Mat Tompel, Pemimpin Tanpa Kursi
Cerpen Ahmad Zaini
Mat Tompel. Nama aneh bagi sebagian warga. Entah siapa
yang pertama menyebut lelaki yang punya kepedulian tinggi pada kehidupan warga
ini dengan sebutan tersebut. Padahal, nama aslinya Ahmad Khoiruz Zaman. Mungkin
saja warga menyebutnya dengan panggilan itu karena di kampung ini banyak warga
yang dipanggil dengan sebutan Mat. Akhirnya, warga sepakat dengan panggilan
Mat Tompel sesuai dengan ciri fisiknya. Kebetulan di pipi sebelah kanan Ahmad
Khoiruz Zaman ini ada tompel bundar seperti uang logam.
Mat Tompel tak pernah memersalahkan sebutan yang tersemat
pada dirinya. Meskipun, setiap hari ribuan bahkan puluhan ribu orang menyebutnya
dengan nama Mat Tompel. Lelaki ini tidak pernah menuntut mereka ke pengadilan.
Mat Tompel orang yang kaya raya di kampung ini. Sawah dan
pekarangannya tersebar di berbagai daerah. Dia juga memiliki beberapa rumah di
kota yang dikontrakkan kepada para pegawai kantor dan pekerja pabrik. Mat
Tompel tidak pernah turun ke sawah. Dia juga tidak pernah bekerja di
pekarangannya. Dia tidak pernah sibuk mengurus rumah kontrakannya. Setiap hari
ia hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Mat Tompel saban pagi sampai sore hanya
cangkruan bersama warga di gazebo di halaman rumahnya yang luas.
Nama Mat Tompel terkenal di seantero daerah. Semua orang,
mulai anak-anak, remaja, dewasa, sampai mereka yang berusia renta mengenal sosok
yang satu ini. Hal ini tidak terlepas dari kekayaan yang dimilikinya serta
sifat kedermawanannya kepada warga. Mat Tompel sosok yang tidak pelit dan
senang membantu warga yang membutuhkan
uluran tangannya.
Rumah Mat Tompel berada di tengah perkampungan. Rumahnya
sederhana. Berdinding kayu dan berlantai tanah. Tanpa keramik dan marmer. Di
ruang tamu tidak terlihat kursi atau sofa mewah. Di ruang yang biasanya
digunakan menyambut tamu dari berbagai daerah ini hanya tergelar karpet warna
merah polos. Sedangkan di ruang tangah rumahnya hanya terlihat kursi kayu
panjang yang bisa digunakan duduk lima sampai sepuluh orang serta meja kayu
tanpa taplak meja.
Setiap hari puluhan warga keluar-masuk rumah Mat Tompel.
Warga yang terdesak kebutuhan datang ke rumahnya untuk sekadar meminta bantuan
baik bahan makanan atau uang. Mereka yang datang ke rumah Mat Tompel tidak ada
yang kembali dengan tangan hampa. Warga yang datang pasti pulang dengan membawa
buah tangan dari Mat Tompel.
”Mat, saya butuh beras buat buwoh ke rumah
Kamson,” kata Rojali yang datang menghadapnya dengan tiba-tiba.
”Butuh berapa karung?” tanya Mat Tompel.
”Tidak banyak. Mungkin hanya sekarung beras sembako,”
timpal Rojali dengan nada ringan.
”Masuk dan mintalah pada Parmin. Sampaikan kepadanya saya
yang menyuruh,” kata Mat Tompel yang diikuti anggukan Rojali.
Tak lama berselang, Rojali keluar dengan memanggul beras
sekarung sembako.
”Terima kasih, Mat!”
Suatu hari juga pernah ada wanita setengah tua datang ke
rumah Mat Tompel. Dia menghadap kepada Mat Tompel dengan derai air mata. Wanita
setengah tua itu menangis sesenggukan di depannya.
”Kenapa, Yuk? Apa yang membuatmu menangis seperti ini?
Bukankah kemarin semua hutangmu sudah kulunasi?” tanya Mat Tompel kepada wanita
setangah tua yang bersimpuh di depannya itu.
”Karena itulah saya datang lagi sambil menangis. Saya sebenarnya
malu akan minta uang lagi padamu karena kemarin sudah kauberi,” terang wanita
setengah tua itu.
”Jangan berkata seperti itu. Setiap kau butuh uang,
datang saja ke sini! Memang butuh berapa dan buat apa?” tanya Mat Tompel sambil
menepuk pundak wanita setengah tua tersebut.
”Anak saya disuruh pulang oleh kepala sekolahnya. Saya
belum bisa melunasi keuangan sekolahnya karena uang yang kauberi kemarin
kugunakan membayar hutang pada Yuk Tarmi dan Mat Sodron. Anakku akan ujian
nasional besok pagi. Dia belum mendapat nomor ujian. Dia akan diberi nomor
peserta ujian oleh sekolah apabila semua tunggakan keuangannya dilunasi,” kata
wanita setengah tua itu menjelaskan permasalahannya kepada Mat Tompel.
