Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 10 Desember 2017

Elegi buat Sang Kapten

Elegi Buat Sang Kapten
Cerpen karya Ahmad Zaini

Senja itu langit begitu kelam. Mendung bergelayut diterpa angin. Gumpalan mendung seperti bebatuan yang menggelinding dari letusan gunung berapi. Angin terasa semakin dingin. Tak berselang lama, lembut gerimis menyapa wajahku. Aku mengusir gerimis yang semakin kerap itu dengan syal. Syal yang bertuliskan nama tim sepak bola kebanggaanku ini kulilitkan di leher agar udara dingin tidak merasuk cepat ke sumsum tulangku.
Aku dan ratusan suppoter sengaja menahan diri tidak keluar dari stadion kebanggaanku. Kami duduk termenung sambil merasakan kesedihan yang mendalam. Air mata kami tumpah ruah membanjiri rumput hijau yang sudah basah karena gerimis. Kedua tangan kami mengusap lalu menutup wajah agar guratan linang air mata tidak terlihat oleh teman-teman di sekelilingku. Kami berusaha tegar, namun usaha kami tampak sia-sia. Hati kami merasa semakin sedih karena kehilangan salah satu pemain idolaku yang selalu menjadi benteng pertahanan terakhir di bawah mistar gawang tim kebanggaanku.
Panitia pelaksana pertandingan senja itu mengabarkan bahwa penjaga gawang Persela sekaligus kapten tim telah meninggal dunia. Rupanya insiden benturan di menit akhir babak pertama itu yang menjadi penyebabnya. Ketika insiden itu terjadi, hatiku sudah berdebar kencang. Sosok bersahaja dan pekerja keras di lapangan hijau itu menyeringai kesakitan lalu tak sadarkan diri. Mulut kami yang hadir di stadion yang biasanya meneriakkan yel,yel berganti untaian doa untuk sang pemain. Namun, takdir berkata lain. Sang Kapten telah meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
”Kapten, Kapten! Hidup sang kapten!” teriak histeris salah satu supporter sambil berlari dan mengepal-ngepalkan tangan kanannya menuju pagar yang membatasi kami dengan rumput hijau.
Doa dalam kesedihan selalu terucap dari kami yang masih terpaku di stadion. Kelopak mata kami masih memancarkan bayang kenangan tentang ketangguhan sang kapten dalam menjaga gawangnya. Posturnya menjulang bak tower. Tangannya cekatan menangkap dan menghalau bola yang datang mengancam gawang. Teriakannya yang menggelegar saat mengomando pemain lain masih benar-benar terngiang di gendang telingaku. Kami seakan tak percaya kabar yang dikumandangkan oleh panpel pertandingan lewat pengeras suara di sudut stadion itu.
Waktu benar-benar menyeret malam datang menghampiri kami. Suasana stadion semakin remang. Kami yang masih terpaku berusaha bangkit meskipun terasa berat sekali.
”Kapten, jangan tinggalkan kami!” teriakku dalam sedu sedan tangis karena kehilangan pemain idola yang sangat bersahaja.
Temanku merangkul pundakku. Dia juga tidak kuasa menahan kesedihan. Kepalanya disandarkan pada pundakku sambil berjalan pelan. Tangisnya tersendat-sendat karena guncangan kecil akibat langkah kaki. Kami berjalan beriringan meninggalkan stadion dengan wajah yang terbenam air mata.
”Kapten, Kapten! Jangan tinggalkan kami!” ucapan yang sama meluncur bergantian dari kami yang beriringan meninggalkan stadion menuju ke rumah duka.
Aku berusaha menenangkan jiwa kami yang terguncang. Perlahan-lahan pikiranku kuarahkan untuk kembali belajar menerima takdir. Karena sesungguhnya kematian merupakan takdir Tuhan yang tak bisa terelakkan. Siapa pun yang hidup suatau saat akan merasakannya. Ibaratnya manusia hidup itu sudah menerima vonis hukuman mati dari Tuhan. Manusia tinggal menunggu waktu eksekusi yang dirahasiakan Tuhan. Tak peduli umur, tak peduli waktu, dan tak peduli tempat. Kematian pasti akan datang menjemput manusia bila tiba saatnya.
 ”Sudah takdir. Semua merupakan takdir Tuhan!” bisikku.
”Tidak. Ini bukan takdir kematian. Sang Kapten masih hidup. Masih hidup!”
Aku mengelus kepala temanku yang masih disandarkan di pundakku meskipun saat itu kami dalam perjalanan menuju rumah duka bersama ratusan supporter lainnya.
Sepanjang perjalanan gerimis tiada pernah berhenti. Genangan air di kubangan jalan memantulkan cahaya linang air mata yang tersorot oleh sinar lampu penerang jalan. Tangis kesedihan menggulana di setiap desah.
Lailahaillallah, Lailahaillallah, Lailahaillallah” suara menggema dari ribuan pelayat yang memadati rumah duka. Mereka melantunkan doa untuk mendiang sang kapten yang secara tiba-tiba meninggalkan mereka.
”Duduklah di sini!” perintahku pada temanku yang masih belum bisa menerima kenyataan ini.
”Tidak. Aku tidak mau duduk selama belum melihat sang kapten,” tolaknya.
”Sabar! Doakan semoga sang kapten mendapat tempat yang layak di sisiNya!”
”Bicara apa kamu? Sang kapten tidak mati. Sang kapten masih hidup. Kapten masih hidup,” teriaknya diluar kendali.
Para pelayat yang memiliki rasa duka yang sama melihat ke arah kami. Mereka manatap kami dengan tatapan hampa. Mereka hampir saja ikut larut dalam teriakan temanku ini hingga mereka terpaksa memalingkan wajahnya ke arah lain.
Sssst! Dilihat orang banyak. Jangan keras-keras!” pintaku.
Temanku malah mendorongku hingga aku terhuyung hampir jatuh. Untung orang-orang yang berada di sampingku manahan tubuhku yang basah karena terkena gerimis sepanjang jalan.
Rasa duka semakin menindih malam. Para pelayat semakin lama semakin banyak yang datang ke rumah duka. Kami berjalan dengan berdesak-desakan. Kami merangsek lebih dekat ke rumah duka sebagai penghormatan terakhir buat sang kapten.
Gerimis masih setia menemani duka kami. Duka mendalam yang tak pernah kami rasakan sebelum ini. Tergores kenang duka mendalam ini dalam sebuah elegi saat mengiring janazah ke pemakaman. Elegi pelepasan yang mendesah dalam kalbu kami: bara tungku dadamu/ terasa masih membakar undak-undak/ hangat pada saf-saf yang menyanyi ole-ole// lengket bola dalam pelukan/ lompatmu trengginas menggaris angkasa// tapi surat-surat senja menghempas tiba-tiba/ menghentikan aplaus cinta yang berjamaah seluas surajaya// mata kami menggigil, kapten/ hati kami berlinangan melepasmu pulang abadi// engkau tak sekadar turun minum bukan?/ rumputan hanya jalan benturan/ hanya jalan// kalau memang telah saatmu berpulang/ tangisan apalagi mampu menahan/ duka cinta siapa lagi pantas memaksamu fana depan gawang?// kapten/ mendung dan gerimis/ dan kami/ tak lebih peziarah usia yang dimakamkan/ engkau kekal kepada rumah sejati/ karena Aku memanggilmu pulang//**
 Pemakaman merupakan rumah sementara peristirahatan menuju kehidupan abadi. Kami melepas ikhlas dengan untai doa buat sang kapten. Gerimis dan air mata berkelindan menenangkan rasa kehilangan kami. Kehilangan sosok bersahaja dan pengabdi sejati di daerah kami. Selamat jalan kapten! Berbahagialah di alam sana!
Wanar, Oktober 2017

