bagaimana tidak lelah, dalam sehari ada lima tugas dari guru yang berbeda-beda. Kemampuan berpikir anak jelas tidak menjangkau untuk menyelesaikannya dalam sehari. Maka sangat wajar jika anak-anak sekarang ini malas membuka buku atau gawai untuk belajar. Mereka lebih senang bermain game daripada pusing-puising memikirkan tugas yang tak kelar-kelar.

Siang hari menjelang zuhur anakku datang dari luar. Napasnya ngos-ngosan seperti habis mengikuti lomba lari cepat, bukan lari liar, lho. Dia menyandarkan punggungnya di tiang penyangga teras.

”Dari mana kamu dari pagi sampai siang baru pulang?” tanyaku sambil melihat keringat berleleran di kening anakku.

”Main layang-layang di persawahan, Yah,” jawabnya.

“Bukankah kamu tahu bahwa saat ini waktunya belajar daring? Meski kamu tidak ke sekolah, namun pembelajaran tetap dilaksanakan secara jarak jauh,” aku memberi sedikit penjelasan pada anakku.

”Malas, Yah. Guru-guru hanya memberi materi lewat tulisan, disuruh membaca, lalu diberi tugas. Setiap hari begitu. Padahal, tugas-tugas yang saya kerjakan sebelumnya belum dinilai,” anakku menyampaikan alasannya padaku.

”Mungkin gurumu masih sibuk dengan urusan yang lain sehingga belum sempat mengoreksinya.”

”Hari ini sudah tugas yang ketujuh, Yah. Masak setiap hari ada urusan,” bantahnya.

”Sssst! Tidak boleh ngomong begitu tentang gurumu. Awas kuwalat jadi jambu mente.”

”Buktinya!” desak anakku.

”Sudah, sudah. Jangan diteruskan!” pungkasku.

Anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar sudah mempunyai penilaian seperti itu tentang gurunya. Dia memberikan reaksi tentang tugas belajar jarak jauh yang sama sekali tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Namun, aku tidak menerimanya begitu saja. Mungkin itu hanya sebagai alasan untuk menutup-nutupi kemalasannya.

”Tidak, Yah. Ini benar. Kalau ayah tidak percaya, tanyakan ke Rangga, Ubet, Sadli, dan teman-teman saya yang lain,” kata anakku untuk meyakinkan bahwa yang dikatakannya itu bukanlah kebohongan.

Tak berselang lama azan zuhur berkumandang. Anakku beranjak ke kamar mandi guna membersihkan diri. Setelah itu dia berpakaian rapi dengan mengenakan songkok, baju koko, dan sarung yang dibelikan pakdenya sebagai hadiah khitanannya. Dia pergi ke masjid untuk melaksanakan salat zuhur secara berjamaah.

***

Angin siang berhembus kencang. Anakku dan teman-temannya keluar rumah sambil membawa layang-layang. Mereka berlarian ke persawahan yang korantang karena kemarau panjang. Mereka menerbangkan layang-layang yang dimodel seperti buku. Setelah terbang tinggi, mereka mengikatkan benang layang-layang di sebatang pohon turi. Mereka bertepuk tangan dan bernyanyi riang tentang belajar dan bermain layang-layang.

Anak-anak melupakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pelajar. Mereka melupakan buku-buku yang berisi materi dan tugas. Mereka lebih senang dengan ’buku’ yang diterbangkan. Layang-layang buku ini lebih menyenangkan daripada belajar tanpa bertemu guru dan handai taulan, pikirnya.

Aku sebagai orang tua prihatin pada sikap anakku dan teman-temannya. Mereka enggan menjamah buku. Mereka lebih senang bermain layang-layang yang dibentuk seperti buku. Hal ini mestinya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sekolah dan orang tua harus mencari solusi bagaimana anak-anak bisa senang dan giat belajar lagi.

”Sampai kapan anak kita begini terus, Bu?” tanyaku pada istri yang juga kebingungan mencari cara mengembalikan minat belejar sang anak.

”Anak kita akan kembali bersemangat belajar apabila sekolah sudah masuk. Belajar tatap muka mulai dilaksanakan,” jawab istriku.

”Sama. Aku juga mempunya jawaban yang sama seperti itu. Tapi ini masih masa pandemi virus corona. Tidak mungkin anak-anak disuruh masuk ke sekolah. Nanti kalau mereka terpapar virus bagaimana?”

”Mereka disuruh belajar di rumah itu agar tidak berkerumun dengan teman-teman sekolah. Tapi mereka malah bermain layang-layang dan berkerumuan dengan teman-temannya di persawahan. Apa bedanya? Lebih baik mereka dimasukkan saja biar bisa belajar tatap muka dan bersemangat dalam belajar,” katanya yang mematikan alasanku.

Aku terdiam. Aku tidak bisa melanjutkan pembicaraanku tentang pernyataan istriku. Aku membenarkan argumen istriku. Namun apa boleh buat. Kebijakan para pemangku pendidikan seperti itu. Mau atau tidak mau kita harus ikhlas dan pasrah menerima keputusan tersebut. Masalah belajar anak, kita terima kondisi apa adanya. Yang penting anak-anak sehat dan bisa bermain layang-layang buku.

Aku dan istri duduk berdampingan di bawah teras rumah. Kami berdua menikmati es Morena di atas meja kecil di antara kursi secara bergantian. Setelah itu, kami menikmati keindahan dan ketenangan layang-layang buku anakku yang terbang tinggi di langit biru. (*)

 

Wanar, 25 September 2020

 

Sabtu, 15 Agustus 2020

PELUKIS NASIB cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro edisi Minggu, 16 Agustus 2020



 Pelukis Nasib

Cerpen karya Ahmad Zaini



Tumpukan kertas di kamarku semakin meninggi. Kertas-kertas itu hampir mengubur diriku dalam kamar. Ah, tak pernah sesulit ini aku melukis nasib. Biasanya dalam sekali lukis, nasib itu dapat terlihat jelas. Namun, kali ini entah apa yang menyebabkan lukisan nasibku selalu gagal. Apakah aku kurang fokus atau karena aku memang tak becus melukis nasib yang bakal terjadi pada diriku.

”Sejak kapan kau mulai gila, Mas?” tanya istriku pada suatu malam. Dia kesal melihat diriku yang selalu begadang dalam tiga minggu ini sambil menghasilkan limbah-limbah kertas yang hampir membunuh diriku.

Aku tak memedulikannya. Aku tetap memungut kertas demi kertas yang berada di rak buku sampai benar-benar menghasilkan lukisan nasib yang sempurna. Aku ingin seperti beberapa tahun lalu sebelum aku menikah dengannya. Kala itu aku melukis nasib mendapatkan jodoh wanita yang cantik, sabar, dan rendah hati. Dua bulan kemudian datanglah dia dalam kehidupanku. Aku juga pernah melulis nasib dapat membeli mobil baru. Tiga bulan berselang, aku dapat membeli mobil meskipun bukan mobil baru. Setidaknya punya mobil yang pernah baru.

”Nasib manusia itu sudah ditulis Tuhan di lauhul mahfudz. Tak perlu kau melanjutkan pekerjaan gilamu ini,” cerca istriku sambil berdiri mematung di pintu kamar.

Tanganku terus bergerak. Jemari tanganku menggores lukisan karierku yang akan datang tanpa memedulikan ocehan istri. Dia belum tahu bahwa nasib itu bisa dilukis. Kita bisa mengubah nasib sesuai dengan kemauan kita dalam selembar kertas. 

”Mimpi, Mas. Semua itu tidak mungkin,” sergah wanita yang kunikahi dua puluh tahun silam.

”Kamu masih belum percaya pada lukisan nasib yang pernah kubuat beberapa tahun lalu? Tentang rumah, mobil, dan termasuk dirimu. Semua yang kualami saat ini adalah berkat lukisanku,” bantahku.

”Jangan kau teruskan, Mas! Bisa-bisa kau nanti melupakan Tuhan yang telah menggariskan nasib dalam kehidupan yang kita jalani. Rumah, mobil, dan termasuk saya adalah kehendak Tuhan. Semua itu anugerah Tuhan yang harus kau syukuri,” sanggahnya.

”Nasib yang digariskan Tuhan itu masih berupa sketsa. Kita bisa mengubahnya sesuai kehendak kita,” jelasku padanya.

”Terserah apa katamu. Yang penting aku tidak setuju dengan aksi gilamu ini. Berminggu-minggu mengurung diri di kamar melakukan pekerjaan konyol yang sekonyol-konyolnya,” kata istri yang semakin kesal pada diriku.

