Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 18 Februari 2018

Orang-Orang Pesisir


Orang-Orang Pesisir
Cerpen karya Ahmad Zaini

Sepanjang hari hujan tiada henti mengguyur bumi. Hingga sore, hujan belum reda secara sempurna. Masih ada jemari gerimis yang menjamah debur ombak di pantai yang tak pernah sepi. Terlihat hamparan pasir yang indah dan bersih karena baru saja ombak tipis perlahan meninggalkannya. Di bawah pohon kelapa yang menjulang angkasa, terlihat perempuan sedang mendekap anak kecil. Perempuan itu melindungi anaknya agar tidak terus-menerus menjadi sasaran gerimis. Dia membawa buntalan sebagai bekal. Buntalan itu dibungkus plastik agar tidak basah oleh gerimis yang tidak mau berhenti.
Aku mendekati perempuan yang mendekap anak kecilnya itu. Dia memeluk anaknya semakin erat. Dia ketakutan saat melihatku datang lalu duduk di sampingnya.  Saat kusentuh pundaknya, perempuan itu semakin ketakutan.
”Ibu berasal dari mana dan hendak ke mana hujan-hujan begini?” tanyaku pada perempuan itu.
”Jangan! Jangan!” kata perempuan itu sambil berusaha mempertahankan anaknya. Padahal, aku tak bermaksud menculik anaknya.
”Namaku Sentanu. Aku penduduk asli di sini. Itu rumahku,” tuturku dengan menunjuk rumahku yang berada di samping kebun kelapa.
Perempuan itu diam. Ia enggan menceritakan asal-usulnya. Bahkan, dia berdiri dan hendak meninggalkanku.
”Tunggu, Ibu! Ibu ini sebenarnya akan ke mana?” tanyaku sekali lagi.
Perempuan itu melihatku dengan wajah ketakutan. Dia seperti orang yang sedang depresi. Dia mengalami tekanan batin. Si kecil yang berada dalam dekapnya mencoba meronta. Anaknya seperti tidak mau diajak pergi dari sini. Si kecil itu rupanya merasakan kelelahan yang luar biasa. Dia butuh tempat istirahat dan berlindung dari gerimis.
”Ibu, mari ke rumah saya. Kasihan anak ibu. Dia kelelahan dan kedinginan. Kalau ibu tidak mau bermalam, paling tidak Ibu mau berteduh untuk sementara waktu agar anak Ibu tidak sakit. Hari sudah sore,” bujukku. Perempuan itu mengurungkan niatnya. Dia berhenti sambil melihat ke arah rumahku. Dia bersedia ke rumahku.
Aku mengawal perempuan itu yang berjalan lambat. Dia kelelahan. Langkah kakinya terasa berat. Buntalan berisi bekal yang dilapisi plastik dibiarkan bergelayut di pundak kanannya. Sedangkan pundak kiri, menggendong anaknya yang lugu dan tak terawat ini.
”Yati, Yati! Coba ke sini,” panggilku kepada anakku.
Anak semata wayangku muncul dari pintu. Dia kaget saat melihat aku datang bersama dengan perempuan beserta anak kecilnya.
”Siapa ibu ini, ayah?” tanya anakku dengan penuh penasaran.
”Nanti saja kujelaskan. Sekarang ambilkan handuk dan bajumu sebagai ganti baju adik ini.” Yati berlari ke kamar. Tak lama kemudian ia kembali sambil membawa bajunya yang sudah tidak muat dipakai lagi.
”Berikan ke ibu!”
”Ini, Bu,” kata anakku sambil menyodorkan baju kepada perempuan yang diam membisu.
Perempuan itu membawa anaknya ke pekiwan yang berada di sudut pekarangan rumahku. Dia membilas tubuh anaknya dari sisa-sisa air hujan. Setelah tubuh anaknya bersih, ibu yang sampai saat ini masih belum mau berbicara itu membawa anaknya ke teras rumah. Ia menyeka sisa air yang menempel di tubuh anaknya dengan handuk. Kemudian dia mengenakan baju anaknya. Jemari kedua tangan perempuan itu gemetar. Mungkin karena faktor kelelahan atau bisa juga karena kelaparan. Bisa juga karena kedinginan.
Anak semata wayangku menghampiri perempuan yang sedang memakaikan baju anaknya. Anakku ikut membantu memegangi si kecil yang lemah itu. Setelah rampung semua, perempuan itu hendak pergi meninggalkan rumahku.
”Ibu mau ke mana? Duduk dulu di sini!” cegah anakku dengan polos.
Anakku menyeret tangan perempuan itu lalu mempersilakan duduk di kursi yang biasa kugunakan untuk bersantai. Perempuan itu menurut saja. Dia masih belum bisa berinteraksi dengan kami. Kedua kelopak matanya terkadang terlihat berkaca-kaca ketika melihat wajah anaknya yang hidup menderita bersamanya. Dia seakan tidak tega melihat anaknya yang ikut menerima nasib seperti yang dialaminya saat ini.
”Ibu silakan bersihkan badan dulu. Ini baju buat ganti ibu. Biarlah adik ini saya yang menemani,” pinta anakku yang berlagak seperti orang dewasa sambil memberikan baju ibunya pada perempuan itu.  Dia sangat senang dengan kedatangan perempuan itu. Terutama pada anak balitanya.
