Sawah-Sawah
yang Terhempas
Cerpen karya
Ahmad Zaini*
Ketika uang telah mengharu-biru hati manusia, akal tak
lagi bisa berpikir normal. Setiap hembusan napasnya yang terpikir dan terucap
hanyalah uang dan uang. Sebagaimana yang dialami oleh warga kampung ini yang
mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Mereka ingin mendapatkan uang
yang banyak dari hasil pertanian. Akan tetapi, itu hanyalah sebuah impian
belaka karena setiap musim panen padi
harga jual gabah murah sekali. Akhirnya, mereka ingin menjual
sawah-sawahnya.
Ketika kesempatan itu datang, pemilik sawah dengan mudah
melepaskan hak kepemilikan sawahnya demi harga jual yang mahal. Para pemilik
sawah tak lagi memikirkan bagaimana nasib anak turunnya nanti. Mereka tidak
bisa mengantisipasi dampak besar yang akan ditimbulkan setelah sawah-sawahnya suatu
saat akan menjadi bangunan pabrik. Mata hati mereka telah tertutup oleh uang
sehingga pemilik sawah itu enggan menjaga dan melestarikan warisan leluhurnya.
Mereka menjual sawahnya yang selama ini sebagai penghasil bahan makanan untuk kelangsungan
hidup anak cucunya kelak.
Siang itu Hendri datang ke kediaman Yatno. Dia hendak
menawar sawah Yatno yang rencananya akan didirikan pabrik. Hendri yang
berporfesi sebagai pengusaha ini berusaha
membujuk Yatno agar mau menjual tanah yang berjarak satu petak dengan
jalan kampung. Yatno awalnya tidak mau melepas tanah tersebut ke tangan Hendri,
namun karena ditawar dengan harga yang fantastis, pendirian Yatno goyah. Dia
menerima tawaran Hendri tersebut.
Mobil sedan warna hitam yang ditumpangi Hendri segera
meningglkan rumah Yatno. Pengusaha Surabaya itu hendak mencari pemilik sawah
lain yang berada di sekitar sawah Yatno. Satu per satu didatangi, dirayu dengan
tawaran harga yang menggiurkan. Akhirnya, para pemilik sawah itu pun menerima
tawaran Hendri.
Hedri meninggalkan kampung itu. Dia tersenyum sinis
bernada meremehkan pendirian para pemilik sawah yang dengan mudah melepaskan
sawah-sawah mereka ke tangannya. Dia sendiri heran mengapa mereka semudah itu terbuai
dengan tawaran harga segitu tanpa memikirkan masa depan kehidupan mereka serta
anak cucunya. Hendri tak mau peduli dengan semua itu. Yang terpenting
sawah-sawah mereka telah berhasil dimilikinya. Dia akan mendirikan bangunan
pabrik yang supermewah di daerah perkampungan ini.
***
Kendaraan berat berdatangan ke lokasi proyek. Lalu-lalang
truk pengangkut material melintasi jalan perkampungan. Tanah liat yang menempel
di roda truk-truk proyek berceceran di sepanjang jalan. Jalan kampung itu
menjadi becek, licin, dan sangat membahayakan warga. Jalan yang belum setahun
dibangun ini sekarang seperti kandang bebek. Licin, berlumpur, dan hancur.
Jalan kampung itu tak mampu menahan beban truk proyek yang melebihi batas
tonase.
Warga mulai menggerutu seiring raungan mesin kendaraan
berat yang menderu. Mereka saling melempar pertanyaan dan jawaban. Para warga
kebingunan mencari cara jitu untuk mengatasi masalah ini.
”Kita datang saja ke Pak Polo,” usul salah satu warga
agar mereka datang ke kepala dusun.
”Saya kira percuma. Dalam hal ini Pak Polo tidak mengerti
apa-apa,” sanggah Yatno.
”Tapi, ini daerahnya. Paling tidak dia memiliki kekuasaan
untuk menunda proyek ini sampai musim kemarau datang.”
”Kalau begitu kita coba saja,” ujar Yatno dengan suara
pasrah.
Perwakilan dari warga kampung datang ke rumah Pak Polo.
Mereka hendak menyampaikan aspirasinya agar Pak Polo mau menghentikan sementara
proyek Hendri ini. Sesampai di rumah Pak Polo, mereka disambut dengan baik oleh
kepala dusun itu. Mereka dipersilakan duduk di kursi tamu yang berjajar rapi
seperti di ruang pertemuan.
