Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Rabu, 28 Juni 2017

Ingin Dirindukan Surga (Cerpen Radar Bojonegoro, Jawa Pos Grup, Minggu, 11 Juni 2017)

Ingin Dirindukan Surga
Cerpen karya Ahmad Zaini

Setua ini Kakek Amat masih giat menjalankan ibadah di bulan Ramadan. Padahal, kalau melihat fisik dan menghitung usianya, Kakek Amat tergolong orang yang sudah tidak berkewajiban menjalankan puasa. Dia bungkuk. Kalau berdiri, tubuh Kakek Amat hampir membentuk siku-siku. Napasnya juga ngos-ngosan. Apabila berjalan baru menempuh jarak 15 meter, dia harus berhenti untuk menormalkan pernapasannya lagi. Tongkat bambu buatan anaknya menjadi teman setia. Tongkat itulah yang membantu Kakek Amat untuk menyangga tubuhnya berjalan menuju masjid.
Kondisi fisik seperti itu tak menyurutkan semangat Kakek Amat melaksanakan ibadah dalam bulan suci Ramadan. Beliau selalu menjadi orang pertama datang ke masjid guna melaksanakan salat lima waktu secara berjamaah. Kakek Amat selalu berada di shaf paling depan berjajar dengan orang-orang yang secara usia berada di bawahnya. Bahkan, dia tidak mau kalah dengan peserta jamaah yang usianya lebih muda. Misalnya, saat tarawih. Kakek Amat mampu melaksanakan secara utuh. Tak ada yang ketinggalan. Sedangkan, yang berusia muda terkandang dapat satu rakaat lantas berhenti dengan alasan capek. Mereka baru berdiri apabila imam tarawih sudah melaksanakan rakaat berikutnya.
Suara parau Kakek Amat tak pernah sepi dari pengeras suara. Dia juga selalu mengikuti acara tadarrus bersama warga yang lain. Penglihatannya yang masih normal dimanfaatkan betul untuk mengikuti acara membaca Alquran di masjid. Biasanya Kakek Amat baru pulang dari masjid apabila kegiatan tadarrus telah mencapai batas waktu yang telah ditentukan oleh ta’mir masjid. Yaitu, sekitar pukul 23.00. Akan tetapi, Kakek Amat lebih sering tidak pulang ke rumah. Dengan berbekal nasi dan jajan pemberian warga dia makan sahur di masjid pula. Dia baru pulang seusai menjalankan salat subuh.
”Kek, mari saya antar!” suara pemuda bersepeda motor yang muncul dari arah belakangnya.
”Tidak. Biarkan saya berjalan kaki saja. Pahalanya lebih besar,” sahut Kakek Amat berkelakar. Tubuh bungkuk Kakek Amat pun lenyap di telan kabut tebal pagi hari.
***
Usia Kakek Amat hampir menyentuh angka 90-an. Dari warga seumurannya, tinggal dia dan Wak Tijo yang masih hidup. Hanya saja Wak Tijo sudah tidak bisa seperti Kakek Amat. Dia hanya bisa berbaring di atas ranjang sambil menunggu batas usia menjemputnya.
Semasa muda Amat  memanglah lelaki yang amburadul. Dia terkenal sebagai pengangguran. Setiap malam dia begadang di pos ronda. Bersama-sama teman mudanya, ia bermain kartu hingga pagi hari. Amat lupa pada kewajibannya sebagai seorang suami. Dia juga lupa pada kewajiban salat. Dia tidak pernah menghiraukan orang yang berlalu lalang di depannya untuk memenuhi panggilan azan. Amat tidak peduli pada mereka. Dia tetap asyik membontang-banting kartu di pos ronda. Tidak jarang Amat pulang ke rumah dalam kondisi mabuk. Dia dicekoki teman-temannya yang berduit agar mau menenggak bir atau minuman keras lainnya. Begitulah kebiasaan Amat semasa mudanya. Sampai-sampai istrinya terpaksa minta cerai karena tidak pernah mendapatkan nafkah baik lahir maupun batin darinya.
***
Wajah Kakek Amat pucat pasi. Tubuhnya menggigil kedinginan. Mulutnya sedikit menyeringai menahan sakit. Tangannya yang terbalut kulit keriput sedikit gemetar. Namun, Kakek Amat tetap berusaha menahan tubuhnya yang sedikit doyong ke arah kiri. Wak Salikun merangkul tubuh Kakek Amat yang hampir saja ambruk ke arahnya.
