Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 13 Januari 2019

Veteran Perang


Veteran Perang
Cerpen karya Ahmad Zaini

Mbah Karpen berbaring di atas dipan dari bahan bambu. Ia kembali menyelimuti tubuh rentanya dengan sarung kusam usai menjalankan salat subuh. Dua bantal digunakan menyangga kepalanya agar mudah bangun jika hendak memerlukan sesuatu. Mata sayu karena dia terjaga sejak pukul dua, menatap kerangka atas rumahnya. Sinar matahari yang kian terang menerobos celah genting memaksanya bangkit dari pembaringan. Mbah Karpen melihat secangkir kopi di atas meja. Rupanya Sulasiyem, anaknya, yang telah menyediakannya sebelum berangkat ke sawah.
Tangan renta berkulit keriput agak gemetar meraih secangkir kopi. Mbah Karpen bersusah payah untuk sekadar mendekatkan bibir cangkir ke bibirnya yang menghitam dan kering. Keinginan kuatnya mendaratkan kopi di mulutnya akhirnya berhasil. Ia menyeruput kopi pahit buatan anaknya.
Kamdulillah!” ucap syukur terdengar tak sempurna sembari tangan kirinya mengusap sisa kopi yang melekat di bibir.
Mbah Karpen meletakkan secangkir kopi di atas meja. Lelaki renta veteran ini menyisakannya untuk diminum pada siangnya. Dia tidak ingin merepotkan anaknya yang telah menjanda sejak puluhan tahun silam.
”Blummm!” gelegar suara terdengar dari luar rumahnya.
Mbah Karpen menahan gerakan tubuhnya yang hendak direbahkan di pembaringan. Sisa-sisa gerak saat masih aktif menjadi pejuang masih kental. Dia berdiri tegap meski sudah tak segagah dulu. Bebet sarung dikencangkan. Ia berjalan tertatih ke arah pintu depan. Sesampai di pintu, Mbah Karpen melihat bendera merah putih yang baru dua jam dipasang Sulasiyem.
Tubuh renta Mbah Karpen yang semula di sandarkan padan kusen pintu seketika berdiri pada posisi siap. Tangan kanan keriputnya diangkat perlahan lalu melakukan sikap hormat pada sang saka merah putih.
”Hormat, gerak!” katanya lirih.
Blummm!” suara itu lagi dari kejauhan.
Mbah Karpen kaget. Ia bergegas mendekat ke almari di samping pembaringannya. Kedua tangannya memilah-milah tumpukan lipatan baju dengan gemetar. Dia mencari pakaian perang yang  pernah dikenakan sewaktu pertempuran merebut kemerdekaan.
Mbah Karpen ke ruang belakang. Dia melihat sebatang bambu penahan pintu dapur rumahnya. Dia mengambilnya sebagai senjata perang meski meski bambu tersebut digunakan anaknya sebagai penahan pintu bambu rumahnya.
Mbah Karpen berjalan keluar dengan pakaian dan peralatan perang. Tangan kanannya mengepal ke udara sambil memekikkan kata ’merdeka’. Kedua kaki yang sudah tak tegak berjalan menyusuri jalan kampung yang berdebu. Ia mencari suara yang mirip dentuman meriam penjajah kala perang merebut kemerdekaan.
Matahari telah merangkak tinggi. Debu di tengah jalan diterpa angin siang hingga terbang ke sana kemari. Mbah Karpen tetap berjalan menembus hempasan angin bercampur debu itu. Dia tidak memedulikan butiran debu menampar wajah keriputnya. Veteran perang yang sudah berusia lanjut ini berjalan mengendap-endap. Matanya manatap teliti menyapu semua yang terhampar di depannya. Ia tidak melihat satu orang pun di depannya. Jalan itu sepi. Maklumlah, siang itu sebagian besar warga masih bekerja di sawah. Mereka belum ada yang pulang.
Blummm!” dentuman suara yang mirip meriam itu terdengar lagi.
Mbah Karpen sembunyi di balik pagar hidup rumah Kastawi. Dia tiarap sambil memoncongkan bambunya ke arah suara. Ia siaga dan siap menancapkan bambu runcingnya ke musuh bila sewaktu-waktu mereka muncul dari arah depannya.
Tubuh renta Mbah Karpen bergerak pelan. Ia merayap di tanah. Dia mengintai musuh yang hingga kini belum muncul. Peci yang hampir jatuh dikenakan lagi. Kacu leher merah putih diikatkan kencang. Ia bergerak seperti buaya di atas rerumput kering di balik pagar tanaman beluntas. Sebotol air yang terselip di pinggangnya dibuka. Ia meneguk air putih yang diisi dari gentong menjelang keberangkatannya ‘berperang’. Setelah dirasa aman dan tak ada musuh, Mbah Karpen muncul dari pagar rumah Kastawi.
Mbah Karpen melanjutkan perjalanan. Dia mengelilingi jalan kampung untuk mencari musuh. Ketika melintas di atas jembatan, Mbah Karpen dikejutkan suara dentuman itu lagi. Dia lantas terjun ke kali yang berlumpur dan berair tipis .
Separuh tubuh renta Mbah Karpen dibenamkan di dalam lumpur berair tipis di bawah jembatan. Dia menelungkup sambil mengangkat kepala agar matanya bisa melihat musuh yang sewaktu-waktu datang.