**Surajaya Selepas Maghrib karya Herry Lamongan

Elegi; syair atau nyanyian yg mengandung ratapan dan ungkapan dukacita (khususnya pd peristiwa kematian)

Jumat, 06 Oktober 2017

Kerikil-Kerikil Tanah Suci (Cerpen Jawa Pos Radar Bojonegoro, 1 Oktober 2017)

Kerikil-Kerikil Tanah Suci
Cerpen karya Ahmad Zaini

Wajah-wajah para jamaah haji yang baru tiba dari tanah suci terlihat ceria. Senyum mereka merekah bak kembang di musim berbunga menghiasi hari-hari yang mereka lalui. Mereka menyambut kedatangan para tamu yang datang silih berganti dengan saling berjabatan tangan dan berangkulan. Tak sedikit dari para jamaah haji matanya berkaca-kaca saat berjumpa dengan keluarga dekat dan handai taulan yang berkunjung ke rumahnya. Mereka terharu karena dapat bertemu lagi dengan orang-orang dekatnya setelah empat puluh hari berpisah untuk menjalankan ibadah haji di tanah suci.
Haji Kurnadi beserta istri duduk sambil menyandarkan punggungnya di dinding rumahnya. Mereka kelelahan sepulang dari tanah suci. Namun, rasa lelah itu harus ditahan karena harus menemui para tamu yang bersilaturrahim untuk mendapatkan barokah doa dari mereka. Para tamu ini meyakini doa orang yang baru datang dari haji itu mustajabah. Mudah diterima Allah.
Siang hari ketika Haji Kurnadi akan istirahat, datang Haji Saleh beserta istri yang saat ini tinggal di Blora Jawa Tengah. Mereka bersalaman dan berangkulan sebagai pengobat rindu dan rasa haru. Maklumlah pada pemberangkatan haji sebulan sebelumnya, Haji Saleh tidak bisa datang untuk melepas keberangkatan Haji Kurnadi karena ada acara yang tidak bisa ditinggalkan.
Alhamdulillah, Kak kami sekeluarga diberi kesehatan oleh Allah sehingga bisa bertemu lagi dengan keluarga!” kata Haji Kurnadi sambil merangkul Haji Saleh.
”Syukurlah. Kami ikut berbangga dengan kalian!” sambung Haji Saleh.
Haji Kurnadi berserta istrinya mempersilakan mereka duduk di karpet. Beberapa toples dan piring yang berisi makanan ringan khas tanah suci di dekatkan kepada tamunya itu. Kurma, kismis, kacang arab, dan camilan lokal digeser agar lebih dekat dengan tamunya.
”Silakan, silakan dinikmati!” Haji Kurnadi mempersilakan mereka.
Istri Haji Kurnadi sibuk menunangkan air zam-zam ke dalam gelas bewarna emas. Satu persatu gelas mungil yang telah penuh dengan air zam-zam itu disodorkan istri Haji Kurnadi  kepada mereka. Haji Saleh berserta istri menerimanya dengan pelan-pelan agar air tidak tumpah. Mulut mereka berkomat-kamit. Mereka berdoa sebelum minum. Mereka yakin bahwa air zam-zam dapat menyehatkan badan serta bisa menjadi obat berbagai penyakit sesuai dengan kemantaban hatinya.
Sambil menikmati berbagai hidangan mereka bercakap-cakap. Haji Saleh melontarkan berbagai pertanyaan terkait dengan pelaksanaan ibadah haji. Haji Kurnadi menyampaikan jawaban dengan menceritakan pengalamannya di tanah suci. Haji Saleh tertunduk khusuk mendengarkan cerita yang disampaikan oleh tuan rumah. Mereka membayangkan diri mereka saat melaksanakan ibadah yang serupa pada tahun lalu.
”Kami juga sempat mengambil dan membawa pulang kerikil sisa dari melontar jumrah,” kata Haji Kurnadi.
Haji Saleh terkejut saat mendengar pengakuan Haji Kurnadi. Dia mengangkat wajahnya lalu menatap wajah Haji Kurnadi yang seakan bangga setelah membawa pulang kerikil tanah suci.
”Kamu membawa pulang kerikil-kerikil itu?” tanya Haji Saleh dengan nada heran.
”Iya. Kerikil-kerikil itu kusimpan dalam kantong kecil.”
”Sekarang di mana?”
”Kuletakkan di almari.”
”Untuk apa kau membawa pulang kerikil-kerikil tersebut? Itu larangan.”
”Ah, kata siapa itu larangan? Saya membawanya pulang agar kerikil-kerikil itu dapat mendatangkan berkah bagi kehidupan kami.”
