Gara-Gara
Tetangga Baru
Cerpen karya
Ahmad Zaini
Siapa
yang mau keluarganya hancur? Semua orang yang waras tentu tidak
menginginkannya. Semua orang
bercita-cita ingin mengarungi samudera dengan bahteranya sampai dermaga bersama
pasangannya. Semua pasangan pasti menginginkan keluarganya utuh sampai mati.
Bakhan, sampai akhirat kelak. Namun, kehidupan tidak bisa dihitung secara
matematika. Ibarat kabut, kita tidak tahu apa yang ada di baliknya. Kabut itu
kelihatan indah, tetapi di belakang terkadang ada sesuatu yang menjijikkan. Sesuatu itu dapat membuat kita muak.
Dua kali sudah upaya Astuti mempertahankan rumah tangga.
Batu sandungan itu muncul ketika dia punya tetangga baru pindahan dari Jakarta.
Marlena namanya. Dia janda beranak lima. Dia pindah dari ibu kota dan menetap
di samping rumah Astuti. Marlena memang janda beranak lima. Akan tetapi,
penampilannya seperti lebih muda dari Astuti. Usut punya usut ternyata Marlena
punya resep manjur untuk merawat kebugaran dan kesempurnaan gayanya.
Satu-dua-tiga kali suami Astuti melihatnya.
Lama-lama suami Astuti berkenalan, bercanda, lalu berpacaran.
Sungguh Astuti tidak menyangka cobaan rumah tangga itu datang
menerpa. Semenjak pernikahan hingga punya dua momongan, kehidupan keluarga
bejalan harmonis. Astuti dan suami sangat kompak mengawal keluarga demi
kebahagiaan anak-anaknya. Dia bisa membangun rumah dan membeli mobil. Setiap
Minggu mereka piknik bersama-sama. Pokonya sangat harmonis sehingga sebagian
tetangga banyak yang iri kepada mereka.
Wanita itu diciptakan Tuhan sebagai makhluk lemah. Secara
kodrati wanita kalah kuat dibandingkan laki-laki. Namun, fakta berkata lain.
Marlena mampu membuat suami Astuti klepek-klepek. Mestinya dia tidak
memunyai daya tarik karena kelemahannya. Nah, ini yang jadi pertanyaan.
Astuti sering duduk sambil memikirkan hal-hal lain yang membuat suaminya
berpindah ke lain hati. Mungkin Astuti tidak menarik lagi karena lemak di
tubuhnya semakin menumpuk. Bisa pula suami Astuti berpaling karena wajah
Astutik tidak semulus sebelumnya karena efek kerja di pabrik plastik. Atau
mungkin dia kurang bisa memuaskan kehidupan ranjang. Ah, itu mungkin
hanya alibi dari para lelaki yang mencampakkan istinya agar bisa berganti
wanita lain.
Suatu hari Astuti menyusun strategi untuk menjebak suami.
Dia berpura-pura akan berangkat kerja. Suaminya tidak menaruh curiga sedikit
pun bahwa itu hanyalah siasat Astuti untuk menjebak kelakukan bejatnya. Motor
ditaruh Astuti di tempat penitipan sepeda. Kemudian, Astuti diam-diam pulang
melalui pintu belakang yang sengaja tidak dikunci. Astuti menyelinap lalu
menyembunyikan diri di kamar anaknya. Diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik suaminya dari celah
pintu kamar. Ia melihat suaminya berdandan. Ia memakai celana yang baru dibeli
seminggu lalu. Tubuhnya disemprot parfum. Rambutnya diguyur minyak dengan aroma
menyengat lalu disisir seperti model rambut anak-anak masa kini. Tangan suami
Astuti meraih telepon. Dia mengacak nomor telepon Marlena. Ternyata benar,
nomor yang dihubungi adalah nomor janda beranak lima itu. Mereka janjian
bertemu.