Beberapa hari tidak kuperhatikan, istriku sering marah-marah padaku. Mungkin dia cemburu pada kertas-kertas putih yang selalu kupegangi dan kulukisi nasib hidupku. Dia merasa tersingkirkan oleh kesibukanku untuk mewujudkan nasib sesusai dengan keinginanku. Tahun ini aku berusaha mewujudkan nasib hidupku lebih mapan dan nyaman. Aku ingin hidup damai tanpa memikirkan ratusan, ribuan, bahkan jutaan permasalahan dalam hidupku. Aku juga melukis nasib anak-anakku menjadi anak yang sukses dunia dan akhirat. Aku ingin mereka menjadi anak-anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. Aku melukis wajah ceria mereka pada selembar kertas yang sudah hampir setengah jam tergelar di depanku. Aku akan mempertegas sketsa nasib dari Tuhan lewat tangan-tanganku sendiri. 

Istriku pernah mengkhawatirkanku tentang perilakuku ini. Dia khawatir aku menjadi Firaun yang sombong. Dia takut kegemaranku melukis nasib ini dapat menjauhkan, bahkan melupakanku pada Tuhan. Namun, itu tidak mungkin. Aku masih masih percaya Tuhan. Tuhan sendiri yang telah memerintahkan kita agar memperjelas sketsa nasib yang telah dibuat-Nya. Kita jangan pasrah pada ketidakberuntungan nasib. Kita harus berusaha mengubahnya menjadi lebih beruntung.

Sungguh ketololan yang amat tinggi bagi mereka yang rela hidup miskin karena alasan nasib. Mereka tidak mau melukis kesejahteraan hidup untuk bisa mentas dari jurang kemiskinan. Manusia punya akal dan tangan. Manusia punya pikiran. Gunakan akal dan pikiran untuk mengubah sketsa nasib hidup dalam kemiskinan menjadi sebuah lukisan nasib hidup yang lebih sejahtera. Jangan berpangku tangan. Jangan bertopang dagu. Gerakkan tangan untuk melukis kehidupan yang lebih cemerlang.

Aku terkejut karena sentuhan tangan yang mendarat di pundakku. Sentuhan ini lebih halus dan memiliki rasa tersendiri. Aku sontak menoleh ke belakang. Ternyata anakku yang datang.

”Kapan kau pulang, Nak?” tanyaku padanya. 

”Baru saja, ayah,” jawab anakku dengan suara yang berat. Rupa-rupanya dia menangis.

”Kamu menangis? Apa yang kau tangiskan?” sambungku.

”Aku menangisi ayah. Aku sudah mendengar semua dari ibu tentang ayah. Berhentilah melukisi lembaran-lembaran kertas kosong yang tiada bermakna ini. Beraktivitaslah seperti biasanya. Melakukan hal seperti ini akan membuat ayah semakin terpuruk. Ayah akan sakit karena berhari-hari mengurung diri di kamar tanpa tidur, tanpa makan dan minum. Itu sama halnya menjerumuskan diri dalam kerusakan,” kata anakku.

”Tidak, Nak. Aku tidak akan berhenti melukis nasib ini. Aku ingin hidup lebih enak dari sebelumnya.”

”Kurang apa hidup kita ayah. Tuhan telah memberi kenikmatan yang lebih dari cukup kepada kita. Kita syukuri anugerah ini agar Tuhan memberi tambahan kenikmatan kepada kita. Sebagai anak, aku sudah bangga pada ayah. Ayah telah mewujudkan semua impian anak. Ayah telah berhasil mendidik anak sehingga aku sekarang bisa seperti ini. Lihatlah ayah. Lihat apa yang aku pegang ini. Aku telah berhasil meraih cita-cita sesuai dengan harapan ayah. Kurang apa lagi ayah?” kata anakku sambil menunjukkan penghargaan dari sebuah prestasi yang ia raih di sekolah.

”Satu lagi, ayah. Aku berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di fakultas kedokteran,” sambungnya.

Aku tertegun. Mataku berkaca-kaca sehingga samar melihat wajah anakku yang tersenyum bahagia sambil menunjukkan penghargaan itu. Tiba-tiba aku ingat kalau wajah anakku ini persis seperti yang telah kulukis dua hari yang lalu. Tapi aku lupa di mana lukisan itu. Aku akan mencari dan menunjukkan kepada istri dan anakku bahwa aku pernah melukis nasib anakku persis seperti yang terjadi saat ini. 

Aku membongkar-bongkar tumpukan kertas yang hampir menguburku. Aku mengambil lalu membuka kertas-kertas yang sudah kuremas-remas dan berbentuk bulat seperti bola itu. Satu persatu aku buka lagi untuk mencari lukisan wajah ceria anakku. Ternyata yang kubuka dan kulihat malah lukisan nasib tentang keinginanku menikah lagi. Sial, istriku melihatnya! Dia berdiri di belakang punggung anakku yang sudah beranjak dewasa.

Istriku menyambar kertas yang kupegang. Dia melihat ada lukisan nasibku yang sudah barang tentu sangat ia benci. 

”Kau ingin menikah lagi?” tanya istriku dengan nada tinggi. Matanya mendelik seperti harimau betina. Dia geram seakan-akan ingin menerkamku.

”Tidak. Aku tidak bermaksud seperti itu.Yang kau pegang itu hanyalah lukisan,” jawabku mengelak.

”Kau sering mengatakan bahwa yang kau lukis ini adalah gambaran nasib hidupmu di masa mendatang. Berarti kau ingin mengingkari pernikahan kita?” sergah istriku.

”Lukisan itu hanyalah iseng. Hanyalah mainan belaka. Aku sama sekali tidak punya keinginan seperti yang kaukatakan.”

”Nah, kalau yang kau katakan itu benar, maka mulai sekarang kau harus meninggalkan pekerjaan konyolmu. Hentikan kebiasaan melukis nasib yang sia-sia ini. Ubahlah nasib dengan bekerja, bukan dengan membuat lukisan,” kata istriku sembari membuang lukisan nasib yang membuatnya gerasm

”Benar yang dikatakan ibu, ayah. Sekarang ayah keluar dari kamar biar tumpukan kertas yang hampir mengubur ayah ini kurapikan,” pinta anakku.

Perlahan aku bangkit dari tempat duduk yang menyatu dengan pantatku karena sudah tiga minggu duduk dan melukis nasib yang tidak menentu. Sekarang aku baru sadar bahwa kebahaagiaan tidak bisa diraih dengan lamunan dalam lukisan. Kebahagiaan hidup harus direngkuh dengan usaha. 

Tumpukan-tumpukan kertas yang hampir menguburku dalam kamar menjadi saksi bisu. Kertas-kertas itu suatu saat nanti akan bercerita kepada orang-orang yang selama ini menganggapku sebagai pemalas bahwa aku juga ingin seperti mereka. Mereka yang sukses menjalani karier, mendidik dan mengantarkan anak-anakknya ke puncak karier. (*)


Wanar, Agustus 2020


Ahmad Zaini, guru di SMK Negeri 1 Lamongan. Dia juga menjadi anggota Forum Penulis dan Pegiat Literasi (FP2L) Lamongan serta aktif di Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela). Beperapa buku telah ia terbitkan. Buku tebarunya adalah kumpulan puisi yang berjudul Hanya Waktu Jelang Kematian. Saat ini tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.