”Silakan masuk! Menghadaplah ke Tuminah dan sampaikan
keperluanmu. Katakan kepadanya saya yang menyuruh,” pinta Mat Tompel.
Setelah mengikuti perintah Mat Tompel, sedetik kemudian wanita
setengah tua itu keluar rumah dengan wajah yang ceria. Dia menimang-nimang
bungkusan uang yang diberi Tuminah, adik Mat Tompel.
”Terima kasih, Mat! Terima Kasih! Semoga Pengeran
membalas kebaikanmu!” ujar wanita setengah tua itu sambil berpamitan
meninggalkan Mat Tompel yang masih bersantai-santai di gazebo rumahnya.
***
Ribuan orang datang ke rumah Mat Tompel pada suatu siang.
Mereka membawa aneka poster menuntut Mat Tompel agar bersedia maju sebagai
kepala daerah. Mereka mengelu-elukan Mat Tompel sebagai sosok yang pantas
memimpin daerahnya. Mereka menganggap Mat Tompel sebagai sosok yang bersahaja,
memunyai jiwa sosial tinggi, peduli pada rakyat kecil meski dia tergolong orang
yang kaya raya.
”Hidup Mat Tompel!” teriak salah satu dari mereka.
”Hiduuuppp!” sahut yang lain.
Mat Tompel meletakkan secangkir kopi yang ketika itu
masih menempel di bibirnya. Ia berdiri sambil membenahi sarungnya yang agak kedodoran.
Dengan didampingi Parmin dan Tuminah, Mat Tompel menemui ribuan warga yang
membentangkan aneka poster di halaman rumahnya.
”Ada apa ini?” tanya Mat Tompel sambil membaca dalam hati
tulisan di poster yang dibentangkan oleh warga.
”Yang terhormat Bapak Mat Tompel. Dengar dan kabulkan
suara kami. Ini suara rakyat yang menghendaki agar Bapak Mat Tompel bersedia
mencalonkan diri sebagai kepala daerah di sini,” kata salah satu warga sambil
menyodorkan kertas yang berisi tuntutan kepada Mat Tompel.
Lelaki hartawan dan dermawan ini hanya tersenyum. Dia
geli dan ingin tertawa lepas mendengar tuntutan warga.
”Kalian ini aneh. Orang seperti saya apakah pantas
sebagai pemimpian kalian?” tanya Mat Tompel.
”Pantas. Bapak Mat Tompel sangat pantas dan layak menjadi
pemimpin kami,” jawab mereka dengan serentak.
”Emoh. Untuk kali ini saya tidak mengabulkan
permintaan kalian. Saya tidak mau jadi pemimpin. Sampai kiamat pun saya tidak
mau mencalonkan diri dalam pilkada ini. Enak jadi rakyat. Bisa ngopi, cangkruk,
dan bisa membantu sesama tanpa dikejar-kejar KPK dan wartawan,” kata Mat
Tompel.
”Pokoknya Bapak Mat Tompel adalah pemimpin kami,” tegas
salah satu warga yang menerobos pagar hidup untuk sekadar menyampaikan
aspirasinya.
”Itu terserah. Saya tidak bisa melarang kalian
mengangkatku jadi pemimpin. Tapi –.”
”Tapi apa Pak Mat?”
”Saya tidak punya kursi,” jawab Mat Tompel dengan lugas.
”Kami punya kursi banyak di rumah. Pak Mat boleh mengambilnya,”
sahut tiga lelaki sambil menunjukkan jarinya lalu disambut tawa oleh warga.
”Meski Pak Mat tidak punya kursi, kami tetap mengakui Pak
Mat Tompel sebagai pemimpin kami,” desak salah satu dari mereka untuk
menegaskan tuntutannya.
”Terserah. Yang penting sekarang kalian pulang dulu. Saya
akan menghabiskan kopiku yang masih separuh. Eman!” sambung Mat Tompel
yang kembali ke tempat duduk semula untuk mengambil kopinya.
Mat Tompel menyeruput kopi pahit kesukaannya sambil
melihat para warga yang perlahan membubarkan diri.
Tiga minggu sebelum aksi ribuan warga di rumah sederhana
itu, Mat Tompel juga pernah didatangi beberapa petinggi partai. Mat Tompel
ditawari agar mau menjadi calon kepala daerah dari partai mereka. Lagi-lagi Mat
Tompel menolak meski partai yang menawarinya itu partai besar yang memiliki
massa yang banyak. Andai Mat Tompel mau menerimanya, bisa dipastikan dia akan
terpilih menjadi pemimpin selama lima tahun ke depan.
Mat Tompel bersama sebagian warga duduk di gazebo depan
rumahnya. Mereka mengobrol ke sana kemari sambil menikmati kopi. Mereka tidak
memedulikan pembicaraan warga yang menilai dirinya konyol karena menolak
tawaran dicalonkan sebagai pemimpin daerah. Hal terpenting dalam hidup Mat
Tompel adalah dia berusaha agar bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Itu
saja tanpa yang lain. (*)
Wanar, April 2018