Nah, ini yang keliru. Jika kamu meyakini kerikil-kerikil itu dapat memberi manfaat, maka kamu bisa terjerumus dalam perbuatan syirik.”
”Tidak. Saya tidak keliru. Hanya dirimu saja yang mengada-ada,” pungkas Haji Kurnadi.
Haji Saleh heran dengan sikap Haji Kurnadi. Dia bersikukuh mempertahankan keyakinan bahwa kerikil-kerikil tanah suci bisa mendatangkan keberkahan dalam hidupnya. Padahal, itu pendapat yang keliru. Salah.
Ia teringat peristiwa tiga tahun silam ketika kakaknya, Haji Mursam, menyimpan kerikil-kerikil tanah suci sebagai azimat. Dia ingin mendapatkan berkah dari kerikil-kerikil tersebut. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Musibah demi musimbah menimpa dirinya. Mulai dari dirinya sendiri sampai anaknya yang meninggal karena kecelakaan. Usut punya usut ternyata Haji Mursam menyimpan kerikil-kerikil dari tanah suci di rumahnya. Pak Yai Ahmad sebagai tokoh agama di desa Haji Mursam menyarankan agar kerikil-kerikil itu dikembalikan ke tanah suci apabila dia ingin musibah-musibah itu tidak menghampirinya lagi. Haji Mursam sempat menolak saran tersebut meskipun pada akhirnya dia menuruti saran Pak Yai Ahmad yang terkenal sedik peningal itu.
Istri Haji Saleh mendukung saran suaminya agar Haji Kurnadi segera mengembalikan kerikil-kerikil itu dengan alasan seperti yang dikemukakan oleh suaminya. Malah istri Haji Saleh ini secara terus terang menyampaikan beberapa akibat apabila kerikil-kerikil itu masih disimpan di rumahnya.
”Keponakan saya dulu sampai meninggal karena kakak saya menyimpan kerikil tanah suci itu di rumahnya. Sebelumnya, orang tuanya juga mengalami beberapa kali musibah. Alhamdulillah, setelah kerikil itu dikembalikan ke tanah suci, kehidupan mereka menjadi damai kembali,” jelas istri Haji Saleh.
Istri Haji Kurnadi memerhatikan cerita-cerita yang disampaikan Haji Saleh dan istrinya. Dia mulai khawatir jangan-jangan cerita yang disampaikan oleh Haji Saleh itu akan menimpa dirinya. Dia teringat anak-anaknya. Dia tidak ingin musibah itu bakal menimpa keluarganya.
”Pak, terima saja saran mereka! Aku takut,” bisik istri Haji Kurnadi di telinganya.
”Tidak bisa. Saya membawa kerikil-kerikil ini dengan susah payah. Saya berusaha mati-matian agar kerikil ini lolos dari penggeledahan petugas. Sekarang kerikil ini bisa selamat sampai rumah malah disuruh mengembalikan. Enak saja!” Haji Kurnadi menolah permintaan istrinya dengan muka memerah.
Istri Haji Kurnadi permisi kepada kedua tamunya itu. Dia menyeret tangan kanan Haji Kurnadi lalu mengajaknya ke dalam kamar. Mereka berdua terlibat dalam perdebatan yang sangat seru. Keduanya bersikukuh memertahankan pendapat-pendapatnya. Setelah beberapa lama mereka berdebat sampai air mata istri Haji Kurnadi terkuras, akhirnya selesai juga. Haji Kurnadi menerima saran yang disampaikan oleh Haji Saleh.
”Baiklah, Kak! Saya menerima saran kalian,” kata Kurnadi dengan melas.
”Syukurlah, kalian menerima saran kami!”
”Lantas bagaimana aku harus mengembalikannya?”
”Titipkan orang yang akan berangkat umroh!”
”Siapa yang akan berangkat umroh dalam waktu dekat ini? Saya kan tidak tahu.”
”Saya punya teman pengelola jasa umroh. Akan saya tanyakan kepadanya siapa yang akan berangkat umroh dalam waktu dekat ini.”
Keesokan harinya Haji Saleh mendapatkan jawaban dari temannya tentang kepastian orang yang akan berangkat umroh minggu depan. Dia lantas mengantarkan Haji Kurnadi beserta istri menemui orang yang akan berangkat umroh tersebut. Setelah bertemu, mereka menyerahkan kantong kain kecil yang berisi kerikil-kerikil tanah suci kepada orang itu dan berpesan agar dikembalikan lagi ke tempatnya.
”Terima kasih, Pak! Terima Kasih!” ucap Haji Kurnadi dan istri kepada orang tersebut dengan perasaan lega. (*)
Wanar, September 2017



