Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 05 Juli 2020

Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 5 Juli 2020



Sopir Angkot
Cerpen karya Ahmad Zaini

“Menjangan, Menjangan, Menjangan!” seru Katam mencari penumpang ke arah Karangmenjangan. Namun, sampai jarum arlojinya hampir menyentuh angka sepuluh, baru ada satu penumpang yang tertambat dalam armada angkutan kotanya.
”Bagaimana, Cak? Jadi berangkat nggak?” tanya satu-satunya penumpang yang sudah hampir setengah jam duduk di bangku belakang.
”Sabar, Bu! Ini masih saya carikan penumpang lain.”
”Tapi, jam sebelas saya harus sudah sampai di tempat kos anakku.”
”Sebentar, Bu. Jika sudah ada dua penumpang lagi, kita berangkat.”
”Lalu sampai kapan kamu dapat dua penumpang itu?” desak perempuan yang memangku koper berisi barang yang akan dikirimkan ke anaknya.
Katam terdiam. Dia tidak bisa memberi jawaban pasti atas pertanyaan terakhir ini. Katam hanya bisa menelan kelu lantaran beberapa hari ini selama pandemi korona penumpang sangat sepi. Dalam sehari terkadang Katam hanya membawa dua atau tiga penumpang dari terminal Joyoboyo ke Karangmenjangan. Tapi apa boleh buat. Daripada berdiam diri di rumah dan tak mendapatkan penghasilan apa-apa, lebih baik tetap mengangkut penumpang meskipun tidak seimbang dengan pendapatan.
Hampir sepuluh tahun Katam menjadi sopir angkutan kota. Dia sudah merasakan pahit getirnya kehidupan di embongan. Pasang surut penghasilan merupakan hal yang biasa. Akan tetapi kali ini, dia benar-benar merasakan keterpurukan yang tidak pernah terbesit dalam batok kepalanya.
Sebelum diberlakukan PSBB di Surabaya karena pandemi korona, dalam sehari dia bisa mendapatkan penghasilan dua ratus sampai tiga ratus ribu. Apalagi saat menjelang lebaran. Dia bisa mendapatkan keuntungan dari sisa setoran ke juragan 500 ribu dalam sehari.
Dari penghasilan itu, Katam bisa memenuhi semua kebutuhan pokok rumah tangganya. Bahkan, dia bisa membeli barang-barang berharga lainnya seperti gelang dan anting-anting istrinya. Dia juga bisa mengajak anak dan istrinya rekreasi ke objek wisata terkenal di Malang. Selain itu, dia pernah mencicipi hobi shooping di pusat perbelanjaan di Surabaya.
Penghasilan Katam sekarang jauh menurun. Bisa dikatakan terjun bebas. Sehari dapat lima puluh ribu saja sudah untung-untungan. Terkadang buat setoran saja masih kurang. Lebih ironisnya lagi dia beberapa kali dia tidak bisa memberi uang belanja kepada istrinya dari hasil sopir angkot. Dia terpaksa menjual hape andorid yang pernah dia bangga-banggakan dulu demi memenuhi kebutuhan belanja keluarga.
”Maaf, Dik! Saya terpaksa menjual hape untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ujarnya pada sang istri.
”Kok, dijual? Lalu dengan apa kamu melayani carteran jika ada yang membutuhkan jasamu?”
”Tidak ada carteran. Semua tempat wisata ditutup. Langganan carteranku tidak ada yang membuat kegiatan di objek wisata seperti tahun-tahun sebelumnya. Dapat dipastikan tahun ini tidak ada carteran,” pungkas Katam supaya istrinya tidak terlalu berharap pada langganan carterannya. Istri katam terdiam. Dia tidak bisa menghindari nasib yang dialaminya sekarang ini.
***
”Menjangan, Menjangan, Menjangan!” teriak Katam mencari dua penumpang tambahan agar bisa segera berangkat ke Karangmenjangan.
”Cak, sudah jam setengah sebelas. Bagaimana ini?” tuntut penumpangnya yang sejak tadi sudah menunggu dalam mobil angkutan kotanya.
”Iya, Bu. Sabar! Sebentar lagi kita berangkat.”
”Sejak tadi selalu menjawab sebentar lagi, sebentar lagi! Ini anak saya sudah menunggu,” sergah ibu penumpangnya.
”Lima menit lagi, Bu,” tegas Katam. Dia berani memastikan lima menit lagi karena biasanya dua karyawan di toko kawasan Joyoboyo itu waktunya pulang. Mereka merupakan langganan Katam.
”Oke. Lima menit lagi. Kalau sampai lebih dari  lima menit, saya akan menggunakan jasa angkutan lainnya,” ancamnya.
Katam menggaruk-garuk rambut yang tertutup topi. Dia merasa gelisah dengan kondisi penumpang yang sangat sepi gegara pandemi korona. Dia tidak menyangka sama sekali bila dampak korona sangat berpengaruh pada usahanya.
Di belakang armada angkutan kota Katam, terlihat beberapa armada lain yang mengantre. Mereka menunggu giliran menaikkan penumpang. Selama armada angkutan kota di depannya belum penuh, mereka tidak boleh merebut penumpang yang menjadi jatah angkot di depannya itu. Apabila ada yang melakukan itu, maka sopir tersebut harus bersiap-siap menerima sanksi dari organisasi  atau paguyuban sopir angkot.
”Cak, sudah lima menit,” teriak penumpang yang sejak tadi sudah bersabar menunggu angkot diberangkatkan.
”Iya, Bu. Saya jemput penumpang dulu di toko sebelah,” sahut Katam.
