Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Senin, 25 April 2022

Gara-Gara Tetangga Baru, Minggu, 17 April 2022

 



Gara-Gara Tetangga Baru

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Siapa yang mau keluarganya hancur? Semua orang yang waras tentu tidak menginginkannya. Semua orang bercita-cita ingin mengarungi samudera dengan bahteranya sampai dermaga bersama pasangannya. Semua pasangan pasti menginginkan keluarganya utuh sampai mati. Bakhan, sampai akhirat kelak. Namun, kehidupan tidak bisa dihitung secara matematika. Ibarat kabut, kita tidak tahu apa yang ada di baliknya. Kabut itu kelihatan indah, tetapi di belakang terkadang ada  sesuatu yang menjijikkan. Sesuatu itu  dapat membuat kita muak.

Dua kali sudah upaya Astuti mempertahankan rumah tangga. Batu sandungan itu muncul ketika dia punya tetangga baru pindahan dari Jakarta. Marlena namanya. Dia janda beranak lima. Dia pindah dari ibu kota dan menetap di samping rumah Astuti. Marlena memang janda beranak lima. Akan tetapi, penampilannya seperti lebih muda dari Astuti. Usut punya usut ternyata Marlena punya resep manjur untuk merawat kebugaran dan kesempurnaan gayanya. Satu-dua-tiga kali suami Astuti melihatnya.  Lama-lama suami Astuti berkenalan, bercanda, lalu berpacaran.

Sungguh Astuti tidak menyangka cobaan rumah tangga itu datang menerpa. Semenjak pernikahan hingga punya dua momongan, kehidupan keluarga bejalan harmonis. Astuti dan suami sangat kompak mengawal keluarga demi kebahagiaan anak-anaknya. Dia bisa membangun rumah dan membeli mobil. Setiap Minggu mereka piknik bersama-sama. Pokonya sangat harmonis sehingga sebagian tetangga banyak yang iri kepada mereka.

Wanita itu diciptakan Tuhan sebagai makhluk lemah. Secara kodrati wanita kalah kuat dibandingkan laki-laki. Namun, fakta berkata lain. Marlena mampu membuat suami Astuti klepek-klepek. Mestinya dia tidak memunyai daya tarik karena kelemahannya. Nah, ini yang jadi pertanyaan. Astuti sering duduk sambil memikirkan hal-hal lain yang membuat suaminya berpindah ke lain hati. Mungkin Astuti tidak menarik lagi karena lemak di tubuhnya semakin menumpuk. Bisa pula suami Astuti berpaling karena wajah Astutik tidak semulus sebelumnya karena efek kerja di pabrik plastik. Atau mungkin dia kurang bisa memuaskan kehidupan ranjang. Ah, itu mungkin hanya alibi dari para lelaki yang mencampakkan istinya agar bisa berganti wanita lain.

Suatu hari Astuti menyusun strategi untuk menjebak suami. Dia berpura-pura akan berangkat kerja. Suaminya tidak menaruh curiga sedikit pun bahwa itu hanyalah siasat Astuti untuk menjebak kelakukan bejatnya. Motor ditaruh Astuti di tempat penitipan sepeda. Kemudian, Astuti diam-diam pulang melalui pintu belakang yang sengaja tidak dikunci. Astuti menyelinap lalu menyembunyikan diri di kamar anaknya. Diam-diam dia  memperhatikan gerak-gerik suaminya dari celah pintu kamar. Ia melihat suaminya berdandan. Ia memakai celana yang baru dibeli seminggu lalu. Tubuhnya disemprot parfum. Rambutnya diguyur minyak dengan aroma menyengat lalu disisir seperti model rambut anak-anak masa kini. Tangan suami Astuti meraih telepon. Dia mengacak nomor telepon Marlena. Ternyata benar, nomor yang dihubungi adalah nomor janda beranak lima itu. Mereka janjian bertemu.