  





Selasa, 22 Agustus 2017

Cerpen Radar Bojonegoro, Jawa Pos Grup, Minggu, 20 Agustus 2017

Menegakkan Tiang Bendera Miring
Cerpen Ahmad Zaini*

Siang hari Santriman bertelanjang dada. Dia hanya mengenakan kaos dalam sambil bermandi cahaya matahari. Santriman tidak peduli sengatan sinar matahari menggosongkan kulit yang sebenarnya sudah tak kuning lagi. Peluh merembet melintasi otot-otot kekar di lengannya. Berulang-ulang ia menyekanya agar peluh tak melumuri telapak tangannya yang sedang memegang erat tiang penyangga bendera yang doyong.
”Asem! Kemarin tiang bendera ini ujungnya sudah kutanam dalam-dalam. Tak mungkin sekarang doyong seperti ini,” gerutu Santriman di bawah sengat sinar matahari yang semakin panas.
Tangan kekar Santriman berkilau. Lumuran peluh di tangannya seperti olesan oli bekas di batang pinang sewaktu ada lomba panjang pinang beberapa hari kemarin. Dia tetap menggali lubang buat menanam ujung tiang bendera agar tidak doyong lagi.
”Man, pakailah topi ini!” ujar istrinya yang peduli pada kondisi Santriman.
”Tidak usah. Topi ini malah akan mengganggu kerjaku saja,” sahut Santriman sambil melemparkan topi ke arah Ramiseh.
Ramiseh berhenti. Dia menengok ke arah Santriman yang terus menggali lubang demi tegaknya tiang bendera.
”Kenapa kau lemparkan topi ini? Kau sudah tak menyayangi kulit wajahmu yang semakin legam, ya?”
”Biarlah wajahku legam. Yang penting masih punya rasa peduli pada tiang penyangga bendera ini.”
Ramiseh melangkahkan kakinya yang sempat terhenti. Dia tak melihat lagi suaminya yang masih menggali lubang untuk menancapkan tiang bendera. Rambut keriting Santriman mengembang saat angin menerpanya. Kalau dilihat dari kejauhan, rambutnya seperti kawul di tumpukan jerami para petani.
”Siapa pun yang mendoyongkan tiang bendera ini, akan berhadapan denganku, Santriman! Aku tak rela bendera pusakaku berdiri tak sempurna di tanah airku seperti ini,” sumbar Santriman sambil mengepalkan tangan kirinya.
”Kurang lantang, Man!” teriak istrinya dari dalam rumah.
Sesumbar Santriman berhenti sebentar. Dia menelan dahak yang tersangkut di tenggorokan sambil melihat ke arah istrinya yang berseru agar teriakannya lebih lantang daripada sebelumnya.
Linggis yang berada di genggaman tangan kanannya dilepas. Batang besi berujung pipih ini digeletakkan begitu saja di sampingnya. Dia cekatan mengepalkan tangan kanan dan kirinya. Ia menghirup udara lalu menahannya sebentar di perutnya. Ia bersiap-siap melantangkan sesumbarnya lebih keras daripada sebelumnya.
”Siapa pun yang mendoyongkan tiang bendera ini, akan berhadapan denganku!” suara Santriman kali ini menggelegar seakan membelah angkasa.
Ramiseh yang bersandar di kusen pintu rumahnya tersenyum geli. Dia tak habis pikir suaminya seperti orang kesurupan di siang bolong. Lelaki yang telah menjadi imam rumah tangganya semenjak lima puluh tahun ini disibukkan dengan urusan tiang bendera sampai-sampai dia tidak menghiraukan tubuhnya terbakar sinar matahari.
”Berteduh dulu, Man! Apa kau tidak sayang lagi pada kulitmu yang semakin hitam ini?” Ramiseh meminta Santriman beristirahat.
”Tidak, Seh. Aku tidak memedulikan kulit ini. Aku ingin segera menegakkan tiang bendera yang doyong ini. Aku tak sabar ingin melihat bendera ini berkibar lagi di atas tiang penyangga yang sempurna.”
Ramiseh terdiam. Dia tidak mampu membujuk suaminya agar bersitirahat terlebih dulu. Kendi yang dibawanya dibiarkan berada di bawah pohon mangga. Ia kembali duduk di bawah teras rumah sambil melihat suaminya yang terus menggali tanah untuk menancapkan tiang bendera agar bisa semakin kokoh dan tahan angin.
Angin bertiup kencang. Bendera berkibar dengan penyangga yang tak sempurna. Kibaran bendera ini bagai kepakan rajawali di angkasa biru. Sayapnya mengepak melawan hembusan angin siang yang semakin kencang. Tiang bendera yang doyong di samping Santriman semakin miring. Namun, tangan kekar Santriman segera meraih tiang bendera itu lalu menegakkan kembali agar bendera tidak sampai terkapar di tanah berdebu.
”Seh, cepat kemari! Tolong pegangkan tiang ini agar aku bisa menggali tanah ini lebih cepat.”
”Sebentar, Man,” sahut Ramiseh setengah berteriak dari dalam kandang kambing. Ramiseh rupanya memberi makan kambingnya yang sejak tadi selalu mengembik.
Ramiseh tergopoh-gopoh berlari sambil menyingsingkan jariknya menuju ke arah Santriman.
”Cepat pegang tiang ini!”
”Siap, Man.”
Ramiseh berdiri mematung sambil memegang tiang bendera agar tidak roboh. Sedangkan, Santriman menggali tanah dengan linggis lebih cepat agar tiang bendera bisa segera ditancapkan.
”Kok, lama sekali, Man?”
”Iya. Kau harus sabar. Tanahnya ini keras dan banyak batunya. Sebentar lagi pasti akan selesai.”
Sepasang suami istri ini saling membahu menegakkan tiang bendera yang doyong. Dia berjuang menegakkan tiang bendera agar bendera yang sudah menyatu dengan jiwanya berkibar sempurna di langit yang semakin panas ini.
”Sudah selesai, Seh. Bawa sini tiangnya!” perintah Santriman. Ramiseh memberikan tiang bendera kepada Santriman.
Tiang bendera  ditanam Santriman pada galiannya. Dia dibantu istrinya menegakkan tiang bendera yang sempat doyong itu. Mereka tak memedulikan sengatan sinar matahari yang tegak di tengah langit biru. Mereka bahu-membahu menegakkan tiang bendera pusaka. Setelah rampung, mereka duduk di bawah pohon mangga sambil minum air kendi secara bergantian.
Perjuangan mereka demi menegakkan tiang bendera selesai. Namun, mereka tetap mengawasi bendera tersebut agar selalu berkibar dengan sempurna selamanya. Mereka sewaktu-waktu siap menyangga dan menegakkan tiang bendera itu apabila ada angin yang akan merobohkannya. Maklumlah, terpaaan angin di musim kemarau ini semakin kencang dan bisa mengancam kekokohan tiang bendera yang kini sudah berdiri sempurna. (*)


