Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Senin, 16 November 2015

Tas Kecil Mbah Siyem

Tas Kecil Mbah Siyem
Cerpen karya Ahmad Zaini

Lautan manusia tumpah ruah di asrama haji. Mereka saling berhimpitan dan berdesakan agar bisa melihat anggota keluarganya yang akan menjadi tamu Allah di Makkah dan Madinah. Derap langkah kaki para jamaah seperti irama derap tentara yang pergi ke medan jihad menyusuri jalan yang menuntun mereka ke kendaraan yang telah menunggunya. Dari sekian banyak jamaah haji terdapat Mbah Siyem. Dia adalah jamaah haji tertua dalam kloter 35. Mbah Siyem berusia 89 tahun.
“Minggir, Nak!” kata Mbah Siyem.
Saat mendengar seru Mbah Siyem, para jamaah yang berjalan di depannya yang rata-rata usianya lebih muda menyingkir. Mereka memperlambat jalannya sambil membelah barisan untuk memberi kesempatan Mbah Siyem berjalan terlebih dahulu.
“Mbah, hati-hati!” kata salah satu jamaah saat melihat Mbah Siyem berjalan dengan sangat trengginas.
Tanpa menoleh, Mbah Siyem tetap berjalan memecah iring-iringan jamaah lain yang berada di depannya. Laju Mbah Siyem bagai laju kapal yang membelah gelombang di samudra.
“Mbah Yem! Ini bus kita,” kata ketua rombongan calon jamaah haji menunjukkan Mbah Siyem yang akan menyelonong masuk bus rombongan lain.
Meskipun sudah renta, Mbah Siyem berangkat haji sendiri tanpa didampingi keluarga. Dia juga tidak dititipkan oleh keluarganya kepada jamaah lain seperti lazimnya orang yang berangkat haji seorang sendiri. Mbah Siyem merasa mampu menjalani ibadah haji sendiri tanpa pendamping.
“Si Mbah berangkat dengan siapa?” tanya Romlah, jamaah dari rombongan lain.
“Berangkat sendiri. Anak-anakku sudah berangkat haji semua. Tinggal saya yang belum.”
“Di tanah suci terdapat jutaan manusia. Mereka datang dari berbagai negara. Mbah setua ini berangkat sendiri tanpa pendamping. Saya khawatir terjadi apa-apa di sana.”
“Kita ini akan menjadi tamu Allah. Saya yakin Allah akan melindungi dan melayani saya,” kata Mbah Siyem tanpa khawatir sedikit pun.
Mbah Siyem mengambil sapu tangan dari kantong baju batik seragamnya. Dia menyeka keringat yang berleleran di kulit keriputnya. Jilbab putih berseri di lepas. Dia mengelap leher dan seluruh bagian kepala yang dibanjiri keringat.
“Maaf, Nek! Jilbab harap dikenakan lagi karena di bus ini terdapat jamaah laki-laki juga,” tegur ketua rombongan.
“Oh, iya!” kata Mbah Yem yang hampir saja membuang jilbabnya di tempat sampah yang berada di kolong kursi bus.
Tenaga Mbah Yem memang tak diragukan lagi. Dia kuat dan tahan banting. Akan tetapi, sifat pikunnya yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini tidak terlepas dari usia Mbah Siyem yang hampir berkepala Sembilan.
Ketua rombongan mengecek seluruh jamaah di bawah binaannya. Satu persatu dipanggili. Setiap jamaah yang mengacungkan tangannya disuruh mengecek perlengkapan administrasinya seperti paspor, visa dan yang lain-lainnya yang dimasukkan dalam tas kecil.
“Mbah Yem, bagaimana perlengkapannya?” tanya ketua rombongan.
Dengan rasa percaya diri yang sangat tinggi, Mbah Siyem menunjukkan tas kecil yang diikatkan di perutnya.
Seluruh jamaah sudah berada dalam bus. Setelah barang bawaan dan surat-suratnya sudah lengkap, ketua rombongan memberi isyarat kepada sopir agar menjalankan busnya menuju bandara Juanda. Mbah Siyem yang duduk di bangku nomor dua dari depan mulutnya berkomat-kamit. Dia tidak henti-hentinya berdzikir dan membaca salawat.
Mbah Siyem memiliki kebiasaan yang jarang dimiliki orang lain. Dia istiqomah berdzikir dan membaca salawat baik ketika senggang maupun saat sibuk. Keajegan seperti ini sudah dilakukan Mbah Siyem semenjak dia masih belia.
Ketika sampai di bandara Juanda, Mbah Siyem berdiri. Dia akan turun dari bus terlebih dahulu. Padahal, para jamaah yang lain masih duduk tenang menunggu instruksi dari ketua rombongan.
“Sabar, Mbah Yem! Kita menunggu perintah ketua rombongan!” tegur salah satu jamaah yang duduk berdampingan dengan Mbah Siyem. Spontan Mbah Yem membatalkan niatnya. Dia duduk lagi menuruti perintah temannya.
“Para Bapak, Ibu, kita telah sampai di bandara. Kita jangan berpencar agar mudah koordinasinya. Sekarang dicek lagi surat-surat dan barang bawaan yang ada dalam tas Bapak, Ibu,” perintah ketua rombongan.
Para jamaah mengikuti instruksi ketua rombongan, mereka mengecek surat-surat dan barang bawaan ringan yang berada dalam tas jinjingnya, kecuali Mbah Siyem. Dia disibukkan membenahi jilbabnya yang berantakan setelah menempuh perjalanan satu jam dari asrama haji.
“Ayo, Mbah kita turun!” ajak Romlah yang bermaksud memapahnya.
