Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 09 Desember 2023

Jam Malam-cerpen Jawa Pos Grup Radar Bojonegoro, 3 Desember 2023

 

Jam Malam

Karya Ahmad Zaini

 

Tiga minggu ini Karto terlihat bersedih. Wajahnya murung. Matanya sayu. Setiap pagi, siang, dan sore dia menghabiskan waktu duduk di kursi tua berbahan rotan di samping kanan pintu rumah. Dia berdiri bila perut lapar atau hendak buang air besar. Pantatnya seakan menyatu dengan kursi rotan meskipun punggungnya gatal-gatal oleh gigitan kutu rotan, tinggi.

Kesedihan Karto bukan tanpa alasan. Dia bersedih karena kebiasan anak keduanya yang sering berkeluyuran malam hari. Anak laki-lakinya sering pulang pukul satu atau dua dini hari. Entah dari mana dan apa yang dilakukan sampai pulang ke rumah larut malam.

”Di warung itu tiap malam dipenuhi anak-anak remaja hingga pagi. Mereka hanya duduk-duduk bermain hape,” kata Ruslan, rekan Karto, yang kebetulan rumahnya dekat dengan warung.

Sepanjang jalan di daerah Karto, warung-warung bermunculan seperti jamur tumbuh di awal musim hujan. Rata-rata warung tersebut menyediakan fasilitas wifi selain kopi dan gorengan. Inilah alasan mengapa anak-anak remaja betah duduk di warung semalam suntuk. Padahal, paginya mereka berangkat sekolah. Tak ayal Karto sering menerima kabar dari guru bahwa anaknya sering tidur di kelas.

Kabar tentang klitih yang terjadi akhir-akhir ini menambah beban pikiran Karto. Dia tidak bisa tidur selama Roni, anaknya,belum pulang. Karto gelisah. Dia takut anak lelaki satu-satunya ini menjadi korban klitih seperti yang dialami anak seusianya di daerah sebelah.

Karto sadar lingkungan pergaulan sangat berpengaruh terhadap kepribadian anaknya. Dia khawatir anaknya terjerumus dalam pergaulan negatif di warung itu kemudian bergabung dengan kelompok kriminal.

Kekhawatiran Karto bermula saat Roni minta dibelikan sepeda motor.  Sepeda motor yang dibeli dengan uang penjualan sebagian sawahnya itu diprotoli. Kelengkapan bodi sepeda rakitan pabrik dilepasi semua. Sekarang sepeda Roni tinggal seperti kerangka manusia. Knalpot, setir, dan roda motor Roni tidak standar. Apabila motor Roni dinyalakan, raungan suara motornya terdengar dari jarak tiga kilo meter.

Beberapa kali Karto menegur Roni. Dia malu ulah anaknya menjadi buah bibir masyarakat. Namun, teguran Karto sering diabaikan Roni. Bahkan, suatu hari Roni pernah mengancam akan minggat jika sang ayah selalu melarang keinginannya.

”Tolong, tolong, tolong!” teriak dari kejauhan.

Karto dan para tetanggga keluar rumah. Mereka melihat ada beberapa remaja berkejar-kejaran. Mereka saling menyerang dengan senjata tajam. Mereka beradu senjata hingga menimbulkan bunyi dentingan mengiris hati. Salah satu dari mereka tersungkur. Kemudian yang lain berlari menjauh meninggalkannya. Seketika itu pula suasana menjadi senyap. Tak ada teriakan minta tolong. Tak ada dentingan senjata tajam. Tak ada kilauan pedang yang beradu ketajaman di bawah sorot lampu jalan.

Karto dan para tetangga menghampiri korban yang meringkuk bersimbah darah. Korban tak berdaya. Dia hanya mengerang kesakitan karena luka sabetan pedang di sekujur tubuhnya.

”To, Roni anakmu,” kata Ruslan.

Karto mendekati korban dengan tubuh gemetar. Tangan kanan karto mengusap wajah korban yang berlumuran darah dengan pelan-pelan untuk memastikan kebenaran ucapan Ruslan. Ternyata benar. Korban itu adalah Roni.

”Anakku,” jerit Karto sambil membopong tubuh anaknya.

”Ambulan desa. Cepat hubungi sopirnya,” pinta Ruslan.

Tangis Karto pecah. Dia menjerit sekuat-kuatnya. Dia tidak mengira kalau remaja yang menjadi bulan-bulanan pelaku tadi adalah anaknya. Dia menyesal kenapa tidak langsung menolongnya saat itu.