Wanar, Agustus 2017

Kamis, 03 Agustus 2017

Karena Raketku Patah, Majalah Media Jawa Timur, edisi Juli 2017

Karena Raketku Patah
Karya Ahmad Zaini

Aku masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. Usiaku sepuluh tahun. Di antara teman-teman satu kelas, aku termasuk murid yang paling pendek. Aku terkadang minder pada mereka. Di samping tubuhku yang pendek, kulitku juga yang paling hitam jika dibanding teman-temanku. Aku sempat hilang rasa percaya diriku. Untunglah aku punya ayah yang pandai membesarkan hatiku dan memberi semangat kepadaku.
Ayahku seorang pegawai. Ayah bekerja lima hari dalam seminggu. Hari Sabtu dan Minggu ayah libur. Waktu liburan itulah ayah selalu mengajakku bermain bulu tangkis di gedung olahraga kecamatan. Di sela-sela bulu tangkis ayah selalu memberi semangat dan membesarkan hatiku.
”Jo, semua orang punya kelebihan dan kelemahan. Namun, dua hal ini janganlah membuat seseorang menjadi sombong dan minder,” kata ayahku.
Aku tidak mengerti dengan kata-kata ayah. Aku terdiam dan mencoba memahaminya. Akan tatapi, selalu gagal.
”Maksud ayah?”
”Di samping kelemahan yang ada pada dirimu, kamu punya kelebihan. Nah, kamu harus bisa memanfaatkan kelebihanmu untuk menutupi kelemahanmu,” sambung ayahku sambil mengelap keringatku yang meleler di keningku. Aku sedikit mengerti maksud dari ucapan ayah. Dia mencoba membangkitkan semangatku yang sering terpuruk akibat sering diejek oleh teman-teman.
Teman-temanku sering menyebutku cebol karena tubuhku pendek. Mereka juga sering menghinaku dengan sebutan negro karena kulitku hitam. Aku sering meceritakan semua kejadian yang kualami itu pada ayah sambil menangis di pangkuannya.
”Maksud ayah, aku harus memanfaatkan kelebihanku dengan belajar bulu tangkis?” tanyaku.
”Benar sekali.”
”Mana mungkin ayah. Tubuhku kan pendek.”
”Pemain bulu tangkis tidak harus bertubuh tinggi. Banyak pemain kelas dunia yang berpostur pendek. Yang penting adalah penguasaan teknik bermain bulu tangkis yang benar.”
“Baiklah ayah. Ajari saya bermain bulu tangkis dengan teknik yang benar,” pintaku pada ayah dengan penuh semangat.
Setiap hari Sabtu dan Minggu atau pada sore hari sepulang ayah dari kantor, aku selalu mengajak ayah bermain bulu tangkis. Aku meminta ayah agar mengajariku bermain bulu tangkis dengan teknik yang benar. Ayah mengajari bagaimana cara melakukan servis yang mematikan lawan dan cara melakukan smas. Ayah memberiku beberapa trik penempatan bola ke daerah lawan yang tidak bisa dijangkau oleh lawan tersebut. Ayah juga mengajariku teknik melangkahkan kaki saat memukul atau menerima bola. Berkat keuletan dan ketekunanku berlatih bersama ayah, aku mulai bisa menerapkan teknik seusai keinginan dari ayah.
”Saya bangga kepadamu, Jo. Kamu sudah bisa bermain dengan bagus. Postur tubuhmu yang pendek  tidak terlihat lagi karena tertutupi smas-smasmu yang mematikan. Saya bangga padamu,” kata ayah yang semakin membuatku percaya diri.
Saat yang kutunggu-tunggu telah datang. Di sekolahku diadakan lomba bulu tangkis. Yang menjadi juara akan mewakili sekolah mengikuti lomba tingkat kecamatan. Juara di tingkat kecamatan akan mewakili lomba yang sama di tingkat kabupaten dan seterusnya.
Perlombaan di mulai. Para peserta memperlihatkan kelihaiannya mengolah suttlecock di lapangan. Para pendukung bersorak dan meneriaki mereka yang sedang berlaga. Tiba saatnya giliranku bermain. Aku berhadapan dengan lawan yang selama ini mengejekku.
”Hahahahaha. Si cebol main bulu tangkis,” ejek mereka.
Setelah permainan dimulai aku menerapkan teknik-teknik yang pernah diajarkan oleh ayah. Lawanku tidak berkutik. Dia tidak bisa menerima bola-bola sulit dariku. Perolehan angkaku melaju pesat hingga aku memenangkan pertandingan. Teman-teman yang selalu mengejekku terdiam. Mereka tidak berani mengeluarkan kata-kata ejekan lagi. Aku menjadi juara pada lomba tingkat sekolah dan akan berlaga ditingkat kecamatan.
Di tingkat kecamatan aku juga menjadi juara. Aku menyingkirkan lawan-lawanku yang postur tubuhnya lebih tinggi daripada aku. Aku pun menjadi wakil kecamatan untuk berlaga di tingkat kabupaten.
Saat berlaga di tingkat kabupaten aku mendapatkan masalah. Ibuku tidak menghendaki aku juara lagi. Ibu tidak setuju kalau aku nanti akan menjadi wakil kabupaten untuk  berlaga di tingkat provinsi. Ibu beralasan kelebihanku  bermain bulu tangkis ini akan dapat mengganggu belajarku. Di samping itu ibu kasihan melihatku yang selau bermandi keringat di tengah lapangan. Aku sempat melihat ayah dan ibuku cekcok di pinggir lapangan. Mereka berdebat tentang masa depanku di lapangan bulu tangkis.
Ayahku tetap memaksa dan menginginkan aku harus menjadi juara di tingkat kabupaten. Ayah menghendaki aku mewakili kabupaten di tingkat provinsi. Aku menuruti semua keinginan ayah. Aku bermain dengan sungguh-sungguh dan berhasil melibas lawan-lawanku. Akan tetapi, pada saat partai final ketika aku sudah mengungguli perolehan angka lawan, tiba-tiba raketku patah dan mengenai kakiku. Aku cidera serius karena gagang raketku menghantam tulang keringku hingga bengkak. Aku pun mundur dari permainan ini dan dinyatakan kalah oleh wasit. Aku gagal juara.
Ibu yang berada di tribun VIP langsung berlari masuk ke lapangan. Ibu mendekapku dengan derai air mata. Ayah yang menjadi motivatorku juga iku merangkulku. Dia pun ikut menangis.
”Kau hebat, Jo. Meskipun kau dinyatakan kalah, kau tetap yang terbaik. Aku bangga padamu Jo. Berlaga pada partai final tingkat kabupaten, sudah cukup bagimu untuk menutupi kekuranganmu,” kata ayah.
Suara tepuk tangan terdengar di seluruh penjuru gedung olahraga. Mereka memberikan penghormatan atas perjuanganku dalam ajang bulu tangkis ini. Aku bangga dan tetap bertekad untuk menjadi yang terbaik pada ajang yang sama tahun depan demi kebahagian orang-orang yang menyayangiku. (*)
 