Katam berlari-lari kecil. Dia berjalan gesit menerobos celah angkot yang berjajar rapi di semua sisi angkotnya untuk menjemput penumpang langganannya.
”Mas, di mana Mbak Laila dan Mbak Nuraini penumpang langgananku? Biasanya jam segini dia waktunya pulang.”
”Mulai hari ini mereka tidak kerja, Cak. Juragan terpaksa memberhentikannya karena konsumen di toko ini sangat sepi,” jawab lelaki pelayan toko.
”O, gitu. Terima kasih, Mas!” sambungnya.
Katam kembali ke angkot dengan lesu. Satu-satunya harapan untuk mendapatkan dua penumpang telah lenyap. Dia pasrah pada nasib karena hari ini tidak bisa membawa penumpang ke Karangmenjangan sesuai harapannya.
”Maaf, Bu! Kedua penumpang langganan saya telah dipecat dari pekerjaannya. Jadi, mereka tidak bekerja lagi di toko itu.”
”Oalah, andai sejak tadi saya tahu begini, lebih baik saya naik angkutan lainnya. Lantas sekarang bagaimana?”
”Sebagai bentuk tanggung jawab saya sebagai sopir angkutan kota, ibu tetap saya antarkan ke tempat tujuan meskipun hanya sendirian,” jawab Katam dengan tegas.
Katam berangkat menuju Karangmenjangan. Dia hanya membawa seorang penumpang melintas di jalanan kota Surabaya yang sangat lengang. Maklumlah di kota pahlawan saat ini masih diberlakukan PSBB jilid ketiga sehingga suasana di jalan raya seperti jalanan mati. Di trotoar yang biasanya ramai pejalan kaki, saat ini hanya terlihat halte-halte bus yang tak berpenghuni.  Halaman gedung-gedung pencakar langit yang biasanya dipenuhi mobil-mobil mewah para karyawannya, saat ini juga tampak seperti tanah lapang. Semuanya pegawainya bekerja dari rumah.
”Depan, Cak!” kata penumpangnya.
”Iya, Bu,” jawab Katam singkat.
Katam menurunkan penumpang di depan gang yang akan membawanya ke rumah kos anaknya. Dia menerima ongkos dari perempuan itu lalu melanjutkan perjalanan menuju tempat mangkal terakhirnya di kawasan Karangmenjangan.
Di tempat mangkalnya, Katam melihat beberapa armada angkotan kota yang mengular. Mereka masih mengantre mendapatkan giliran mengangkut penumpang. Itu pun apabila ada calon penumpang yang diangkut. Jika tidak ada penumpang, mereka terpaksa harus berlama-lama di tempat itu untuk menunggu penumpang.
Katam mendapat nomor antrean paling belakang. Di depannya masih ada puluhan armada yang berderet menunggu giliran berangkat untuk mengangkut penumpang. Karena masih lama menunggu antrean, Katam menyempatkan makan di warung langganan.
”Makan, Mbok. Pakai menu biasanya,” pesan katam pada pemilik warung.
”Iya. Tumben baru datang?” tanya pelayan warung.
”Nunggu penumpang, Mbok. Sepi sekali sehingga baru sampai di sini,” jawab Katam.
”Situasi seperti ini semua usaha mengalami penurunan. Termasuk warungku. Malah hutang para sopir angkot di sini semakin menumpuk saja,” timpal Mbok Ijah, pemilik sekaligus pelayan warung.
”Aku masih punya hutang berapa, Mbok?” Katam berbasa-basi.
”Kalau ditambah makan hari ini, hutangmu seratus ribu rupiah,” jawabnya.
”Dicatat dulu, Mbok. Besok kalau situasi pekerjaan sudah normal, pasti kubayar.”
”Iya, iya!” sahut perempuan itu sambil menyodorkan nasi dengan sayur ikan lodeh dicampur ikan pe kepada Katam.
Katam makan dengan lahap. Sejenak dia melupakan kesumpekan hati gara-gara pekerjaannya yang sepi demi menikmati menu kesukaannya. Dalam hatinya berkata bahwa kesehatan adalah segala-galanya. Penghasilan dapat dicari di hari-hari berikutnya.
Raja siang di ufuk barat sudah memerah. Sebentar lagi planet penerang bumi ini akan bersembunyi demi menenangkan diri. Sepanjang siang matahari hanya melihat dan mendengara keluh kesah penghuni bumi karena usahanya surut. Katam segera meninggalkan pangkalan Karangmenjangan. Dia menjejak pedal gasnya agar segera sampai rumahnya di kawaswan Wonokromo.
Sesampai di rumah, Katam disambut istrinya dengan senyum. Katam menyerahkan kunci mobil kepada istrinya. Wanita yang dinikahinya sejak lima belas tahun lalu itu  meletakkan kunci tersebut di pucuk paku yang tertancap di belakang pintu kamar. Katam menghempaskan tubuhnya di atas shofa kumal ruang tamunya. Dia mendesah lantaran tidak membawa hasil kerja hari ini. Istrinya berusaha menghibur agar suaminya tidak larut dalam ketidakmujuran pekerjaan hari ini. Besok, lusa, tulat, tubin, atau kapan saja pasti ada rezeki yang menghampirinya. Yang penting tetap bekerja. (*)

Wanar, Juli 2020

Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa cerpen, puisi dan esainya pernah di muat di surat kabar. Dia juga telah menerbitkan beberpa buku kumpulan cerpen dan puisi. Buku kumpulan puisi terbarunya berjudul Hanya Waktu Jelang Kematian (Maret, 2020). Saat ini dia tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.