Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 28 April 2017

Sawah-Sawah yang Terhempas (Radar Bojonegoro, Jawa Pos Grup, MInggu, 23 April 2017)

Sawah-Sawah yang Terhempas
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Ketika uang telah mengharu-biru hati manusia, akal tak lagi bisa berpikir normal. Setiap hembusan napasnya yang terpikir dan terucap hanyalah uang dan uang. Sebagaimana yang dialami oleh warga kampung ini yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Mereka ingin mendapatkan uang yang banyak dari hasil pertanian. Akan tetapi, itu hanyalah sebuah impian belaka karena setiap musim panen padi  harga jual gabah murah sekali. Akhirnya, mereka ingin menjual sawah-sawahnya.
Ketika kesempatan itu datang, pemilik sawah dengan mudah melepaskan hak kepemilikan sawahnya demi harga jual yang mahal. Para pemilik sawah tak lagi memikirkan bagaimana nasib anak turunnya nanti. Mereka tidak bisa mengantisipasi dampak besar yang akan ditimbulkan setelah sawah-sawahnya suatu saat akan menjadi bangunan pabrik. Mata hati mereka telah tertutup oleh uang sehingga pemilik sawah itu enggan menjaga dan melestarikan warisan leluhurnya. Mereka menjual sawahnya yang selama ini sebagai penghasil bahan makanan untuk kelangsungan hidup anak cucunya kelak.
Siang itu Hendri datang ke kediaman Yatno. Dia hendak menawar sawah Yatno yang rencananya akan didirikan pabrik. Hendri yang berporfesi sebagai pengusaha ini berusaha  membujuk Yatno agar mau menjual tanah yang berjarak satu petak dengan jalan kampung. Yatno awalnya tidak mau melepas tanah tersebut ke tangan Hendri, namun karena ditawar dengan harga yang fantastis, pendirian Yatno goyah. Dia menerima tawaran Hendri tersebut.
Mobil sedan warna hitam yang ditumpangi Hendri segera meningglkan rumah Yatno. Pengusaha Surabaya itu hendak mencari pemilik sawah lain yang berada di sekitar sawah Yatno. Satu per satu didatangi, dirayu dengan tawaran harga yang menggiurkan. Akhirnya, para pemilik sawah itu pun menerima tawaran Hendri.
Hedri meninggalkan kampung itu. Dia tersenyum sinis bernada meremehkan pendirian para pemilik sawah yang dengan mudah melepaskan sawah-sawah mereka ke tangannya. Dia sendiri heran mengapa mereka semudah itu terbuai dengan tawaran harga segitu tanpa memikirkan masa depan kehidupan mereka serta anak cucunya. Hendri tak mau peduli dengan semua itu. Yang terpenting sawah-sawah mereka telah berhasil dimilikinya. Dia akan mendirikan bangunan pabrik yang supermewah di daerah perkampungan ini.
***
Kendaraan berat berdatangan ke lokasi proyek. Lalu-lalang truk pengangkut material melintasi jalan perkampungan. Tanah liat yang menempel di roda truk-truk proyek berceceran di sepanjang jalan. Jalan kampung itu menjadi becek, licin, dan sangat membahayakan warga. Jalan yang belum setahun dibangun ini sekarang seperti kandang bebek. Licin, berlumpur, dan hancur. Jalan kampung itu tak mampu menahan beban truk proyek yang melebihi batas tonase.
Warga mulai menggerutu seiring raungan mesin kendaraan berat yang menderu. Mereka saling melempar pertanyaan dan jawaban. Para warga kebingunan mencari cara jitu untuk mengatasi masalah ini.
”Kita datang saja ke Pak Polo,” usul salah satu warga agar mereka datang ke kepala dusun.
”Saya kira percuma. Dalam hal ini Pak Polo tidak mengerti apa-apa,” sanggah Yatno.
”Tapi, ini daerahnya. Paling tidak dia memiliki kekuasaan untuk menunda proyek ini sampai musim kemarau datang.”
”Kalau begitu kita coba saja,” ujar Yatno dengan suara pasrah.