*Guru SMA Raudlatul Muta’allimin Babat dan
SMA Mambaul Ulum Wanar Pucuk


Rabu, 28 Juni 2017

Ingin Dirindukan Surga (Cerpen Radar Bojonegoro, Jawa Pos Grup, Minggu, 11 Juni 2017)

Ingin Dirindukan Surga
Cerpen karya Ahmad Zaini

Setua ini Kakek Amat masih giat menjalankan ibadah di bulan Ramadan. Padahal, kalau melihat fisik dan menghitung usianya, Kakek Amat tergolong orang yang sudah tidak berkewajiban menjalankan puasa. Dia bungkuk. Kalau berdiri, tubuh Kakek Amat hampir membentuk siku-siku. Napasnya juga ngos-ngosan. Apabila berjalan baru menempuh jarak 15 meter, dia harus berhenti untuk menormalkan pernapasannya lagi. Tongkat bambu buatan anaknya menjadi teman setia. Tongkat itulah yang membantu Kakek Amat untuk menyangga tubuhnya berjalan menuju masjid.
Kondisi fisik seperti itu tak menyurutkan semangat Kakek Amat melaksanakan ibadah dalam bulan suci Ramadan. Beliau selalu menjadi orang pertama datang ke masjid guna melaksanakan salat lima waktu secara berjamaah. Kakek Amat selalu berada di shaf paling depan berjajar dengan orang-orang yang secara usia berada di bawahnya. Bahkan, dia tidak mau kalah dengan peserta jamaah yang usianya lebih muda. Misalnya, saat tarawih. Kakek Amat mampu melaksanakan secara utuh. Tak ada yang ketinggalan. Sedangkan, yang berusia muda terkandang dapat satu rakaat lantas berhenti dengan alasan capek. Mereka baru berdiri apabila imam tarawih sudah melaksanakan rakaat berikutnya.
Suara parau Kakek Amat tak pernah sepi dari pengeras suara. Dia juga selalu mengikuti acara tadarrus bersama warga yang lain. Penglihatannya yang masih normal dimanfaatkan betul untuk mengikuti acara membaca Alquran di masjid. Biasanya Kakek Amat baru pulang dari masjid apabila kegiatan tadarrus telah mencapai batas waktu yang telah ditentukan oleh ta’mir masjid. Yaitu, sekitar pukul 23.00. Akan tetapi, Kakek Amat lebih sering tidak pulang ke rumah. Dengan berbekal nasi dan jajan pemberian warga dia makan sahur di masjid pula. Dia baru pulang seusai menjalankan salat subuh.
”Kek, mari saya antar!” suara pemuda bersepeda motor yang muncul dari arah belakangnya.
”Tidak. Biarkan saya berjalan kaki saja. Pahalanya lebih besar,” sahut Kakek Amat berkelakar. Tubuh bungkuk Kakek Amat pun lenyap di telan kabut tebal pagi hari.
***
Usia Kakek Amat hampir menyentuh angka 90-an. Dari warga seumurannya, tinggal dia dan Wak Tijo yang masih hidup. Hanya saja Wak Tijo sudah tidak bisa seperti Kakek Amat. Dia hanya bisa berbaring di atas ranjang sambil menunggu batas usia menjemputnya.
Semasa muda Amat  memanglah lelaki yang amburadul. Dia terkenal sebagai pengangguran. Setiap malam dia begadang di pos ronda. Bersama-sama teman mudanya, ia bermain kartu hingga pagi hari. Amat lupa pada kewajibannya sebagai seorang suami. Dia juga lupa pada kewajiban salat. Dia tidak pernah menghiraukan orang yang berlalu lalang di depannya untuk memenuhi panggilan azan. Amat tidak peduli pada mereka. Dia tetap asyik membontang-banting kartu di pos ronda. Tidak jarang Amat pulang ke rumah dalam kondisi mabuk. Dia dicekoki teman-temannya yang berduit agar mau menenggak bir atau minuman keras lainnya. Begitulah kebiasaan Amat semasa mudanya. Sampai-sampai istrinya terpaksa minta cerai karena tidak pernah mendapatkan nafkah baik lahir maupun batin darinya.
***
Wajah Kakek Amat pucat pasi. Tubuhnya menggigil kedinginan. Mulutnya sedikit menyeringai menahan sakit. Tangannya yang terbalut kulit keriput sedikit gemetar. Namun, Kakek Amat tetap berusaha menahan tubuhnya yang sedikit doyong ke arah kiri. Wak Salikun merangkul tubuh Kakek Amat yang hampir saja ambruk ke arahnya.
