Elegi Buat Sang Kapten
Cerpen karya Ahmad Zaini
Senja itu langit begitu kelam. Mendung bergelayut diterpa
angin. Gumpalan mendung seperti bebatuan yang menggelinding dari letusan gunung
berapi. Angin terasa semakin dingin. Tak berselang lama, lembut gerimis menyapa
wajahku. Aku mengusir gerimis yang semakin kerap itu dengan syal. Syal yang
bertuliskan nama tim sepak bola kebanggaanku ini kulilitkan di leher agar udara
dingin tidak merasuk cepat ke sumsum tulangku.
Aku dan ratusan suppoter sengaja menahan diri tidak
keluar dari stadion kebanggaanku. Kami duduk termenung sambil merasakan
kesedihan yang mendalam. Air mata kami tumpah ruah membanjiri rumput hijau yang
sudah basah karena gerimis. Kedua tangan kami mengusap lalu menutup wajah agar
guratan linang air mata tidak terlihat oleh teman-teman di sekelilingku. Kami
berusaha tegar, namun usaha kami tampak sia-sia. Hati kami merasa semakin sedih
karena kehilangan salah satu pemain idolaku yang selalu menjadi benteng
pertahanan terakhir di bawah mistar gawang tim kebanggaanku.
Panitia pelaksana pertandingan senja itu mengabarkan
bahwa penjaga gawang Persela sekaligus kapten tim telah meninggal dunia.
Rupanya insiden benturan di menit akhir babak pertama itu yang menjadi
penyebabnya. Ketika insiden itu terjadi, hatiku sudah berdebar kencang. Sosok
bersahaja dan pekerja keras di lapangan hijau itu menyeringai kesakitan lalu
tak sadarkan diri. Mulut kami yang hadir di stadion yang biasanya meneriakkan yel,yel
berganti untaian doa untuk sang pemain. Namun, takdir berkata lain. Sang Kapten
telah meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
”Kapten, Kapten! Hidup sang kapten!” teriak histeris
salah satu supporter sambil berlari dan mengepal-ngepalkan tangan kanannya
menuju pagar yang membatasi kami dengan rumput hijau.
Doa dalam kesedihan selalu terucap dari kami yang masih
terpaku di stadion. Kelopak mata kami masih memancarkan bayang kenangan tentang
ketangguhan sang kapten dalam menjaga gawangnya. Posturnya menjulang bak tower.
Tangannya cekatan menangkap dan menghalau bola yang datang mengancam gawang.
Teriakannya yang menggelegar saat mengomando pemain lain masih benar-benar terngiang
di gendang telingaku. Kami seakan tak percaya kabar yang dikumandangkan oleh
panpel pertandingan lewat pengeras suara di sudut stadion itu.
Waktu benar-benar menyeret malam datang menghampiri kami.
Suasana stadion semakin remang. Kami yang masih terpaku berusaha bangkit
meskipun terasa berat sekali.
”Kapten, jangan tinggalkan kami!” teriakku dalam sedu
sedan tangis karena kehilangan pemain idola yang sangat bersahaja.
Temanku merangkul pundakku. Dia juga tidak kuasa menahan
kesedihan. Kepalanya disandarkan pada pundakku sambil berjalan pelan. Tangisnya
tersendat-sendat karena guncangan kecil akibat langkah kaki. Kami berjalan
beriringan meninggalkan stadion dengan wajah yang terbenam air mata.
”Kapten, Kapten! Jangan tinggalkan kami!” ucapan yang
sama meluncur bergantian dari kami yang beriringan meninggalkan stadion menuju
ke rumah duka.
Aku berusaha menenangkan jiwa kami yang terguncang.
Perlahan-lahan pikiranku kuarahkan untuk kembali belajar menerima takdir. Karena
sesungguhnya kematian merupakan takdir Tuhan yang tak bisa terelakkan. Siapa
pun yang hidup suatau saat akan merasakannya. Ibaratnya manusia hidup itu sudah
menerima vonis hukuman mati dari Tuhan. Manusia tinggal menunggu waktu eksekusi
yang dirahasiakan Tuhan. Tak peduli umur, tak peduli waktu, dan tak peduli
tempat. Kematian pasti akan datang menjemput manusia bila tiba saatnya.
