Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 12 Desember 2020

Tahun Duka Robiah, cerpen Lembar Budaya Jawa Pos grup Radar Bjn, Minggu, 13 Desember 2020


 

Tahun Duka Robiah

Cerpen karya Ahmad Zaini


Malam itu purnama bersinar tak sempurna. Cahayanya terhalang mendung di awal pergantian musim. Semilir angin sesekali menyibak gumpalan mendung yang menutup wajah planet malam itu. Purnama menyempatkan diri menyinari sebuah ruang isolasi yang dihuni Robiah berserta keempat anaknya yang masih kecil. 

Robiah terjaga di malam itu. Mata sayunya menatap jarum jam dinding yang berlabuh di angka dua belas. Wanita yang sedang menjalani ujian jiwa dan raga ini turun dari ranjang menuju toilet di sudut ruang isolasi. Rupanya hujan sore itu telah mengubah udara malam menjadi sangat dingin sehingga Robiah beberapa kali harus bangun untuk buang air kecil.

Wanita berambut sepundak ini hendak merebahkan tubuhnya di pembaringan. Namun, tubuhnya tiba-tiba seperti ada yang menahan saat pendangannya menatap keempat anaknya yang tertidur pulas. Ia turun lagi dari pembaringan untuk membenahi selimut anak keempat yang sempat melorot hingga kakinya. Dengan penuh kasih sayang, bibir Robiah mengecup kening anak bungsunya yang sedang bermimpi bertemu dengan ayah, nenek, dan kakeknya di surga.

Robiah tak mampu memejamkan matanya. Pandangan Robiah selalu mengarah ke anak-anaknya. Bayangan demi bayangan masa depan anak-anaknya menahan kelopak mata menutup korneanya. Ia hampir tak mampu berpikir bagaimana nanti masa depan mereka.

”Robiah, kamu harus tegar. Kamu harus tabah menghadapi ujian ini. Kamu jangan larut dalam kesedihan. Fokuslah pada masa depan anak-anakmu. Mereka generasi penerus orang-orang tercintamu yang sekarang sudah damai di alamnya,” bisik Santi, teman akrabnya menjelang keberangkatan ke tempat isolasi di rumah sakit.

Bagaimana seorang wanita mampu memikirkan masa depan keempat anak yang masih kecil sendirian? Pertanyaan seperti ini selalu muncul dari dalam hati Robiah. Ia ragu dapat menjalaninya. Robiah sangat beruntung mempunyai teman-teman yang sangat perhatian padanya. Beberapa pesan yang masuk di ponselnya memberikan nutrisi semangat hidup bagi diri dan anak-anaknya.

”Kelahiran anak-anakmu adalah kehendak Allah. Rezeki mereka telah tersedia. Jangan anggap setelah berpulangnya orang-orang tercintamu, anak-anakmu jadi telantar. Itu anggapan yang salah. Sekali lagi pemberi rezeki dan penentu masa depan anak-anakmu adalah Allah, bukan orang-orang tercintamu yang telah mendahuluimu untuk menghadap ke hadiratNya,” tukas Khozin, teman akrab suaminya.

Hati Robiah menjadi tenang setelah membaca pesan-pesan teman karibnya. Samangat sembuh dan hidup untuk membangun masa depan anak-anaknya kembali bangkit. Robiah sadar bahwa dia hidup tidak hanya beserta keempat anaknya, tetapi juga bersama teman-temannya. 

***

Dalam lingkaran kalender tahun ini, Robiah kehilangan orang-orang yang sangat peduli dan perhatian padanya. Orang-orang yang sangat menyayangi dan menjadi inspirasi dalam hidupnya. Mereka satu persatu menghadap ke pangkuan Tuhan. Mereka meninggal dalam rentang waktu yang tak lama. 

Bulan Mei merupakan awal masa kesedihan Robiah. Mertuanya meninggal dunia. Ayah dari suaminya ini meninggal secara mendadak. Lebih sedih lagi para tetangga menduga mertuanya meninggal karena terpapar virus yang sangat berbahaya. Para tetangga tidak ada yang berani datang ke rumah mertuanya untuk bertakziyah. Mereka takut tertular virus.

Berselang lima bulan, tepatnya bulan November ibu kandung Robiah sakit. Masa sakitnya juga tidak lama. Tidak sampai seminggu. Hasil pemeriksaan dokter, ibunya juga diduga terpapar virus yang sama seperti mertuanya. Sakit ibunya semakin hari semakin parah. Akhirnya, ibu kandung Robiah juga menghadap ke Sang Pencipta.

Robiah telah kehilangan dua orang tuanya. Orang tua mertua dan orang tua kandung. Robiah terpukul atas peristiwa tersebut. Namun, Robiah tahu dan paham bahwa kematian itu adalah kehendak Allah. Hak prerogatif Allah. Tidak ada manusia yang bisa menolak takdir kematian. Dia sangat mengerti dan memahami bahwa semua manusia yang hidup ini akan mengalami kematian. Ibarat sebuah bangunan, kematian adalah pintunya. Semua orang pasti akan melewati pintu tersebut. Hanya saja Allah merahasiakan kapan dan di mana ajal menjemput manusia. Pada usia berapa dan dalam keadaan bagaimana kematian itu terjadi. Semua manusia tidak ada yang tahu. Yang paling penting adalah manusia harus selalu berbuat kebajikan ketika hidup agar saat ajal menjemput, perjalanan hidupnya berakhir khusnul khotimah.