”Kenapa Kek? Sakit?”
”Tidak. Aku tidak apa-apa,” jawabnya.
”Kalau tidak mampu puasa jangan memaksakan diri. Allah Maha Pemurah pada hambaNya. Puasa hanya bagi orang yang mampu secara fisik. Kalau tidak mampu melaksanakannya cukup diganti dengan membayar fidyah saja,” bisik Wak Salikun menjelaskan Kakek Amat.
Semua orang yang sedang mengikuti pengajian setelah ashar di masjid mengalihkan pandangannya ke Kakek Amat yang hampir roboh. Mereka hanya bisa heran dan takjub pada kegigihan Kakek Amat yang ingin mengeruk pahala sebanyak-banyak di bulan suci Ramadan.
”Saya hanya mengantuk,” kata Kakek Amat. Para peserta pengajian pun tersenyum lega mendengar pengakuan Kakek Amat.
Pengajian selesai. Tukang pukul bedug sudah menggenggap pemukulnya. Saat seperti ini merupakan detik-detik yang paling ditunggu oleh orang yang berpuasa. Kebahagiaan istimewa bagi orang yang berpuasa adalah menjelang berbuka. Begitu juga dengan Kakek Amat. Dia sudah tidak sabar pemukul bedug mengayunkan pemukulnya ke permukaan bentangan kulit sapi. Dari tadi Kakek Amat telah menggenggam sebutir kurma sebagai takjil. Dia berusaha selalu takjil dengan buah kurma karena memegang teguh kesunatan bagi orang yang berbuka puasa. Apabila Kakek Amat tidak memunyai kurma, dia baru mengawali berbuka puasanya dengan air. Hal inilah yang selalu dilakukan Kakek Amat hingga dia terlihat selalu sehat dan kuat menjalankan ibadah puasa sehari penuh.
Waktu berbuka telah tiba. Kakek Amat memakan buah kurma dengan gusi karena tak bergigi. Sebutir kurma di mulutnya baru bisa ditelan setelah dikunyah dalam waktu lima menit. Itu pun daging kurma masih agak kasar. Maklumlah sudah tua sehingga kunyahan Kakek Amat tidak bisa selembut kunyahan orang-orang yang masih bergigi lengkap. Untuk mengakhiri berbukanya, Kakek Amat meminum segelas air putih yang sekaligus digunakan berkumur agar serpihan kurma yang masih tersisa bersih dari mulutnya.
Usai menjalankan salat maghrib, Kakek Amat tidak maninggalkan masjid seperti warga yang lain. Dia beriktikaf di masjid sampai waktu isya’ tiba. Dia memperbanyak zikir dan doa untuk menghapus dosa-dosa yang dilakukannya semasa muda. Mata Kakek Amat berkaca-kaca. Air matanya berlinang melintasi pipi keriputnya. Bayangan masa mudanya melintasi kelopak matanya. Dia memohon ampunan kepada Allah atas semua salah dan dosanya kala itu. Kakek Amat sangat menyesali perbuatannya yang kala itu hanya menuruti nafsu syetan belaka.
Kakek Amat merasa Ramadan tahun ini adalah kesempatan terakhir baginya mengeruk pahala. Dia ingin menebus dosa-dosanya dengan memperbanyak zikir dan doa. Pagi, siang, dan  malam bulan Ramadan dimanfaatkan betul oleh Kakek Amat. Sampai hari kedua puluh delapan bulan Ramadan ini, Kakek Amat tidak pernah meninggalkan salat malam di masjid. Dia selalu bermunajat kepada Allah, merengek untuk memohonan ampunanNya. Dia juga telah menghatamkan Alquran tiga kali. Bilangan yang sangat banyak bagi orang seusianya dalam menghatamkan Alquran.
”Ramadan tinggal sekali. Mudah-mudahan amal ibadahku diterima Allah bersamaan dengan zakat fitrah yang telah aku bayarkan,” kata Kakek Amat dalam hati.
Ada  sebuah harapan yang tidak pernah padam dalam diri Kakek Amat di sisa-sia usianya. Harapan itu selalu bersemayam dalam jiwanya. Kakek Amat ingin menjadi manusia yang dirindukan surga sehingga dia berusaha secara istiqomah dan khusuk menjalankan ibadah di bulan yang penuh ampunan ini. (*)
Wanar, Juni 2017