”Kenapa Kek? Sakit?”
”Tidak. Aku tidak apa-apa,” jawabnya.
”Kalau tidak mampu puasa jangan memaksakan diri. Allah Maha Pemurah pada hambaNya. Puasa hanya bagi orang yang mampu secara fisik. Kalau tidak mampu melaksanakannya cukup diganti dengan membayar fidyah saja,” bisik Wak Salikun menjelaskan Kakek Amat.
Semua orang yang sedang mengikuti pengajian setelah ashar di masjid mengalihkan pandangannya ke Kakek Amat yang hampir roboh. Mereka hanya bisa heran dan takjub pada kegigihan Kakek Amat yang ingin mengeruk pahala sebanyak-banyak di bulan suci Ramadan.
”Saya hanya mengantuk,” kata Kakek Amat. Para peserta pengajian pun tersenyum lega mendengar pengakuan Kakek Amat.
Pengajian selesai. Tukang pukul bedug sudah menggenggap pemukulnya. Saat seperti ini merupakan detik-detik yang paling ditunggu oleh orang yang berpuasa. Kebahagiaan istimewa bagi orang yang berpuasa adalah menjelang berbuka. Begitu juga dengan Kakek Amat. Dia sudah tidak sabar pemukul bedug mengayunkan pemukulnya ke permukaan bentangan kulit sapi. Dari tadi Kakek Amat telah menggenggam sebutir kurma sebagai takjil. Dia berusaha selalu takjil dengan buah kurma karena memegang teguh kesunatan bagi orang yang berbuka puasa. Apabila Kakek Amat tidak memunyai kurma, dia baru mengawali berbuka puasanya dengan air. Hal inilah yang selalu dilakukan Kakek Amat hingga dia terlihat selalu sehat dan kuat menjalankan ibadah puasa sehari penuh.
Waktu berbuka telah tiba. Kakek Amat memakan buah kurma dengan gusi karena tak bergigi. Sebutir kurma di mulutnya baru bisa ditelan setelah dikunyah dalam waktu lima menit. Itu pun daging kurma masih agak kasar. Maklumlah sudah tua sehingga kunyahan Kakek Amat tidak bisa selembut kunyahan orang-orang yang masih bergigi lengkap. Untuk mengakhiri berbukanya, Kakek Amat meminum segelas air putih yang sekaligus digunakan berkumur agar serpihan kurma yang masih tersisa bersih dari mulutnya.
Usai menjalankan salat maghrib, Kakek Amat tidak maninggalkan masjid seperti warga yang lain. Dia beriktikaf di masjid sampai waktu isya’ tiba. Dia memperbanyak zikir dan doa untuk menghapus dosa-dosa yang dilakukannya semasa muda. Mata Kakek Amat berkaca-kaca. Air matanya berlinang melintasi pipi keriputnya. Bayangan masa mudanya melintasi kelopak matanya. Dia memohon ampunan kepada Allah atas semua salah dan dosanya kala itu. Kakek Amat sangat menyesali perbuatannya yang kala itu hanya menuruti nafsu syetan belaka.
Kakek Amat merasa Ramadan tahun ini adalah kesempatan terakhir baginya mengeruk pahala. Dia ingin menebus dosa-dosanya dengan memperbanyak zikir dan doa. Pagi, siang, dan  malam bulan Ramadan dimanfaatkan betul oleh Kakek Amat. Sampai hari kedua puluh delapan bulan Ramadan ini, Kakek Amat tidak pernah meninggalkan salat malam di masjid. Dia selalu bermunajat kepada Allah, merengek untuk memohonan ampunanNya. Dia juga telah menghatamkan Alquran tiga kali. Bilangan yang sangat banyak bagi orang seusianya dalam menghatamkan Alquran.
”Ramadan tinggal sekali. Mudah-mudahan amal ibadahku diterima Allah bersamaan dengan zakat fitrah yang telah aku bayarkan,” kata Kakek Amat dalam hati.
Ada  sebuah harapan yang tidak pernah padam dalam diri Kakek Amat di sisa-sia usianya. Harapan itu selalu bersemayam dalam jiwanya. Kakek Amat ingin menjadi manusia yang dirindukan surga sehingga dia berusaha secara istiqomah dan khusuk menjalankan ibadah di bulan yang penuh ampunan ini. (*)
Wanar, Juni 2017