”Mbak Robiah, Mas Naufal, Mas Naufal,” lapor salah satu tetangga dekatnya dengan tergopoh-gopoh.

”Kenapa, kenapa suamiku?” tanya Robiah dengan perasaan yang tidak menentu.

”Mas Naufal pingsan. Sekarang dia dibawa ke rumah sakit oleh teman-temannya,” jelasnya.

Setelah mendengar penjelasan tetangganya, jiwa Robiah terguncang-guncang. Jantungnya berdegub kencang. Ia takut. Ia teringat peristiwa kematian yang telah merenggut dua orang tua sebelumnya. Pikiranya semrawut tak beraturan. Ia menjerit hingga keempat anaknya berlarian mendekat dan memeluk dirinya.

”Ada apa, Ma? Ada apa, kok, Mama menangis?” tanya anak sulungnya.

Robiah tak mampu membuka mulut untuk menjawab pertanyaan anaknya. Dia menggandeng keempat anaknya berjalan pelan masuk ke rumah. Dengan derai air mata, Robiah berusaha tetap tegar sambil berdoa semoga suaminya tidak apa-apa. 

Mendung benar-benar memayungi kehidupan keluarga Robiah. Ia bertubi-tubi dirundung duka. Robiah berusaha menenagkan diri. Ia duduk sambil berharap-harap cemas pada kabar perkembangan suaminya. Maklum, ia hanya bisa menunggu kabar karena tidak bisa meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil-kecil di rumah. Dia tidak bisa berangkat ke rumah sakit untuk menunggui suaminya yang sedang menjalani perawatan.

Wajah ibu dari empat anak yang masih kecil-kecil ini menampakkan kecemasan. Kerut di keningnya terlihat jelas. Apalagi semenjak pagi dia belum sempat memoles wajah dengan make up istimewa hadiah ulang tahun dari suaminya tercinta. Jelas sekali wajah Robiah menggambarkan jiwanya sedang berada dalam kondisi tak menentu.

Beberapa kali Robiah hendak mengusir rasa itu dengan mengajak bicara anak-anaknya yang masih bergelayut di kedua lengannya. Namun, usaha itu selalu gagal. wajarlah, karena sekarang ini tinggal suaminya yang bisa diharapkan bisa melindungi dan mendampingi dirinya dalam mengasuh dan membina anak-anak. 

”Sekuat-kuatnya wanita tak mungkin bisa hidup sendiri bersama keempat anaknya yang masih kecil secara normal tanpa bantuan orang lain. Tumpuan terakhirnya dalam menjalani hidup sesudah kematian kedua orang tua terkasihnya adalah suami. Lebih-lebih Robiah anak tunggal. Dia tidak punya siapa-siapa lagi selain suaminya saat ini,” cibir salah satu tetangga yang sempat iri pada kedamaian di rumah Robiah sebelumnya. 

Robiah melepas perlahan rangkulan anak-anaknya. Ia menyandarkan anak-anaknya di kursi. Ia mengambil ponsel yang berdering di atas meja. Tangannya terasa berat bergerak untuk mengambil ponsel. Ia khawatir kabar buruk bakal diterimanya. Ketakutan itu buyar. Tangannya berubah menjadi gesit. Ia menyambar ponsel tersebut setelah mengetahui yang menelepon dirinya adalah sang suami.

”Selamat siang, Bu Robiah! Ini kami dari pihak rumah sakit mengabarkan bahwa suami Ibu telah meninggal dunia. Mohon Ibu bersabar dan bertawakkal kepada Tuhan!” suara salah satu petugas rumah sakit yang menelepon Robiah dengan menggunakan ponsel suaminya.

Darah yang mengalir di tubuh Robiah seakan berhenti. Ia berdiri seperti patung. Energi di sekujur tubuhnya sirna dengan perlahan. Jari-jari yang menggenggam ponsel melemah. Kekuatannya hilang meski hanya dibuat menggenggam ponsel. Ponsel jatuh hingga pecah berantakan.

”Mama...!” jerit anak-anaknya yang seketika mengembalikan kekuatannya.

Robiah duduk lantas merengkul keempat anaknya. Mereka larut ke dalam tangis karena kehilangan orang terakhir yang menjadi tumpuan hidupnya. Robiah menciumi kening keempat anaknya satu persatu. Ia memeluk erat para buah hati dari pernikahan dengan Naufal, suaminya. Bayang-bayang masa depan keempat anaknya terlintas dalam bening air mata yang menggenangi wajahnya.

Duka mendalam benar-benar dialami oleh Robiah setelah kematian ayah mertua, ibu kandung, dan kini suaminya. Apalagi saat ini dia tidak bisa menyaksikan secara langsung pemakaman suami dan ayah dari keempat anaknya yang tercinta. Dia tidak boleh turut serta bersama para tetangga dekat untuk memberikan penghormatan terakhir imam hidupnya. Hasil swab menyatakan Robiah dan keempat anaknya dinyatakan positif covid-19. Mereka terpaksa harus menjalani isolasi di rumah sakit. Robiah dan anak-anaknya hanya bisa menyaksikan pemakaman suaminya memalui video call tetangganya.  (*)


Wanar, 5 Desember 2020 


Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan. Ia tercatat sebagai ketua PC Lesbumi NU Babat, aktif sebagai anggota Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela), serta Forum Penulis dan Pegiatan Literasi (FP2L) Lamongan. Beberapa karyanya telah terbukukan dan sering dimuat di berbagai media cetak dan online. Saat ini ia berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan.