Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 10 Desember 2017

Elegi buat Sang Kapten

Elegi Buat Sang Kapten
Cerpen karya Ahmad Zaini

Senja itu langit begitu kelam. Mendung bergelayut diterpa angin. Gumpalan mendung seperti bebatuan yang menggelinding dari letusan gunung berapi. Angin terasa semakin dingin. Tak berselang lama, lembut gerimis menyapa wajahku. Aku mengusir gerimis yang semakin kerap itu dengan syal. Syal yang bertuliskan nama tim sepak bola kebanggaanku ini kulilitkan di leher agar udara dingin tidak merasuk cepat ke sumsum tulangku.
Aku dan ratusan suppoter sengaja menahan diri tidak keluar dari stadion kebanggaanku. Kami duduk termenung sambil merasakan kesedihan yang mendalam. Air mata kami tumpah ruah membanjiri rumput hijau yang sudah basah karena gerimis. Kedua tangan kami mengusap lalu menutup wajah agar guratan linang air mata tidak terlihat oleh teman-teman di sekelilingku. Kami berusaha tegar, namun usaha kami tampak sia-sia. Hati kami merasa semakin sedih karena kehilangan salah satu pemain idolaku yang selalu menjadi benteng pertahanan terakhir di bawah mistar gawang tim kebanggaanku.
Panitia pelaksana pertandingan senja itu mengabarkan bahwa penjaga gawang Persela sekaligus kapten tim telah meninggal dunia. Rupanya insiden benturan di menit akhir babak pertama itu yang menjadi penyebabnya. Ketika insiden itu terjadi, hatiku sudah berdebar kencang. Sosok bersahaja dan pekerja keras di lapangan hijau itu menyeringai kesakitan lalu tak sadarkan diri. Mulut kami yang hadir di stadion yang biasanya meneriakkan yel,yel berganti untaian doa untuk sang pemain. Namun, takdir berkata lain. Sang Kapten telah meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
”Kapten, Kapten! Hidup sang kapten!” teriak histeris salah satu supporter sambil berlari dan mengepal-ngepalkan tangan kanannya menuju pagar yang membatasi kami dengan rumput hijau.
Doa dalam kesedihan selalu terucap dari kami yang masih terpaku di stadion. Kelopak mata kami masih memancarkan bayang kenangan tentang ketangguhan sang kapten dalam menjaga gawangnya. Posturnya menjulang bak tower. Tangannya cekatan menangkap dan menghalau bola yang datang mengancam gawang. Teriakannya yang menggelegar saat mengomando pemain lain masih benar-benar terngiang di gendang telingaku. Kami seakan tak percaya kabar yang dikumandangkan oleh panpel pertandingan lewat pengeras suara di sudut stadion itu.
Waktu benar-benar menyeret malam datang menghampiri kami. Suasana stadion semakin remang. Kami yang masih terpaku berusaha bangkit meskipun terasa berat sekali.
”Kapten, jangan tinggalkan kami!” teriakku dalam sedu sedan tangis karena kehilangan pemain idola yang sangat bersahaja.
Temanku merangkul pundakku. Dia juga tidak kuasa menahan kesedihan. Kepalanya disandarkan pada pundakku sambil berjalan pelan. Tangisnya tersendat-sendat karena guncangan kecil akibat langkah kaki. Kami berjalan beriringan meninggalkan stadion dengan wajah yang terbenam air mata.
”Kapten, Kapten! Jangan tinggalkan kami!” ucapan yang sama meluncur bergantian dari kami yang beriringan meninggalkan stadion menuju ke rumah duka.
Aku berusaha menenangkan jiwa kami yang terguncang. Perlahan-lahan pikiranku kuarahkan untuk kembali belajar menerima takdir. Karena sesungguhnya kematian merupakan takdir Tuhan yang tak bisa terelakkan. Siapa pun yang hidup suatau saat akan merasakannya. Ibaratnya manusia hidup itu sudah menerima vonis hukuman mati dari Tuhan. Manusia tinggal menunggu waktu eksekusi yang dirahasiakan Tuhan. Tak peduli umur, tak peduli waktu, dan tak peduli tempat. Kematian pasti akan datang menjemput manusia bila tiba saatnya.