“Terima kasih! Tidak usah menuntunku.  Saya bisa berjalan sendiri,” tolaknya dengan halus. Mbah Siyem turun dari bus. Kedua tangannya mengagapi kursi di depannya sebagai pegangan agar tidak terjatuh.
Mbah Siyem yang tubuhnya tidak tegak lagi berjalan membelah kerumunan orang-orang yang berada di depannya. Dia terus berjalan tanpa ada tanda-tanda kelelahan. Dia ingin segera naik pesawat.
Langkah trengginas Mbah Siyem tidak mampu dikejar jamaah lain yang serombongan. Dia melesat bagai kilat menyelinap di tengah kerumunan manusia. Langkah Mbah Siyem terganggu tas pinggangnya. Tas kecil yang telah diikat di perutnya dilepas begitu saja. Tanpa sadar tas kecil tersebut dibuang Mbah Siyem ke dalam tong sampah yang kebetulan berada di sampingnya. Surat-surat penting seperti paspor dan visa turut masuk dalam tong sampah itu.
Petugas bandara mengecek satu persatu jamaah dengan detector. Para jamaah dicek barang bawaannya. Tidak sedikit tas para jamaah terpaksa dibongkar karena terdeteksi membawa barang bawaan yang dapat mengancam keselamatan penerbangan. Selain diperiksa barang bawaannya, mereka juga dicek paspor dan visanya.
Di tengah kesibukan petugas bandara yang mengecek perlengkapan jamaah, Mbah Siyem melintas begitu saja di depan mereka. Mbah Siyem masuk ke bandara tanpa melalui pemeriksaan petugas. Dia naik pesawat lalu duduk di kursi nomor 10.
Tak ada satu pun petugas atau jamaah calon haji lainnya yang curiga pada Mbah Siyem. Mereka membiarkan Mbah Siyem lewat begitu saja tanpa melalui prosedur seperti yang dilakukan pada para jamaah lainnya. Para jamaah mengalami pengecekan barang dan perlengkapan dengan sangat ketat, sedangkan Mbah Siyem lolos begitu saja.
Jamaah calon haji kloter 35 embarkasi Surabaya sudah lengkap. Mereka sudah berada dalam pesawat dan duduk sesuai dengan nomor kursi masing-masing. Mbah Siyem duduk dengan tenang. Tak ada satu pun jamaah atau pramugari yang mengusik ketenangannya. Beberapa menit kemudian, pesawat lepas landas menuju bandara King Abdul Aziz.
Pesawat yang mengangkut kloter Mbah Siyem mendarat dengan selamat di bandara terbesar di negeri minyak ini. Para jamaah turun dari pesawat dengan tertib. Mereka dicek satu persatu oleh para petugas keimigrasian yang berasal dari Arab Saudi. Para petugas mengecek barang bawaan dan surat-surat penting jamaah calon haji dari embarkasi Surabaya ini.
Ketika para petugas sibuk memeriksa paspor dan visa jamaah, lagi-lagi Mbah Siyem bisa lolos dari pemeriksaan. Tak ada petugas atau askar yang menahan atau menegur nenek renta ini agar mengikuti pengecekan seperti jamaah lainnya.
Ketua rombongan mengumpulkan jamaah. Para jamaah diberi tahu bahwa sekarang mereka sudah berada di tanah suci. Mereka disuruh istirahat sambil menunggu kendaraan hotel yang akan mejemputnya.
“Mbah Yem mana?” tanya ketua rombongan.
“Saya di sini,” jawab Mbah Yem sambil menyeka keringatnya dengan sapu tangan.
Ketua rombongan tersenyum simpul melihat kondisi jamaah tertua pada kloter 35 ini. Dia tidak menyangka kalau Mbah Siyem  sebugar ini. Padahal, sebelumnya mereka khawatir dengan kondisi fisik Mbah Siyem karena ibadah haji itu adalah ibadah yang membutuhkan fisik prima.
Mobil penjemput jamaah calon haji datang. Mereka kemudian dibawa  ke hotel. Sesampai di hotel, mereka beristirahat sambil menikmati hidangan yang telah disediakan. Baru separo ketua rombongan menikmati hidangan, dia dikejutkan oleh suara panggilan yang ditujukan kepadanya. Ketua rombongan bergegas bangkit lalu menuju ke sumber informasi.
“Bapak ketua rombongan dari kloter 35 embarkasi Surabaya?” tanya petugas haji asal Indonesia. Ketua rombongan menatap petugas itu dengan rasa penasaran.
Petugas haji itu kemudian mengeluarkan tas kecil dari dalam tas besarnya. Dia menyerahkan tas kecil yang di depannya tertempel foto Mbah Siyem.
“Ini tas Mbah Siyem?” tanya ketua rombongan dengan raut muka heran.
“Benar Bapak. Ini tadi ada petugas yang menemukan tas atas nama Siyem binti Tukijan di tong sampah bandara Juanda Surabaya,” jelas petugas tersebut.
Ketua rombongan dari kloter 35 ini bengong. Dia hampir tidak percaya tas ini berada dalam tong sampah di bandara Juanda. Sesuatu yang sangat mustahil telah terjadi dan ini adalah peristiwa nyata. Mbah Siyem tanpa membawa dokumen penting seperti paspor dan visa, namun dia bisa lolos dari pemeriksaan petugas haji yang superketat baik di tanah air maupun di tanah suci. Ketua rombongan lalu mencari Mbah Siyem untuk menyerahkan tas tersebut. Semua jamaah yang menyaksikan peristiwa itu menjadi terharu. Mereka menyadari bahwa Mbah Siyem ini bukan Mbah sembarangan. Dia dianugerahi keistimewaan oleh Allah yang tidak dimiliki oleh jamaah lain.(*)
Lamongan, 10 Oktober 2015