”Sudah takdir.
Semua merupakan takdir Tuhan!” bisikku.
”Tidak. Ini bukan takdir kematian. Sang Kapten masih
hidup. Masih hidup!”
Aku mengelus kepala temanku yang masih disandarkan di
pundakku meskipun saat itu kami dalam perjalanan menuju rumah duka bersama
ratusan supporter lainnya.
Sepanjang perjalanan gerimis tiada pernah berhenti. Genangan
air di kubangan jalan memantulkan cahaya linang air mata yang tersorot oleh
sinar lampu penerang jalan. Tangis kesedihan menggulana di setiap desah.
”Lailahaillallah, Lailahaillallah, Lailahaillallah”
suara menggema dari ribuan pelayat yang memadati rumah duka. Mereka melantunkan
doa untuk mendiang sang kapten yang secara tiba-tiba meninggalkan mereka.
”Duduklah di sini!” perintahku pada temanku yang masih
belum bisa menerima kenyataan ini.
”Tidak. Aku tidak mau duduk selama belum melihat sang
kapten,” tolaknya.
”Sabar! Doakan semoga sang kapten mendapat tempat yang layak
di sisiNya!”
”Bicara apa kamu? Sang kapten tidak mati. Sang kapten
masih hidup. Kapten masih hidup,” teriaknya diluar kendali.
Para pelayat yang memiliki rasa duka yang sama melihat ke
arah kami. Mereka manatap kami dengan tatapan hampa. Mereka hampir saja ikut larut
dalam teriakan temanku ini hingga mereka terpaksa memalingkan wajahnya ke arah
lain.
”Sssst! Dilihat orang banyak. Jangan keras-keras!”
pintaku.
Temanku malah mendorongku hingga aku terhuyung hampir
jatuh. Untung orang-orang yang berada di sampingku manahan tubuhku yang basah
karena terkena gerimis sepanjang jalan.
Rasa duka semakin menindih malam. Para pelayat semakin
lama semakin banyak yang datang ke rumah duka. Kami berjalan dengan
berdesak-desakan. Kami merangsek lebih dekat ke rumah duka sebagai penghormatan
terakhir buat sang kapten.
Gerimis masih setia menemani duka kami. Duka mendalam
yang tak pernah kami rasakan sebelum ini. Tergores kenang duka mendalam ini
dalam sebuah elegi saat mengiring janazah ke pemakaman. Elegi pelepasan yang
mendesah dalam kalbu kami: bara tungku dadamu/ terasa masih membakar
undak-undak/ hangat pada saf-saf yang menyanyi ole-ole// lengket bola dalam
pelukan/ lompatmu trengginas menggaris angkasa// tapi surat-surat senja
menghempas tiba-tiba/ menghentikan aplaus cinta yang berjamaah seluas
surajaya// mata kami menggigil, kapten/ hati kami berlinangan melepasmu pulang
abadi// engkau tak sekadar turun minum bukan?/ rumputan hanya jalan benturan/
hanya jalan// kalau memang telah saatmu berpulang/ tangisan apalagi mampu
menahan/ duka cinta siapa lagi pantas memaksamu fana depan gawang?// kapten/
mendung dan gerimis/ dan kami/ tak lebih peziarah usia yang dimakamkan/ engkau
kekal kepada rumah sejati/ karena Aku memanggilmu pulang//**
Pemakaman
merupakan rumah sementara peristirahatan menuju kehidupan abadi. Kami melepas
ikhlas dengan untai doa buat sang kapten. Gerimis dan air mata berkelindan
menenangkan rasa kehilangan kami. Kehilangan sosok bersahaja dan pengabdi
sejati di daerah kami. Selamat jalan kapten! Berbahagialah di alam sana!
Wanar, Oktober 2017
**Surajaya Selepas Maghrib karya Herry
Lamongan
Elegi; syair atau nyanyian yg mengandung ratapan dan ungkapan
dukacita (khususnya pd peristiwa kematian)