Perwakilan dari warga kampung datang ke rumah Pak Polo. Mereka hendak menyampaikan aspirasinya agar Pak Polo mau menghentikan sementara proyek Hendri ini. Sesampai di rumah Pak Polo, mereka disambut dengan baik oleh kepala dusun itu. Mereka dipersilakan duduk di kursi tamu yang berjajar rapi seperti di ruang pertemuan.
”Ada keperluan apa Bapak-Bapak ini?” tanya Pak Polo dengan ramah.
”Kami mewakili warga kampung hendak meminta bantuan dari Pak Polo.”
”Bantuan apa? Bukankah kalian sekarang sudah hidup sejahtera dan tidak membutuhkan bantuan saya lagi,” Pak Polo bertanya dengan sedikit bernada sindiran.
”Bukan itu maksud kami, Pak,” sahut Yatno yang merasa tersindir oleh pertanyaan Pak Polo.
”Lantas apa yang bisa saya bantu?”
”Para warga mengeluh karena setiap hari berlalu-lalang kendaraan proyek. Kami merasa terganggu dengan suara-suara itu. lebih-lebih kondisi jalan yang semakin parah akibat dilalui kendaraan proyek ini.”
”Kenapa mengeluh? Bukankah kalian sendiri yang mengundang kendaraan-kendaraan itu?  Kendaraan proyek itu datang ke tempat kita karena kalian telah merelakan sawah-sawah kalian dibeli pengusaha itu. Sekarang kita harus rela menanggung akibatnya.”
”Jangan seperti itu, Pak. Jangan lantas menyalahkan kami.”
”Lantas menyalahkan siapa? Pak Hendri? Tidak bisa kita menyalahkan dia. Pak Hendri telah membeli sawah-sawah kalian. Sekarang sawah itu hendak dibuat ini, dibuat itu terserah dia,” kata Pak Polo dengan nada meninggi.
Yatno dan kawan-kawan hanya bisa tertunduk. Mereka tak berani menatap wajah Pak Polo. Sejenak suasana menjadi senyap. Tak ada satu patah kata pun yang meluncur dari mulut mereka.
”Saat mendengar bahwa kalian telah menjual sawah-sawah kepada Pak Hendri, saya sempat terpukul. Begitu mudahnya kalian melepaskan sawah yang menjadi sumber penghasilan kalian sebagai petani,” Pak Polo memulai pembicaraan lagi.
”Kami sudah lelah, Pak. Sawah-sawah itu sekarang tidak seperti dulu lagi. Dulu sawah-sawah tersebut mampu menyangga perekonomian kami. Tapi sekarang, kami hanya mendapatkan rasa capek, lelah, dan keluh-kesah. Biaya perawatan sawah dengan hasil panen tak sebanding. Misalnya, tahun ini. Kami mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk mengasilkan tanaman padi yang berkualitas. Namun, setelah panen harga padi anjlok sampai pada harga paling murah. Ketika Pak Hendri datang akan membeli sawah kami dengan harga segitu, tanpa berpikir panjang sawah itu lantas kami relakan. Kami bermaksud akan membuat usaha baru dengan uang hasil penjualan sawah tersebut.”
”Ya, sudah kalau kalian berpikiran seperti itu. Saya hanya berpesan jangan mengadu dan mengeluh lagi kepada saya saat ada pengerjaan proyek pabrik seperti sekarang ini. Kalian harus ikhlas menerima akibatnya,” pungkas Pak Polo.
Para warga yang menjadi perwakilan warga yang lain itu pasrah menerima keputusan dari Pak Polo. Mereka tak bisa berbuat apa-apa lagi setelah menerima konsekuensi buruk dari keputusan yang mereka buat. Mereka pamit dan meninggalkan rumah Pak Polo.
Di tengah perjalanan pulang mereka berpapasan dengan puluhan truk proyek pengangkut material. Truk-truk yang melintas itu meninggalkan gerutu dalam benak mereka. Air keruh yang menggenang di cekungan bekas roda truk terkadang menjebak kaki mereka. Hanya cas-cis-cus yang terlontar dari mulut mereka.
Sementara itu, mendung bergelayut di langit kelam. Gumpalan-gumpalannya seperti bulu domba yang terhempas oleh tiupan angin. Mendung itu datang beriringan dan semakin menebal di atas perkampungan. Dalam benak warga selalu muncul kekhawatiran banjir akan segera melanda. Hal itu dikarenakan persawahan mereka yang menjadi penampungan air saat musim hujan, kini telah menjadi bangunan pabrik berdataran tinggi. (*)

Wanar, April 2017