Jumat, 02 Oktober 2015

Sumur Tua

Sumur Tua
Cerpen karya Ahmad Zaini

Hari masih terlalu dini membangunkan warga dari tidur nyenyaknya. Di ufuk timur fajar juga masih samar. Ia  belum sepenuhnya menyeret pagi ke gerbang hari. Ayam jantan masih bungkam. Mereka masih menahan kokok untuk memanggili betina yang masih mengerami telur. Hanya sesekali terdengar lenguh sapi mengunyah rerumput yang menguning sisa kemarin sore.
Meskipun hari belum sempurna, para warga sudah bangun. Mereka beramai-ramai mendatangi halaman rumah Pak Lurah. Para warga berkumpul di halaman rumah Pak Lurah dengan membawa alat gali seadanya. Warga yang mayoritas laki-laki ini membawa linggis, lencet, cangkul, dan alat penggali yang lain.
Bias penerang yang mereka bawa menerpa wajahnya. Raut suram dan kusam karena krisis air benar-benar terasa. Mereka jarang mandi, cuci muka, apalagi berjenabat. Mereka menahan tidur bersama istrinya karena tidak ada air yang digunakan untuk mandi besar.  Sumur-sumur kering. Telaga-telaga menganga. Semua sumber air telah berhenti memompa air untuk menyambung hidup para warga. Mereka hanya menggantungkan nasib hidupnya pada penyuplai air yang biasa berkeliling di kampungnya. Para warga membeli air dari penyuplai tersebut dengan harga selangit. Oleh karena itu, air yang dibeli hanya digunakan untuk memasak dan minum saja.
“Bagaimana, apakah masih ada kepala keluarga atau wakilnya yang masih belum kumpul?” tanya Pak Lurah kepada warga.
“Masih ada, Pak. Sutarman tidak mau ikut,” jawab Simen.
“Kenapa?”
“Katanya bekas sumur yang akan kita gali itu adalah milik orang tuanya. Dia menolak rencana kita menggali sumur tersebut karena sekarang sudah menjadi lahan pertaniannya,” Simen menjelaskan Pak Lurah.
“Itu bukan tanah orang tuanya. Tanah itu adalah tanah gege atau tanah tidak berpajak karena milih negara.”
“Berarti selama ini mereka itu hanya mengaku-ngaku saja?”
“Ya, begitulah kiranya.”
Setelah mendengar penjelasan Pak Lurah, warga berangkat ke tempat penggalian, yakni bekas sumur yang sekarang telah dijadikan lahan pertanian oleh keluarga Sutarman. Mereka melakukan perjalanan jauh dengan membawa penerang seadanya.
Kerlip obor dan lampu bergoyang-goyang tak tetap karena warga melewati jalan yang tidak rata. Bongkahan tanah dan batu serta tanah-tanah  yang merekah sangat menghambat perjalanan mereka. Para warga sangat berhati-hati supaya kaki mereka tidak terkilir atau terperosok pada tanah yang menganga di tengah jalan. Musim kemarau tahun ini memang benar-benar dasyat sehingga tanah-tanah yang asalnya mulus dan rata sekarang menjadi bergelombang dan retak-retak.
Di tengah kerontang tanah dan tanaman yang mengering, terdapat rumpun belukar yang hijau sekali. Warga berhenti di tempat itu. Pak Lurah yang  memegang kendali mereka mengintruksikan agar mereka berhenti di situ sambil beristirahat sebentar.
“Apakah ini tempat bekas sumur itu?” tanya salah satu warga kepada Pak Lurah.
“Benar sekali. Inilah bekas sumur yang kini telah diijadikan lahan pertanian oleh keluarga Sutarman,” jawab Pak Lurah.
Mendengar jawaban Pak Lurah para warga hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mereka heran karena tidak percaya kenapa sumur yang menjadi sumber air satu-satunya ketika musim kemarau dibuntu oleh keluarga Sutarman?
“Ayo, Bapak-Bapak kita gali kembali sumur ini!” ajak Pak Lurah.
Para warga yang sejak tadi menunggu instruksi bergegas bangkit dari istirahatnya. Mereka mengambil peralatan yang diperlukan.
Saat para warga akan memulai penggalian bekas sumur tua tersebut, Sutarman muncul dari belakang mereka.
“Tanah siapa yang akan kau gali itu?” suara Sutarman menggema dari belakang warga.
Para warga sontak berhenti. Mereka menahan linggis yang sudah diangkat tinggi-tinggi akan mencungkil tanah di lahan tersebut.
