Gerumbul
Cerpen karya
Ahmad Zaini
Sebatang
pohon berdiri kokoh di perempatan jalan. Batangnya besar, daunnya lebat, serta
akar-akarnya bergelantungan menjulur ke tanah. Setiap sore terdapat kawanan
burung hinggap di pohon itu. Beraneka macam burung telah menjadikan pohon
tersebut sebagai tempat persinggahan sementara setiap malam. Jika pagi datang,
kicau burung-burung itu menghibur para warga yang melintas di pinggir pohon
itu.
Para
warga menyebut pohon itu dengan sebutan gerumbul. Entah apa alasannya mereka
menyebutnya gerumbul. Padahal pohon itu terkenal dengan pohon beringin. Mungkin
dari daunnya yang rindang dan sering digunakan para warga bergerombol untuk
berteduh itu mereka kemudian menyebutnya
gerumbul.
Pohon
berusia ratusan tahun ini sering digunakan warga sebagai tempat ritual. Mereka
memercayai bahwa pohon tersebut memiliki berkah dan bisa menentukan nasib
kehidupan manusia. Kebanyakan mereka yang melakukan ritual di bawah pohon
tersebut adalah para orang tua yang masih memercayai adanya hal-hal yang berbau
mistis demi tujuan tertentu. Umumnya mereka melakukan ritual pada malam hari
karena mereka tidak mau ritualnya ini diketahui oleh masyarakat umum dan mereka
takut dicap sebagai pengikut aliran sesat.
Setiap
pagi anak-anak yang tinggal di sekitar pohon itu selalu berlomba menuju
gerumbul itu. Mereka yang datang lebih awal akan mendapatkan sisa sesajen.
Setelah mereka mendapatkan sisa sesajen, mereka akan memakannya bersama-sama di
bawah pohon itu juga.
“Wuahahahaha...!”
gertak wanita setengah tua dari balik pohon itu.
Anak-anak
yang sedang menikmati sisa sesajen itu ketakutan lalu berlarian tak tentu arah.
Mereka meninggalkan setampah nasi yang bercampur lauk ayam panggang serta
ditaburi urap-urap.
Wanita
setengah tua yang tak lain adalah warga kampung yang terganggu jiwanya itu menyantap
sisa sesajen yang ditiggal lari anak-anak itu hingga habis. Wanita itu kemudian
duduk di atas akar pohon gerumbul sambil meracau ke sana kemari.
Gerumbul
itu kini menjadi bahan perbincangan dan perdebatan warga kampung. Warga
terpecah menjadi dua kubu. Ada yang pro dan ada kontra terhadap keberadaan
pohon tersebut.
Pihak
yang pro terhadap keberadaan pohon itu ingin mempertahankan pohon tersebut
karena pohon itu merupakan peninggalan nenek moyang yang disakralkan sebagai
tempat ritual atau pemujaan. Mereka memercayai bahwa gerumbul itu ada
penunggunya. Penunggu gerumbul tersebut bisa memberikan manfaat kepada para
warga. Terutama mereka yang masih percaya pada hal-hal yang berbau mistis.
Kelompok inilah yang setiap malam sering datang ke pohon tersebut sambil
membawa sesajen untuk mengadakan pemujaan.
Sedangkan
masyarakat yang kontra terhadap keberadaan pohon itu beralasan bahwa pohon itu
menimbulkan banyak madharat atau membahayakan warga. Banyak warga
yang berkendaraan terjatuh atau bertabrakan karena pandangan mereka terhalang pohon
yang berada tepat di perempatan jalan. Alasan lain yang menguatkan mereka adalah
pohon itu sering dimanfaatkan warga untuk melakukan ritual yang mengarah pada kemusyrikan
sehingga dikhawatirkan akan merusak aqidah anak-anak, pemuda dan warga
semuanya.
“Jika
pohon itu dilenyapkan, maka kita bisa menyelamatkan warga dan menghindarkan
mereka dari sifat syirik atau menyekutukan Tuhan,” kata Muslim, tokoh
agama, di kampung itu.
