Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 20 April 2014

Gerumbul (cerpen Radar Bojonegoro (Jawa Pos Grup)

Gerumbul
Cerpen karya Ahmad Zaini

Sebatang pohon berdiri kokoh di perempatan jalan. Batangnya besar, daunnya lebat, serta akar-akarnya bergelantungan menjulur ke tanah. Setiap sore terdapat kawanan burung hinggap di pohon itu. Beraneka macam burung telah menjadikan pohon tersebut sebagai tempat persinggahan sementara setiap malam. Jika pagi datang, kicau burung-burung itu menghibur para warga yang melintas di pinggir pohon itu.
Para warga menyebut pohon itu dengan sebutan gerumbul. Entah apa alasannya mereka menyebutnya gerumbul. Padahal pohon itu terkenal dengan pohon beringin. Mungkin dari daunnya yang rindang dan sering digunakan para warga bergerombol untuk berteduh itu  mereka kemudian menyebutnya gerumbul.
Pohon berusia ratusan tahun ini sering digunakan warga sebagai tempat ritual. Mereka memercayai bahwa pohon tersebut memiliki berkah dan bisa menentukan nasib kehidupan manusia. Kebanyakan mereka yang melakukan ritual di bawah pohon tersebut adalah para orang tua yang masih memercayai adanya hal-hal yang berbau mistis demi tujuan tertentu. Umumnya mereka melakukan ritual pada malam hari karena mereka tidak mau ritualnya ini diketahui oleh masyarakat umum dan mereka takut dicap sebagai pengikut aliran sesat.
Setiap pagi anak-anak yang tinggal di sekitar pohon itu selalu berlomba menuju gerumbul itu. Mereka yang datang lebih awal akan mendapatkan sisa sesajen. Setelah mereka mendapatkan sisa sesajen, mereka akan memakannya bersama-sama di bawah pohon itu juga.
“Wuahahahaha...!” gertak wanita setengah tua dari balik pohon itu.
Anak-anak yang sedang menikmati sisa sesajen itu ketakutan lalu berlarian tak tentu arah. Mereka meninggalkan setampah nasi yang bercampur lauk ayam panggang serta ditaburi urap-urap.
Wanita setengah tua yang tak lain adalah warga kampung yang terganggu jiwanya itu menyantap sisa sesajen yang ditiggal lari anak-anak itu hingga habis. Wanita itu kemudian duduk di atas akar pohon gerumbul sambil meracau ke sana kemari.
Gerumbul itu kini menjadi bahan perbincangan dan perdebatan warga kampung. Warga terpecah menjadi dua kubu. Ada yang pro dan ada kontra terhadap keberadaan pohon tersebut.
Pihak yang pro terhadap keberadaan pohon itu ingin mempertahankan pohon tersebut karena pohon itu merupakan peninggalan nenek moyang yang disakralkan sebagai tempat ritual atau pemujaan. Mereka memercayai bahwa gerumbul itu ada penunggunya. Penunggu gerumbul tersebut bisa memberikan manfaat kepada para warga. Terutama mereka yang masih percaya pada hal-hal yang berbau mistis. Kelompok inilah yang setiap malam sering datang ke pohon tersebut sambil membawa sesajen untuk mengadakan pemujaan.
Sedangkan masyarakat yang kontra terhadap keberadaan pohon itu beralasan bahwa pohon itu menimbulkan banyak madharat atau membahayakan warga. Banyak warga yang berkendaraan terjatuh atau bertabrakan karena pandangan mereka terhalang pohon yang berada tepat di perempatan jalan. Alasan lain yang menguatkan mereka adalah pohon itu sering dimanfaatkan warga untuk melakukan ritual yang mengarah pada kemusyrikan sehingga dikhawatirkan akan merusak aqidah anak-anak, pemuda dan warga semuanya.