“Sutarman! Mengapa kau menghentikan kami? Bukankah ini tanah umum yang dulunya menjadi sumur warga?” bentak salah satu warga.
“Bodoh sekali kau ini. Tanah yang akan kau gali memang dulunya sumur warga. Akan tetapi tanah ini sudah dibeli oleh ayah saya. Sumur tersebut kemudian dibuntu oleh ayah dijadikan lahan pertanian.”
“Jadi orang tuamu yang telah membuntu sumur ini? Makanya dia menjadi korban atas keserakahan sendiri,” celetuk salah satu warga tersebut.
“Tutup mulutmu! Apa maksud menjadi korban keserakahan sendiri? Orang tuaku tidak seperti yang kalian kira. Ayahku konglomerat di kampung ini. Tanah sumur telah menjadi hak miliknya. Tanah tersebut dibuat apa saja itu terserah orang tuaku,” kata Sutarman memertahankan diri.
“Itu dia. Sumur itu ada danyangnya. Kalau tempatnya dibuntu, maka danyangnya akan murka. Dan orang tuamu menjadi santapan danyang sumur ini.”
Memang sudah menjadi kepercayaan masyarakat apabila ada sumur yang dibuntu maka penghuninya akan mengamuk. Terutama yang menjadi sasaran adalah pelaku pembuntuan sumur dan keluarganya.
“Bagaimana Sutarman? Kenapa kau diam saja?” sahut warga.
“Hahahahaha! Saya diam karena heran mendengar perkataan kalian. Itu tahayyul. Tidak mungkin. Orang tuaku mati karena gantung diri.”
“Tahu kenapa orang tuamu gantung diri? Itu karena dia selalu dihantui rasa bersalah karena telah membuntu sumur itu. Sebab kebodohannya itulah seluruh warga kampung setiap musim kemarau menjadi sengsara seperti ini.”
“Kurang ajar sekali kalian! Berani-beraninya mengatai orang tuaku bodoh,” kata Sutarman dengan mulut yang bergetar keras.
Perdebatan itu sengaja dibiarkan oleh Pak Lurah agar warga mengetahui secara langsung pengakuan dari Sutarman. Sekarang warga sudah tahu bahwa yang menjadi biangkeladi kesengsaraan warga saat musim kemarau adalah keluarga Sutarman.
“Singkirkan Sutarman!” teriak warga.
Teriakan itu direspon oleh warga yang lain. Mereka berbondong-bondong menyingkirkan Sutarman dengan mengikatnya di bawah pohon trembesi yang daunnya menguning.
Setelah aman, warga melanjutkan pekerjaannya. Mereka menggali sumur tua yang kini sudah menjadi lahan pertanian keluarga Sutarman. Padahal tanah yang diakui oleh Sutarman dan keluarganya sebagai miliknya ternyata tanah gege. Tanah negara.
“Hai, jangan teruskan!” teriak Sutarman dari kejauhan.
Para warga bergeming. Mereka tidak menghiraukan teriakan Sutarman. Para warga yang dipimpin Pak Lurah tetap menggali tanah tersebut.
Setelah hampir setengah hari mereka menggali bekas sumur itu, pada kedalaman sekitar sepuluh meter muncullah sumber air yang jernih sekali. Para warga bersorak-sorai karena mereka berhasil menggali sumur tua yang telah lama tidak berfungsi sebagai sumber air. Para warga mengguyur sekujur tubuh mereka dengan air sumur itu. Mereka merasa terbebas dari kekeringan. Mereka sekarang telah memiliki sumber air yang akan menjadi sumber kehidupan pada kemarau yang berkepanjangan ini.
Di tengah pesta-pora warga yang merayakan keberhasilannya mengembalikan fungsi sumur tua, tiba-tiba Sutarman menyerang mereka dari belakang. Dia berlari kencang dengan membawa senjata tajam ingin melukai warga. Namun, warga yang mengetahui aksi Sutarman itu mengelak. Sutarman hilang kendali sehingga dia terperosok ke dalam sumur tua itu.
Para warga tidak tinggal diam. Mereka berusaha mencari tubuh Sutarman dalam sumur. Mereka bahu-membahu untuk mendapatkan tubuh lelaki yang hampir saja membayakan nyawanya. Usaha mereka gagal. Mereka tidak menemukan tubuh Sutarman.
Setelah dipastikan bahwa tubuh Sutarman benar-benar lenyap dalam sumur, akhirnya Pak Lurah menginstruksikan warganya kembali ke kampung. Mereka meninggalkan sumur tua dan tubuh Sutarman yang lenyap di dalamnya dengan perasaan haru.(*)