Minggu, 05 Juli 2020

Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 5 Juli 2020



Sopir Angkot
Cerpen karya Ahmad Zaini

“Menjangan, Menjangan, Menjangan!” seru Katam mencari penumpang ke arah Karangmenjangan. Namun, sampai jarum arlojinya hampir menyentuh angka sepuluh, baru ada satu penumpang yang tertambat dalam armada angkutan kotanya.
”Bagaimana, Cak? Jadi berangkat nggak?” tanya satu-satunya penumpang yang sudah hampir setengah jam duduk di bangku belakang.
”Sabar, Bu! Ini masih saya carikan penumpang lain.”
”Tapi, jam sebelas saya harus sudah sampai di tempat kos anakku.”
”Sebentar, Bu. Jika sudah ada dua penumpang lagi, kita berangkat.”
”Lalu sampai kapan kamu dapat dua penumpang itu?” desak perempuan yang memangku koper berisi barang yang akan dikirimkan ke anaknya.
Katam terdiam. Dia tidak bisa memberi jawaban pasti atas pertanyaan terakhir ini. Katam hanya bisa menelan kelu lantaran beberapa hari ini selama pandemi korona penumpang sangat sepi. Dalam sehari terkadang Katam hanya membawa dua atau tiga penumpang dari terminal Joyoboyo ke Karangmenjangan. Tapi apa boleh buat. Daripada berdiam diri di rumah dan tak mendapatkan penghasilan apa-apa, lebih baik tetap mengangkut penumpang meskipun tidak seimbang dengan pendapatan.
Hampir sepuluh tahun Katam menjadi sopir angkutan kota. Dia sudah merasakan pahit getirnya kehidupan di embongan. Pasang surut penghasilan merupakan hal yang biasa. Akan tetapi kali ini, dia benar-benar merasakan keterpurukan yang tidak pernah terbesit dalam batok kepalanya.
Sebelum diberlakukan PSBB di Surabaya karena pandemi korona, dalam sehari dia bisa mendapatkan penghasilan dua ratus sampai tiga ratus ribu. Apalagi saat menjelang lebaran. Dia bisa mendapatkan keuntungan dari sisa setoran ke juragan 500 ribu dalam sehari.
Dari penghasilan itu, Katam bisa memenuhi semua kebutuhan pokok rumah tangganya. Bahkan, dia bisa membeli barang-barang berharga lainnya seperti gelang dan anting-anting istrinya. Dia juga bisa mengajak anak dan istrinya rekreasi ke objek wisata terkenal di Malang. Selain itu, dia pernah mencicipi hobi shooping di pusat perbelanjaan di Surabaya.
Penghasilan Katam sekarang jauh menurun. Bisa dikatakan terjun bebas. Sehari dapat lima puluh ribu saja sudah untung-untungan. Terkadang buat setoran saja masih kurang. Lebih ironisnya lagi dia beberapa kali dia tidak bisa memberi uang belanja kepada istrinya dari hasil sopir angkot. Dia terpaksa menjual hape andorid yang pernah dia bangga-banggakan dulu demi memenuhi kebutuhan belanja keluarga.
”Maaf, Dik! Saya terpaksa menjual hape untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ujarnya pada sang istri.
”Kok, dijual? Lalu dengan apa kamu melayani carteran jika ada yang membutuhkan jasamu?”
”Tidak ada carteran. Semua tempat wisata ditutup. Langganan carteranku tidak ada yang membuat kegiatan di objek wisata seperti tahun-tahun sebelumnya. Dapat dipastikan tahun ini tidak ada carteran,” pungkas Katam supaya istrinya tidak terlalu berharap pada langganan carterannya. Istri katam terdiam. Dia tidak bisa menghindari nasib yang dialaminya sekarang ini.
***
”Menjangan, Menjangan, Menjangan!” teriak Katam mencari dua penumpang tambahan agar bisa segera berangkat ke Karangmenjangan.
”Cak, sudah jam setengah sebelas. Bagaimana ini?” tuntut penumpangnya yang sejak tadi sudah menunggu dalam mobil angkutan kotanya.
”Iya, Bu. Sabar! Sebentar lagi kita berangkat.”
”Sejak tadi selalu menjawab sebentar lagi, sebentar lagi! Ini anak saya sudah menunggu,” sergah ibu penumpangnya.
”Lima menit lagi, Bu,” tegas Katam. Dia berani memastikan lima menit lagi karena biasanya dua karyawan di toko kawasan Joyoboyo itu waktunya pulang. Mereka merupakan langganan Katam.
”Oke. Lima menit lagi. Kalau sampai lebih dari  lima menit, saya akan menggunakan jasa angkutan lainnya,” ancamnya.
Katam menggaruk-garuk rambut yang tertutup topi. Dia merasa gelisah dengan kondisi penumpang yang sangat sepi gegara pandemi korona. Dia tidak menyangka sama sekali bila dampak korona sangat berpengaruh pada usahanya.
Di belakang armada angkutan kota Katam, terlihat beberapa armada lain yang mengantre. Mereka menunggu giliran menaikkan penumpang. Selama armada angkutan kota di depannya belum penuh, mereka tidak boleh merebut penumpang yang menjadi jatah angkot di depannya itu. Apabila ada yang melakukan itu, maka sopir tersebut harus bersiap-siap menerima sanksi dari organisasi  atau paguyuban sopir angkot.
”Cak, sudah lima menit,” teriak penumpang yang sejak tadi sudah bersabar menunggu angkot diberangkatkan.
”Iya, Bu. Saya jemput penumpang dulu di toko sebelah,” sahut Katam.
Katam berlari-lari kecil. Dia berjalan gesit menerobos celah angkot yang berjajar rapi di semua sisi angkotnya untuk menjemput penumpang langganannya.
”Mas, di mana Mbak Laila dan Mbak Nuraini penumpang langgananku? Biasanya jam segini dia waktunya pulang.”
”Mulai hari ini mereka tidak kerja, Cak. Juragan terpaksa memberhentikannya karena konsumen di toko ini sangat sepi,” jawab lelaki pelayan toko.
”O, gitu. Terima kasih, Mas!” sambungnya.
Katam kembali ke angkot dengan lesu. Satu-satunya harapan untuk mendapatkan dua penumpang telah lenyap. Dia pasrah pada nasib karena hari ini tidak bisa membawa penumpang ke Karangmenjangan sesuai harapannya.
”Maaf, Bu! Kedua penumpang langganan saya telah dipecat dari pekerjaannya. Jadi, mereka tidak bekerja lagi di toko itu.”
”Oalah, andai sejak tadi saya tahu begini, lebih baik saya naik angkutan lainnya. Lantas sekarang bagaimana?”
”Sebagai bentuk tanggung jawab saya sebagai sopir angkutan kota, ibu tetap saya antarkan ke tempat tujuan meskipun hanya sendirian,” jawab Katam dengan tegas.
Katam berangkat menuju Karangmenjangan. Dia hanya membawa seorang penumpang melintas di jalanan kota Surabaya yang sangat lengang. Maklumlah di kota pahlawan saat ini masih diberlakukan PSBB jilid ketiga sehingga suasana di jalan raya seperti jalanan mati. Di trotoar yang biasanya ramai pejalan kaki, saat ini hanya terlihat halte-halte bus yang tak berpenghuni.  Halaman gedung-gedung pencakar langit yang biasanya dipenuhi mobil-mobil mewah para karyawannya, saat ini juga tampak seperti tanah lapang. Semuanya pegawainya bekerja dari rumah.
”Depan, Cak!” kata penumpangnya.
”Iya, Bu,” jawab Katam singkat.
Katam menurunkan penumpang di depan gang yang akan membawanya ke rumah kos anaknya. Dia menerima ongkos dari perempuan itu lalu melanjutkan perjalanan menuju tempat mangkal terakhirnya di kawasan Karangmenjangan.
Di tempat mangkalnya, Katam melihat beberapa armada angkotan kota yang mengular. Mereka masih mengantre mendapatkan giliran mengangkut penumpang. Itu pun apabila ada calon penumpang yang diangkut. Jika tidak ada penumpang, mereka terpaksa harus berlama-lama di tempat itu untuk menunggu penumpang.
Katam mendapat nomor antrean paling belakang. Di depannya masih ada puluhan armada yang berderet menunggu giliran berangkat untuk mengangkut penumpang. Karena masih lama menunggu antrean, Katam menyempatkan makan di warung langganan.
”Makan, Mbok. Pakai menu biasanya,” pesan katam pada pemilik warung.
”Iya. Tumben baru datang?” tanya pelayan warung.
”Nunggu penumpang, Mbok. Sepi sekali sehingga baru sampai di sini,” jawab Katam.
”Situasi seperti ini semua usaha mengalami penurunan. Termasuk warungku. Malah hutang para sopir angkot di sini semakin menumpuk saja,” timpal Mbok Ijah, pemilik sekaligus pelayan warung.
”Aku masih punya hutang berapa, Mbok?” Katam berbasa-basi.
”Kalau ditambah makan hari ini, hutangmu seratus ribu rupiah,” jawabnya.
”Dicatat dulu, Mbok. Besok kalau situasi pekerjaan sudah normal, pasti kubayar.”
”Iya, iya!” sahut perempuan itu sambil menyodorkan nasi dengan sayur ikan lodeh dicampur ikan pe kepada Katam.
Katam makan dengan lahap. Sejenak dia melupakan kesumpekan hati gara-gara pekerjaannya yang sepi demi menikmati menu kesukaannya. Dalam hatinya berkata bahwa kesehatan adalah segala-galanya. Penghasilan dapat dicari di hari-hari berikutnya.
Raja siang di ufuk barat sudah memerah. Sebentar lagi planet penerang bumi ini akan bersembunyi demi menenangkan diri. Sepanjang siang matahari hanya melihat dan mendengara keluh kesah penghuni bumi karena usahanya surut. Katam segera meninggalkan pangkalan Karangmenjangan. Dia menjejak pedal gasnya agar segera sampai rumahnya di kawaswan Wonokromo.
Sesampai di rumah, Katam disambut istrinya dengan senyum. Katam menyerahkan kunci mobil kepada istrinya. Wanita yang dinikahinya sejak lima belas tahun lalu itu  meletakkan kunci tersebut di pucuk paku yang tertancap di belakang pintu kamar. Katam menghempaskan tubuhnya di atas shofa kumal ruang tamunya. Dia mendesah lantaran tidak membawa hasil kerja hari ini. Istrinya berusaha menghibur agar suaminya tidak larut dalam ketidakmujuran pekerjaan hari ini. Besok, lusa, tulat, tubin, atau kapan saja pasti ada rezeki yang menghampirinya. Yang penting tetap bekerja. (*)

Wanar, Juli 2020

Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa cerpen, puisi dan esainya pernah di muat di surat kabar. Dia juga telah menerbitkan beberpa buku kumpulan cerpen dan puisi. Buku kumpulan puisi terbarunya berjudul Hanya Waktu Jelang Kematian (Maret, 2020). Saat ini dia tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.






