“Jika pohon itu dilenyapkan, maka kita bisa menyelamatkan warga dan menghindarkan mereka dari sifat syirik atau menyekutukan Tuhan,” kata Muslim, tokoh agama, di kampung itu.
Peseteruan dua kubu di kampung itu terus berlanjut bahkan mulai memanas. Kubu yang pro atau yang masih membutuhkan keberdaan pohon itu kini semakin berani. Biasanya mereka mengadakan ritual di bawah pohon itu hanya kalau malam telah tiba. Kini mereka siang bolong pun datang ke tempat itu dengan membawa sesaji lalu dengan terang-terangan mengadakan ritual di tempat tersebut. Perilaku nyeleneh dari sebagian warga yang mengultuskan pohon itu sontak menjadi tontonan warga yang lain. Warga yang memahami bahwa yang mereka lakukan adalah perbuatan syirik ada yang sampai melemparinya dengan bebatuan bahkan ada yang melemparinya dengan kotoran.
“Mereka telah menyekutukan Tuhan. Kita wajib menyadarkan. Kita juga harus menebang pohon itu agar tidak dijadikan sebagai alat menyukutan Tuhan,” usul salah satu pemuda yang menentang ajaran sesat itu.
Sebagai tokoh masyarakat, Muslim tidak tinggal diam. Dia mengumpulkan para warga kemudian mengajaknya berembuk di balai desa. Rencana ini mendapat persetujuan dari kepala desa.
“Saya sangat setuju dengan rencana rembukan ini. besok pagi saya akan mengirimkan undangan kepada para tokoh masyarakat dari kedua belah pihak. Mereka yang pro terhadap keberadaan pohon itu kita undang. Demikian juga dengan kubu yang kontra. Kita rembukan bersama untuk menyelesaikan masalah pohon tersebut,” jelas kepala desa.
***
Suasana rembukan di balai desa sangat sengit. Kedua kubu bersikukuh mempertahankan keyakinan masing-masing. Muslim sebagai tokoh agama sangat mengutuk sikap para pemuja pohon dan mengecap mereka sebagai orang musyrik karena telah menyekutukan Tuhan. Kerto dari pihak pemuja pohon juga bersikukuh mempertahankan keberadaan pohon itu. Dia bahkan mengancam jika pohon itu ditebang, maka Mbah Karihun yang dianggap sebagai penunggu pohon itu akan murka.
“Kampung ini akan mendapatkan balak atau bencana yang mahadasyat,” ucapnya.
Mendengar ancaman dari Kerto, Muslim sebagai orang yang ditokohkan di kampung itu tidak tinggal diam.
“Hidup mati seseorang itu Allah yang menentukan. Balak atau bencana itu juga kehendak Allah. Pohon hanyalah sebatang pohon yang tak mempunyai kekuatan apa-apa. Jangankan melindungi manusia, melindungi dirinya sendiri saja dia tidak mampu. Saudara Kerto, saya ingin tanya apakah pohon itu bisa mengusir lalat atau binatang lain yang membahayakan dirinya?” tanya Muslim.
“Tidak bisa,” jawab Kerto.
“Kalau Saudara tahu kalau pohon itu tidak bisa melindungi dirinya, kenapa kamu masih meyakini bahwa pohon itu bisa memberi berkah dan perlindungan kepada manusia? Segeralah bertobat dan meninggalkan perbuatan syirik ini,” kata Muslim meyakinkan Kerto dan segelintir pengikutnya.
“Tidak. Kami tidak akan meninggalkan ajaran nenek moyang ini. Kami tetap berikukuh menentang rencana penebangan pohon ini,” ucap Kerto dengan tegas.
“Huuuuuuuu!!” sorak para warga yang mengikuti rembukan di balai desa.
Kepala desa sebagai mediator dalam acara itu segera mengambil jalan tengah. Dia mengadakan poling terbuka.