Wanar, Agustus 2015

*cerpenis adalah penulis buku kumpulan cerpen Telaga Lanang,
Lentera Sepanjang Rel Kerete, dan Titik Nol.
Tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan







Kamis, 13 Agustus 2015

Cerpenku di Majalah Wanita UMMI, edisi Agustus 2015

Serpihan Bunga Kertas
Cerpen Ahmad Zaini*

Serpihan bunga kertas di beranda rumah berserak. Hampir di setiap sudut kutemui cuilan-cuilan bunga kertas. Beranda yang biasanya bersih dan rapi kini tanahnya hampir tak terlihat. Itu semua karena tangan jahil istriku yang selalu memetiki bunga hias di beranda rumah setiap hari. Ia berbuat seperti itu hanya dengan satu alasan, untuk menghilangkan kejenuhan. Aku sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan istriku sampai mengalami kejenuhan. Setiap akan kutanya, dia selalu membuang muka lalu pergi menjauh dariku.
Siang itu dia duduk di beranda rumah. Dia mengurai rambutnya yang sebahu. Kedua tangannya tak henti-henti mencuili bunga-bunga kertas dekat tempat duduknya menjadi beberapa bagian. Jika kedua tangannya tak mampu lagi menggenggam cuilan bunga tersebut, ia segera membuang sampai berserakan di seluruh pelataran rumah.
Aku membiarkan dia melampiaskan kejenuhannya dengan bersikap seperti itu. Aku hanya bisa melihat ulahnya yang seperti anak-anak. Bunga-bunga kertas yang berserak pun aku punguti lalu kumasukkan ke dalam tempat sampah. Kalau tempat sampah sudah penuh maka segera aku buang ke pembakaran di halaman rumah.
Sejenak aku mencari tempat duduk agak jauh darinya. Aku ingin tahu apa yang menyebabkan dia seperti itu. Sebagai seorang suami tentu akan terusik pikirannya jika melihat istrinya seperti itu. Wajar saja kalau saya sebagai suami kemudian ingin bertanya masalah yang dihadapi istri kemudian membantu mencari jalan keluarnya. Akan tetapi, saya sebagai suami merasa kesulitan menghadapi istriku yang sulit diajak bicara seperti sekarang ini.
Dari bayangan kaca jendela rumah, aku melihat mata istriku berkaca-kaca. Tak lama kemudian sorot matanya  meredup agak memerah lalu meneteskan air mata. Linangan air matanya kemudian merembet di pipinya. Aku tak tahan melihat istri yang kunikahi sejak lima belas tahun lalu itu meneteskan air mata. Aku dekati dia. Kusentuh pundaknya. Serta merta dia mengusap air mata yang sempat menetes di kursi tempat duduknya.
“Kenapa kamu menangis?”
Dia diam tak menjawab. Pertanyaanku dianggap seperti angin lalu.
“Dik, kenapa kamu menangis?” tanyaku sekali lagi.
Istriku berdiri lantas berjalan masuk ke rumah. Aku segera menyusulnya ke dalam rumah.
Dia duduk di ruang tamu dengan muka kesal. Wajah yang biasanya tampak manis kini carut marut tak berbentuk.
“Aku kesal.”
“Apa yang menyebabkanmu kesal? Bukankah selama ini saya telah memenuhi semua kebutuhan yang kau perlukan?”
“Aku tahu itu. Setiap hari Mas telah memberiku nafkah.”
“Lantas apa yang menyebabkanmu kesal seperti ini?”
“Coba, Mas lihat! Para tetangga bisa membeli ini dan itu. Sedangkan saya kau biarkan seperti ini,” kata istriku sambil menunjukkan penampilannya yang tak karu-karuan.
“Kamu iri dengan tentangga?”
“Tidak.”
“Kalau tidak iri kenapa kamu selalu nyinyir seperti itu?” tanyaku kesal karena sudah hampir seminggu dia bersikap cuek kepadaku.
Para ibu rumah tangga yang bertetangga denganku saat itu memang usai membeli perhiasan, pakaian, perabot rumah tangga dan lain sebagainya. Mereka mendapatkan rezeki yang  melimpah karena suaminya yang berprofesi sebagai guru baru saja menerima rapelan tunjangan seertifikasi. Mereka telah menerima rapelan tunjangan selama setahun. Tiap bulannya mereka menerima tunjangan kurang lebih satu juta lima ratus ribu rupiah. Sehingga kalau dirapel selama satu tahun mereka menerima sekitar delapan belas juta rupiah. Istriku tidak tahu hal itu. Dia asal iri dan menuntut agar aku bisa memenuhi kebutuhannya seperti mereka.
Terus terang aku tak mampu memenuhi semua itu karena aku hanya bekerja serabutan. Pendapatanku setiap hari tidak menentu. Saat ini penghasilanku hanya cukup digunakan untuk membeli sembako.
“Mas, apakah Sampeyan tidak bisa menjadi guru lagi agar mendapat gaji seperti mereka?”
Mendengar pertanyaan istriku itu aku hanya tersenyum kecut. Aku diam tak menjawab pertanyaannya. Kursi yang sejak tadi kubiarkan tanpa penghuni, kini kududuki lagi. Dengan menyandarkan punggung aku menghela napas panjang untuk menjawab pertanyaan istriku.
Semenjak aku masih kuliah sebenarnya aku sudah menjadi guru. Ketika itu saya diminta oleh kepala sekolah untuk mengajar di sekolah tempat kumenimba ilmu di tingkat dasar. Sebagai alumni sekolah tersebut, saya pun menerima permintaan kepala sekolah menjadi tenaga pendidik di situ. Setiap hari saya bergelut dengan buku dan belajar bersama murid-murid sekolah tersebut. Aku melaksanakan tugas itu dengan senang hati. Aku bangga dengan profesi yang sangat mulya ini. Aku menjalankan tugas mengajar dengan semangat yang tinggi walau dengan gaji yang sangat rendah. Setiap bulan saya hanya menerima gaji tujuh puluh lima ribu rupiah. Gaji sejumlah itu tak mengendurkan niatku untuk selalu mengabdi pada masyarakat demi mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