Sabtu, 06 Juni 2020

Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 7 Juni 2020

Lebaran Mbok Darsi
Cerpen karya Ahmad Zaini

Mbok Darsi bersila di gelaran karpet ruang tamu. Wajahnya menampakkan kecemasan. Hatinya gelisah setiap melihat bermacam sajian menu lebaran. Toples-toples yang sarat makanan khas lebaran masih tertutup rapat. Belum ada satu pun tamu yang unjung-unjung berlebaran ke rumahnya lalu menikmati jajan hasil karyanya. Padahal, Mbok Darsi telah menyiapkan menu lebaran tersebut dari jauh hari sebelumnya.
Kue retih dan madumangsa kesukaan anak-anaknya juga masih utuh. Anak-anaknya yang merantau di Jakarta tidak bisa pulang. Mereka dilarang mudik untuk memutus penyebaran pandemi virus korona. 
Mata Mbok Darsi menatap ruang hampa. Dia kesepian. Tidak ada celoteh cucu dan gelegar tawa anak-anaknya yang bergurau bersama di rumahnya. Tangan keriputnya sesekali mengambil retih. Dia mengamati menu tradisional itu sambil membayangkan Rahmat, anak pertamanya yang sangat menyukai retih. Setelah itu, retih diletakkan lagi di tempatnya. Mbok Darsi juga mengambil madumangsa. Dia mengelupas kulit madumangsa yang terebuat dari kertas kuning dengan perlahan. Dia membayangkan menyuapkan madumangsa buatan sendiri itu ke mulut Ratih, anak keduanya.
Bola mata Mbok Darsi berkaca-kaca. Dia benar-benar kesepian pada lebaran tahun ini. anak-anaknya tidak ada yang pulang. Para tetangga juga baru satu yang datang bertamu ke rumahnya. Itu pun anak dari besannya. Selain itu tidak ada.
Lebaran bagi Mbok Darsi merupakan saat yang dinanti-nanti. Saat berbahagia karena bisa berkumpul bersama keluarga dan para tentangga. Bagi Mbok Darsi, lebaran juga dianggap sebagai kesempatan untuk berbagi-bagi. Dia bisa berbagi rezeki pada anak-anak yang unjung-unjung ke rumahnya. Dia juga biasanya menerima salam tempel dari anak, cucu, dan keponakan. Dalam seminggu lebaran, amplop yang diterima Mbok Darsi bisa mencapai ratusan. Nilai isinya juga bervariasi. Minimal lima puluh ribu, maksimal lima ratus ribu rupiah. Maklumlah para anggota keluarga Mbok Darsi yang kebanyakan sebagai pengusaha warung di Jakarta, terbilang sukses. Warungya ramai. Penghasilan mereka dalam sehari bisa mencapai enam sampai sepuluh juta.
Pada lebaran tahun ini, Mbok Darsi harus mengubur kebahagiaan bisa berkumpul dengan mereka. Keluarganya tidak ada yang bisa pulang. Di samping itu, usahanya mengalami penurunan. Penghasilannya turun drastis. Bahkan ada sebagaian warung keponakannya ditutup total karena terdampak wabah korona.
Lamunan Mbok Darsi buyar seketika saat ada tamu yang mengetuk pintunya. Mbok Darsi berdiri dengan tertatih. Kedua tangannya gemetar memegang tembok tempat bersandar punggungnya agar dapat membantu menyangga tubuhnya. Dia melihat sosok lelaki berbadan tegap berdiri di depan pintu rumahnya.
”Silakan masuk, Nak!” Mbok Darsi memersilakan tamu tersebut.
”Terima kasih, Mbok Darsi,” sahut lelaki itu.
Mbok Darsi terkejut karena lelaki itu bisa menyebut namanya dengan jelas. Tamu tersebut seperti sudah mengenal Mbok Darsi.
”Kamu ini siapa kok seperti sudah mengenal saya?” tanya Mbok Darsi penasaran.
”Iya, Mbok. Saya sudah mengenal nama Mbok Darsi cukup lama. Tapi baru kali ini saya bisa bertatap muka dengan Mbok,” jawab lelaki itu.
”Kenal nama saya dari mana?”
”Saya teman karib Rahmat, anak Mbok Darsi. Saya sudah puluhan tahun kerja dengan Rahmat,” jelasnya.
”Oalah, kamu ini yang bernama Kasim?”
”Benar, Mbok. Saya Kasim.”
”Saya juga sudah lama mengenal namamu dari Rahmat. Ayo, dibuka toplesnya! Silakan dinikmati,” pinta Mbok Darsi.
Setelah dipersilakan, tamu yang ternyata Kasim, teman akrab Rahmat itu mengambil retih. Dia sangat menikmati menu andalan Mbok Darsi. Dalam waktu tidak sampai lima menit, Kasim telah melahap tiga retih.
”Enak sekali retih ini, Mbok,” ucap Kasim.
”Iya. Kue lebaran yang saya buat beberapa hari lalu. Kue kesukaan Rahmat,” sahut Mbok Darsi dengan sedih.
”Oh, iya, Mbok. Ini ada titipan dari Rahmat,” kata Kasim dengan tiba-tiba sambil merogoh amplop dari saku bajunya.
”Apa ini?”
”Kata Rahmat sekadar uang jajan Mbok Darsi.”
Mbok Darsi menerima amplop itu pelan-pelan. Dia merasa berat sekali menerima amplop itu karena hati kecilnya berkata yang diinginkan bukanlah amplop, tapi kehadiran orangnya. Namun, dalam situasi pandemi korona sekarang ini dia tidak boleh arogan. Mbok Darmi harus tegar menerima nasib yang dialaminya. Dia harus ikhlas tidak bertemu dengan anak-anaknya demi keselamatan diri dan anak-anaknya.
”Ngomong-ngomong bagaimana ceritanya kamu bisa pulang, sedangkan Rahmat tidak bisa?” tanya Mbok Darsi.
Kasim bingung. Dia cerita apa adanya atau diam saja tentang kondisi Rahmat. Kalau menyampaikan cerita yang sebenarnya, dia khawatir Mbok Darsi akan semakin sedih. Kalau ditutup-tutupi, dia akan terbebani menyembunyikan cerita yang sesungguhnya pada Mbok Darsi.
”Maaf, Mbok!”
”Kok, maaf! Memangnya ada sesuatu yang kau sembunyikan?”
”Tidak, Mbok. Tidak ada,” jawab Kasim dengan ragu.
”Kamu berbohong. Kamu pasti menyembunyikan sesuatu. Mulutmu bisa berbohong, tapi sorot matamu tidak bisa membohongiku. Ayo, katakan yang sebenarnya,” desak Mbok Darsi.
Kasim semakin bingung. Dia terdesak. Akhirnya, Kasim memutuskan untuk menyampaikan cerita yang sebenarnya pada Mbok Darsi.
”Astaghfirullahal azim! Jadi, Rahmat anakku terkena virus korona?” kata Mbok Darsi sambil menangis sedih.
”Belum positif, baru gejala mirip korona. Jangan menangis, Mbok! Saya merasa berdosa karena tidak bisa memegang janji dengan Rahmat untuk tidak menyampaikan hal ini pada Mbok Darsi,” ujar Kasim.
”Bagaimana saya tidak menangis mendengar kabar anak yang terpapar virus korona?” sergahnya.
”Sekali lagi ini masih gejala, Mbok. Belum positif. Doakan semoga hasil tes di laboratorium menunjukkan hasil negatif!”
”Ya, Allah, selamatkanlah anak-anak dan cucu kami dari ancaman wabah ini,” doa Mbok Darsi sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
”Amin!” sahut Kasim.
”Sekarang mereka tinggal di mana?”
”Rahmat, istri, dan anak-anaknya dikarantina di sebuah hotel yang disiapkan oleh tim buat mereka yang diduga terpapar virus korona. Jika hasil tes mereka dinyatakan negatif, baru diperbolehkan pulang dan harus menjalanani karantina mandiri selama empat belas hari di rumah,” kata Kasim memberi penjelasan kepada Mbok Darsi.
”Masyaallah, anak-anak dan cucuku!”
”Mbok Darsi bersabar, ya! Tetap berdoa buat keluarga dan bertawakkal. Insyaallah hasil tes negatif,” kata Kasim menghibur Mbok Darsi.
”Terima kasih, Nak Kasim!”
”Sama-sama, Mbok. Saya pamit dulu,” kata Kasim untuk undur diri dari perjamuan yang terasa hambar ini.
Mbok Darsi mengusap air mata yang sempat membasahi pipi keriputnya dengan kerudung panjangnya. Dia berjalan pelan mengantar Kasim sampai di pintu rumah. Setelah Kasim meninggalkan halaman rumahnya, Mbok Darsi kembali masuk ke rumah. Dia berdiri mematung sambil memandangi beberapa foto keluarga Rahmat yang dipajang di dinding ruang tamu. Mbok Darsi tak kuasa membendung air mata. Dia menangis setiap terlintas suara Kasim yang menceritakan kondisi Rahmat yang sebenarnya.
Wanita tua yang kini sendirian tinggal di rumah itu duduk lagi. Dia bersila sambil memandangi kue lebaran di atas karpet yang masih utuh. Retih hanya berkurang tiga setelah dimakan Kasim. Madumangsa masih tertutup rapat dalam toples karena anak perempuan penyukanya sudah pasti tidak pulang. Para tetangga  yang lain juga belum ada yang unjung-unjung karena dianjurkan oleh pemerintah desa agar semua warga berlebaran di rumah saja.
Mbok Darsi belajar ikhlas menerima nasib. Dia pasrah pada Allah sambil berharap semoga virus korona segera minggat dari negeri ini. Kesehatan dan keselamatan yang paling penting. Lebaran tahun ini tanpa berkumpul dengan anak cucu tidak apa-apa. Yang penting semua keluarga sehat dan panjang umur. Tahun depan pasti bisa berlebaran dan berkumpul dengan  mereka lagi, harap Mbok Darsi dalam hati. (*)
Wanar, Mei 2020

Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa cerpen, puisi dan esainya pernah di muat di surat kabar. Dia juga telah menerbitkan beberpa buku kumpulan cerpen dan puisi. Buku kumpulan puisi terbarunya berjudul Hanya Waktu Jelang Kematian (Maret, 2020). Saat ini dia tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.





Sabtu, 18 April 2020

Gadis Korona, cerpen Jawa Pos Radar Bojonegoro, Minggu, 19 April 2020



Gadis Korona
Cerpen karya Ahmad Zaini

Pintu kamar Karina tertutup rapat. Tak ada celah sama sekali. Binatang kecil seperti semut kesulitan masuk. Apalagi tikus yang biasanya mencabik-cabik pernik di dalamnya. Binatang yang menjadi simbol koruptor itu hanya bisa mondar-mandir sambil menahan liur di depan pintu kamar. Meskipun kamar Karina yang kini dijadikan ruang karantina mandiri itu tertutup rapat, fasilitas di dalamnya sangat lengkap. Mulai kebutuhan hidup seperti makan, minum, hingga MCK. Demikian juga dengan kebutuhan sekundernya. Ruang pendingin, dispenser, dan alat elektronik lainnya juga terpenuhi. Sehingga, Karina sangat betah mengisolasi diri dalam kamar yang berukuran empat meter persegi itu.
Empat belas hari lamanya Karina harus menjalani karantina mandiri di kamar. Dia tidak ingin kepulangannya meninbulkan bencana baru di rumah. Dia tidak ingin keluarga dan tetangganya terdampak virus akibat kelalaiannya. Karina baru diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit setelah dinyatakan sembuh dari virus korona. Atas kesadaran peribadi dia harus tetap mengisolasi diri demi menyelamatkan seluruh anggota keluarga, tetangga, dan masyarakat yang tinggal di lingkungannya.
Gadis berhidung mancung, berparas cantik ini duduk di depan cermin. Dia menyisir rambutnya yang sebahu sambil menirukan lagu yang diputar lewat VCD. Gadis yang berprofesi sebagai perawat ini berusaha mengusir kejenuhan dalam kamar dengan membuat masker. Dia memotong kain bahan kaos. Kemudian, lentik jari-jemari Karina merangkai beberapa potongan kain itu menjadi masker.
Karina teringat beberapa pasien yang pernah dirawatnya. Mereka yang terpapar virus korona karena mengabaikan anjuran mengenakan masker saat keluar rumah. Beberapa pasien yang dia rawat itu ada yang sembuh, bahkan ada yang sampai meninggal.
Gadis lulusan Akademi Perawat ini sering terlibat menangani beberapa pasien yang terindikasi terpapar korona. Rata-rata mereka mengalami batuk-batuk, suhu badan tinggi, dan sesak napas. Jika kondisinya sudah parah, mata mereka mendelik. Napasnya tersengal-sengal. Tak lama kemudian meninggal. Jika ada pasien meninggal, Karina dan para perawat lainnya langsung mengurus jenazah dengan mematuhi protokoler kesehatan. Para perawat harus memakai alat pelindung diri secara lengkap. Setelah itu, mereka baru mengurus janazah mulai dari memandikan, mengafani, hingga melapisi janazah dengan plastik.
Karina kecapekan. Dia dihantui rasa takut tertular pasien. Dia gelisah. Karina beberapa kali terlihat duduk menyendiri di depan ruang pasien. Dia terkadang menyempatkan diri membuka ponsel. Dia menghubungi keluarganya dan berpesan agar tetap berada di rumah. Melarang ayah, ibu, dan adik-adiknya keluar rumah, rajin cuci tangan dengan sabun. Jika terpaksa keluar rumah, mereka dianjurkan memakai masker.
Dia terkadang membayangkan penyakit yang dialami pasien itu terjadi pada diri dan keluarganya. Pasti dia dan keluarganya akan merasakan hal yang sama dengan para pasien itu. Dia dan keluarganya akan dikarantina untuk mendapatkan pengawasan dan perawatan yang sama seperti yang ia lakukan pada beberapa pasien saat ini.
”Karina, bangun! Bangun! Jadwalmu sudah selesai. Waktu istirahat,” seorang perawat datang membangunkan Karina yang tergolek lemas di depan ruang perawatan.
Gadis berparas cantik itu bergeming. Matanya terpejam dengan tubuh yang terkulai di depan ruang isolasi. Perawat tersebut menggoyang-goyang tubuh Karina. Namun, rekannya itu masih diam saja. Perawat yang selama ini menjadi mitra kerja Karina lantas menghubungi teman-temannya dan pada dokter piket. Dokter mengecek kondisi Karina yang lemas.
”Dia pingsan. Segera dibawa ke ruang pemeriksaan!” pinta dokter yang bertugas saat itu.
Mereka yang mengenakan alat pelindung diri dengan lengkap itu segera membopong Karina ke ruang pemeriksaan. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Karina mengalami gejala seperti para pasien yang terpapar virus korona. Suhu badannya sangat tinggi dan sesak napas. Ternyata betul. Seminggu berikutnya hasil laboratorium menunjukkan bahwa Karina positif korona.
Karina menyadari kondisi dirinya yang terpapar virus korona. Dia mematuhi dan menjalani proses penyembuhan seperti yang ia perintahkan pada para pasien yang pernah dirawatnya. Setelah kondisinya membaik, dia diperbolehkan pulang. Dia mengisolasi diri dalam kamar atas kesadaran dirinya.
”Karin, ini sarapan pagimu,” suara ibu Karina dari depan pintu kamarnya.
Karina yang saat itu menyisir rambutnya yang indah, segera meletakkan sisirnya di atas meja riasnya. Dia membuka sedikit daun pintu kamarnya. Gemulai tangannya menerima sepiring nasi dan segelas air hangat dari ibunya. Dia sangat berhati-hati agar tangannya tidak menyentuh tangan ibunya yang sudah mengeriput termakan usia.
”Terima kasih, Bu! Adik-adik sudah berangkat sekolah?” tanya Karina pada ibunya.
”Adik-adikmu tidak ke sekolah. Mereka santai di ruang depan sambil menunggu tugas dari gurunya,” jawabnya.
Karina tercenung sebelum menutup pintu kamarnya. Dia baru ingat sekolah adik-adiknya diliburkan gara-gara pandemi virus korona yang merajalela. Meskipun belajar di rumah, tugas yang mereka terima dari gurunya lebih banyak daripada ketika belajar di sekolah. Setiap hari hampir tiga sampai lima tugas yang harus diselesaikan dalam sehari.
Gadis manis itu meletakkan menu sarapan paginya di meja rias. Dia sementara menggunakan meja riasnya sebagai penopang menu sarapannya. Sebelum makan dia mencuci tangannya dengan air yang dipancurkan dari dispenser. Dia menekan tombol merah. Karina cuci tangan dengan air hangat. Dia tidak  lupa menggunakan sabun agar tangannya benar-benar steril. Bebas dari kuman dan virus.
Sisir dan bedak yang berada di meja itu disingkirkan sementara agar menu sarapan paginya mendapat ruang yang nyaman dan aman. Bibir yang terlihat agak sensual Karina berkomat-kamit. Dia berdoa sebelum menyantap menu sarapan paginya.
”Mbak Karin, ada Mas Teguh di depan,” seru adiknya dari luar kamar.
”Ya. Masih sarapan,” sahutnya.
Dalam hati Karina bertanya-tanya. Ada keperluan apa Teguh pagi-pagi bertandang kerumahnya? Ditemui atau tidak? Karina bingung karena saat ini dia masih menjalani karantina mandiri di kamarnya.
Karina meninggalkan piring dan gelas yang sudah kosong di atas meja. Dia melesat ke pintu kamar dengan harapan adiknya masih berada di situ. Ternyata adiknya sudah kembali ke ruang depan. Karina menutup pintu kamarnya dengan rapat. Karina kembali ke tempat makan. Dia mencuci piring dan gelas bekas tempat makanan dan minumannya.
”Karin, ini Mas Teguh mau menyampaikan sesuatu,” suara ibunya dari depan pintu kamarnya.
Karina segera membuka sedikit pintu kamarnya. Dia mengintip Teguh yang mengenakan masker berdiri di samping ibunya.
”Maaf, Karin! Mengganggu sebentar. Ini ada bingkisan sebagai ucapan selamat karena kamu lolos dalam seleksi tenaga kontrak dinas kesehatan,” kata Teguh sembari menyodorkan bingkisan yang dikemas rapi dengan kertas bermotif bunga melati.
”Benarkah? Alhamdulillah! Kamu bagaimana?” ujar Karina sambil menerima bingkisan dari celah pintu kamar.
”Saya belum seberuntung kamu.”
”Yang sabar, ya! Saya yakin kamu akan diterima pada gelombang berikutnya.”
”Amin!” sahut Teguh.
”Terima kasih atas hadiah Mas Teguh. Semoga bermanfaat!” ucap Karina.
Teguh undur diri. Lelaki yang berteman dengan Karina sejak kecil  ini meninggalkan Karina yang kembali masuk ke kamar karantina. Mereka sama-sama paham kalau berlama-lama dalam kerumunan itu tidak diperkenankan dalam suasana seperti ini.
Bibir indah Karina mengembang seperti bunga di taman rumahnya. Dia sangat senang menerima hadiah dari Teguh. Lentik jemari kedua tangan Karina gemulai mengurai kemasan bingkisan. Dia membuka bingkisan yang ternyata berisi masker dan alat pelindung diri.
Karina bersyukur punya teman seperti Teguh. Dia sangat senang pada hadiah yang diberikan kepadanya. Teguh sangat memahami dirinya. Meski bingkisan yang diberikan kepadanya hanya masker dan alat pelindung diri, namun ini sangat bermanfaat bagi dirinya. Lebih-lebih profesinya saat ini sebagai perawat yang telah lolos seleksi tenaga kontrak di dinas kesehatan kabupaten.
Gadis yang hampir tuntas menjalani karantina mandiri di kamarnya ini meletakkan hadiah Teguh dari pelukannya. Dia melanjutkan aktivitasnya setelah sarapan pagi. Dia berjemur di depan jendela kamar sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya. Dia juga melompat-lompat ringan agar segera berkeringat. Butir-butir keringat menyembul dari kening. Karina menyekanya dengan tisu di atas mejanya.
Setelah sarapan pagi, berjemur sambil berolahraga ringan, Karina mengemasi beberapa masker yang dibuat selama karantina mandiri di kamar. Ada lima kardus masker hasil karyanya. Beberapa masker ini rencananya akan dibagikan kepada warga sekitar. Dia tidak ingin ada tetangga dan masyarakat yang lain terpapar virus korona seperti yang pernah ia alami. (*)

