Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Senin, 23 April 2018

Mat Tompel, Pemimpin Tanpa Kursi (Jawa Pos grup, Radar Bojonegoro, Minggu, 22 April 2018)


Mat Tompel, Pemimpin Tanpa Kursi
Cerpen Ahmad Zaini

Mat Tompel. Nama aneh bagi sebagian warga. Entah siapa yang pertama menyebut lelaki yang punya kepedulian tinggi pada kehidupan warga ini dengan sebutan tersebut. Padahal, nama aslinya Ahmad Khoiruz Zaman. Mungkin saja warga menyebutnya dengan panggilan itu karena di kampung ini banyak warga yang dipanggil dengan sebutan Mat. Akhirnya, warga sepakat dengan panggilan Mat Tompel sesuai dengan ciri fisiknya. Kebetulan di pipi sebelah kanan Ahmad Khoiruz Zaman ini ada tompel bundar seperti uang logam.
Mat Tompel tak pernah memersalahkan sebutan yang tersemat pada dirinya. Meskipun, setiap hari ribuan bahkan puluhan ribu orang menyebutnya dengan nama Mat Tompel. Lelaki ini tidak pernah menuntut mereka ke pengadilan.
Mat Tompel orang yang kaya raya di kampung ini. Sawah dan pekarangannya tersebar di berbagai daerah. Dia juga memiliki beberapa rumah di kota yang dikontrakkan kepada para pegawai kantor dan pekerja pabrik. Mat Tompel tidak pernah turun ke sawah. Dia juga tidak pernah bekerja di pekarangannya. Dia tidak pernah sibuk mengurus rumah kontrakannya. Setiap hari ia hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Mat Tompel saban pagi sampai sore hanya cangkruan bersama warga di gazebo di halaman rumahnya yang luas.
Nama Mat Tompel terkenal di seantero daerah. Semua orang, mulai anak-anak, remaja, dewasa, sampai mereka yang berusia renta mengenal sosok yang satu ini. Hal ini tidak terlepas dari kekayaan yang dimilikinya serta sifat kedermawanannya kepada warga. Mat Tompel sosok yang tidak pelit dan senang  membantu warga yang membutuhkan uluran tangannya.
Rumah Mat Tompel berada di tengah perkampungan. Rumahnya sederhana. Berdinding kayu dan berlantai tanah. Tanpa keramik dan marmer. Di ruang tamu tidak terlihat kursi atau sofa mewah. Di ruang yang biasanya digunakan menyambut tamu dari berbagai daerah ini hanya tergelar karpet warna merah polos. Sedangkan di ruang tangah rumahnya hanya terlihat kursi kayu panjang yang bisa digunakan duduk lima sampai sepuluh orang serta meja kayu tanpa taplak meja.
Setiap hari puluhan warga keluar-masuk rumah Mat Tompel. Warga yang terdesak kebutuhan datang ke rumahnya untuk sekadar meminta bantuan baik bahan makanan atau uang. Mereka yang datang ke rumah Mat Tompel tidak ada yang kembali dengan tangan hampa. Warga yang datang pasti pulang dengan membawa buah tangan dari Mat Tompel.
”Mat, saya butuh beras buat buwoh ke rumah Kamson,” kata Rojali yang datang menghadapnya dengan tiba-tiba.
”Butuh berapa karung?” tanya Mat Tompel.
”Tidak banyak. Mungkin hanya sekarung beras sembako,” timpal Rojali dengan nada ringan.
”Masuk dan mintalah pada Parmin. Sampaikan kepadanya saya yang menyuruh,” kata Mat Tompel yang diikuti anggukan Rojali.
Tak lama berselang, Rojali keluar dengan memanggul beras sekarung sembako.
”Terima kasih, Mat!”
Suatu hari juga pernah ada wanita setengah tua datang ke rumah Mat Tompel. Dia menghadap kepada Mat Tompel dengan derai air mata. Wanita setengah tua itu menangis sesenggukan di depannya.
”Kenapa, Yuk? Apa yang membuatmu menangis seperti ini? Bukankah kemarin semua hutangmu sudah kulunasi?” tanya Mat Tompel kepada wanita setangah tua yang bersimpuh di depannya itu.
”Karena itulah saya datang lagi sambil menangis. Saya sebenarnya malu akan minta uang lagi padamu karena kemarin sudah kauberi,” terang wanita setengah tua itu.
”Jangan berkata seperti itu. Setiap kau butuh uang, datang saja ke sini! Memang butuh berapa dan buat apa?” tanya Mat Tompel sambil menepuk pundak wanita setengah tua tersebut.
”Anak saya disuruh pulang oleh kepala sekolahnya. Saya belum bisa melunasi keuangan sekolahnya karena uang yang kauberi kemarin kugunakan membayar hutang pada Yuk Tarmi dan Mat Sodron. Anakku akan ujian nasional besok pagi. Dia belum mendapat nomor ujian. Dia akan diberi nomor peserta ujian oleh sekolah apabila semua tunggakan keuangannya dilunasi,” kata wanita setengah tua itu menjelaskan permasalahannya kepada Mat Tompel.