*Cerpenis merupakan guru SMA Raudlatul Muta’allimin Babat dan
SMA Mambaul Ulum Wanar Pucuk Lamongan
Dia juga penulis novel Mahar Cinta Berair Mata











Jumat, 02 Juni 2017

Kampung yang Terkubur

Kampung yang Terkubur
Cerpen karya Ahmad Zaini


Cahaya rembulan sempat memancari bumi. Namun, tak lama cahayanya telah terbungkus mendung lagi. Angin malam semakin kencang. Udara terasa tambah dingin. Sedangkan, tumpukan kertas tugas kuliahku masih menumpuk di meja belajar. Aku menguak karena kantuk telah datang mengganggu tugasku. Kutinggalkan sejenak pekerjaanku menuju dapur. Sebungkus kopi kuseduh dengan air panas. Aromanya menyengat hingga menusuk ubun-ubun. Rasa kantuk yang sempat menindih diriku parlahan sirna oleh aromanya. Dengan beralas lepek aku membawa secangkir kopi. Kemudian, aku duduk di belakang meja belajar. Sesruput kopi telah membuka mataku. Bersamaan dengan kusandarkan punggungku, turunlah hujan lebat disertai petir.
Sudah seminggu ini hujan selalu menyambangi bumi. Terkadang pagi, siang, sore, atau malam hari. Hujan datang tak peduli waktu lagi. Berbagai aktivitas manusia terganggu oleh datangnya hujan yang tidak menentu ini. Banyak di antara mereka harus membatalkan jadwal kegiatan.
Aku mengintip hujan dari celah jendela ruang belajarku. Ternyata lebat sekali. Sinar lampu yang tergantung di pinggir jalan itu hampir tak tampak. Cahayanya tak mampu menembus derasnya hujan yang seperti ditumpahkan begitu saja dari langit.
Tugas kuliah yang sempat kutunda kukerjakan lagi. Tumpukan data yang harus kuanalisis perlahan-lahan kumulai lagi.
Jlegar!!!” bunyi petir meluluhlantakkan konsentrasiku. Listrik padam seketika. Suasana ruang belajar gelap pekat.
Aku terperangkap sendiri di ruang belajarku yang kini gelap gulita. Tak terlihat sedikit pun benda-benda yang berada di sekelilingku. Lampu otomatis yang menyatu dengan lampu penerang kamarku juga tak berfungsi. Lampu tersebut tida dapat menyimpan energi listrik lagi.
Kedua orang tuaku terbangun. Mereka memanggiliku. Mereka hendak menyuruhku menyulut lilin yang berada di laci almari di ruang tengah. Aku berjalan dengan hati-hati sekali. Kedua tanganku merayapi dinding kamarku agar menuntunku sampai ke pintu kamar.
Sesampai di ruang tengah aku hampir saja terpelanting. Ada genangan air hujan di lantai karena atap rumahku sedikit bocor. Rupanya ayahku lupa mengundang tukang langganannya untuk memperbaikinya.
Sebatang lilin kunyalakan dengan pemantik api yang berada di sebelahnya. Remang bayang diriku yang duduk dekat lilin membetuk slide di dinding ruang tengah. Bayanganku duduk tertunduk resah pada hujan yang tak pernah lelah.
Gelegar halilintar berdentuman bagai meriam. Kilat bersabung di angkasa laksana terjadi adu kesaktian para pendekar sakti mandraguna. Harapanku untuk melanjutkan pengerjaan tugas kuliah pupus sudah lantaran kantuk tak dapat kuhadang. Kurebahkan tubuhku di ranjang kamar tidurku.
Anganku mulai berselancar ke luar rumah. Berbagai peristiwa bergantian muncul dalam ingatanku. Tentang banjir yang melanda ibu kota dan berbagai daerah di negeri ini. Tentang tanah longsor dan tanah pecah. Tentang tanah bergerak dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian tersebut berjejal datang sehingga aku semakin sulit memejamkan mata.