Setelah lulus kuliah aku memutuskan untuk menikahi gadis yang kuincar semenjak aku masih di bangku SMA.  Dia sangat senang karena mempunyai suami yang  berprofesi sebagai guru. Dia bangga karena para tetangga atau murid-murid saya memanggilnya dengan panggilan ‘Bu’. Wah, senangnya bukan main dia ketika ada orang yang memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Dia merasa terhormat karena sudah ikut-ikutan dituakan oleh murid-murid saya sebagaimana aku yang dipanggil dengan panggilan ‘Pak’.
“Ini, Dik gaji saya,” kataku kepada istriku sambil menyodorkan amplop yang berisi gajiku mengajar satu bulan.
Saat istriku menerima amplop dariku, aku melihat senyum bahagianya merekah. Kedua bibirnya selalu mengembang dengan sorot mata berbinar-binar. Aku pun turut senang karena mempunyai istri yang qonaah. Dia senang menerima amplop walau isinya hanya tujuh puluh lima ribu rupiah.
Wajah istriku mendadak murung. Mukanya merah padam dengan mata yang melotot seperti akan melompat keluar. Aku terhenyak melihat ekspresi istriku yang berubah seratus delapan puluh derajat celsius.
“Kok, hanya ini ke mana yang lain?”
“Dik, uangnya, ya, hanya itu. Tak ada yang lain.”
Dia lantas tertunduk lesu. Amplop yang baru saja dibuka dibiarkan tergeletak di pangkuannya. Dia menangis sesenggukan.
“Dapat rezeki kok malah menangis? Disyukuri saja, Dik! Barang siapa yang mensyukuri nikmat Allah, niscaya Allah akan menambahnya,” ucapku menenangkannya.
“Mas, kalau setiap bulan saya hanya menerima uang segini, aku bisa mati berdiri,” katanya  menuntutku.
“Habis bagaimana lagi, gajiku memang segitu.”
“Mulai besok, Mas berhenti jadi guru,” sahutnya dengan sewot.
“Tidak. Aku tidak akan berhenti menjadi guru. Ini pilihan hidupku.”
Mendengar jawabanku, istriku langsung berlari masuk ke kamar.
Brak!” suara pintu yang ditutup istriku dengan keras.
Aku membiarkan dia mengurung diri dalam kamar hingga emosinya mereda. Percuma kalau dalam suasana seperti itu aku masuk ke kamar menyusulnya. Biarlah dia menenangkan pikirannya.
Beberapa saat kemudian aku mengetuk daun pintu kamar. Dia bergeming tak mau membuka pintu yang terbuat dari bahan triplek itu. Sejenak aku ingin mendobrak pintu, tetapi aku berpikir uang dari mana yang kugunakan untuk memperbaikinya jika pintu itu rusak. Akhirnya, kubiarkan saja sampai dia keluar kamar.
Seharian dia belum juga keluar. Aku menunggu di kursi ruang tamu hingga ketiduran. Dengan terpaksa aku mencongkel engsel pintu kemudian aku berhasil membukanya. Aku terkejut melihat istriku tidur terlentang dengan mulut berbusa. Ternyata dia nekat ingin mengakhiri hidupnya hanya gara-gara tuntutannya agar aku berhenti menjadi guru tidak kuturuti. Untung saja ketika itu nyawanya dapat diselamatkan. Kalau tidak, dia pasti tidak bisa nyiyir mencibirku lagi. Sejak kejadian itulah saya berhenti menjadi guru dan bekerja sebagai tenaga serabutan yang berpenghasilan tidak pasti. Terkadang sehari mendapat seratus ribu, namun terkadang pula dua hari tidak mendapatkan pekerjaan. Jadi, tekor. Cocok dengan pepatah ‘besar pasak daripada tiang’.
***
“Bisa kan Mas menjadi guru lagi?” desak istriku.
“Dulu siapa yang meminta saya berhenti menjadi guru sampai-sampai akan bunuh diri hanya karena uang gaji tujuh puluh lima ribu rupiah?” Istriku tertunduk mendengar pertanyaanku. Dia diam tak menjawabnya.
“Sekarang ketika pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru, Sampeyan menuntutku lagi menjadi guru. Tidak mungkin, Dik!”
“Dicoba, Mas!” rengeknya.
Aku mencoba menuruti permintaannya biar setiap hari dia tidak nyiyir terus. Aku datang ke sekolah tempatku mengajar dulu yang telah kutinggalkan hampir sepuluh tahun lamanya. Dengan berbekal surat lamaran yang kulampiri dengan fotokopi ijazah, akta IV, serta KTP yang kumasukkan ke dalam amplop, aku mengajukan lamaran menjadi guru di sekolah tersebut.
“Maaf, Bapak! Untuk sementara surat lamaran ini saya terima. Akan tetapi saya tidak bisa memastikan apakah Bapak diterima atau ditolak. Saat ini kebutuhan guru sudah lebih dari cukup. Jam mengajar mereka tidak bisa dikurangi karena mereka sudah masuk menjadi guru sertifikasi yang dituntut mengajar dengan  beban 24 jam tatap muka perminggunya. Jadi, sangat kecil peluang Bapak diterima di sekolah ini,” jelas kepala sekolah yang baru.
Usai menerima penjelasan dari kepala sekolah, saya pun pamit dan meninggalkan kantor sekolah yang sudah mengalami banyak kemajuan. Dulu ketika saya masih mengajar, gedungnya banyak yang rusak. Sekarang gedung sekolah kelihatan megah dan bersih. Dulu di tempat parkir, yang saya lihat hanya beberapa sepeda onthel milik para guru. Sekarang sudah ganti sepeda motor terbaru semua.
“Andaikan istriku melihat peningkatan kesejahteraan guru di sekolah ini, saya yakin dia akan nyinyir lagi! Untung dia tidak ikut mengawalku tadi!”
Sesampai di rumah istriku sudah nyanggong di depan pintu dengan muka kecut. Dia sudah mengira bahwa lamaranku menjadi guru ditolak oleh kepala sekolah. Dia kecewa kepadaku. Namun apa boleh buat nasi telah menjadi bubur. Aku tak bisa menjadi guru lagi sehingga tidak mendapatkan tunjangan sertifikasi. Aku tak bisa memenuhi keinginan istriku seperti istri-istri guru sertifikasi. Biarlah aku menjadi tenaga serabutan yang berpenghasilan tidak menentu. Aku pasrah! (*)