Astuti menahan amarah. Dia meredam emosi dengan
mengendalikan dengus napas dari mulutnya. Suaminya keluar rumah melalui pintu
depan. Dia menguncinya dari luar. Astuti melihat suaminya berjalan menuju rumah
Marlena. Dia masuk ke rumah janda beranak lima itu. Asem, umpat Astuti
dalam hati. Dia memanfaatkan waktu pagi yang sepi. Anak-anak Marlena tidak
berada di rumah karena berangkat kerja dan sekolah seperti kedua anaknya.
Wanita yang berlaga seperti detektif ini keluar dari pintu belakang. Astuti
berjalan mengendap-endap mengikuti suami. Ternyata benar. Suaminya masuk rumah
Marlena. Seperti dugaan sebelumnya, mereka
benar-benar berselingkuh.
Ibu dua anak ini tidak segera melancarkan aksi menangkap
basah mangsa. Dia menguping dan mengintip ulah mereka dari depan rumah Marlena.
Astuti membiarkan mereka bercanda dan saling melontarkan kata-kata mesra. Dari
celah kaca yang kelambunya agak tersingkap, Astuti melihat Marlena menarik
tangan suaminya diajak masuk dalam kamar. Suami Astuti menuruti saja kemauan
Marlena. Suami Astuti seperti kerbau dicocok hidungnya. Astuti membiarkan
mereka mengubur diri dalam kamar beberapa saat. Dia berusaha tenang dengan
menahan api cemburu. Setelah lima menit, Astuti masuk. Dengan leluasa Astuti
menyelinap ke dalam karena mereka lupa mengunci pintu. Dia membuka pintu kamar.
Astuti berteriak histeris saat melihat mereka dalam bersatu dalam pergumulan
syetan. Akibat jeritannya itu, para tentangga berhamburan keluar dari rumah menuju
asal jeritan Astuti.
”Kurang ajar! Ternyata seperti ini kelakuan kalian. Dasar
binatang yang tidak tahu aturan,” umpat Astuti kepada mereka.
”Tunggu, As! Saya jelaskan.”
”Tidak ada yang perlu dijelaskan,” potong Astuti.
Wanita yang dirundung malang akibat perselingkuhan
suaminya ini kemudian belari sambil menahan tangis. Sementera itu Suami dan
Marlena sekarang menjadi urusan warga. Mereka digelandang para warga untuk diadili
di balai kelurahan.
”Sungguh memalukan,” ungkap Astuti kesal. Dia kesal dan
malu pada perilaku suaminya. Hatinya hancur ketika bayang-bayang peristiwa
memalukan itu muncul di kelopak matanya. Astuti tidak dapat menyembunyikan rasa
sakit hati dan emosi karena dikhianati suami. Dia mengemasi pakaian ke dalam
koper. Astuti pulang ke rumah orang tua bersama dua anak untuk menenangkan
diri.
Astuti bercerita banyak tentang kejadian yang menimpanya.
Namun, ibu Astuti tidak ingin rumah tangga anaknya hancur. Dia membujuk Astuti
agar kembali ke rumah berkumpul dengan suaminya. Ibunya tidak rela apabila kedua
cucunya menjadi korban dari keretakan hubungan keluarga Astuti. Dia membujuk
Astuti sebisa mungkin. Ibu Astuti bersyukur karena anaknya masih mau mendengar
nasihatnya. Astuti menuruti keinginan ibunya. Astuti kembali ke rumah lagi
meskipun sempat menginap semalam di rumah ibunya.
”Tata hatimu, Nak! Niatlah berbakti kepada suami karena
itu dapat menuntunmu ke surga kelak. Ingat
masa depan anak-anakmu. Anakmu pasti tidak menginginkan keretakan
hubungan kalian,” pesan ibu Astuti.
Sungguh berat Astuti melangkahkan kaki. Akan tetapi,
pesan ibunya sangat menyentuh hati. Astuti meninggalkan rumah ibunya untuk kembali
kepada suami.
