Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 09 Desember 2023

Jam Malam-cerpen Jawa Pos Grup Radar Bojonegoro, 3 Desember 2023

 

Jam Malam

Karya Ahmad Zaini

 

Tiga minggu ini Karto terlihat bersedih. Wajahnya murung. Matanya sayu. Setiap pagi, siang, dan sore dia menghabiskan waktu duduk di kursi tua berbahan rotan di samping kanan pintu rumah. Dia berdiri bila perut lapar atau hendak buang air besar. Pantatnya seakan menyatu dengan kursi rotan meskipun punggungnya gatal-gatal oleh gigitan kutu rotan, tinggi.

Kesedihan Karto bukan tanpa alasan. Dia bersedih karena kebiasan anak keduanya yang sering berkeluyuran malam hari. Anak laki-lakinya sering pulang pukul satu atau dua dini hari. Entah dari mana dan apa yang dilakukan sampai pulang ke rumah larut malam.

”Di warung itu tiap malam dipenuhi anak-anak remaja hingga pagi. Mereka hanya duduk-duduk bermain hape,” kata Ruslan, rekan Karto, yang kebetulan rumahnya dekat dengan warung.

Sepanjang jalan di daerah Karto, warung-warung bermunculan seperti jamur tumbuh di awal musim hujan. Rata-rata warung tersebut menyediakan fasilitas wifi selain kopi dan gorengan. Inilah alasan mengapa anak-anak remaja betah duduk di warung semalam suntuk. Padahal, paginya mereka berangkat sekolah. Tak ayal Karto sering menerima kabar dari guru bahwa anaknya sering tidur di kelas.

Kabar tentang klitih yang terjadi akhir-akhir ini menambah beban pikiran Karto. Dia tidak bisa tidur selama Roni, anaknya,belum pulang. Karto gelisah. Dia takut anak lelaki satu-satunya ini menjadi korban klitih seperti yang dialami anak seusianya di daerah sebelah.

Karto sadar lingkungan pergaulan sangat berpengaruh terhadap kepribadian anaknya. Dia khawatir anaknya terjerumus dalam pergaulan negatif di warung itu kemudian bergabung dengan kelompok kriminal.

Kekhawatiran Karto bermula saat Roni minta dibelikan sepeda motor.  Sepeda motor yang dibeli dengan uang penjualan sebagian sawahnya itu diprotoli. Kelengkapan bodi sepeda rakitan pabrik dilepasi semua. Sekarang sepeda Roni tinggal seperti kerangka manusia. Knalpot, setir, dan roda motor Roni tidak standar. Apabila motor Roni dinyalakan, raungan suara motornya terdengar dari jarak tiga kilo meter.

Beberapa kali Karto menegur Roni. Dia malu ulah anaknya menjadi buah bibir masyarakat. Namun, teguran Karto sering diabaikan Roni. Bahkan, suatu hari Roni pernah mengancam akan minggat jika sang ayah selalu melarang keinginannya.

”Tolong, tolong, tolong!” teriak dari kejauhan.

Karto dan para tetanggga keluar rumah. Mereka melihat ada beberapa remaja berkejar-kejaran. Mereka saling menyerang dengan senjata tajam. Mereka beradu senjata hingga menimbulkan bunyi dentingan mengiris hati. Salah satu dari mereka tersungkur. Kemudian yang lain berlari menjauh meninggalkannya. Seketika itu pula suasana menjadi senyap. Tak ada teriakan minta tolong. Tak ada dentingan senjata tajam. Tak ada kilauan pedang yang beradu ketajaman di bawah sorot lampu jalan.

Karto dan para tetangga menghampiri korban yang meringkuk bersimbah darah. Korban tak berdaya. Dia hanya mengerang kesakitan karena luka sabetan pedang di sekujur tubuhnya.

”To, Roni anakmu,” kata Ruslan.

Karto mendekati korban dengan tubuh gemetar. Tangan kanan karto mengusap wajah korban yang berlumuran darah dengan pelan-pelan untuk memastikan kebenaran ucapan Ruslan. Ternyata benar. Korban itu adalah Roni.

”Anakku,” jerit Karto sambil membopong tubuh anaknya.

”Ambulan desa. Cepat hubungi sopirnya,” pinta Ruslan.

Tangis Karto pecah. Dia menjerit sekuat-kuatnya. Dia tidak mengira kalau remaja yang menjadi bulan-bulanan pelaku tadi adalah anaknya. Dia menyesal kenapa tidak langsung menolongnya saat itu.

”Andai tadi kita langsung ke sini, tidak mungkin anakku seperti ini,” kata Karto lirih kepada tetangga lainnya.

Ambulan datang dengan raungan suara sirinenya. Karto dibantu tetangga mengangkat korban kemudian membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis.

***

  Klitih telah merajalela. Klitih merambah daerah kita. Semalam Roni anak Pak Karto, warga kita, telah menjadi korban.  Kita harus bertindak supaya tidak ada korban-korban lainnya,” kata kepala desa dalam rapat di balai desa.

”Betul sekali, Pak. Kita harus menjaga desa kita dari aksi klitih yang membahayakan nyawa warga,” sambung Ruslan.

”Bagaimana dengan yang lain?” tanya kepala desa.

”Setuju,” sahut warga yang hadir dalam rapat itu dengan serentak.

”Bagaimana caranya?”

