Ingin Dirindukan Surga
Cerpen karya Ahmad Zaini
Setua ini Kakek Amat masih giat menjalankan ibadah di
bulan Ramadan. Padahal, kalau melihat fisik dan menghitung usianya, Kakek Amat
tergolong orang yang sudah tidak berkewajiban menjalankan puasa. Dia bungkuk.
Kalau berdiri, tubuh Kakek Amat hampir membentuk siku-siku. Napasnya juga ngos-ngosan.
Apabila berjalan baru menempuh jarak 15 meter, dia harus berhenti untuk
menormalkan pernapasannya lagi. Tongkat bambu buatan anaknya menjadi teman
setia. Tongkat itulah yang membantu Kakek Amat untuk menyangga tubuhnya
berjalan menuju masjid.
Kondisi fisik seperti itu tak menyurutkan semangat Kakek
Amat melaksanakan ibadah dalam bulan suci Ramadan. Beliau selalu menjadi orang
pertama datang ke masjid guna melaksanakan salat lima waktu secara berjamaah.
Kakek Amat selalu berada di shaf paling depan berjajar dengan
orang-orang yang secara usia berada di bawahnya. Bahkan, dia tidak mau kalah
dengan peserta jamaah yang usianya lebih muda. Misalnya, saat tarawih. Kakek
Amat mampu melaksanakan secara utuh. Tak ada yang ketinggalan. Sedangkan, yang
berusia muda terkandang dapat satu rakaat lantas berhenti dengan alasan capek.
Mereka baru berdiri apabila imam tarawih sudah melaksanakan rakaat berikutnya.
Suara parau Kakek Amat tak pernah sepi dari pengeras
suara. Dia juga selalu mengikuti acara tadarrus bersama warga yang lain.
Penglihatannya yang masih normal dimanfaatkan betul untuk mengikuti acara
membaca Alquran di masjid. Biasanya Kakek Amat baru pulang dari masjid apabila
kegiatan tadarrus telah mencapai batas waktu yang telah ditentukan oleh
ta’mir masjid. Yaitu, sekitar pukul 23.00. Akan tetapi, Kakek Amat lebih sering
tidak pulang ke rumah. Dengan berbekal nasi dan jajan pemberian warga dia makan
sahur di masjid pula. Dia baru pulang seusai menjalankan salat subuh.
”Kek, mari saya antar!” suara pemuda bersepeda motor yang
muncul dari arah belakangnya.
”Tidak. Biarkan saya berjalan kaki saja. Pahalanya lebih
besar,” sahut Kakek Amat berkelakar. Tubuh bungkuk Kakek Amat pun lenyap di
telan kabut tebal pagi hari.
***
Usia Kakek Amat hampir menyentuh angka 90-an. Dari warga
seumurannya, tinggal dia dan Wak Tijo yang masih hidup. Hanya saja Wak Tijo
sudah tidak bisa seperti Kakek Amat. Dia hanya bisa berbaring di atas ranjang
sambil menunggu batas usia menjemputnya.
Semasa muda Amat
memanglah lelaki yang amburadul. Dia terkenal sebagai
pengangguran. Setiap malam dia begadang di pos ronda. Bersama-sama teman
mudanya, ia bermain kartu hingga pagi hari. Amat lupa pada kewajibannya sebagai
seorang suami. Dia juga lupa pada kewajiban salat. Dia tidak pernah
menghiraukan orang yang berlalu lalang di depannya untuk memenuhi panggilan
azan. Amat tidak peduli pada mereka. Dia tetap asyik membontang-banting kartu di
pos ronda. Tidak jarang Amat pulang ke rumah dalam kondisi mabuk. Dia dicekoki
teman-temannya yang berduit agar mau menenggak bir atau minuman keras lainnya.
Begitulah kebiasaan Amat semasa mudanya. Sampai-sampai istrinya terpaksa minta
cerai karena tidak pernah mendapatkan nafkah baik lahir maupun batin darinya.
***
Wajah Kakek Amat pucat pasi. Tubuhnya menggigil
kedinginan. Mulutnya sedikit menyeringai menahan sakit. Tangannya yang terbalut
kulit keriput sedikit gemetar. Namun, Kakek Amat tetap berusaha menahan
tubuhnya yang sedikit doyong ke arah kiri. Wak Salikun merangkul tubuh
Kakek Amat yang hampir saja ambruk ke arahnya.
”Kenapa Kek? Sakit?”
”Tidak. Aku tidak apa-apa,” jawabnya.
