Hidayah
di Ujung Sya’ban
Cerpen karya
Ahmad Zaini
Tubuh Minah tergolek lemas. Dia tak punya tenaga. Rupanya
usia telah menggerogoti kekuatan yang sudah hampir 80 tahun digunakan. Dulunya
Minah merupakan wanita perkasa. Dia mampu mengerjakan pekerjaan laki-laki.
Minah bisa mengelola sawah, kebun, dan lain-lain yang biasanya dikerjakan
suaminya. Pekerjaan berat ini dilakukan semenjak suaminya meninggal dunia
akibat asma.
Kulitnya keriput. Rambutnya memutih. Giginya tersisa di
bagian depan saja. Itu pun sudah tidak sekokoh sebelumnya. Apabila dia
menginginkan makanan yang agak keras, anak perempuan Minah melembutkan makanan
tersebut terlebih dulu. Makanan yang telah dilembutkan itu kemudian disuapkan perlahan-lahan oleh
anak perempuan satu-satunya. Minah merasakan dan menikmati makanan melalui
suapan anak yang selama ini merawatnya.
Hampir tiga bulan lamanya Mbok Minah terkulai di ranjang.
Dia merasakan sakit di punggung hingga tembus dada. Minah mengandalkan bantuan
anak perempuan itu untuk sekadar bisa duduk. Itu pun tidak bertahan lama karena
punggungnya tidak mampu menahan beban tubuhnya. Dia ingin berbaring. Sekali
lagi dia juga tidak mampu berbaring sendiri. Minah menunggu anak yang dianggap gemati
padanya itu membaringkannya.
”Kakakmu di mana?” tanya Minah lirih.
”Dia kerja ke luar kota,” jawab anak perempuannya.
”Lama sekali dia tidak pulang?” sambung Minah.
”Tidak usah dipikirkan. Kakak sudah dewasa dan bisa
menjaga diri. Kalau sudah menyelesaikan pekerjaannya, kakak pasti pulang,”
hibur Suci agar si ibu tidak selalu memikirkan anak laki-lakinya.
Sebetulnya Minah memiliki empat anak. Anak sulungnya
laki-laki. Dia sudah menikah dan dikaruniai dua anak. Anak pertama tersebut
meninggal dunia dan dimakamkan di perantuan. Anak kedua laki-laki dan sudah
menikah pula. Dia dikaruniai satu orang anak. Namun, anak keduanya
menetap di luar kota. Anak ketiga juga laki-laki. Saat ini dia tinggal di luar
kota juga dan telah memiliki tiga anak. Anak keempat Minah atau si bungsu
berjenis kelamin perempuan. Namanya Suci. Dia memunyai tiga anak. Dia tinggal
satu rumah dengan Minah. Anak perempuan satu-satunya inilah yang setiap hari
merawat dan memenuhi semua kebutuhan Minah.
Pagi buta ketika orang-orang masih tidur, Suci sudah
bangun. Dengan masih menahan rasa kantuk, Suci mengerjakan pekerjaan dapur. Dia
harus bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan buat ibu, anak-anak, dan
suaminya yang berprofesi sebagai guru. Suami dan anak-anaknya biasanya
berangkat ke sekolah pada pukul enam pagi. Maka dari itu, Suci harus bangun
pagi-pagi untuk menyelesaikan semua pekerjaan dapur sebelum jam tersebut.
Di sela-sela kesibukan menyiapkan sarapan pagi, Suci
mengerjakan tugas baru sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Dia
membantu ibu bangun tidur dan membersihkan semua kotoran yang belepotan di
selimut ibunya. Suci tidak merasa jijik. Kedua tangannya sigap membersihkan
kotoran yang menempel di selimut dan di tubuh ibunya. Dia membopong tubuh kurus
Mina ke kamar mandi. Suci memandikan dan menyucikan Mbok Mina dari najis
kemudian membantu ibunya melaksanakan salat shubuh sembari berbaring di ranjang.
”Pak, sarapan pagi sudah siap. Silakan makan agar tidak
telat sampai sekolah,” seru Suci pada sauminya yang masih duduk dan berkutat di
depan kaptop.
”Siap, Bu,” sahutnya.
Begitulah keseharian yang dijalani oleh Suci. Dia
sendirian mengurusi ibu dan kebutuhan keluarga.
”Kakakmu di mana?” tanya Minah mengulang
pertanyaan-pertanyaan sebelumnya.
Suci tidak segera menjawab. Dia kesal mengamati sikap
kakak yang dimaksud ibunya karena tidak punya rasa peduli sedikit pun pada
Mina. Lambat laun Suci tidak tega melihat air muka ibunya yang gelisah. Raut
muka Mina melukiskan kesedihan mendalam. Ada rasa cemas menggerogoti jiwanya
setiap kali menanyakan anak ketiga ini.
”Bu, jangan memikirkan kakak. Dia bisa menjaga diri,”
kata Suci mengulang kata yang pernah diucapkan sebelumnya.
Suci sebenarnya geregetan setiap kali ibunya
menanyakan kakaknya itu. Dia menyesalkan sikap sang kakak tidak pernah
memedulikan ibunya. Jangankan membantu ibu membangunkan dari tempat tidur,
menanyakan kabar saja tidak pernah, gerutu Suci. Padahal, kakak yang satu ini
setiap hari di rumah dan beberapa kali melintas di depan kamar ibu. Namun, dia
menoleh untuk melihat ibu sekali saja tidak pernah. Sikap kakaknya seperti
itulah yang paling dibenci oleh Suci.
”Itu tadi yang baru saja lewat siapa?” Minah sempat
melihat sekelebat bayangan anak emasnya dari kaca almari.