”Andai tadi kita langsung ke sini, tidak mungkin anakku seperti ini,” kata Karto lirih kepada tetangga lainnya.

Ambulan datang dengan raungan suara sirinenya. Karto dibantu tetangga mengangkat korban kemudian membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis.

***

  Klitih telah merajalela. Klitih merambah daerah kita. Semalam Roni anak Pak Karto, warga kita, telah menjadi korban.  Kita harus bertindak supaya tidak ada korban-korban lainnya,” kata kepala desa dalam rapat di balai desa.

”Betul sekali, Pak. Kita harus menjaga desa kita dari aksi klitih yang membahayakan nyawa warga,” sambung Ruslan.

”Bagaimana dengan yang lain?” tanya kepala desa.

”Setuju,” sahut warga yang hadir dalam rapat itu dengan serentak.

”Bagaimana caranya?”

”Kita berlakukan jam malam. Semua warga dilarang keluar kampung malam hari,” usul Ruslan.

”Setuju. Mulai jam berapa dan siapa petugasnya?” tanya peserta rapat lainnya.

”Mulai pukul sembilan malam, semua warga tidak boleh keluar kampung. Kecuali, ada kepentingan yang tidak bisa ditunda. Untuk mengawasi warga agar tidak keluar kampung, kita bentuk jadwal piket jaga yang melibatkan seluruh warga. Terutama warga laki-laki baik remaja maupun dewasa,” jawab Ruslan.

”Saya sangat setuju usulan Pak Ruslan. Mulai besok, rencana ini kita jalankan agar warga kita aman. Tidak ada korban lainnya,” pungkas kepala desa.

Hasil pertemuan para tokoh kampung ini disebarluaskan ke warga lain. Tidak membutuhkan waktu lama, kebijakan pemberlakuan jam malam telah sampai ke telinga seluruh warga. Para orang tua juga diimbau untuk menjaga anak-anaknya agar tidak keluar rumah atau kampung.

Para pemilik warung kopi tak luput dari kebijakan ini. Mereka harus menutup warungnya mulai pukul sembilan malam. Jika ada pelanggar aturan jam malam, maka perangkat desa segera memberi sanksi. Warung mereka akan ditutup paksa oleh petugas.

”Pendapatanku turun apabila diberlakukan jam malam,” kata pemilik warung kopi tempat mangkal remaja kampung.

”Sementara saja, Cak. Bila sudah aman dan situasi normal, bisa buka lagi,” jelas Ruslan, penggagas program jam malam.

Hari pertama pemberlakuan jam malam terasa berat. Petugas jaga kewalahan menghalau anak-anak remaja yang nekat akan keluar kampung. Mereka tidak betah tinggal di rumah. Mereka tetap ingin ke warung kopi meskipun ibunya telah menyiapkan kopi di rumah.

”Demi keselamatan kalian, ayo, kembali! Jangan ada yang keluar kampung,” bujuk petugas jaga. Anak-anak  yang rerata usia sekolah ini menuruti permintaan petugas. Mereka kembali ke rumah.

Jalan raya tak seperti biasanya. Jalan beraspal itu hanya dilalui truk, bus, dan kendaraan lain. Para pengguna jalan sekadar melintas saja. Tidak terlihat kerumunan remaja yang biasa mangkal di bawah lampu penerang jalan atau di bundaran. Tak ada remaja di warung kopi. Selain warung tutup, para orang tua telah berhasil melaksanakan tugas dengan baik.

Petugas jaga duduk di area gapura kampung. Mata mereka mengamati situasi sekeliling dengan jeli. Mereka tidak mau kecolongan aksi nekat warganya yang menyelinap melalui semak belukar. Para petugas jaga jam malam benar-benar fokus melaksanakan tugas. Demi keamanan dan keselamatan warganya.

”Drun, semak-semak itu bergerak-gerak,” bisik Sukri pada Badrun.

”Benar. Pasti itu ada warga yang akan keluar kampung,” sahut Badrun.

Kedua petugas ini berjalan mengendap-endap mendekati semak belukar. Mereka hendak memastikan siapa yang ada dalam semak.

”Siapa itu?” tanya Badrun. Namun, tidak ada jawaban.

”Hai, siapa di sana,” sambung Sukri. Sama tidak ada yang menyahuti pertanyaan Sukri.