***
Di depan rumah melintas beberapa orang laki-laki yang pulang dari laut. Mereka memikul keranjang yang berisi ikan hasil tangkapannya. Keranjang itu bergoyang-goyang akibat langkah kaki mereka. Sepertinya tangkapan ikannya sedikit tidak seperti sebelum-sebelumnya. Maklumlah, mereka sekarang menangkap ikan dengan kail dan jaring biasa. Mereka tidak menggunakan cangkrang lagi. Cangkrang yang biasanya mereka gunakan menangkap ikan dan bisa menghasilkan tangkapan ikan yang melimpah, sekarang dilarang oleh pemerintah karena dianggap bisa merusak biota bawah laut.
Perempuan yang duduk diteras berdampingan dengan anaknya itu  tiba-tiba berdiri. Dia berlari mengejar para lelaki yang baru pulang  dari laut itu.
”Tunggu! Mana suamiku?” tanya perempuan itu sambil menghalangi langkah mereka.
Para nelayan itu tertegun. Mereka kaget melihat kedatang perempuan yang secara tiba-tiba menghentikan langkah mereka.
”Di mana suamiku? Di mana?” cerca perempuan itu pada para lelaki yang masih kelelahan.
”Memang suami Ibu di mana? ” celetuk salah satu dari mereka.
Perempuan itu diam. Dia menatap hamparan laut dengan pandangan kosong. Dalam hati kecil perempuan itu, ia hendak menjawab bahwa suaminya berada di laut.
”Maaf, para Bapak! Ibu ini sedang bingung. Dia tersesat dan tak tahu arah dan tujuan perjalanannya,” jelasku pada mereka. Setelah mendengarkan penjelasanku itu, mereka melanjutkan perjalanan dengan membawa hasil laut yang tidak seusai dengan harapannya.
Aku mengawal perempuan itu kembali ke rumah. Dia lantas duduk. Air mata perlahan mengaliri pipinya yang sedikit keriput. Dia sesenggukan dan masih susah diajak berbicara. Apabila aku bertanya tentang asal-usul dan tujuannya, dia hanya menjawab dengan linangan air mata.
”Suamimu di mana?” aku mencoba menanyainya.
”Suamiku! Suamiku! Mana suamiku?” jawabnya sambil mengarahkan jari telunjuk tangan kanannya ke laut.
Aku diam. Aku tak meneruskan pertanyaanku. Aku khawatir kejiwaan perempuan ini semakin tidak terkendali. Lebih-lebih kalau aku menyebut kata suami.
***
Hampir satu bulan perempuan itu tinggal di rumahku. Anaknya sekarang sudah sangat akrab dengan anakku. Anakku sangat senang mendapatkan teman bermain setiap hari. Wajahnya ceria dengan senyum yang selalu mengembang. Ia tidak lagi membicarakan ibunya. Dia tidak pernah bertanya lagi kapan ibunya datang.
Setahun lalu istriku pergi ke Malaysia. Dia memaksakan diri ke negeri jiran meskipun aku sudah mencegahnya. Dia ingin hidup layak seperti para istri tetangga yang mayoritas suaminya kerja di Malaysia. Sedangkan aku hanya nelayan dengan penghasilan pas-pasan. Hasil tangkapan ikanku hanya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum sehari saja.  Uang jajan atau jalan-jalan tidak ada. Sementara para tetangga setiap Minggu selalu pergi ke tempat hiburan. Mereka berbelanja, berwisata, dan berkaraoke dengan teman-temannya. Istriku tidak betah dengan kondisi kehidupanku. Dia malu dan gengsi karena tidak bisa hidup bersenang-senang seperti tetangga yang lain.
Setelah penggunaan cangkrang dilarang oleh pemerintah, aku beralih profesi. Aku menjadi tukang becak. Setiap pagi aku mangkal di pasar ikan menunggu penumpang. Di sana aku berkumpul dengan teman-teman nelayan yang juga beralih profesi. Mereka juga tidak melaut lagi seperti diriku. Dari hasil mengayuh becak, aku menghidupi anak semata wayangku. Aku ingin masa depan kehidupan anakku lebih baik daripada kehidupan yang kami rasakan saat ini.
”Yati, ibu adik ini ke mana?” tanyaku kepada anakku
”Tadi berjalan ke arah sana!” Yati menunjuk ke arah laut. Aku bergegas lari menuju ke arah yang ditunjuk Yati.
Sesampai di tempat, aku tak melihat siapa-siapa. Tak ada orang di sini. Hanya ada hamparan pasir dengan ukiran larik-larik bekas jamahan gelombang. Saat pandanganku kuarahkan ke tengah laut, aku melihat sesosok wanita yang timbul-tenggelam di balik gulungan ombak. Aku memandanginya dan berdiri seperti patung. Mulutku terkunci tak bisa berteriak meminta tolong. Kedua kakiku seperti tertanam pasir pantai hingga tak bisa berlari ke permukiman mencari bantuan. Ketika perempuan itu benar-benar lenyap, kakiku baru bisa digerakkan. Aku berlari dan berteriak meminta pertolongan kepada warga.
***
Keesokan harinya jasad perempuan itu baru ditemukan warga. Jasadnya terdampar di pesisir kampung sebelah. Kondisinya menggelembung dan terdapat beberapa luka bekas gigitan binatang laut. Berdasarkan keterangan sebagian warga yang mengenal jasad tersebut, ternyata perempuan itu merupakan istri dari nelayan yang tiga bulan lalu perahunya karam diterjang badai di tengah lautan. Dia sedih dan bingung. Akhirnya, dia mengalami gangguan jiwa karena tidak kuat menjalani hidup bersama anaknya tanpa suami yang menafkahinya.  (*)

Wanar, Januari 2018