”Tidak ada siapa-siapa,” jawab Suci membohongi ibunya.
Hal ini terpaksa dilakukan agar ibu tidak semakin merana karena dicueki oleh
kakaknya.
Mata Mina berkaca-kaca setelah mendengar jawaban Suci.
Dia merasakan seperti ada yang ditutup-tupi mengenai kakaknya. Wajah Mina
menggoreskan kegelisahan dan kesedihan. Dia menyedihkan kenapa anak-anaknya
tidak ada yang memedulikannya ketika dalam kondisi sakit seperti yang dialami
saat ini.
”Jangan khawatir, Bu! Saya siap merawat dan mengurus Ibu
sehari semalam,” hibur Suci.
”Aku sedih saat pagi. Kamu dan suamimu ke sekolah. Aku
sendiri di rumah,” keluh Mina pada Suci yang juga seorang guru TK.
”Semua kebutuhan Ibu sudah saya siapkan. Kalau ingin
buang air, di sini saja. Ibu tidak usah ke kamar mandi. Nanti biar saya
bersihkan ketika pulang,” saran Suci sambil menunjuk ke ember yang diletakkan
di bawah ranjang.
Mina diam. Tatapan matanya kosong meskipun Suci telah
berjanji merawat dan mengurusnya. Dia tetap memikirkan dan menyedihkan anak
ketiganya. Anak gandolan ing ati atau anak emas itu sampai saat ini
belum pernah menjenguk atau menanyakan kondisi ibunya.
Di ujung bulan Sya’ban suasana agak berbeda. Guncangan
dalam jiwa Mbok Mina mereda. Kata-kata yang keluar dari mulutnya melandai. Tak
ada ungkapan kecewa atau sakit hati pada anak yang dianggapnya tak punya niat
balas budi. Dia sadar bahwa harapan mendapat balas jasa dari anak itu tidak
tepat. Hal ini dikarenakan merawat dan mengasuh anak sudah menjadi keewajiban
orang tua. Lebih-lebih sosok ibu. Mbok Minah telah mengikhlaskan apa yang
pernah dilakukan kepada anak-anaknya.
”Aku ikhlas. Aku tak mengharapkan imbalan apa-apa dari
kalian. Semoga anak-anakku menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua
agar kelak anak-anaknya juga melakukan hal yang sama. Aku rela,” kata lirih
Minah saat Suci menyuapinya.
Suci sangat lega mendengar kata-kata sang ibu. Dia meyakini
kondisi ibunya akan memulih lantaran hati dan pikiran tidak terbebani dengan
harapan balas budi anak ketiganya. Perkataan ibunya tidak sekeras
sebelum-sebelumnya. Emosi juga terkontrol. Ini sangat membantu Suci saat
memberikan asupan makanan dan nutrisi kepada ibunya.
”Makan dan minum secukupnya agar tenaga cepat pulih dan kuat
sehingga besok bisa melaksanakan puasa,” pinta Suci sambil menyuapkan nasi
kepada ibunya.
”Kapan mulai puasa?”
”Besok pagi,” jawab Suci.
Senja bulan Sya’ban Allah telah membuka hati anak ketiga
Mbok Minah. Allah telah memberi hidayah dan menuntun lelaki beranak tiga itu datang
ke rumah. Tubuh tinggi besar dan berotot kekar dengan rambut berkuncir datang
bersama istri dan ketiga anaknya. Dia masuk rumah dengan gaya biasanya, sluman-slumun-slamet.
Istri dan anak-anaknya mengiringi di belakang. Mereka serempak mengucap salam
lalu disahut Suci serta Mbok Minah dari dalam kamar.
Suci menyambut
kakak perempuan ipar beserta para keponakannya. Dia mengarahkan para keponakan
menjenguk nenek dalam kamar. Anak-anak yang lugu itu menghampiri dan meraih
tangan kanan si nenek. Mereka bersalaman. Para cucunya mencium tangan kanan
neneknya, sedangkan Mbok Minah membelai kepala cucu-cucunya yang lugu itu.
Tak berselang lama anak ketiganya bersama istri berdiri
di pintu kamar. Sang anak yang selama ini menjadi beban pikiran Minah
menghamburkan diri ke tubuh Minah yang terbaring di ranjang. Lelaki itu
mendekap tubuh ringkih ibunya sambil menangis. Dia memohon maaf atas
ketidakpedulian yang selama ini dialakukan pada sang pemilik surganya. Lelaki
itu menyesal karena tidak mengacuhkan ibu. Dia sadar bahwa itu adalah
kekeliruan terbesar dalam hidupnya. Dia berharap sang ibu memberi maaf dan
ridlo atas kesalahan yang dilakukan.
Suci dan kakak perempuan iparnya berdiri mematung di
sebelah ranjang. Mereka terharu melihat peristiwa itu. Mata Suci berkaca-kaca.
Sedetik kemudian air matanya mengalir melintasi pipi yang dibiarkan polos tanpa
bedak ini. Suci melepas napas panjang. Dia merasa lega dan bangga karena
kakaknya telah menyadari kesalahannya.
Matahari senja semakin menjingga. Sinarnya berubah kuning
keemasan. Hembus angin tak sekencang sebelumnya. Angin memberi kesempatan malam
menyapa siang. Perlahan si raja siang perlahan undur diri di balik rerimbunan
rumpun bambu. Saat itu juga, Mbok Minah bangkit dari pembaringan panjangnya.
Dia duduk dan menyaksikan anak-anak, menantu, dan para cucu berwudlu untuk
persiapan menunaikan salat maghrib secara berjamaah. (*)
Wanar, Maret-April 2022