Kedua orang ini memberanikan diri menyisir semak belukar. Mereka tak gentar dengan bahaya sengatan atau gigitan serangga malam dan ular. Sesampai di tempat dimaksud, eh, ternyata hanya seekor kucing yang memangsa tikus.

Kedua petugas jaga malam kembali ke pos. Mereka siap begadang semalam suntuk sampai jam malam berakhir, yakni ketika azan subuh dikumandangkan Mbak Rifai. Mereka bertekad bulat melayani masyarakat dengan menjaga keamanan kampung dari ancaman klitih dan genk motor yang meresahkan warga kampung.

Pemberlakuan jam malam benar-benar ampuh. Tidak ada gangguan keamanan lagi di kampung. Para pelaku aksi kekerasan yang biasanya berkeliaran di wilayah ini tidak ada yang berani mendekati kampung. Mereka menyadari niat jahatnya telah terendus oleh warga kampung. Mereka tidak mau mati sia-sia akibat dikeroyok warga yang siap menghalau dan menumpas aksi jahatnya.

Sekarang kampung ini damai. Warga tidak dirundung kecemasan. Roni anak Pak Karto juga sudah pulang dari perawatan di rumah sakit. Luka akibat terkena sabetan pedang anggota genk motor telah sembuh.

Bulan purnama yang turut menjaga kampung undur diri. Dewi malam menyelinap di balik pepohonan perdu tempat burung-burung bersitirahat. Azan subuh berkumandang. Petugas jaga jam malam pulang ke rumah masing-masing. Mereka hendak beristirahat untuk memulihkan energi agar dapat melaksanakan tugas jaga malam pada jadwal berikutnya. (*)

Wanar, 18 November 2023

 

Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa karya puisi dan cerpennya beredar di berbagai media cetak dan online. Dia juga telah menerbitkan beberapa buku karya fiksi. Buku terbarunya berjudul Bukan Kisah Laila Majnun.

 

  

 

 

 

 

 

  

 

 

Sabtu, 28 Oktober 2023

Syakaila, cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 29 Oktober 2023

 



Syakaila

Cerpen karya Ahmad Zaini


Alun-alun kota pagi berseri. Aneka tanaman hias bersolek dengan bunga warna-warni beraroma harum. Banyak kumbang beterbangan di sekitarnya. Sesekali kumbang hinggap sekadar menghisap madu. Matahari pagi itu juga tersenyum. Raja siang mengintip pengunjung alun-alun dari celah akasia. Cahayanya menerpa wajahku yang sedang duduk di bangku besi. Serasa aku berada di taman raja didampingi wanita terkasih. 

”Pak, kita jalan-jalan lagi mumpung masih pagi. Nanti pukul delapan sinar matahari sudah panas,” ajak istriku yang setia menemani jalan-jalan pagiku.

”Baik,” sanggupku. 

Istriku menarik kedua tanganku. Dia membantuku berdiri. Dia menggandeng tangan dengan setengah memapah karena fisikku tak sekokoh dulu. Aku dan istri berkeliling alun-alun kota sambil menikmati tanaman hias segar dan berbunga harum. 

Di masa tuaku, hampir setiap pagi waktu kugunakan berolahraga ringan di alun-alun kota. Dengan ditemani istri, aku menggerak-gerakkan anggota tubuh agar tidak kaku. Maklumlah, usiaku kini sudah delapan puluh tahun. Usia yang terbilang bonus dari Tuhan karena rata-rata usia manusia itu hanya sampai enam puluh sampai tujuh puluh. Aku manfaatkan usia bonus ini untuk memperbanyak ibadah kepada Tuhan dan menjaga kondisi fisik. 

Sudah dua puluh tahun aku menikmati masa purnatugas. Masa-masa memanjakan diri dari kesibukan tugas setiap hari. Tumpukan berkas di meja tugas tak ada lagi. Agenda kegiatan yang tertulis di papan kecil ruang kerja juga tidak pernah kulihat lagi. Kini aku menghabiskan waktu setiap hari hanya dengan istri. Ketiga anakku juga sudah hidup bahagia bersama keluarga mereka. Jika rindu anak dan cucu, tinggal video call mereka. Bahagia hatiku apabila sudah bertemu mereka meskipun hanya dari layar ponsel.

Mataku tertambat pada baliho besar di sudut alun-alun. Ada acara konser musik yang dimeriahkan penyanyi ibu kota. Aku amati baliho yang memampang foto bintang tamu dan waktu pelaksanaanya. 