Dari kejauhan dia mendengar deru suara mobil. Mbah Karpen yakin bahwa itu adalah suara truk yang mengangkut tentara musuh. Suara truk itu semakin lama semakin dekat. Sebentar lagi truk itu akan melintas di jembatan kayu persembunyian Mbah Karpen.
Truk itu berhenti sebelum melintasi jembatan. Mesinnya masih mengeluarkan bunyi bising memekakkan telinga. Dua orang turun dari truk untuk mengecek kondisi jembatan kayu.  Setelah itu, kedua orang tersebut naik ke truk lagi.
Truk bergerak pelan. Pengangkut drum kosong minyak tanah dari toko Pak Munjali ini melintas jembatan dengan hati-hati. Saat posisi truk tepat di atas jembatan, rodanya melindas batu sebesar kepalaan tangan orang dewasa. Batu itu jatuh lewat celah jembatan kayu lalu  mengenai punggung Mbah Karpen yang masih bertiarap di bawah jembatan.
Aduh, punggungku tertembak musuh,” ucap Mbah Karpen sambil menyengir kesakitan.
Lelaki tua dan sudah pikun ini mengangkat tubuhnya yang terbenaman di dalam lumpur berair tipis di bawah jembatan. Dia bergeser mendekat ke tiang penyangga jembatan. Dia menyandarkan tubuhnya pada kayu penyangga itu sambil menunggu bantuan relawan medis peperangan.
***
Sulasiyem datang dari sawah. Dia menyangkutkan caping lebar di tiang emper rumahnya. Sulasiyem masuk rumah lewat pintu belakang. Tangannya merogoh penahan pintu dari celah gedek atau dinding bambu. Tangannya tidak menyentuh benda yang dimaksud. Pintu yang biasanya ditahan dengan sebatang bambu itu dapat dibuka dengan mudah.
”Pak, Pak!” Sulasiyem memanggil-manggil bapaknya.
Rumah sepi. Tak ada sahutan jawaban Mbah Karpen seperti biasanya. Sulasiyem lantas menuju ke dipan bambu, pembaringan bapaknya. Dipan kosong. Mbah Karpen tidak ada di situ. Sulasiyem lantas keluar rumah dengan panik. Dia menjinjing jariknya sambil memanggil-manggil bapaknya. Hingga matahari lingsir ke barat, veteran perang yang telah pikun ini belum juga ditemukan.
Sulasiyem tidak berputus asa. Dia tetap mencari bapaknya di seantero kampung. Sulasiyem menanyakan keberadaan bapaknya pada semua orang yang dijumpai. Akan tetapi, tak satu pun dari mereka yang mengetahui keberadaan bapaknya.
Setelah sampai sore gagal menemukan bapaknya, Sulasiyem melapor kepada kepala dusun.
”Pak Kasun, bapakku hilang,” lapornya kepada kepala dusun.
”Hilang ke mana?”
”Tidak tahu. Saya sudah mencarinya, namun belum menemukannya. Tolong, Pak Kasun! Bantu saya mencari bapak,” pinta Sulasiyem.
”Baiklah, mari kita cari bersama-sama!” sanggup kepala dusun.
Sulasiyem, kepala dusun, dan dibantu oleh beberapa warga kampung bergerak bersama-sama mencari Mbah Karpen. Mereka menyusuri gang-gang kampung agar bisa menemukan Mbah Karpen. Akan tetapi, sampai matahari menjingga, Mbah Karpen belum juga ditemukan.
Ketika serombongan warga pencari Mbah Karpen melintas di atas jembatan kayu, mereka berhenti. Salah satu dari mereka ada yang mendengar suara orang yang meminta tolong dengan samar. Setelah diperhatikan dengan saksama ternyata benar. Dari bawah jembatan mereka mendengar suara orang tua yang merintih kesakitan sambil meminta pertolongan. Mereka berhamburan menuruni jalan kampung itu menuju ke bawah jembatan.
”Bapak!” teriak histeris Sulasiyem saat melihat lelaki tua yang menyandarkan tubuhnya pada tiang kayu penyangga jembatan.
”Yem, aku tertembak musuh. Lihatlah punggungku!” kata Mbah Karpen dengan suara serak kepada anaknya.
Sulasiyem, Pak Kasun, dan para warga lantas mengangkat tubuh renta Mbah Karpen dari bawah jembatan. Mereka membawa lelaki tua ini ke rumahnya. Bibir Mbah Karpen gemetar dengan tubuh menggigil kedinginan karena terlalu lama berendam dalam lumpur berair tipis di bawah jembatan.
Setelah memandikan dan merapikan pakaian bapaknya, Sulasiyem menyuapkan sepiring nasi pada veteran perang ini. Mbah Karpen melahap nasi berlauk tahu tempe ini dengan cepat. Mbah Karpen mengakhiri makan sorenya dengan menyeruput secangkir kopi hangat. Sesaat kemudian, tubuh renta yang mulai menghangat itu dibaringkan di dipan bambu dengan diselimuti sarung kusam oleh anaknya.  (*)
 Wanar, Agustus 2018

*Ahmad Zaini merupakan pemenang Sayembara Penulisan Prosa Fiksi Jawa Timur dalam rangka Festival Panji Nusantara 2018.
Saat ini tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan