Jiwa Berontak Veteran Perang
Cerpen Ahmad Zaini
Mbah Sadimen gelisah. Seperti ada masalah pelik yang
bersarang di batok kepalanya. Duduk tak nyaman. Berdiri pun tak enak. Terkadang
jari-jari tangannya menggaruk-garuk kepala. Desis mulutnya terdengar seperti
ular berbisa. Semacam ada sesuatu yang ingin dikeluarkan dari tenggorokannya.
”Merdeka!” pekik Mbah Sadimen sambil berdiri tiba-tiba.
Setelah itu dia duduk kembali dengan lunglai.
Apa gerangan yang membuat Mbah Sadimen seperti itu setiap
menjelang peringatan hari kemerdekaan? Pertanyaan inilah yang menjadi teka-teki
cucu dan para tetangga yang mengetahui kebiasaannya.
Sorot mata Mbah Sadimen menggambarkan kegelisahan,
kecemasan, dan kekecewaan. Perasaan-perasaan itulah yang mengaduk-aduk jiwa
Mbah Sadimen. Namun, apa yang digelisahkan, dicemaskan, dan dikecewakan?
Lagi-lagi muncul teka-teki baru dari Mbah Sadimen buat orang-orang terdekatnya.
Mbah Sadimen merupakan veteran perang. Dia mantan pejuang
kemerdekaan. Usianya sekarang sudah 95 tahun. Masa mudanya dia turut mengangkat
senjata bergabung dengan tentara-tentara lainnya. Mereka mengusir para penjajah
yang mencoba memasuki daerahnya.
Kaki kanan Mbah Sadimen ada bekas luka. Bekas luka itulah
yang sering diceritakan Mbah Sadimen kepada anak dan cucu-cucunya saat ini.
Sebuah peluru bundar pernah bersarang di kakinya ketika terlibat pertempuran
sengit untuk mempertahankan wilayahnya. Dalam pertempuran tersebut teman-teman
Mbah Sadimen banyak yang gugur. Termasuk kakaknya sendiri, Dirno. Menurut Mbah
Sadimen kakaknya itu tidak sempat berlari ke perlindungan sehingga dua butir
puluru bersarang di dadanya.
Mata Mbah Sadimen berkaca-kaca setiap bercerita masa
peperangan kepadacucu dan tetangganya. Peperangan melawan penjajah menelan
banyak korban. Korban harta benda, darah, dan nyawa. Hidup sengsara. Paceklik
pangan dan sandang. Rumah jarang ditempati karena takut disergap musuh. Mbah
Sadimen sering tidur di atas pepohonan, di bawah jembatan sambil berjaga-jaga
bila musuh datang tiba-tiba untuk merebut wilayahnya. Sengsara sekali para
pejuang saat itu.
”Mbah, tenang. Duduk yang manis, ini susunya,” kata
Maryamah, sang cucu yang sekarang merawatnya.
”Tidak. Saya tidak bisa tenang,” kata Mbah Sadimen.
”Apa yang membuat Mbah tidak bisa tenang?”
”Mereka,” jawabnya singkat sambil menunjuk ke luar.
Maryamah bingung. Siapa yang dimaksud mereka sebagai
biang keladi kegelisahannya. Padahal, di luar rumah tidak ada siapa-siapa.
Hanya tadi ada beberapa orang yang melintasi jalan di depan rumah yang akan
menuju lapangan untuk mengadakan karnaval agustusan.
”Mbah, mereka siapa?” selidik Maryamah.
”Itu tadi yang lewat di depan rumah,” sambung Mbah
Sadimen menjelaskan Maryamah.
Benar sekali. Ternyata yang dimaksud Mbah Sadimen adalah
orang-orang yang akan mengikuti kegiatan karnaval.
Maryamah berpikir lagi kenapa Mbah Sadimen geram setiap melihat
orang-orang yang akan karnaval. Padahal, mereka itu ingin memeriahkan hari
ulang tahun kemerdekaan. Mestinya Mbah Sadimen senang karena perjuangan para
pejuang itu dikenang oleh para generasi sekarang. Perjuangan mereka tidak
dilupakan oleh anak cucunya. Karnaval tersebut juga bisa menjadi pengingat
bahwa kemerdekaan yang kita rasakan saat ini bukanlah pemberian hadiah dari
penjajah. Akan tetapi kemerdekaan ini direbut dengan tenaga, pikiran, darah,
dan air mata. Bahkan, dipertaruhkan dengan nyawa. Nah, dengan karnaval
agustusan inilah biar generasi muda saat ini tahu jerih payang para pejuang
demi mencapai kemerdekaan. Biar pemuda-pemuda saat ini tidak hidup berfoya-foya
saja. Biar mereka tahu rasa berterima kasih, mengisi kemerdekaan ini dengan
kegiatan-kegiatan positif demi kemajuan bangsa dan negara.
”Mestinya Sampean itu senang setiap kali ada
karnaval. Bukannya malah sewot seperti ini,” celetuk Maryamah.
”Heleh, cucu macam apa kamu ini,” sela Mbah
Sadimen dengan menangis. Dia pun tidak mau menyeruput susu yang diminumkan oleh
Maryamah.
Maryamah jadi heran. Kenapa Mbah Sadimen sangat benci
dengan perayaan agustusan ini. adakah yang salah? Teka-teki ini muncul dari
sikap veteran yang berusia 95 tahun ini.