Wanar, 17 April 2020

Ahmad Zaini merupakan guru SMKN 1 Lamongan dan ketua PC Lesbumi NU Babat.
Beberapa karyanya pernah dimuat dibeberapa media cetak dan telah menerbitkan beberapa buku. Buku kumpulan puisi terbarunya berjudul Hanya Waktu Jelang Kematian (Maret, 2020). Dia tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.






















Sabtu, 21 Maret 2020

Seperti Kota Mati cerpen di Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 22 Maret 2020



Seperti Kota Mati
Cerpen karya Ahmad Zaini

Suasana di kotaku sepi. Tak ada lalu lalang warga melintas di jalan. Pasar lengang. Para penjaga toko tak berani keluar rumah. Tempat-tempat umum senyap. Kotaku seperti kota mati. Hanya lirih hembus angin membelai daun-daun perdu dan menerbangkan plastik sisa bungkus minuman anak-anak.
Setelah ada larangan keluar rumah yang disampaikan oleh wali kota terkait virus korona, tak ada warga yang berani keluar rumah. Mereka takut terpapar virus yang katanya mematikan. Warga tak berani berkumpul. Tidak berani berinteraksi. Tak berani berkomunikasi secara langsung. Mereka takut tertular virus tersebut karena bersentuhan dengan warga lainnya. Para warga kota seperti boneka. Mereka lebih memilih berdiam diri di rumah daripada mati karena tertular virus korona.
”Ini akibat kita terlalu jauh dari ulama,” kataku.
”Tak ada hubungannya antara ulama dan virus korona,” bantah Mukri.
”Ada. Ulama itu pewaris nabi sebagai penyebar ajaran Tuhan. Jika kita tidak menggubris nasihat ulama dan menentangnya, berarti kita telah menentang Tuhan,” sambungku.
”Kamu ini Zun. Suka mengarang cerita. Beribadah atau tidak itu urusan pribadi. Tuhan juga tidak memaksa manusia untuk beribadah.”
”Memang itu hak masing-masing. Tapi kita harus sadar bahwa kita diciptakan Tuhan untuk beribadah kepadaNya. Tuhan tidak butuh kita sembah, tetapi kita yang butuh menyembahNya. Tersebab kita tidak mau menuruti ajaran Tuhan sebagaimana yang disampaikan oleh para ulama, maka Tuhan mengganjar kita dengan munculnya virus ini.”
”Hmmm. Tidak masuk akal,” sergah Mukri dengan kening berkerut. Lelaki yang sehari-hari tidak pernah salat ini pun meninggalkanku sendirian.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Aku tidak bisa mengerti sosok seperti Mukri. Jika semua orang bersikap sepertinya, sudah selayaknya Tuhan menguji hidup kita dengan ketakutan dan kecemasan yang berlebihan.
Beberapa orang berpakaian seperti robot melintas di depanku. Mereka memanggul tabung berisi cairan disinfektan. Mereka menyemrpotkan cairan tersebut pada setiap orang yang ditemuinya. Satu di antaranya menghampiriku lalu menyemprotkan caira tersebut ke tubuhku. Aku berusaha mengelak, namun cairan itu telanjur menyasar diriku. Baju yang semula kering, kini lembab. Rambut yang asalnya kering dan bisa bergerak-gerak karena diterpa angin, kini basah seperti rambut orang yang baru saja janabat.
Sebenarnya tak perlu kita bersikap belebihan seperti ini. Bisa-bisa salah satu dari kita ada yang alergi pada semprotan disinfektan. Lalu orang yang alergi ini mati bukan karena virus korona, melainkan mati karena semprotan petugas itu. Kita semestinya cukup instropeksi diri. Bagaimana keseharian kita. Banyak mana amal kebajikan dan kemaksiatan yang kita lakukan. Lebih sering mana kita berbadah kepada Tuhan daripada kita berbuat dosa. Jika kita mau tafakkur seperti itu dan ada tindak lanjut dari hasil instropeksi, niscaya kita akan diselamatkan Tuhan dari ancaman virus ini.
”Pak Fauzun, Pak Fuzun!” seru seseorang yang berlari mendekatiku.
”Ada apa, Pak?” tanyaku padanya.
”Mukri, Pak. Mukri,” katanya dengan gugup.
”Tenang. Tenangkan dulu dirimu. Ayo, sampaikan apa yang terjadi pada Mukri?”
”Dia sesak napas. Tersengal-sengal,” jawabnya.
”Ceritanya bagaimana dia bisa seperti itu?”
”Semula dia batuk, pilek disertai dahak. Setelah itu suaranya serak. Entah mengapa sekarang napasnya tersengal-sengal seperti itu.”
”Ayo, kita ke rumah Mukri,” ajakku.
Aku berjalan cepat. Aku penasaran pada cerita tetangga Mukri yang berjalan lebih cepat di depanku. Dalam perjalanan mataku memandang ke kanan kiri. Tak ada satu pun warga yang keluar rumah meskipun Mukri mengalami hal seperti itu. Para warga hanya mengintip dari kaca jendela rumahnya.
Sesampai di rumah Mukri, aku melihat lelaki yang wajahnya tak pernah terjamah air wudlu itu terkapar. Matanya mendelik. Napasnya tersengal-sengal. Dia seperti sedang nazak. Napasnya grok-grok. Tangannya kejang. Sewaktu aku menatap matanya yang terbelalak itu, dia semakin tidak terkendali. Tubuhnya menggelepar-gelepar. Seperti cacing kepanasan. Menggeliat-geliat menahan rasa sakit yang dideritanya.
”Kena virus korona, ya, Pak?” tanya lelaki yang menjemputku.
”Wallahu a’lam. Allah yang Mahatahu. Tolong ambilkan Alquran. Kita bacakan ayat suci di telinganya. Mudah-mudahan dia bisa tenang setelah mendengar lantunan ayat suci.”
”Di rumahnya tidak ada Alquran.”
”Coba pinjam Alquranmu.”
”Untuk apa?” tanya lelaki yang belum paham maksudku.
”Ambilkan saja kalau kamu punya.”
”Tapi, nanti aku gak ketularan virus korona karena Quranku kau gunakan mengaji di dekat pengidap korona?”
”Tidak akan tertular. Alquran itu bisa sebagai obat dari segala macam penyakit. Termasuk bisa menyembuhkan penyakit hati.”
”Baiklah, saya ambilkan di rumahku,” sambung lelaki yang kurang begitu mengerti tentang fungsi Alquran, namun rajin salat limat waktu.
Aku menatap kondisi Mukri yang sekarat. Giginya menyeringai menahan sakit. Matanya terbuka lebar seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan. Napasnya masih tersengal-sengal. Tubuhnya terguncang-guncang. Apakah ini akibat dari orang yang membenci ulama? Mungkin juga. Karena Tuhan akan menyiksa manusia yang membenci ulama dengan ketakutan serta mati tidak membawa iman.
Mukri memang sosok lelaki yang sombong. Dia merasa paling pandai dengan mengandalkan keahlian debatnya. Setiap ada ulama yang berceramah selalu dibantah. Setiap ada kiai yang menasihatinya selalu dicaci. Dia benci pada ulama yang menurutnya hanya suka membual. Cerita tentang pahala dan dosa. Cerita tentang surga dan neraka. Padahal, mereka belum pernah melihat dan merasakannya. Seperti itulah ulah Mukri yang selalu menantang ulama yang berdakwah mengajak pada kebaikan. Ulama yang berseru untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
”Ini Pak Fauzun,” kata lelaki itu sambil menyodorkan Alquran yang sudah lepas sampulnya kepadaku.
Aku membacakan ayat Alquran di dekat telinganya. Ronta Mukri agak mereda. Napasnya perlahan normal. Tak lama kemudian matanya mulai berkedip-kedip. Bola  matanya berputar melihat sekelilingnya.
”Apa yang terjadi padaku?”
”Kamu terkena virus korona,” jawab lelaki yang sejak tadi duduk di belakangku dengan suara keras.
”Husstt! Pelan-pelan bicaranya.”
”Maaf, Pak Fauzun!”
”Tadi kamu hilang kendali. Alhamdulillah, sekarang kau sudah normal lagi.”
”Penyakit lamaku kambuh lagi. Memang kalau terlalu capek dan stres, epilepsiku sering kumat.
”O, jadi kamu kena penyakit ayan bukan korona?” sergah lelaki itu.
”Korona gundulmu,” bentak Mukri. Lelaki itu pun diam.
”Sudah-sudah. Jangan ribut. Penyakit itu datangnya dari Tuhan. Yang menyembuhkan juga Tuhan. Maka dari itu, mulai dari sekarang dan seterusnya, marilah kita selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Laksanakan perintah-perintahNya, tinggalkan larangan-laranganNya.”
”Terima kasih Pak Fauzun. Maaf, aku selama ini selalu membantah nasihat-nasihatmu. Sekarang ajari saya berwudlu dan salat lima waktu.”
”Aku ikut,” sahut lelaki itu.
”Marilah kita bersama-sama belajar membersihkan jiwa dan lingkungan kita agar terhindar dari berbagai penyakit,” ajakku pada mereka.
Rumah-rumah warga masih tampak sepi. Para penghuninya tidak ada yang berani keluar rumah. Mereka takut tertular virus korona. Beberapa pasang mata hanya melihat kami bertiga yang berjalan menuju musalla yang sejak seminggu ini sepi tanpa penghuni.
Waktu salat asar tiba. Terdengar suara azan yang sangat merdu dari musalla. Para warga penasaran pada suara yang sebelumnya tidak pernah mereka dengar. Mereka keluar rumah. Mereka berbondong-bondong ke musalla untuk melenyapkan rasa penasaran sambil bersiap-siap melaksanakan salat asar berjamaah di musalla. Mereka terkejut karena yang melantunkan azan dengan merdu itu adalah Mukri. (*)