Astuti menahan amarah. Dia meredam emosi dengan mengendalikan dengus napas dari mulutnya. Suaminya keluar rumah melalui pintu depan. Dia menguncinya dari luar. Astuti melihat suaminya berjalan menuju rumah Marlena. Dia masuk ke rumah janda beranak lima itu. Asem, umpat Astuti dalam hati. Dia memanfaatkan waktu pagi yang sepi. Anak-anak Marlena tidak berada di rumah karena berangkat kerja dan sekolah seperti kedua anaknya. Wanita yang berlaga seperti detektif ini keluar dari pintu belakang. Astuti berjalan mengendap-endap mengikuti suami. Ternyata benar. Suaminya masuk rumah Marlena. Seperti dugaan sebelumnya,  mereka benar-benar berselingkuh.

Ibu dua anak ini tidak segera melancarkan aksi menangkap basah mangsa. Dia menguping dan mengintip ulah mereka dari depan rumah Marlena. Astuti membiarkan mereka bercanda dan saling melontarkan kata-kata mesra. Dari celah kaca yang kelambunya agak tersingkap, Astuti melihat Marlena menarik tangan suaminya diajak masuk dalam kamar. Suami Astuti menuruti saja kemauan Marlena. Suami Astuti seperti kerbau dicocok hidungnya. Astuti membiarkan mereka mengubur diri dalam kamar beberapa saat. Dia berusaha tenang dengan menahan api cemburu. Setelah lima menit, Astuti masuk. Dengan leluasa Astuti menyelinap ke dalam karena mereka lupa mengunci pintu. Dia membuka pintu kamar. Astuti berteriak histeris saat melihat mereka dalam bersatu dalam pergumulan syetan. Akibat jeritannya itu, para tentangga berhamburan keluar dari rumah menuju asal jeritan Astuti.

”Kurang ajar! Ternyata seperti ini kelakuan kalian. Dasar binatang yang tidak tahu aturan,” umpat Astuti kepada mereka.

”Tunggu, As! Saya jelaskan.”

”Tidak ada yang perlu dijelaskan,” potong Astuti.

Wanita yang dirundung malang akibat perselingkuhan suaminya ini kemudian belari sambil menahan tangis. Sementera itu Suami dan Marlena sekarang menjadi urusan warga. Mereka digelandang para warga untuk diadili di balai kelurahan.

”Sungguh memalukan,” ungkap Astuti kesal. Dia kesal dan malu pada perilaku suaminya. Hatinya hancur ketika bayang-bayang peristiwa memalukan itu muncul di kelopak matanya. Astuti tidak dapat menyembunyikan rasa sakit hati dan emosi karena dikhianati suami. Dia mengemasi pakaian ke dalam koper. Astuti pulang ke rumah orang tua bersama dua anak untuk menenangkan diri.

Astuti bercerita banyak tentang kejadian yang menimpanya. Namun, ibu Astuti tidak ingin rumah tangga anaknya hancur. Dia membujuk Astuti agar kembali ke rumah berkumpul dengan suaminya. Ibunya tidak rela apabila kedua cucunya menjadi korban dari keretakan hubungan keluarga Astuti. Dia membujuk Astuti sebisa mungkin. Ibu Astuti bersyukur karena anaknya masih mau mendengar nasihatnya. Astuti menuruti keinginan ibunya. Astuti kembali ke rumah lagi meskipun sempat menginap semalam di rumah ibunya.

”Tata hatimu, Nak! Niatlah berbakti kepada suami karena itu dapat menuntunmu ke surga kelak. Ingat  masa depan anak-anakmu. Anakmu pasti tidak menginginkan keretakan hubungan kalian,” pesan ibu Astuti.

Sungguh berat Astuti melangkahkan kaki. Akan tetapi, pesan ibunya sangat menyentuh hati. Astuti meninggalkan rumah ibunya untuk kembali kepada suami.