Ada kekuatan menyeret ingatanku saat membaca nama sang bintang tamu, Syakaila. Nama yang tidak asing. Nama itu seperti dekat dengan masa laluku. Lisanku seakan masih ada bekas karena sering menyebut nama bintang tamu. Siapa, ya, dia? 

”Ada apa, Pak? Kuamati dirimu merenung seperti itu? Memikirkan apa?” tanya istriku.

”Lihat baliho itu. Konser musik dengan bintang tamu Syakaila,” jawabku sambil menunjuk ke arah baliho.

”Terus kenapa? Bapak mau menonton konser musik? Ingat usia,” goda istri.

”Bukan itu yang kupikirkan, melainkan nama bintang tamunya. Syakaila itu nama yang sepertinya dekat denganku. Nama itu ada dalam memori ingatanku,” jelasku pada istri.

”Jangan sok kenal sok dekat. Dia itu penyanyi ibu kota. Mana mungkin orang seusiamu dekat dengan penyanyi ibu kota.”

”Benar, Bu. Nama itu ada dalam ingatanku. Tapi, aku lupa siapa?”

”Katanya ada dalam ingatan, kok, lupa. Aneh,” sahut istriku.

Aku diam. Aku masih berusaha menyeret ingatanku ke masa lalu. Aku membuka memori ingatan untuk menemukan nama Syakaila. Aku membuka ingatan di sekitar keluarga, tetangga, dan handai tolan. Nama itu masih belum ketemu. Aku mencoba mengingat-ingat teman dan keluarga mereka di tempat kerja. Aku menyelami memori ingatanku pada satu persatu teman karibku. 

Hasmayati Farida. Dulu dia punya anak kecil yang lucu dan cerdas. Gadis kecil yang menggemaskan ini sering diajak ke tempat dinas. Dia kalau masuk ruang kerja, pinggangku selalu dikitik-kitik. 

”Apakah benar dia, Bu?”

”Siapa yang kamu maksud?”

”Dia itu Kaila. Anak teman saya. Gadis kecil dan imut yang selalu memanggilku Mbah Zain.”

”Ah, tidak mungkin, Pak. Kamu salah orang,” bantah istriku.

”Kita buktikan Minggu depan,” kataku.

Rasa penasaran mengaduk-aduk pikiranku. Wajah Kaila kecil muncul dan berseliweran di kornea mataku. Setiap aku melangkah menapaki jalan kecil berhias bunga di kanan-kiri, wajah Kaila selalu muncul.

”Aku yakin bintang tamu konser musik itu Kaila, Anak Farida,” kataku spontan tanpa kusadari terdengar istriku.

”Hati-hati kalau jalan. Jangan melamun Kaila saja. Besok Minggu kita buktikan,” sergah istriku. 

Tubuhku terasa hangat. Rupanya matahari sudah naik hingga pucuk akasia. Istriku menegur agar jalanku dipercepat untuk bisa sampai di trotoar jalan raya pinggir alun-alun. 

”Becak,” panggil istriku. Tukang becak sedang tidur-tiduran di becaknya bergegas bangun. Dia berdiri lantas menghampiri kami.

Angin sepoi menerpa wajah kami seiring laju becak kian mengencang. Aku melirik wajah istriku ceria. Dia sepertinya juga menikmati semilir angin yang menantang perjalanan. Tak membutuhkan waktu lama, becak berhenti tepat di depan rumah kami.

Perjalanan usia terkadang jarang disadari oleh seseorang. Waktu dibiarkan mengurangi jatah hidup di dunia begitu saja. Usia senja seperti diriku rasanya masih muda. Baru sadar tua ketika mengingat teman-teman sebayaku sudah banyak yang meninggal dunia. 

”Pak, susunya ini segera diminum. Keburu dingin lagi, lho,” seru istriku dari ruang tamu. 

Aku ke ruang tamu. Di atas meja terdapat segelas susu yang masih mengepulkan asap. Aromanya sedap menggiurkan. Kutuang susu dalam lepek. Kubiarkan sesaat kemudian kusruput pelan. 

”Alhamdulillah, pas susunya,” ungkapku disambut tepukan istri di punggungku.

***

Minggu pagi yang kutunggu datang juga. Aku bersama istri seperti biasa. Jogging ringan berkeliling alun-alun kota. Namun, Minggu ini tidak seperti mingu-minggu biasanya. Ada yang istimewa. Aku akan membuktikan bahwa bintang tamu Syakaila itu pasti si kecil imut anak Farida.