*Cepenis tinggal di Lamongan Jawa Timur
 

Rabu, 03 Juni 2015

Pemburu Matahari



Pemburu Matahari
Cerpen Ahmad Zaini*

Jalan berbatu dan berdebu menuntun langkah seorang wanita renta. Ia setiap hari mengikuti perjalanan matahari dari ufuk timur hingga ufuk barat. Wanita renta itu tak kenal lelah. Ia tetap melangkah meskipun usia kalah oleh waktu yang terus mencari tempat singgah.
Si Mbah Pemburu Matahari biasa warga memanggilnya. Disebut sebagai pemburu matahari karena ia terus mengejar matahari. Setiap pagi, wanita renta selalu berjalan ke Timur. Siang hari ketika matahari tegak di langit biru, wanita renta itu akan berhenti di tempatnya berdiri. Waktu  sore ketika matahari telah lingsir ke barat, ia melanjutkan perjalanan ke barat. Pada malam hari wanita renta merebahkan tubuhnya di tempat ia terakhir berdiri. Jika kebetulan dia berdiri di pelataran rumah warga, ia akan merebahkan tubuhnya di tempat itu. Kalau ia berdiri di pinggir jalan, ia pun akan beristirahat di pinggir jalan. Bahkan suatu ketika ia harus menelentangkan tubuhnya di tengah jalan karena sebelum matahari benar-benar tenggelam dia berdiri di tengah jalan.
Wanita renta itu memburu matahari semenjak anak lelakinya yang berumur tujuh tahun lenyap. Entah mengapa anak pertama yang ia idam-idamkan kelahirannya hilang seperti ditelan bumi. Ia mencari anak lelakinya bersama suaminya ke sana kemari. Namun, usahanya tidak pernah membuahkan hasil. Anak semata wayang yang akan dijadikan sebagai generasi penerus pada silsilah terakhir keluarganya tidak pernah ketemu. Bahkan kabar keberadaannya pun tidak pernah terlacak. Setiap hari mereka bermunajat kepada Tuhan agar dipertemukan dengan anaknya. Akan akan tetapi, Tuhan belum mengabulkan permohonannya. Pada angin yang melintas, pada daun-daun akasia yang berguguran, mereka selalu menanyakan anaknya. Namun, angin dan dedaun akasia selalu menjawab tidak pernah tahu keberadaan anaknya. Mereka juga menangkapi jari-jari hujan yang sempat mengguyurnya. Mereka bertanya tentang anaknya. Rinai hujan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya karena juga tidak mengetahui anaknya. Pada malam purnama mereka duduk menghadap rembulan. Mereka mencoba menanyakan keberadaan anaknya. Rembulan pun hanya tersenyum simpul sambil menggeleng karena tidak mengetahuinya.
“Pada matahari. Ya. Dia pasti mengetahuinya. Mari kita bertanya kepadanya,” kata suaminya dengan yakin.
“Betul. Dia yang mengetahui segalanya. Dia adalah matanya hari. Matanya waktu. Pasti dia mengetahi anak kita,” sambung wanita renta membenarkan ucapan suaminya.
Ketika embun masih menempel pada ujung dan batang rerumputan, mereka duduk di tanah lapang menunggu matahari muncul. Mereka yakin jika upaya mencari anaknya akan berhasil. Mereka mantap pada keyakinannya kalau matahari pasti mengetahuinya.
Sorot cahaya merah jingga melukis langit di ufuk timur. Mata mereka menatap matahari yang baru lahir dari rahim bumi. Mereka berdiri lalu bertanya lantang kepada matahari.
“Matahari, di mana anakku?” teriak suami wanita itu.
“Apakah kau melihat anakku? Di mana ia berada?” sambung wanita renta dengan berteriak pula.
Matahari perlahan menapaki tangga pagi. Matanya tak berkedip untuk memberikan isyarat jawaban pada teriakan suami istri ini. Matahari angkuh. Ia tetap memanjat langit cerah pagi itu tanpa memedulikan teriakan suami istri yang menanyakan keberadaan anak laki-lakinya.