Peseteruan
dua kubu di kampung itu terus berlanjut bahkan mulai memanas. Kubu yang pro
atau yang masih membutuhkan keberdaan pohon itu kini semakin berani. Biasanya
mereka mengadakan ritual di bawah pohon itu hanya kalau malam telah tiba. Kini
mereka siang bolong pun datang ke tempat itu dengan membawa sesaji lalu dengan
terang-terangan mengadakan ritual di tempat tersebut. Perilaku nyeleneh dari
sebagian warga yang mengultuskan pohon itu sontak menjadi tontonan warga yang
lain. Warga yang memahami bahwa yang mereka lakukan adalah perbuatan syirik ada
yang sampai melemparinya dengan bebatuan bahkan ada yang melemparinya dengan
kotoran.
“Mereka
telah menyekutukan Tuhan. Kita wajib menyadarkan. Kita juga harus menebang
pohon itu agar tidak dijadikan sebagai alat menyukutan Tuhan,” usul salah satu
pemuda yang menentang ajaran sesat itu.
Sebagai
tokoh masyarakat, Muslim tidak tinggal diam. Dia mengumpulkan para warga
kemudian mengajaknya berembuk di balai desa. Rencana ini mendapat persetujuan
dari kepala desa.
“Saya
sangat setuju dengan rencana rembukan ini. besok pagi saya akan mengirimkan
undangan kepada para tokoh masyarakat dari kedua belah pihak. Mereka yang pro
terhadap keberadaan pohon itu kita undang. Demikian juga dengan kubu yang
kontra. Kita rembukan bersama untuk menyelesaikan masalah pohon tersebut,”
jelas kepala desa.
***
Suasana
rembukan di balai desa sangat sengit. Kedua kubu bersikukuh mempertahankan
keyakinan masing-masing. Muslim sebagai tokoh agama sangat mengutuk sikap para
pemuja pohon dan mengecap mereka sebagai orang musyrik karena telah
menyekutukan Tuhan. Kerto dari pihak pemuja pohon juga bersikukuh
mempertahankan keberadaan pohon itu. Dia bahkan mengancam jika pohon itu
ditebang, maka Mbah Karihun yang dianggap sebagai penunggu pohon itu akan
murka.
“Kampung
ini akan mendapatkan balak atau bencana yang mahadasyat,” ucapnya.
Mendengar
ancaman dari Kerto, Muslim sebagai orang yang ditokohkan di kampung itu tidak
tinggal diam.
“Hidup
mati seseorang itu Allah yang menentukan. Balak atau bencana itu juga kehendak
Allah. Pohon hanyalah sebatang pohon yang tak mempunyai kekuatan apa-apa.
Jangankan melindungi manusia, melindungi dirinya sendiri saja dia tidak mampu.
Saudara Kerto, saya ingin tanya apakah pohon itu bisa mengusir lalat atau binatang
lain yang membahayakan dirinya?” tanya Muslim.
“Tidak
bisa,” jawab Kerto.
“Kalau
Saudara tahu kalau pohon itu tidak bisa melindungi dirinya, kenapa kamu masih
meyakini bahwa pohon itu bisa memberi berkah dan perlindungan kepada manusia?
Segeralah bertobat dan meninggalkan perbuatan syirik ini,” kata Muslim
meyakinkan Kerto dan segelintir pengikutnya.
“Tidak.
Kami tidak akan meninggalkan ajaran nenek moyang ini. Kami tetap berikukuh
menentang rencana penebangan pohon ini,” ucap Kerto dengan tegas.
“Huuuuuuuu!!”
sorak para warga yang mengikuti rembukan di balai desa.
Kepala
desa sebagai mediator dalam acara itu segera mengambil jalan tengah. Dia
mengadakan poling terbuka.