Muda-mudi berjubel. Mereka mendekat panggung konser demi ingin bisa melihat langsung penyanyi idolanya. Mereka tak memedulikan orang-orang di depannya. Para penggandrung Syakaila terus merangsek dan merangsek hingga dapat melihat jelas area panggung berdesain seni tinggi. 

”Bu, kita mendekat. Biar dapat melihat Kaila,” ajakku.

”Cukup dari sini saja, Pak. Toh, sudah nyaman,” tolak istriku.

Benar juga. Aku dan istriku berdiri di bawah tanaman perdu. Terlindung dari sengatan sinar matahari kemarau. Tapi rasa penasaranku kepada bintang tamu ini membuat aku ingin sekali lebih mendekat ke panggung. 

”Nah, lihat, Bu! Bintang tamu muncul. Coba kita amati,” kataku dengan sedikit gugup.

Aku dapat melihat dengan jelas penyanyi ibu kota ini. Wajahnya manis. Kulitnya putih. Rambutnya hitam dan lurus. Matanya agak sipit.

”Benar sekali, Bu. Dia Kaila. Anak Farida. Kita mendekat agar bisa menyapanya,” ajakku.

”Yakin bisa berjalan ke depan? Ingat kondisi fisikmu. Jalan saja tidak tegak,” cerca istriku dengan nada kesal.

Aku mengurungkan niatku. Tapi aku tak pantang menyerah. Aku akan mencari cara bagaimana aku bisa bertemu Kaila.

”Kita ke panitia untuk menanyakan mobil Kaila. Kalau dulu mobil ibunya berwarna putih. Yang sekarang aku tidak tahu. Nanti kita menunggu Kaila di mobilnya.”

”Baiklah. Semoga tidak sampai siang, konser sudah selesai,” sanggup istriku yang kali ini menerima ideku.

Benar sekali. Konser musik selesai lebih pagi. Menurut informasi, Kaila hari ini juga akan manggung di tempat lain. Jadi, di alun-alun kota ini dia hanya mendendangkan tiga lagu saja. 

Syakaila turun panggung dan berhenti sejenak. Dia bercakap-cakap dengan panitia konser. Aku dan istri berdiri tepat di depan pintu mobil yang ditunjukkan oleh panitia. Syakaila yang didampingi kru berjalan mendekat ke arahku. Namun, belum sampai Syakaila sampai di mobil, para kru menyuruhku minggir agar tidak menghalangi Syakaila.

”Sebentar. Kami ada perlu penting dengan Syakaila. Aku kerabatnya,” bujukku.

”Baik. Sebentar saja, Pak,” timpal salah satu kru.

Syakaila datang. Aku menyambutnya dengan rasa haru hingga tak kuasa air mataku keluar tanpa sadar. 

”Kaila. Masih ingat aku?” kataku. 

Kaila tengok ke kanan-kiri. Dia pangling. Aku memperkenalkan nama panggilan yang dulu sering digunakan Kaila saat memanggilku.

”Aku Mbah Zain. Teman ibumu,” kataku mengingatkan Kaila.

”Mbah Zain yang dulu sering kukitik-kitik lalu tertawa geli. Mbah Zain yang di meja kerjanya selalu ada makanan dan selalu menawariku menikmatinya,” sahut Kaila.

”Betul sekali. Ternyata ingatanmu tajam sekali. Syukurlah kamu masih seperti Kaila yang dulu. Meskipun menjadi penyanyi nasional, kamu tetap sudi meluangkan waktu sekadar mengobati rasa penasaranku.”

”Sama-sama Mbah Zain. Semoga Mbah Zain dan Nenek sehat selalu. Ini Mbah Zain nomor teleponku. Lain kali kita sambung ngobrolnya lewat telepon,” pungkas Kaila sambil menyodorkan secarik kertas kepadakku. Dia terburu-buru karena agendanya sangat padat.

Syakaila menjabat tanganku dan istriku. Dia tetap bersikap santun kepada siapa pun meskipun sebagai artis ibu kota. Didikan kedua orang tuanyalah yang membuatnya seperti itu.

Kini hatiku puas karena rasa penasaranku sejak tiga minggu lalu terobati. Dugaanku tidak meleset. Dia ternyata Kaila. Gadis imut menggemaskan yang sering diajak ibunya ke tempat kerja. Dia telah  menjadi penyanyi terkenal. Punya ribuan bahkan jutaan penggemar sejagad raya.