“Matahari … di manakah anakku?” tanya mereka bersama-sama.
Hingga suara mereka parau matahari tidak memberikan jawaban pasti pada kedua orang tua yang telah kehilangan anaknya.
“Dia tahu. Matahari mengetahui keberadaan anak kita,” kata wanita itu.
“Tapi mengapa dia tidak menjawab?” sahut suaminya.
“Dia telah menyembunyikan sesuatu. Jangan-jangan dia yang telah menculik anak kita!”
“Mungkin saja. Andaikan dia tidak mengetahuinya pasti dia menjawab tidak tahu. Atau paling tidak dia akan menggeleng-gelengkan kepala sebagai isyarat tidak mengetahuinya.”
“Bukan mungkin lagi. Dia pasti yang menculiknya. Dia yang telah mengambil anak kita.”
“Lantas apa yang bisa kita lakukan?” tanya suaminya.
“Kita akan memburunya sampai dia menyerahkan anak kita.”
“Baiklah, mari kita buru!”
Hanya berbekal beras satu kaleng serta sekendi air minum mereka bangkit dari duduknya. Mereka berjalan ke arah timur ke tempat matahari yang masih berada di ujung pepohonan rindang.
“Percepat jalanmu sebelum matahari meninggi!”
Wanita itu menuruti ucapan suaminya. Ia mempercepat langkahnya menuju ke timur. Ke arah matahari yang belum meninggi meninggalkan bumi.
Perjalanan jauh mereka melintasi bebatuan dan perbukitan belum membuahkan hasil. Semakin jauh mereka melangkah semakin tinggi matahari meninggalkan mereka. Suami-istri itu pun duduk di tengah gundukan tanah untuk melepas lelah. Sedangkan matahari semakin tegak di tengah langit yang cerah.
“Kita beristirahat dulu,” ucap wanita sambil menuangkan air kendi ke dalam batok. Mereka meminumnya dengan bergantian.
Setelah meminum air dari batok kelapa, napas suaminya tersengal-sengal. Ia kolap. Wanita itu panik. Dia tidak bisa menyelamatkan suaminya yang sekarat. Pada akhirnya, sang suami yang telah menemani perjalanan memburu matahari itu menutup mata. Suaminya meninggal dunia di bawah terpaan sinar matahari yang terik.
Wanita itu menelentangkan tubuh suaminya di atas gundukan tanah. Dia diam sambil meratapi nasih yang menimpanya. Dia tak punya teman perjalanan lagi dalam memburu matahari yang masih belum berhasil hingga kini. Harapan satu-satunya tinggallah pada anak lelaki semata wayangnya yang menurut keyakinannya masih disembunyikan matahari.
Wanita yang kini sebatang kara itu terkejut. Dia kehilangan jasad suaminya. Dia tidak mendapati jasad suaminya yang tadi ditelentangkan di atas gundukan tanah.
“Di manakah kau …???” suaranya menggema di tengah siang yang menyala.
Gundukan tanah yang diduduki itu bergerak. Tanah itu seakan memberitahu bahwa jasad suaminya telah menyelinap di dalamnya.
“Baiklah kalau begitu. Tenanglah di alammu. Aku akan mengejar matahari sendirian hingga dia menyerahkan anak kita. Aku akan menerjang segala rintangan meskipun nyawa taruhannya!” kata wanita itu berjanji.
Dengan bekal yang tersisa, wanita itu melanjutkan perjalanan ke arah barat karena matahari saat itu telah berada di sore hari. Dia akan tetap melangkah meskipun harus melintasi daratan dan lautan. Semak belukar akan dia terjang, gunung-gunung tinggi akan ia daki, serta lautan akan ia seberangi. Semua itu akan dia lakukan hanya demi satu tujuan. Yakni, menangkap matahari yang telah menyembunyikan anak semata wayangnya. Anak generasi terakhir dari silsilah keluarganya. (*)
Wanar, 28 Mei 2015


Dimuat di Radar Bojonegoro (Jawa Pos Grup) Minggu, 31 Mei 2015