“Kalau
kita memperdebatkan keyakinan masing-masing maka sebulan pun rembukan ini tidak
akan selesai. Sekarang kita adakan jajak pendapat saja. Antara yang pro dan
kontra terhadap gerumbul itu nanti saya persilakan mengacungkan tangan saja.
Bagaimana?” kata kepala desa.
“Setuju.
Saya sangat setuju dengan pendapat kepala desa,” kata Muslim yang diikuti para
warga yang lain.
Jajak
pendapat dimulai. Kepala desa memberikan kesempatan mengacungkan tangan kepada
warga yang masih menginginkan keberadaan gerumbul itu. Dari puluhan warga yang
datang ke balai desa yang mengacungkan tangannya hanya sembilan orang.
“Yang
pro ada sembilan orang,” ucap kepala desa setelah menghitung warga yang
mengacungkan tangannya.
“Sekarang
giliran warga yang menentang keberadaan gerumbul. Silakan angkat tangan!”
kepala desa mempersilakan Muslim dan kawan-kawan untuk mengacungkan tangannya.
Seluruh
warga yang hadir di balai desa mengacungkan tangan. Kecuali Kerto dan
pengikutnya.
“Nah,
sekarang kita sudah mendapatkan hasilnya. Sebagaan besar warga yang datang di
tempat ini menolak keberadaan gerumbul tersebut. Oleh karena itu, saya mohon
kepada Pak Kerto dan kawan-kawan harus mengikuti hasil musyawarah ini,” imbau
kepala desa.
“Saya
tetap bersikukuh pada pendapat kami. Sampai kapan pun kami tidak akan rela
gerumbul itu dilenyapkan. Kalau gerumbul itu ditebang, kemana kami akan
mengadakan ritual? Kalau ada permasalahan pertanian dan jodoh anak-anak kita,
kepada siapa kita akan mengadu?” sambung Kerto.
“Pak
Kerto, taubatlah! Sadarlah bahwa yang telah Pak Kerto lakukan selama ini adalah
sesat. Itu perbuatan syirik. Kita beribadah ke tempat yang suci seperti masjid
dan musalla. Kita mengadukan semua permasalahan hanya kepada Allah. Allahlah
Tuhan yang harus kita sembah. Bukan gerumbul yang tidak memunyai kekuatan
apa-apa,” imbuh Muslim.
“Tidak.
Yang membuat panen kita tiap tahun melimpah itu adalah Mbah Karihun, penunggu
gerumbul itu. Bukan yang lain,” sanggah Kerto.
Para
warga yang datang pada pertemuan itu kemarahannya memuncak. Selain menyoraki
jawaban-jawaban Kerto, mereka juga melempari Kerto dan pengikutnya dengan
sandal dan barang-barang bekas.
“Tenang!
Tenang para Bapak dan Saudara-Saudara! Kita telah menyepakati gerumbul itu
ditebang. Maka tidak ada alasan lagi untuk menunda-nundanya. Maaf, Pak Kerto
dan pengikut-pengikut Pak Kerto, kami akan tetap melaksanakan hasil rembukan
ini,” kata kepala desa dengan tegas.
Usai
rembukan dan telah menyepakati penebangan gerumbul itu, para warga pulang untuk
mengambil peralatan. Mereka membawa kapak, pedang dan sejenisnya.
Kerto
dan pengikutnya mencoba mengahalangi warga yang akan merobohkan pemujaannya.
Namun, Kerto dan pengikutnya ditahan warga yang lain. Sementara itu, Muslim
yang dibantu sebagian besar warga kampung itu bahu-membahu menebang pohon
tersebut. Dalam waktu sekejap gerumbul
itu roboh dan membujur kaku di perempatan jalan.
Saat
pohon itu benar-benar ambruk, warga dikejutkan oleh jeritan wanita dari balik
rindang dedaunan gerumbul. Mereka sempat menghentikan aksinya. Ketika mereka
amati, ternyata jeritan itu adalah jeritan wanita gila yang biasanya berteduh di
bawah gerumbul itu. (*)
Lamongan,
Maret 2014