Wanar, 14 Maret 2020

Ahmad Zaini, guru SMKN 1 Lamongan dan ketua PC Lesbumi NU Babat. Saat ini aktif di Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) dan Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (kostela). Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Tadarrus Hujan. Buku kumpulan puisi yang berjudul Hanya Waktu Jelang Kematian akan segera terbit. Beralamat di Wanar, Pucuk, Lamongan.





Minggu, 19 Januari 2020

Puisi-puisi Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 19 Januari 2020

AHMAD ZAINI
SEBELUM PEMBERANGKATAN

Bayang-bayang wajahmu
berbisik lewat kecup ombak
“doakan aku dalam zikirmu!”

 kulit mengeriput
menggores wajah tuamu
goresan itu membentuk relief pantai
sepeninggal ombak yang undur
saat pagi

lirih suara samar mengharap angin pantai
tak menghempas daun-daun kering bakau
yang sedang bersujud menyelami kemulyaan-Mu
biota pantai menggigit geli
lalu mengangkat derajatmu di geladak
tempat kumelepas kepergianmu
dalam benam kecemasan

desir angin berkabar yang kesekian
kau telah bertamu pada Dzat
yang telah mengundangmu
kau bersimpuh di perjamuan
seperti yang pernah kau katakan
sebelum pemberangkatan

Lamongan, 28 November 2018


AHMAD ZAINI
BATAS WAKTU

Seirama bising baling
Desah keluh merobek hari-harimu
Tanpa kau sadar takdir itu
Telah tertulis jelas di bakal hidupmu

Jika kau tak rela
Pada catatan garis hidup
Carilah Tuhan lain
Selain Dia

Kau tak bisa berpaling
Dari hembus baling di wajahmu
Kau tak bisa menghindar
Dari detak waktu yang berputar
Di lingkar angka usia
Kau tak bisa sembunyi
Di kedalaman telaga
Dari ujung jemari hujan
Yang meremas senja
Kau tak bisa lari tinggalkan takdir
Yang tergores di ubun-ubunmu

Pada takdir
Terdapat serpih upaya
Melurus jalan berliku
Sampai batas waktu
Memotong kisah pilumu

Lamongan, 29 November 2018

AHMAD ZAINI
RENTA HANYALAH USIA

rambut putih bukan berarti letih
kulit keriput bukan berarti sengkarut
garang menerjang segala yang menghadang
akas memberantas segala yang tidak pantas
bahumu yang tak lagi seperti dulu
tandang gawe yang tak biasa

rambut putih hanyalah masa
kulit keriput hanyalah usia
tekadmu tak melukiskan itu
kau memikul beban
mereka yang muda dan perkasa
hingga ia dewasa

kau ikhlas
meski bukan waktunya

Lamongan, 1 Desember 2018

AHMAD ZAINI
PESAN TUHAN

Tuhan menyampaikan pesan
lewat pikun serta uban
serta mengingatkanmu lewat azan
dari surau dan putaran waktu
yang semakin tak menentu

bersegeralah menghias diri
dengan amal yang kau lantunkan
lewat pengajian
kau santunkan lewat anak yatim dan fakir miskin
serta mereka yang masih berkubang
dalam lumpur kesialan

di perempatan jalan dan trotoar
banyak jalan mengukir sisa usia
yang sebentar akan surup 
dalam petang

sebelum matahari berkebalikan
terbit dan terbenam
masuklah pada kesempurnaan keyakinan
yang sebelumnya masih berlubang