”Sekarang begini saja, Mbah. Tolong katakan penyebab
sikap Mbah yang tidak senang dengan perayaan memperingati hari kemerdekaan
bangsa ini. Biar saya dan para tetangga ini tidak bingung dengan ulah Mbah yang
aneh ini,” pinta Maryamah.
”Jauh, jauh dengan tujuan,” katanya.
”Lho, ya membingungkan orang lagi. Apanya yang
jauh? Saya sejak tadi kan dekat dengan Mbah,” goda Maryamah.
”Kamu itu cucu macam apa tidak tahu tujuan,” celetuk Mbah
Sadimen.
”Wes, nang crita biar saya dengarkan,” pungkas
Maryamah.
Mbah Sadimen memperbaiki posisi duduknya. Dia
menyandarkan punggung yang tinggal kulit dan tulang karena digerogoti usia.
Matanya berkaca-kaca menatap ke halaman rumah. Dia sesekali berdiri sambil
mengarahkan jari telunjuknya ke luar ketika ada orang yang melintas di depan
rumahnya.
”Mana susunya?”
Maryamah pun cekatan. Dia meminumkan susu yang tinggal
setengah gelas sambil mengamati mulut yang seakan masih membekas suara pekikan
merdeka.
Setelah menghabiskan segelas susu, Mbah Sadimen menyuruh
Maryamah diam untuk mendengarkan jawaban dari teka-teki sikapnya.
Mbah Sadimen menceritakan semua yang menjadi alasan
kenapa dia benci dan marah ketika ada karnaval peringatan hari kemerdekaan. Dia
mengemukakan beberapa alasannya. Kemerdekaan itu anugerah dari Allah, Tuhan
yang Mahakuasa yang harus disyukuri. Cara mensyukurinya adalah mengisi
kemerdekaan dengan hal-hal baik yang dapat
memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat. Termasuk juga dengan
mencerdasakan kehidupan anak bangsa agar bisa mewujudkan cita-cita luhur para
pejuang kermerdekaan.
”Upacara dan karnaval apa tidak cukup sebagai upaya
bersyukur?” sela Maryamah.
”Jauh. Jauh sekali dari rasa bersyukur,” jawab Mbah
Sadimen singkat.
Mbah Sadimen melanjutkan ucapannya. Dia mengatakan bahwa
karnaval saat ini tidak ada nilai rasa syukurnya pada Allah. Hanya hura-hura
dan senang-senang belaka. Hanya joget-joget, mengumbar nafsu, dan
perbuatan-perbuatan fasiq lainnya. Bahkan, Mbah Sadimen bilang karnaval
agurtusan ini hanyalah mengkufuri nikmat kemerdekaan.
”Mosok karnaval membawa dan minum tuak. Mereka
berjalan-jalan sambil mabuk-mabukan. Tak jarang mereka tawuran karena pengaruh
minuman keras,” imbuhnya.
”Oalah, ini to yang menyebabkan Sampean benci
karnaval,” sergah Maryamah.
”Iyalah. Keringat, darah, dan air mata para pejuang
diganti dengan tuak. Minuman haram yang memabukkan. Ini namanya pelecehan. Bisa
menodai nilai-nilai suci kepahlawanan. Selain itu, ada joget-jogetan laki-laki
dan perempuan. Roknya cingkrang. Tidak seperti itu bersyukur pada
Allah,” ucap Mbah Sadimen.
”Tapi, yang baik-baik juga ada,” sanggah Maryamah.
”Yang baik-baik biarlah. Tapi, yang mabuk-mabukan dan
joget-jogetan itu yang saya benci. Mencemari nilai perjuangan saja. Kasihan
mereka,” katanya.
”Mereka siapa lagi, Mbah?”
”Para pejuang kemerdekaan yang sudah gugur. Bukannya
didoakan malah dinodai nilai perjuanganya dengan perbuatan dosa,” pungkasnya.
Maryamah lega. Dia sudah tahu alasan kakeknya yang
membenci karnaval perayaan hari kemerdekaan. Dia punya bahan yang banyak untuk
bisa disampaikan kepada para tetangga yang selama ini dirundung rasa penasaran
atas sikak mbahnya.
Baru saja Maryamah ke belakang membawa gelas susu Mbah
Sadimen yang sudah kosong, terdengar riuh suara drumband dan aneka musik dari
kejauhan. Maryamah berlari-lari kecil keluar. Dia akan melihat kemeriahan karnaval peringatan hari
kemerdekaan.
”Nduk, nduk, nduk. Mau ke mana?” tanya Mbah
Sadimen dengan tangan hendak menahannya.
”Lihat karnaval, Mbah. Di situ saja, ya,” jawab cucu Mbah
Sadimen yang sudah beranak tiga ini.
Mbah Sadimen mengelus dada. Dia tidak bisa berbuat
apa-apa. Lelaki berusia hampir seabad ini hanya bisa meratap dan menyesali
perbuatan fasiq yang biasanya mewarnai karnaval hari ulang tahun kemerdekaan
bangsa ini. Dia hanya bisa berdoa dan berharap semoga generasi saat ini sadar pada
tanggung jawabnya melanjutkan cita-cita luhur para pejuang bangsa (*)
Wanar, 27 Agustus 2022
Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU
Babat. Beberapa cerpen dan puisinya bertebaran di berbagai media cetak dan
online. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Lelaki yang Menikahi
Bayangan Sendiri. Penulis beralamat di Wanar, Pucuk, Lamongan.