”Kalau tidak mampu puasa jangan memaksakan diri. Allah
Maha Pemurah pada hambaNya. Puasa hanya bagi orang yang mampu secara fisik.
Kalau tidak mampu melaksanakannya cukup diganti dengan membayar fidyah
saja,” bisik Wak Salikun menjelaskan Kakek Amat.
Semua orang yang sedang mengikuti pengajian setelah ashar
di masjid mengalihkan pandangannya ke Kakek Amat yang hampir roboh. Mereka
hanya bisa heran dan takjub pada kegigihan Kakek Amat yang ingin mengeruk
pahala sebanyak-banyak di bulan suci Ramadan.
”Saya hanya mengantuk,” kata Kakek Amat. Para peserta
pengajian pun tersenyum lega mendengar pengakuan Kakek Amat.
Pengajian selesai. Tukang pukul bedug sudah menggenggap
pemukulnya. Saat seperti ini merupakan detik-detik yang paling ditunggu oleh
orang yang berpuasa. Kebahagiaan istimewa bagi orang yang berpuasa adalah
menjelang berbuka. Begitu juga dengan Kakek Amat. Dia sudah tidak sabar pemukul
bedug mengayunkan pemukulnya ke permukaan bentangan kulit sapi. Dari tadi Kakek
Amat telah menggenggam sebutir kurma sebagai takjil. Dia berusaha selalu
takjil dengan buah kurma karena memegang teguh kesunatan bagi orang yang
berbuka puasa. Apabila Kakek Amat tidak memunyai kurma, dia baru mengawali
berbuka puasanya dengan air. Hal inilah yang selalu dilakukan Kakek Amat hingga
dia terlihat selalu sehat dan kuat menjalankan ibadah puasa sehari penuh.
Waktu berbuka telah tiba. Kakek Amat memakan buah kurma
dengan gusi karena tak bergigi. Sebutir kurma di mulutnya baru bisa ditelan
setelah dikunyah dalam waktu lima menit. Itu pun daging kurma masih agak kasar.
Maklumlah sudah tua sehingga kunyahan Kakek Amat tidak bisa selembut kunyahan
orang-orang yang masih bergigi lengkap. Untuk mengakhiri berbukanya, Kakek Amat
meminum segelas air putih yang sekaligus digunakan berkumur agar serpihan kurma
yang masih tersisa bersih dari mulutnya.
Usai menjalankan salat maghrib, Kakek Amat tidak
maninggalkan masjid seperti warga yang lain. Dia beriktikaf di masjid
sampai waktu isya’ tiba. Dia memperbanyak zikir dan doa untuk menghapus
dosa-dosa yang dilakukannya semasa muda. Mata Kakek Amat berkaca-kaca. Air
matanya berlinang melintasi pipi keriputnya. Bayangan masa mudanya melintasi
kelopak matanya. Dia memohon ampunan kepada Allah atas semua salah dan dosanya
kala itu. Kakek Amat sangat menyesali perbuatannya yang kala itu hanya menuruti
nafsu syetan belaka.
Kakek Amat merasa Ramadan tahun ini adalah kesempatan
terakhir baginya mengeruk pahala. Dia ingin menebus dosa-dosanya dengan
memperbanyak zikir dan doa. Pagi, siang, dan
malam bulan Ramadan dimanfaatkan betul oleh Kakek Amat. Sampai hari
kedua puluh delapan bulan Ramadan ini, Kakek Amat tidak pernah meninggalkan
salat malam di masjid. Dia selalu bermunajat kepada Allah, merengek untuk
memohonan ampunanNya. Dia juga telah menghatamkan Alquran tiga kali. Bilangan
yang sangat banyak bagi orang seusianya dalam menghatamkan Alquran.
”Ramadan tinggal sekali. Mudah-mudahan amal ibadahku
diterima Allah bersamaan dengan zakat fitrah yang telah aku bayarkan,” kata
Kakek Amat dalam hati.
Ada sebuah harapan
yang tidak pernah padam dalam diri Kakek Amat di sisa-sia usianya. Harapan itu selalu
bersemayam dalam jiwanya. Kakek Amat ingin menjadi manusia yang dirindukan
surga sehingga dia berusaha secara istiqomah dan khusuk
menjalankan ibadah di bulan yang penuh ampunan ini. (*)
Wanar, Juni 2017
*Cerpenis merupakan guru SMA Raudlatul
Muta’allimin Babat dan
SMA Mambaul Ulum Wanar Pucuk Lamongan
Dia juga penulis novel Mahar Cinta Berair
Mata