“Kalau kita memperdebatkan keyakinan masing-masing maka sebulan pun rembukan ini tidak akan selesai. Sekarang kita adakan jajak pendapat saja. Antara yang pro dan kontra terhadap gerumbul itu nanti saya persilakan mengacungkan tangan saja. Bagaimana?” kata kepala desa.
“Setuju. Saya sangat setuju dengan pendapat kepala desa,” kata Muslim yang diikuti para warga yang lain.
Jajak pendapat dimulai. Kepala desa memberikan kesempatan mengacungkan tangan kepada warga yang masih menginginkan keberadaan gerumbul itu. Dari puluhan warga yang datang ke balai desa yang mengacungkan tangannya hanya sembilan orang.
“Yang pro ada sembilan orang,” ucap kepala desa setelah menghitung warga yang mengacungkan tangannya.
“Sekarang giliran warga yang menentang keberadaan gerumbul. Silakan angkat tangan!” kepala desa mempersilakan Muslim dan kawan-kawan untuk mengacungkan tangannya.
Seluruh warga yang hadir di balai desa mengacungkan tangan. Kecuali Kerto dan pengikutnya.
“Nah, sekarang kita sudah mendapatkan hasilnya. Sebagaan besar warga yang datang di tempat ini menolak keberadaan gerumbul tersebut. Oleh karena itu, saya mohon kepada Pak Kerto dan kawan-kawan harus mengikuti hasil musyawarah ini,” imbau kepala desa.
“Saya tetap bersikukuh pada pendapat kami. Sampai kapan pun kami tidak akan rela gerumbul itu dilenyapkan. Kalau gerumbul itu ditebang, kemana kami akan mengadakan ritual? Kalau ada permasalahan pertanian dan jodoh anak-anak kita, kepada siapa kita akan mengadu?” sambung Kerto.
“Pak Kerto, taubatlah! Sadarlah bahwa yang telah Pak Kerto lakukan selama ini adalah sesat. Itu perbuatan syirik. Kita beribadah ke tempat yang suci seperti masjid dan musalla. Kita mengadukan semua permasalahan hanya kepada Allah. Allahlah Tuhan yang harus kita sembah. Bukan gerumbul yang tidak memunyai kekuatan apa-apa,” imbuh Muslim.
“Tidak. Yang membuat panen kita tiap tahun melimpah itu adalah Mbah Karihun, penunggu gerumbul itu. Bukan yang lain,” sanggah Kerto.
Para warga yang datang pada pertemuan itu kemarahannya memuncak. Selain menyoraki jawaban-jawaban Kerto, mereka juga melempari Kerto dan pengikutnya dengan sandal dan barang-barang bekas.
“Tenang! Tenang para Bapak dan Saudara-Saudara! Kita telah menyepakati gerumbul itu ditebang. Maka tidak ada alasan lagi untuk menunda-nundanya. Maaf, Pak Kerto dan pengikut-pengikut Pak Kerto, kami akan tetap melaksanakan hasil rembukan ini,” kata kepala desa dengan tegas.
Usai rembukan dan telah menyepakati penebangan gerumbul itu, para warga pulang untuk mengambil peralatan. Mereka membawa kapak, pedang dan sejenisnya.
Kerto dan pengikutnya mencoba mengahalangi warga yang akan merobohkan pemujaannya. Namun, Kerto dan pengikutnya ditahan warga yang lain. Sementara itu, Muslim yang dibantu sebagian besar warga kampung itu bahu-membahu menebang pohon tersebut.  Dalam waktu sekejap gerumbul itu roboh dan membujur kaku di perempatan jalan.
Saat pohon itu benar-benar ambruk, warga dikejutkan oleh jeritan wanita dari balik rindang dedaunan gerumbul. Mereka sempat menghentikan aksinya. Ketika mereka amati, ternyata jeritan itu adalah jeritan wanita gila yang biasanya berteduh di bawah gerumbul itu. (*)
Lamongan, Maret 2014