Astuti memberi kesempatan kedua buat suaminya. Dia memberi kepercayaan kepada lelaki tampan yang sering membuat para wanita tertarik padanya agar membenahi diri. Benar sekali pesan ibunya. Kepercayaan yang diberikan kepada suaminya itu membuat hubungan mereka erat lagi. Mereka mendayung biduk melintasi sungai yang kini berair tenang. Mereka bisa saling menyayangi dan mencintai.

Siang hari Astuti diajak suaminya jalan-jalan. Mereka berdua berbaur dalam satu  mobil yang cicilannya belum selesai. Mereka menembus keramaian kendaraan di Sabtu petang.

”Kita ke mana, Mas?” tanya Astuti penasaran. Dia merasa ada sesuartu yang mengganjal dalam hatinya.

”Kita ke mall. Kita bermalam Minggu untuk mencairkan suasana. Kita cari kesenangan di sana. Nanti kamu pilih baju kesukaanmu. Sesukamu,” jawab enteng suami Astuti.

Mendengar kata-kata suaminya, Astuti jadi tersanjung. Dia senyum-senyum sendiri sambil sesekali melirik suaminya yang sibuk mengemudi mobil.

”Jangan khianati aku lagi, Mas!” pinta Astuti manja sambil menyandarkan kepala.

”Tidak. Aku tidak akan mengkhianatimu lagi. Kita akan selalu bersama-sama. Hidup bersama. Mati pun bersama,” kata suami Astuti.

Astuti seperti tersedak. Dadanya sesak dan susah bernapas ketika mendengar kata terakhir. Hatinya tidak enak. Dia merasakan ada rencana terselubung dibalik kata-kata terakhir suaminya.

Firasat Astuti tajam. Dia mampu menebak peristiwa yang bakal dihadapinya. Dia merasakan dari cara mengemudi suaminya. Suami melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi serta kasar. Puncaknya ketika di depannya ada truk. Suaminya tidak mengurangi kecepatan. Kaki kanan suaminya malah menginjak pedal gas semakin dalam.

”Awas ada truk. Jangan kencang-kencang, Mas!” seru Astuti. Akan tetapi, suami Astuti tidak mengindahkan seruannya sama sekali.

Astuti merasa dirinya dalam bahaya. Suami Astuti hendak menabrakkan mobil yang ditumpangi berdua ke truk di depannya. Astuti memberanikan diri. Dia membuka pengunci pintu di sebelah kiri. Tangan kanannya memegang tuas handrem. Tanpa ada yang menghitung, Astuti menarik tuas kuat-kuat sambil membuka pintu mobil. Dia melompat keluar sebelum mobil benar-benar menabrak truk.

Tubuh Astuti terguling-guling di jalan raya. Kedua lengan, kaki dan keningnya berdarah. Dia menjerit untuk meminta pertolongan para pengguna jalan lainnya supaya menolong suami yang terjepit bodi mobil. Mata Astuti terbelalak ketika melihat darah mengucur deras dari dalam mobil yang ringsek.

”Maaf, Mbak! Lelaki itu telah meninggal dunia,” kata salah satu warga yang turut menolong suaminya.

Astuti menjerit. Dia tidak menyangka suaminya meninggal dalam peritiwa itu. Dia telah mengakhiri hidup dengan tragis. Disisi lain Tuhan masih sayang kepada Astuti. Dia selamat dan hanya mengalami luka ringan di bagian tubuh dalam insiden itu.

Hari-hari berikutnya Astuti berusaha menenangkan diri. Dia berusaha melepas bayangan kejadian yang dialami. Semua itu merupakan lika-liku perjalanan hidup. Semua telah tercatat dalam garis nasib yang dibentangkan Tuhan. Yang terpenting Astuti telah menjalankan kewajibannya sebagai manusia. Yakni, berusaha mempertahankan kehidupan normal dalam sebuah keluarga.  (*)

Wanar, April 2022