Matahari memanjat langit semakin tinggi. Sinarnya panas sekali. Istriku mengajak pulang. Aku mengikutinya sambil menggamit secarik kertas berisi nomor telepon Syakaila, penyanyi ibu kota yang kini digandrungi muda-mudi.(*)

 Wanar, 21 Oktober 2023 


Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa cerpen dan puisinya menyebar di berbagai media cetak dan online serta telah menerbitkan dalam beberapa buku. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Bukan Kisah Laila Majnun (2023). 





 

 




Sabtu, 23 September 2023

Puisi-Puisi karya Ahmad Zaini di Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 24 September 2023


 


Sajak-Sajak karya Ahmad Zaini

 

Dunia Perayu dan Penipu

 

selamat senja dunia

terima kasih engkau menerimaku

sebagai penghunimu

memberi makan dan minum

menyuguhkan segala isimu kepadaku

 

dunia penuh rayu

engkau jauhkan diriku

dari istri dan anak-anakku

engkau jauhkan diriku

dari orang tua dan guru-guruku

 

engkau menipuku dengan kegilaanmu

engkau memperdayaku

dengan cinta fatamorgana

yang tak pernah kurasa

 

selamat senja dunia

sadarlah engkau dan aku

sama-sama ciptaan-Nya

beri ruang untukku

tanpa bujuk rayumu

menikmati hidup

dalam bimbingan penciptamu

 

Wanar, September 2023

 

Pusaka Agung

 

beruntung masih hidup

di bulan mulia

kelahiran manusia agung

Muhammad nabi dan rasul

berderajat luhur

 

sejuta makna tanpa rahasia

membimbing perjalanan keselamatan

dengan pusaka agung

yang kau wariskan kepada ummat

engkau curahkan cinta dan kasih sayang

tanpa berharap apa pun dari mereka

 

pusaka agung gamblang

membuka jalan pengabdian

hamba pada Tuhannya

pusaka agung terang melarang

melintas jalan kehancuran

 

nyata ummat

mengabaikannya

sengsara dunia-akhirat

 

Wanar, 23 September 2023

 

Menyiksa Diri

 

karunia Tuhan

tak terkira

tak terhitung

mengapa mempersulit diri

mengingkarinya

 

dunia luas

kenapa mempersempit diri

berburuk sangka pada anugerah-Nya

 

napas tersengal

terjejali kecurigaan

napas mampat

tersumbat ketidakjujuran 

 

mati terbujur

di liang penuh siksa

 

Wanar, 23 September 2023

 

 

Lakune Awak lan Sikil

 

awak lan sikil

rina wengi mung agawe mampir

sak cegluk banyu kendi

seger ono ing ati

 

lapo urip gawe loro ati

senahoso saben dino

umpomo blati

nguliti kulit iki

 

alangan yo teko gembruduk

lir kadyo bandang

kang  nyeret sembarang kalir

nugsang jungkir

sirah lan sikil

tanpo rupo

anggonmu mikir

 

ati ikhlas lan bener

lakune agawe

senahoso diclathu

wong liyan sak pinunggale

 

Wanar, September 2023

 

Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa puisi dan cerpennya pernah dimuat diberbagai media cetak dan online serta menerbitkan beberapa buku. Buku terbarunya berupa kumpulan cerpen Bukan Kisah Laila Majnun, (2023). Dia berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan.

Senin, 28 Agustus 2023

Pembangkang Negara (Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 27 Agustus 2023)

 


 

Pembangkang Negara

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Pantai kelapa menjadi saksi perdebatan dua pemuda. Amrizal dan Condro berselisih paham tentang kebangsaan. Dua pemuda ini dari pagi hingga siang belum berhenti mengadu pendapat. Suara keduanya lantang beradu dengan suara ombak di laut pantai kelapa. Nada berbicaranya juga menggelegar dan terdengar jelas oleh orang-orang di sekitarnya.

”Kita ini dilahirkan di Indonesia. Kita ini hidup di Indonesia. Kita bisa makan dan minum juga dari bumi Indonesia. Mati pun kita juga dikubur di dalam tanah Indonesia. Fatal apabila ada pemuda seperti kamu menjelek-jelekkan Indonesia kepada orang lain. Terutama kepada teman-teman studimu di Afganistan,” kata Amrizal dengan nada berapi-api.