”Silakan masuk! Menghadaplah ke Tuminah dan sampaikan keperluanmu. Katakan kepadanya saya yang menyuruh,” pinta Mat Tompel.
Setelah mengikuti perintah Mat Tompel, sedetik kemudian wanita setengah tua itu keluar rumah dengan wajah yang ceria. Dia menimang-nimang bungkusan uang yang diberi Tuminah, adik Mat Tompel.
”Terima kasih, Mat! Terima Kasih! Semoga Pengeran membalas kebaikanmu!” ujar wanita setengah tua itu sambil berpamitan meninggalkan Mat Tompel yang masih bersantai-santai di gazebo rumahnya.
***
Ribuan orang datang ke rumah Mat Tompel pada suatu siang. Mereka membawa aneka poster menuntut Mat Tompel agar bersedia maju sebagai kepala daerah. Mereka mengelu-elukan Mat Tompel sebagai sosok yang pantas memimpin daerahnya. Mereka menganggap Mat Tompel sebagai sosok yang bersahaja, memunyai jiwa sosial tinggi, peduli pada rakyat kecil meski dia tergolong orang yang kaya raya.
”Hidup Mat Tompel!” teriak salah satu dari mereka.
”Hiduuuppp!” sahut yang lain.
Mat Tompel meletakkan secangkir kopi yang ketika itu masih menempel di bibirnya. Ia berdiri sambil membenahi sarungnya yang agak kedodoran. Dengan didampingi Parmin dan Tuminah, Mat Tompel menemui ribuan warga yang membentangkan aneka poster di halaman rumahnya.
”Ada apa ini?” tanya Mat Tompel sambil membaca dalam hati tulisan di poster yang dibentangkan oleh warga.
”Yang terhormat Bapak Mat Tompel. Dengar dan kabulkan suara kami. Ini suara rakyat yang menghendaki agar Bapak Mat Tompel bersedia mencalonkan diri sebagai kepala daerah di sini,” kata salah satu warga sambil menyodorkan kertas yang berisi tuntutan kepada Mat Tompel.
Lelaki hartawan dan dermawan ini hanya tersenyum. Dia geli dan ingin tertawa lepas mendengar tuntutan warga.
”Kalian ini aneh. Orang seperti saya apakah pantas sebagai pemimpian kalian?” tanya Mat Tompel.
”Pantas. Bapak Mat Tompel sangat pantas dan layak menjadi pemimpin kami,” jawab mereka dengan serentak.
Emoh. Untuk kali ini saya tidak mengabulkan permintaan kalian. Saya tidak mau jadi pemimpin. Sampai kiamat pun saya tidak mau mencalonkan diri dalam pilkada ini. Enak jadi rakyat. Bisa ngopi, cangkruk, dan bisa membantu sesama tanpa dikejar-kejar KPK dan wartawan,” kata Mat Tompel.
”Pokoknya Bapak Mat Tompel adalah pemimpin kami,” tegas salah satu warga yang menerobos pagar hidup untuk sekadar menyampaikan aspirasinya.
”Itu terserah. Saya tidak bisa melarang kalian mengangkatku jadi pemimpin. Tapi –.”
”Tapi apa Pak Mat?”
”Saya tidak punya kursi,” jawab Mat Tompel dengan lugas.
”Kami punya kursi banyak di rumah. Pak Mat boleh mengambilnya,” sahut tiga lelaki sambil menunjukkan jarinya lalu disambut tawa oleh warga.
”Meski Pak Mat tidak punya kursi, kami tetap mengakui Pak Mat Tompel sebagai pemimpin kami,” desak salah satu dari mereka untuk menegaskan tuntutannya.
”Terserah. Yang penting sekarang kalian pulang dulu. Saya akan menghabiskan kopiku yang masih separuh. Eman!” sambung Mat Tompel yang kembali ke tempat duduk semula untuk mengambil kopinya.
Mat Tompel menyeruput kopi pahit kesukaannya sambil melihat para warga yang perlahan membubarkan diri.
Tiga minggu sebelum aksi ribuan warga di rumah sederhana itu, Mat Tompel juga pernah didatangi beberapa petinggi partai. Mat Tompel ditawari agar mau menjadi calon kepala daerah dari partai mereka. Lagi-lagi Mat Tompel menolak meski partai yang menawarinya itu partai besar yang memiliki massa yang banyak. Andai Mat Tompel mau menerimanya, bisa dipastikan dia akan terpilih menjadi pemimpin selama lima tahun ke depan.
Mat Tompel bersama sebagian warga duduk di gazebo depan rumahnya. Mereka mengobrol ke sana kemari sambil menikmati kopi. Mereka tidak memedulikan pembicaraan warga yang menilai dirinya konyol karena menolak tawaran dicalonkan sebagai pemimpin daerah. Hal terpenting dalam hidup Mat Tompel adalah dia berusaha agar bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Itu saja tanpa yang lain. (*)

Wanar, April 2018