bukankah hanya mereka
yang sempurna
dapat masuk di jamuan kenikmatan surga

Lamongan, 3 Desember 2018

Sabtu, 11 Januari 2020

Cerpen Jawa Pos grup Radar BJN, Minggu, 12 Januari 2020

Kemboja Luruh saat Banjir Merenggut Senyumnya

Cerpen karya Ahmad Zaini

Rumah Mbok Sri seminggu ini sepi. Setelah manghrib tak terdengar lagi suara putrinya yang sedang melantunkan ayat suci Alquran. Suara merdu dengan nada bayati, jawabul jawab, dan nada baca lainnya sudah lenyap. Setiap malam rumah Mbok Sri tak ubahnya seperti rumah tak bertuan. Senyap bagai suasana di pekuburan.
Setelah maghrib Fatimah selalu mengaji dengan suara merdu dan melengking sejak ia datang dari pesantren karena sekolah dan pesantren libur. Dia berencana menikmati liburan dengan bersilaturrahim ke rumah kakaknya di Jakarta. Semula Mbok Sri tak mengizinkan Fatimah pergi ke ibu kota. Dia masih ingin berlama-lama dengan Fatimah untuk melepas rindu pada anaknya itu. Maklumlah karena Fatimah baru sehari pulang setelah empat bulan berangkat ke pesantren di Kediri. Di kota tahu tersebut Fatimah belajar di sebuah Madrasah Aliyah sambil menetap di pesantren untuk belajar serta memperdalam ilmu agama Islam.
”Tak perlu ke Jakarta. Lebaran tahun ini kakakmu juga pulang,” kata Mbok Sri membujuk Fatimah agar membatalkan niatnya.
”Saya kangen kakak, Mbok. Lebaran kemarin kakak tidak pulang. Boleh, ya, Mbok?” rengek Fatimah pada Mboknya yang sudah berusia tujuh puluh tahun.
Mbok Sri diam. Dia menyembunyikan rasa gusarnya dengan meraih secikal kelapa yang berada di sampingya. Dia memarut kelapa tersebut sebagai persiapan membuat sayur lodeh kesukaan Fatimah.
Seharian Fatimah memohon izin pada ibunya. Berbagai alasan Fatimah sampaikan kepada wanita yang selalu menjadi sumber doa restu bagi keselamatan dan kusuksesan dirinya. Karena Fatimah terus merengek meminta Mboknya legowo melepas ke rumah kakaknya, wanita itu akhirnya memberikan izin pada anaknya.
”Dengan syarat jangan lama-lama. Cukup lima hari saja di sana,” pintanya.
”Kurang, Mbok. Fatimah pengen melihat suasana pergantian tahun baru di Jakarta yang penuh dengan pesta kembang api dan petasan. Aku akan mengajak kakak ke monas pada malam yang dinanti-nanti semua orang itu, Mbok.”
”Walah, kamu pengen juga ya seperti mereka. Tak usah meniru-niru mereka. Malam pergantian tahun baru itu digunakan untuk muhasabah. Merenungi diri sambil mengingat kebaikan dan kejelekan yang telah diperbuat selama setahun. Bukan untuk berfoya-foya seperti itu.”
”Sekali ini saja. Mbok,” desaknya.
”Baiklah. Setelah itu segera pulang. Mbokmu ini masih kangen denganmu. Rasa hati ini sangat tenteram jika setelah maghrib kamu mengaji dengan suara merdumu itu.”
”Inggih, Mbok,” pungkas Fatimah dengan wajah yang berbinar-binar.
Fatimah mengemasi pakaian sebagai ganti setelah sampai di Jakarta nanti. Dia memasukkan pakaian yang telah diseterika dan dilipat dengan rapi. Fatimah memesan tiket kereta api secara online. Dia mendapat tiket dengan harga 300 ribu. Dia berangkat dari stasiun Babat besok malam setelah isyak.
Fatimah tak sabar menanti kapan tiba waktu pemberangkatan. Dia membayangkan betapa ramainya ibu kota pada saat malam pergantian tahun baru.
”Nduk, ada apa senyum-senyum sendiri?” tanya Mbok Sri yang membuyarkan lamunan Fatimah.
”Eh, Mbok mengangetkan saja,” sahut Fatimah terkejut.
”Sudah kau kemasi semua pakaian dan barang bawaanmu?”
”Sudah semua, Mbok. Tinggal berangkat.”
Mbok Sri tertegun sekaligus terharu dengan kebahagiaan yang terpancar dari wajah anaknya. Wanita yang sebenarnya sudah berumur senja ini sampai tak sadar butir air mata keluar dari kelopak matanya yang keriput. Dia berdiri mematung sambil menatap anak yang wajahnya berbinar-binar memandangi bukti cetak pemesanan tiket online hingga azan isyak berkumandang.
Malam itu paman Fatimah menunggu di depan rumah. Dia akan mengantarkan keponakannya ini ke stasiun Babat dengan sepeda motor. Fatimah berpamitan pada Mbok Sri. Dia mencium tangan wanita yang menyimpan surga baginya itu dengan penuh hormat. Mbok Sri membalas dengan peluk erat kasih sayang. Dia berharap Fatimah selamat sampai tujuan dan bahagia bersama kakaknya yang lebih dari setahun tidak bertemu.
Fatimah berangkat. Dia mengucap salam dan dijawab dengan salam pula oleh ibunya. Air sisa hujan semalam masih menggenang di pelataran rumah. Roda sepeda motor paman Fatimah menggilas genangan air hujan itu hingga memercik bunga kemboja di pelataran rumah yang ditanam Fatimah beberapa bulan yang lalu.
***
Menjelang shubuh Fatimah sudah sampai di stasiun Senin Jakarta. Dia sudah ditunggu oleh kakaknya. Saat bertemu dua saudara kandung ini meluapkan rasa rindunya dengan saling berangkulan. Senyum bahagia mengembang dari kakak dan adik ini. Setelah itu, mereka meninggalkan keramaian para tukang ojek online yang mencari calon penumpangnya.
Sesampai di rumah kakaknya, matahari belum muncul dari tempatnya bersemayam. Jarum jam juga masih berlabuh di angka lima. Kedua orang bersaudara yang taat beribadah ini lantas melaksanakan salat subuh berjamaah. Baru saja Fatimah melepas mukenanya, atap rumah kontrakan kakaknya ini sudah diketuk-ketuk oleh jemari hujan. Pagi pertama yang semestinya dipenuhi oleh sinar hangat matahari, kini dikurung oleh hujan. Fatimah tidak bisa keluar rumah untuk sekadar menghirup udara segar di Jakarta meskipun tidak sesegar udara di kampung halamannya.
Sampai hari kelima setiap pagi sampai siang ibu kota selalu diguyur hujan. Jalan-jalan sudah mulai tergenang air karena got-got tak mampu lagi menampung curah air hujan yang tinggi. Genangan air itu semakin tinggi. Ombak-ombak kecil di jalan saat ada motor melintas mulai menjilat teras rumah kontrakan kakak Fatimah. Semakin siang air itu semakin tinggi. Saat sore hari air benar-benar masuk ke rumah yang sudah hampir lima tahun ini dikontrak oleh kakak Fatimah.
”Kak, nanti malam kita ke monas untuk menyaksikan pesta kembang api malam pergantian tahun baru,” kata Fatimah.
”Mana mungkin ada pesta kembang api jika hujan tak kunjung reda seperti ini,” jawabnya dengan wajah murung.
”Siapa tahu sore nanti reda,” sambung Fatimah dengan penuh harap. Kakak Fatimah mengangguk untuk mengamini harapan adiknya. Dia ingin agar adiknya itu senang dan bahagia di Jakarta ini.
Hujan turun semakin lebat. Hampir sembilan jam air itu tertumpah dari langit ke bumi ibu kota. Air yang masuk ke rumah kontrakan kakak Fatimah semakin tinggi. Mereka sibuk  menyelamatkan barang-barang elektronik yang dimiliki ke atas meja dan kursi.
Saat mereka bekerja keras mengamankan barang miliknya, dari kejauhan terdengar suara jerit histeris warga dan gemuruh air. Fatimah dan kakaknya hendak keluar rumah ingin tahu penyebabnya. Baru saja mereka bergerak satu langkah, tiba-tiba air bah menerjang mereka. Tubuh Fatimah terjungkal dan terseret air bah, sedangkan kakaknya berhasil selamat dengan meraih tiang rumah yang hampir ambruk karena terjangan air yang tiba-tiba datang itu.
”Adikkkk!” teriak histeris kakak Fatimah berulang-ulang memanggil adiknya yang lenyap terbawa arus air. Kakak Fatimah mencebur ke air yang keruh untuk mencari adiknya.
Beberapa saat kemudian, di sudut gang dia berhenti. Dia mengamati semua barang yang terapung di permukaan arus air yang sangat deras. Matanya tak berkedip melihat benda di sekitarnya meski bola matanya tenggelam air mata. Dari jarak sekitar sepuluh meter, ia melihat ujung pakaian yang dikenakan Fatimah tersangkut akar pohon yang terbawa air bah. Ia lantas mengikuti arus air bah ke arah itu. Kakak Fatimah berteriak-teriak meminta pertolongan pada orang terdekat. Dia menemukan tubuh adiknya tertindih sebatang pohon dalam kondisi  tidak bernyawa lagi.
Orang-orang yang kebetulan berada di situ segera membantunya dengan mengangkat pohon tersebut. Setelah itu, kakak yang baru lima hari melihat senyum adiknya ini berhasil mengangkat jasad adiknya yang matanya telah terpejam untuk selamanya. Tangis pilu kakak Fatimah terdengar menyayat hati orang-orang yang mendengarnya. Tak sedikit para tetangga rumah kontrakannya yang selamat dari amukan banjir bandang itu turut meneteskan air mata.
Sementara itu, di kampung halaman, bunga kamboja yang ditanam Fatimah tiba-tiba layu. Mekar bunganya turut larut dalam duka ibu dan paman Fatimah. Bunga-bunga itu luruh dan rebah di pelataran rumah Mbok Sri. Bunga putih yang masih menyisakan aroma wangi itu turut menyambut kedatangan janazah Fatimah. Jenazah gadis pelantun ayat suci Alquran itu dikemas dalam peti berkalung aneka bunga surga. Sanak kerabat dan para tetangga yang bertakziyah di rumah duka tenggelam dalam kesedihan yang dialami oleh kerluarga Mbok Sri. (*)

Wanar, 4 Januari 2020

Ahmad Zaini, guru di SMK N 1 Lamongan. Saat ini menjabat ketua PC Lesbumi NU Babat. Dia aktif dalam Forum Penulis dan Pegiat Literasi (FP2L) Lamongan serta Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela). Tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.