”Kita berlakukan jam malam. Semua warga dilarang keluar kampung malam hari,” usul Ruslan.

”Setuju. Mulai jam berapa dan siapa petugasnya?” tanya peserta rapat lainnya.

”Mulai pukul sembilan malam, semua warga tidak boleh keluar kampung. Kecuali, ada kepentingan yang tidak bisa ditunda. Untuk mengawasi warga agar tidak keluar kampung, kita bentuk jadwal piket jaga yang melibatkan seluruh warga. Terutama warga laki-laki baik remaja maupun dewasa,” jawab Ruslan.

”Saya sangat setuju usulan Pak Ruslan. Mulai besok, rencana ini kita jalankan agar warga kita aman. Tidak ada korban lainnya,” pungkas kepala desa.

Hasil pertemuan para tokoh kampung ini disebarluaskan ke warga lain. Tidak membutuhkan waktu lama, kebijakan pemberlakuan jam malam telah sampai ke telinga seluruh warga. Para orang tua juga diimbau untuk menjaga anak-anaknya agar tidak keluar rumah atau kampung.

Para pemilik warung kopi tak luput dari kebijakan ini. Mereka harus menutup warungnya mulai pukul sembilan malam. Jika ada pelanggar aturan jam malam, maka perangkat desa segera memberi sanksi. Warung mereka akan ditutup paksa oleh petugas.

”Pendapatanku turun apabila diberlakukan jam malam,” kata pemilik warung kopi tempat mangkal remaja kampung.

”Sementara saja, Cak. Bila sudah aman dan situasi normal, bisa buka lagi,” jelas Ruslan, penggagas program jam malam.

Hari pertama pemberlakuan jam malam terasa berat. Petugas jaga kewalahan menghalau anak-anak remaja yang nekat akan keluar kampung. Mereka tidak betah tinggal di rumah. Mereka tetap ingin ke warung kopi meskipun ibunya telah menyiapkan kopi di rumah.

”Demi keselamatan kalian, ayo, kembali! Jangan ada yang keluar kampung,” bujuk petugas jaga. Anak-anak  yang rerata usia sekolah ini menuruti permintaan petugas. Mereka kembali ke rumah.

Jalan raya tak seperti biasanya. Jalan beraspal itu hanya dilalui truk, bus, dan kendaraan lain. Para pengguna jalan sekadar melintas saja. Tidak terlihat kerumunan remaja yang biasa mangkal di bawah lampu penerang jalan atau di bundaran. Tak ada remaja di warung kopi. Selain warung tutup, para orang tua telah berhasil melaksanakan tugas dengan baik.

Petugas jaga duduk di area gapura kampung. Mata mereka mengamati situasi sekeliling dengan jeli. Mereka tidak mau kecolongan aksi nekat warganya yang menyelinap melalui semak belukar. Para petugas jaga jam malam benar-benar fokus melaksanakan tugas. Demi keamanan dan keselamatan warganya.

”Drun, semak-semak itu bergerak-gerak,” bisik Sukri pada Badrun.

”Benar. Pasti itu ada warga yang akan keluar kampung,” sahut Badrun.

Kedua petugas ini berjalan mengendap-endap mendekati semak belukar. Mereka hendak memastikan siapa yang ada dalam semak.

”Siapa itu?” tanya Badrun. Namun, tidak ada jawaban.

”Hai, siapa di sana,” sambung Sukri. Sama tidak ada yang menyahuti pertanyaan Sukri.

Kedua orang ini memberanikan diri menyisir semak belukar. Mereka tak gentar dengan bahaya sengatan atau gigitan serangga malam dan ular. Sesampai di tempat dimaksud, eh, ternyata hanya seekor kucing yang memangsa tikus.

Kedua petugas jaga malam kembali ke pos. Mereka siap begadang semalam suntuk sampai jam malam berakhir, yakni ketika azan subuh dikumandangkan Mbak Rifai. Mereka bertekad bulat melayani masyarakat dengan menjaga keamanan kampung dari ancaman klitih dan genk motor yang meresahkan warga kampung.

Pemberlakuan jam malam benar-benar ampuh. Tidak ada gangguan keamanan lagi di kampung. Para pelaku aksi kekerasan yang biasanya berkeliaran di wilayah ini tidak ada yang berani mendekati kampung. Mereka menyadari niat jahatnya telah terendus oleh warga kampung. Mereka tidak mau mati sia-sia akibat dikeroyok warga yang siap menghalau dan menumpas aksi jahatnya.

Sekarang kampung ini damai. Warga tidak dirundung kecemasan. Roni anak Pak Karto juga sudah pulang dari perawatan di rumah sakit. Luka akibat terkena sabetan pedang anggota genk motor telah sembuh.

Bulan purnama yang turut menjaga kampung undur diri. Dewi malam menyelinap di balik pepohonan perdu tempat burung-burung bersitirahat. Azan subuh berkumandang. Petugas jaga jam malam pulang ke rumah masing-masing. Mereka hendak beristirahat untuk memulihkan energi agar dapat melaksanakan tugas jaga malam pada jadwal berikutnya. (*)

Wanar, 18 November 2023

 

Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa karya puisi dan cerpennya beredar di berbagai media cetak dan online. Dia juga telah menerbitkan beberapa buku karya fiksi. Buku terbarunya berjudul Bukan Kisah Laila Majnun.