Astuti memberi kesempatan kedua buat suaminya. Dia
memberi kepercayaan kepada lelaki tampan yang sering membuat para wanita
tertarik padanya agar membenahi diri. Benar sekali pesan ibunya. Kepercayaan
yang diberikan kepada suaminya itu membuat hubungan mereka erat lagi. Mereka
mendayung biduk melintasi sungai yang kini berair tenang. Mereka bisa saling
menyayangi dan mencintai.
Siang hari Astuti diajak suaminya jalan-jalan. Mereka
berdua berbaur dalam satu mobil yang
cicilannya belum selesai. Mereka menembus keramaian kendaraan di Sabtu petang.
”Kita ke mana, Mas?” tanya Astuti penasaran. Dia merasa
ada sesuartu yang mengganjal dalam hatinya.
”Kita ke mall. Kita bermalam Minggu untuk
mencairkan suasana. Kita cari kesenangan di sana. Nanti kamu pilih baju
kesukaanmu. Sesukamu,” jawab enteng suami Astuti.
Mendengar kata-kata suaminya, Astuti jadi tersanjung. Dia
senyum-senyum sendiri sambil sesekali melirik suaminya yang sibuk mengemudi
mobil.
”Jangan khianati aku lagi, Mas!” pinta Astuti manja
sambil menyandarkan kepala.
”Tidak. Aku tidak akan mengkhianatimu lagi. Kita akan
selalu bersama-sama. Hidup bersama. Mati pun bersama,” kata suami Astuti.
Astuti seperti tersedak. Dadanya sesak dan susah bernapas
ketika mendengar kata terakhir. Hatinya tidak enak. Dia merasakan ada rencana
terselubung dibalik kata-kata terakhir suaminya.
Firasat Astuti tajam. Dia mampu menebak peristiwa yang bakal
dihadapinya. Dia merasakan dari cara mengemudi suaminya. Suami melajukan
kendaraan dengan kecepatan tinggi serta kasar. Puncaknya ketika di depannya ada
truk. Suaminya tidak mengurangi kecepatan. Kaki kanan suaminya malah menginjak
pedal gas semakin dalam.
”Awas ada truk. Jangan kencang-kencang, Mas!” seru
Astuti. Akan tetapi, suami Astuti tidak mengindahkan seruannya sama sekali.
Astuti merasa dirinya dalam bahaya. Suami Astuti hendak
menabrakkan mobil yang ditumpangi berdua ke truk di depannya. Astuti
memberanikan diri. Dia membuka pengunci pintu di sebelah kiri. Tangan kanannya
memegang tuas handrem. Tanpa ada yang menghitung, Astuti menarik tuas kuat-kuat
sambil membuka pintu mobil. Dia melompat keluar sebelum mobil benar-benar
menabrak truk.
Tubuh Astuti terguling-guling di jalan raya. Kedua
lengan, kaki dan keningnya berdarah. Dia menjerit untuk meminta pertolongan para
pengguna jalan lainnya supaya menolong suami yang terjepit bodi mobil. Mata
Astuti terbelalak ketika melihat darah mengucur deras dari dalam mobil yang
ringsek.
”Maaf, Mbak! Lelaki itu telah meninggal dunia,” kata
salah satu warga yang turut menolong suaminya.
Astuti menjerit. Dia tidak menyangka suaminya meninggal
dalam peritiwa itu. Dia telah mengakhiri hidup dengan tragis. Disisi lain Tuhan
masih sayang kepada Astuti. Dia selamat dan hanya mengalami luka ringan di
bagian tubuh dalam insiden itu.
Hari-hari berikutnya Astuti berusaha menenangkan diri.
Dia berusaha melepas bayangan kejadian yang dialami. Semua itu merupakan
lika-liku perjalanan hidup. Semua telah tercatat dalam garis nasib yang
dibentangkan Tuhan. Yang terpenting Astuti telah menjalankan kewajibannya
sebagai manusia. Yakni, berusaha mempertahankan kehidupan normal dalam sebuah
keluarga. (*)
Wanar, April 2022