 ”Sudah takdir. Semua merupakan takdir Tuhan!” bisikku.
”Tidak. Ini bukan takdir kematian. Sang Kapten masih hidup. Masih hidup!”
Aku mengelus kepala temanku yang masih disandarkan di pundakku meskipun saat itu kami dalam perjalanan menuju rumah duka bersama ratusan supporter lainnya.
Sepanjang perjalanan gerimis tiada pernah berhenti. Genangan air di kubangan jalan memantulkan cahaya linang air mata yang tersorot oleh sinar lampu penerang jalan. Tangis kesedihan menggulana di setiap desah.
Lailahaillallah, Lailahaillallah, Lailahaillallah” suara menggema dari ribuan pelayat yang memadati rumah duka. Mereka melantunkan doa untuk mendiang sang kapten yang secara tiba-tiba meninggalkan mereka.
”Duduklah di sini!” perintahku pada temanku yang masih belum bisa menerima kenyataan ini.
”Tidak. Aku tidak mau duduk selama belum melihat sang kapten,” tolaknya.
”Sabar! Doakan semoga sang kapten mendapat tempat yang layak di sisiNya!”
”Bicara apa kamu? Sang kapten tidak mati. Sang kapten masih hidup. Kapten masih hidup,” teriaknya diluar kendali.
Para pelayat yang memiliki rasa duka yang sama melihat ke arah kami. Mereka manatap kami dengan tatapan hampa. Mereka hampir saja ikut larut dalam teriakan temanku ini hingga mereka terpaksa memalingkan wajahnya ke arah lain.
Sssst! Dilihat orang banyak. Jangan keras-keras!” pintaku.
Temanku malah mendorongku hingga aku terhuyung hampir jatuh. Untung orang-orang yang berada di sampingku manahan tubuhku yang basah karena terkena gerimis sepanjang jalan.
Rasa duka semakin menindih malam. Para pelayat semakin lama semakin banyak yang datang ke rumah duka. Kami berjalan dengan berdesak-desakan. Kami merangsek lebih dekat ke rumah duka sebagai penghormatan terakhir buat sang kapten.
Gerimis masih setia menemani duka kami. Duka mendalam yang tak pernah kami rasakan sebelum ini. Tergores kenang duka mendalam ini dalam sebuah elegi saat mengiring janazah ke pemakaman. Elegi pelepasan yang mendesah dalam kalbu kami: bara tungku dadamu/ terasa masih membakar undak-undak/ hangat pada saf-saf yang menyanyi ole-ole// lengket bola dalam pelukan/ lompatmu trengginas menggaris angkasa// tapi surat-surat senja menghempas tiba-tiba/ menghentikan aplaus cinta yang berjamaah seluas surajaya// mata kami menggigil, kapten/ hati kami berlinangan melepasmu pulang abadi// engkau tak sekadar turun minum bukan?/ rumputan hanya jalan benturan/ hanya jalan// kalau memang telah saatmu berpulang/ tangisan apalagi mampu menahan/ duka cinta siapa lagi pantas memaksamu fana depan gawang?// kapten/ mendung dan gerimis/ dan kami/ tak lebih peziarah usia yang dimakamkan/ engkau kekal kepada rumah sejati/ karena Aku memanggilmu pulang//**
 Pemakaman merupakan rumah sementara peristirahatan menuju kehidupan abadi. Kami melepas ikhlas dengan untai doa buat sang kapten. Gerimis dan air mata berkelindan menenangkan rasa kehilangan kami. Kehilangan sosok bersahaja dan pengabdi sejati di daerah kami. Selamat jalan kapten! Berbahagialah di alam sana!
Wanar, Oktober 2017

**Surajaya Selepas Maghrib karya Herry Lamongan

Elegi; syair atau nyanyian yg mengandung ratapan dan ungkapan dukacita (khususnya pd peristiwa kematian)