”Ada keperluan apa Bapak-Bapak ini?” tanya Pak Polo
dengan ramah.
”Kami mewakili warga kampung hendak meminta bantuan dari
Pak Polo.”
”Bantuan apa? Bukankah kalian sekarang sudah hidup sejahtera
dan tidak membutuhkan bantuan saya lagi,” Pak Polo bertanya dengan sedikit
bernada sindiran.
”Bukan itu maksud kami, Pak,” sahut Yatno yang merasa
tersindir oleh pertanyaan Pak Polo.
”Lantas apa yang bisa saya bantu?”
”Para warga mengeluh karena setiap hari berlalu-lalang
kendaraan proyek. Kami merasa terganggu dengan suara-suara itu. lebih-lebih
kondisi jalan yang semakin parah akibat dilalui kendaraan proyek ini.”
”Kenapa mengeluh? Bukankah kalian sendiri yang mengundang
kendaraan-kendaraan itu? Kendaraan
proyek itu datang ke tempat kita karena kalian telah merelakan sawah-sawah
kalian dibeli pengusaha itu. Sekarang kita harus rela menanggung akibatnya.”
”Jangan seperti itu, Pak. Jangan lantas menyalahkan
kami.”
”Lantas menyalahkan siapa? Pak Hendri? Tidak bisa kita
menyalahkan dia. Pak Hendri telah membeli sawah-sawah kalian. Sekarang sawah
itu hendak dibuat ini, dibuat itu terserah dia,” kata Pak Polo dengan nada
meninggi.
Yatno dan kawan-kawan hanya bisa tertunduk. Mereka tak
berani menatap wajah Pak Polo. Sejenak suasana menjadi senyap. Tak ada satu
patah kata pun yang meluncur dari mulut mereka.
”Saat mendengar bahwa kalian telah menjual sawah-sawah
kepada Pak Hendri, saya sempat terpukul. Begitu mudahnya kalian melepaskan
sawah yang menjadi sumber penghasilan kalian sebagai petani,” Pak Polo memulai
pembicaraan lagi.
”Kami sudah lelah, Pak. Sawah-sawah itu sekarang tidak
seperti dulu lagi. Dulu sawah-sawah tersebut mampu menyangga perekonomian kami.
Tapi sekarang, kami hanya mendapatkan rasa capek, lelah, dan keluh-kesah. Biaya
perawatan sawah dengan hasil panen tak sebanding. Misalnya, tahun ini. Kami
mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk mengasilkan tanaman padi yang
berkualitas. Namun, setelah panen harga padi anjlok sampai pada harga paling
murah. Ketika Pak Hendri datang akan membeli sawah kami dengan harga segitu,
tanpa berpikir panjang sawah itu lantas kami relakan. Kami bermaksud akan
membuat usaha baru dengan uang hasil penjualan sawah tersebut.”
”Ya, sudah kalau kalian berpikiran seperti itu. Saya
hanya berpesan jangan mengadu dan mengeluh lagi kepada saya saat ada pengerjaan
proyek pabrik seperti sekarang ini. Kalian harus ikhlas menerima akibatnya,”
pungkas Pak Polo.
Para warga yang menjadi perwakilan warga yang lain itu
pasrah menerima keputusan dari Pak Polo. Mereka tak bisa berbuat apa-apa lagi
setelah menerima konsekuensi buruk dari keputusan yang mereka buat. Mereka
pamit dan meninggalkan rumah Pak Polo.
Di tengah perjalanan pulang mereka berpapasan dengan
puluhan truk proyek pengangkut material. Truk-truk yang melintas itu
meninggalkan gerutu dalam benak mereka. Air keruh yang menggenang di cekungan
bekas roda truk terkadang menjebak kaki mereka. Hanya cas-cis-cus yang
terlontar dari mulut mereka.
Sementara itu, mendung bergelayut di langit kelam.
Gumpalan-gumpalannya seperti bulu domba yang terhempas oleh tiupan angin.
Mendung itu datang beriringan dan semakin menebal di atas perkampungan. Dalam
benak warga selalu muncul kekhawatiran banjir akan segera melanda. Hal itu
dikarenakan persawahan mereka yang menjadi penampungan air saat musim hujan,
kini telah menjadi bangunan pabrik berdataran tinggi. (*)
Wanar, April 2017