Condro bergeming. Dia mendengarkan suara Amrizal dari telinga kanan kemudian suara temannya itu keluar begitu saja dari telinga kiri. Hati Condro sudah membatu. Tidak bisa diberi masukan tentang rasa nasionalisme. Dia selalu menganggap nasihat atau masukan dari Amrizal atau dari teman-teman lainnya sebagai bualan belaka. Condro tetap menganggap bahwa Indonesia sebagai tempat lahir, hidup, dan matinya ini sebagai negara bejat. Negera yang menerapkan kebijakan tidak berpihak kepada rakyat kecil. Negara yang melahirkan kebijakan-kebijakan tidak islami. Negara pelindung para koruptor. Negara penjual hukum pada mereka yang berduit.

Amrizal tidak demikian. Negara kita, bangsa kita, Indonesia ini negara adil, bijaksana, subur, dan selalu menegakkan hukum atas dasar kebenaran. Bukan atas dasar uang. Kebijakan-kebijakan yang diundang-undangkan juga selalu berpijak kepada rakyat kecil. Berapa juta warga Indonesia mendapatkan bantuan cuma-cuma dari pemerintah. Berapa juta warga yang mendapatkan hak hukumnya atas dasar keadilan dan kebenaran.

Heh, itu pencitraan saja. semua kebijakan itu tetaplah penindasan. Tidak ada kesejahteraan. Buktinya, banyak warga menjerit karena kenaikan harga bahan bakar minyak,” sanggah Condro.

”Ternyata otakmu telah dicuci oleh guru-gurumu di Afganistan. Kamu telah menerima doktrin yang salah dari mereka. Kalau semua orang Indonesia memiliki pemikiran seperti kamu, Indonesia tidak lama lagi akan hancur. Indonesia hancur bukan karena penjajah, melainkan karena pemuda-pemuda seperti dirimu,” timpal Amrizal dengan kesal.

 ”Faktanya demikian. Kalau negara tidak mau hancur, maka terimalah saran dan usulan dari kami.”

”Usulan dari para pemikir tukang bangkang”

”Siapa yang membangkang?” tanya Condro.

”Kamu.”

”Aku mengatakan kebenaran. Pemikiranku untuk mengembalikan Indonesia ke jalan lurus. Jadi, apa salahnya aku mengungkapkan kebobrokan-kebobrokan bangsa ini,” kata Condro membenarkan dirin.

Sejenak perdebatan kedua pemuda ini berhenti. Gadis pelayan warung lesehan di pantai kelapa menyuguhkan pesanan. Dua mangkok bakso dan dua gelas es degan dihidangkan di atas gelaran tikar. Mata Condro fokus pada pelayan warung lesehan. Dia menatap dalam wajah gadis itu. Tangannya meremas-remas pasir sembari berfantasi gadis itu sebagai kekasihnya.

”Mata jangan melotot terus. Awas bola matamu keluar,” sindir Amrizal.

”Hehehe. Di Afganistan tidak ada wanita yang tak berhijab. Pakaian wanita di sana menutup seluruh aurat. Tidak ada wanita yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh sensitif di tempat umum seperti ini.”

”Tapi kamu suka dengan gadis pelayan tadi?”

”Jelas suka,” jawab Condro singkat.

Hm, ternyata hanya segitu idealismu. Keyakinanmu tentang keislaman dan kesyarian yang kamu jadikan sebagai dasar saat berdebat rontok oleh rok pendek dan kancing baju seorang gadis. Ingat, Bro! Gadis itu bukan muhrimmu. Haram jika kamu melihatnya dengan sengaja apalagi sampai menimbulkan syahwat,” timbal Amrizal.

”Kamu juga mengerti hukum seperti itu?”

”Jangan kira lulusan ngaji di langgar panggung Mbah Mus kalah oleh lulusan luar negeri sepertimu,” pungkas Amrizal.

Amrizal dan Condro sangat menikmati pemandangan dan kuliner lesehan di pantai kelapa. Amrizal bangga dan bersyukur karena telah ditakdirkan Allah hidup di negeri subur dan makmur ini. Negeri jamrud katulistiwa yang membuat bangsa-bangsa lain dari Eropa dan Asia tertarik. Terutama mereka yang pernah menjajah negeri ini dari tangan penduduk pribumi.