Aku prihatin sekali dengan sikap manusia saat ini. Ketika bencana datang mendera, manusia tidak mau instropeksi. Mereka tidak mau mengevaluasi diri. Mereka lupa bahwa bencana alam melanda bumi ini bukan tanpa sebab. Hanya manusia sendiri yang tidak mengetahui dan tidak menyadari sebab-sebabnya itu. Yang paling aneh adalah saat bencana alam menimpa suatu daerah, para penduduk malah datang beramai-ramai menuntut pejabat pemerintahannya yang dianggap tidak becus mengatasi bencana.
”Pejabat punya kuasa apa atas bencana ini? Mereka itu hanya mampu menyusun strategi dan administrasi pemerintahannya. Mereka hanya bisa berusaha menanggulanginya. Tuhanlah yang berkuasa atas bencana-bencana alam yang mendera bumi kita,” ujar salah seorang yang alim untuk  mengingatkan warga yang terus-menerus menyalahkan pejabat.
”Tidak bisa. Selain harus menolak bencana, pejabat juga harus bertanggung jawab atas kerusakan rumah kami akibat banjir,” teriak salah satu dari warga.
”Barang apa yang rusak? Berapa nilainya,” tanya si alim itu dengan tenang.
”Rumah dan barang-barang daganganku.”
”Rumah atau warung?”
”Warung.”
”Pantas.”
”Apa maksudmu?”
”Tuhan menurunkan bencana kepada kita ini salah satunya karena rumahmu yang kau jadikan warung. Berapa wanita yang mangkal di rumahmu melayani para lelaki hidung belang dalam setiap malamnya? Berapa botol minuman keras yang laku di warungmu dalam semalam? Perbuatan manusia seperti inilah yang menyebabkan Tuhan menegur kita. Kita telah jauh meninggalkan garis kehidupan yang ditentukan Tuhan. Kita telah terbuai dengan harta benda serta kesenangan dunia sehingga melupakan Tuhan,” sambung orang alim itu.
Saat pemilik warung remang-remang itu bersuara lantang, hujan badai datang. Bumi bergetar diiringi gelegar halilintar. Tanah retak semakin lama semakin menganga. Dalam sekejap tanah itu menelan seluruh warung remang dan penghuninya.
Aku merinding pada kejadian itu. Manusia tetap dengan congkak mengabaikan teguran Tuhan. Hati mereka tak pernah luluh meskipun bencana demi bencana datang mendera bumi ini. Mereka malah berkelahi, sikut-menyikut, menyingkirkan satu sama lain untuk berebut kekuasaan. Mereka tak pernah menyadari bahwa kerusakan di darat dan di laut adalah akibat ulah tangan mereka sendiri. Maka tidak pantas apabila bencana yang terjadi ini malah membuat mereka saling memusuhi dan menyalahkan. Jika itu terjadi maka Tuhan akan menurunkan bencana yang lebih dasyat lagi.
”Bangun, bangun, bangun. Tanah longsor, tanah longsor!” suara bersahut-sahutan dari luar rumah diiringi dengan suara gemuruh dari tebing gunung. Aku bergegas membangunkan kedua orang tuaku. Dengan tanpa basa-basi mereka kuseret dan kuajak berlari sekuat-kuatnya menjauh dari kampung ini menuju ke tempat yang lebih aman. Peluh bercampur air hujan membasahi tubuhku dan kedua orang tuaku. Nafas kami masih terengah-engah. Mulut kami tak bisa mengeluh atau mengaduh. Kami hanya bisa saling menatap dan menangisi peristiwa yang hampir saja merenggut nyawa kami. Peristiwa yang telah mengubur rumah dan harta benda kami. Buku-buku kuliah serta laporan hasil penellitian yang belum selesai kukerjakan juga telah lenyap.
Dari tempat yang aman di sebuah dataran tinggi, kami melihat dengan samar longsoran tanah dari tebing gunung itu. Tanah itu telah menutup kehidupan kampung kami. Kehidupan seluruh penduduk kampung ini. Kampungku telah rata dengan tanah. Kampungku lenyap tertimbun tanah longsor yang meluncur dari tebing gunung. (*)
Wanar, April 2017