Di Timur Tengah tidak sesubur Indonesia. Apalagi di Aganistan tempat belajar Condro. Jangankan menikmati bakso dan minum es degan sambil bersantai di tepi pantai, menikmati kembang gula saja pun tidak sempat. Rudal-rudal para militan berseliweran di atas kepala mereka. Salah perhitungan, kepala bisa meledak karena tertimpuk rudal.

”Bersyukurlah kawan menjadi orang Indonesia,” celetuk Amrizal kepada Condro.

”Tidak,” sahut Codro sembari menggeser mangkoknya yang sudah kosong.

Amrizal tidak habis pikir kenapa orang seperti Condro belum bisa menerima kenyataan yang ada. Dia telah merasakan bagaimana enaknya hidup di Indonesia. Sejak kecil Condro tahu dan merasakan bagaimana serunya bermain air di empang selatan kampung. Dia bisa bermain layang-layang di tengah persawahan dengan tanaman padi yang hijau. Dia juga pernah dikejar oleh seorang petani lantaran mengejar layang-layang putus sembari tak memedulikan kakinya menerjang bulir-bulir padi yang menguning. Dia tidak sadar bahwa segelas es degan yang baru saja dihabiskan hingga tetes terakhir, juga dari tanaman kelapa di atas tanah Indonesia.

”Bersyukurlah kawan atas anugerah Allah seperti ini. Janganlah menjelek-jelekkan bangsa sendiri,” saran Amrizal.

”Aku benci Indonesia,” suara lantang Condro membuat orang-orang di sekitar melihat ke arahnya.

Gak bahaya, ta, kamu berteriak seperti itu?”

”Tidak. Aku tidak takut bahaya karena kebenaran. Aku benci kemungkaran. Aku benci dosa-dosa Indonesia.”

”Permisi, Mas! Mau ambil mangkok dan gelas,” kata gadis pelayan warung lesehan yang tidak diduga bisa menghentikan pekik Condro.

Oh, silakan!” kata-kata condro tiba-tiba melunak sambil memainkan lidah di kedua bibirnya.

Woi, dosa. Semprul!” celetuk Amrizal.

“Menikmati ciptaan Allah,” bantah Condro.

”Bukan muhrim, Bro.”

Tiba-tiba condro bangkit. Dia mengambil tas yang disandarkan di batang pohon kelapa. Tangan kanan Condro merogoh sesuatu di dalam tas. Ternyata yang diambil adalah rakitan bom. Kedua tangan Condro melilitkan rakitan bom di tubuhnya. Dia lari ke tengah kerumunan pengunjung wisata. Tak lama kemudian blaarrrrr. Tubuh Condro hancur. Puluhan orang tewas. Termasuk Amrizal dan gadis pelayan warung lesehan tikar turut menjadi korban.

Tak berselang lama tim petugas keamanan dari polisi dan tentara datang. Mereka bergegas menyisir dan memasang pembatas untuk memudahkan mereka dalam mengevakuasi dan mendeteksi korban. Dari identitas pelaku, polisi menyimpulkan bahwa Condro itu buronan mereka. Condro anggota jaringan teroris yang selama ini mereka buru.

Polisi dibantu masyarakat sekitar mengevakuasi korban. Amrizal yang tubuhnya tak utuh dimasukkan ke kantong janazah. Demikian juga korban meninggal lain. Korban luka dibawa ke puskemas dan rumah sakit terdekat. Mereka juga bergotong-royong merapikan serpihan bangunan yang porak-poranda akibat ledakan.

Aksi nekad Condro menyisakan duka. Aksi berkedok dakwah membuat orang lain susah karena cara dakwah yang salah. Dakwah itu bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kedamaian dan kesejukan hati. Indonesia ini negeri yang suci. Oknum-oknum pejabatlah yang berulah dan harus dinasihati agar bisa menata negeri dengan pengabdian tinggi.

Area pantai kelapa di tutup sementara oleh keamanan. Lokasi wisata yang biasanya ramai kini sunyi. Hanya air mata dan karangan bunga duka-cita menghiasi tempat itu. (*)

 

Lamongan, 19 Agustus 2023

 

Ahmad Zaini merupakan penulis yang tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan. Beberapa cerpen dan puisinya pernah dimuat di berbagai media cetak dan online. Dia pernah menerima penghargaan dari gubernur Jawa Timur sebagai pemenang GTK Creative Camp (GCC) tahun 2021 dan 2022 bidang Apresiasi Penulis Buku.