*Cerpenis merupakan guru SMA Raudlatul Muta’allimin Babat dan
SMA Mambaul Ulum Wanar Pucuk Lamongan
Dia juga penulis novel Mahar Cinta Berair Mata











Jumat, 02 Juni 2017

Kampung yang Terkubur

Kampung yang Terkubur
Cerpen karya Ahmad Zaini


Cahaya rembulan sempat memancari bumi. Namun, tak lama cahayanya telah terbungkus mendung lagi. Angin malam semakin kencang. Udara terasa tambah dingin. Sedangkan, tumpukan kertas tugas kuliahku masih menumpuk di meja belajar. Aku menguak karena kantuk telah datang mengganggu tugasku. Kutinggalkan sejenak pekerjaanku menuju dapur. Sebungkus kopi kuseduh dengan air panas. Aromanya menyengat hingga menusuk ubun-ubun. Rasa kantuk yang sempat menindih diriku parlahan sirna oleh aromanya. Dengan beralas lepek aku membawa secangkir kopi. Kemudian, aku duduk di belakang meja belajar. Sesruput kopi telah membuka mataku. Bersamaan dengan kusandarkan punggungku, turunlah hujan lebat disertai petir.
Sudah seminggu ini hujan selalu menyambangi bumi. Terkadang pagi, siang, sore, atau malam hari. Hujan datang tak peduli waktu lagi. Berbagai aktivitas manusia terganggu oleh datangnya hujan yang tidak menentu ini. Banyak di antara mereka harus membatalkan jadwal kegiatan.
Aku mengintip hujan dari celah jendela ruang belajarku. Ternyata lebat sekali. Sinar lampu yang tergantung di pinggir jalan itu hampir tak tampak. Cahayanya tak mampu menembus derasnya hujan yang seperti ditumpahkan begitu saja dari langit.
Tugas kuliah yang sempat kutunda kukerjakan lagi. Tumpukan data yang harus kuanalisis perlahan-lahan kumulai lagi.
Jlegar!!!” bunyi petir meluluhlantakkan konsentrasiku. Listrik padam seketika. Suasana ruang belajar gelap pekat.
Aku terperangkap sendiri di ruang belajarku yang kini gelap gulita. Tak terlihat sedikit pun benda-benda yang berada di sekelilingku. Lampu otomatis yang menyatu dengan lampu penerang kamarku juga tak berfungsi. Lampu tersebut tida dapat menyimpan energi listrik lagi.
Kedua orang tuaku terbangun. Mereka memanggiliku. Mereka hendak menyuruhku menyulut lilin yang berada di laci almari di ruang tengah. Aku berjalan dengan hati-hati sekali. Kedua tanganku merayapi dinding kamarku agar menuntunku sampai ke pintu kamar.
Sesampai di ruang tengah aku hampir saja terpelanting. Ada genangan air hujan di lantai karena atap rumahku sedikit bocor. Rupanya ayahku lupa mengundang tukang langganannya untuk memperbaikinya.
Sebatang lilin kunyalakan dengan pemantik api yang berada di sebelahnya. Remang bayang diriku yang duduk dekat lilin membetuk slide di dinding ruang tengah. Bayanganku duduk tertunduk resah pada hujan yang tak pernah lelah.
Gelegar halilintar berdentuman bagai meriam. Kilat bersabung di angkasa laksana terjadi adu kesaktian para pendekar sakti mandraguna. Harapanku untuk melanjutkan pengerjaan tugas kuliah pupus sudah lantaran kantuk tak dapat kuhadang. Kurebahkan tubuhku di ranjang kamar tidurku.
Anganku mulai berselancar ke luar rumah. Berbagai peristiwa bergantian muncul dalam ingatanku. Tentang banjir yang melanda ibu kota dan berbagai daerah di negeri ini. Tentang tanah longsor dan tanah pecah. Tentang tanah bergerak dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian tersebut berjejal datang sehingga aku semakin sulit memejamkan mata.
Aku prihatin sekali dengan sikap manusia saat ini. Ketika bencana datang mendera, manusia tidak mau instropeksi. Mereka tidak mau mengevaluasi diri. Mereka lupa bahwa bencana alam melanda bumi ini bukan tanpa sebab. Hanya manusia sendiri yang tidak mengetahui dan tidak menyadari sebab-sebabnya itu. Yang paling aneh adalah saat bencana alam menimpa suatu daerah, para penduduk malah datang beramai-ramai menuntut pejabat pemerintahannya yang dianggap tidak becus mengatasi bencana.
”Pejabat punya kuasa apa atas bencana ini? Mereka itu hanya mampu menyusun strategi dan administrasi pemerintahannya. Mereka hanya bisa berusaha menanggulanginya. Tuhanlah yang berkuasa atas bencana-bencana alam yang mendera bumi kita,” ujar salah seorang yang alim untuk  mengingatkan warga yang terus-menerus menyalahkan pejabat.
”Tidak bisa. Selain harus menolak bencana, pejabat juga harus bertanggung jawab atas kerusakan rumah kami akibat banjir,” teriak salah satu dari warga.
”Barang apa yang rusak? Berapa nilainya,” tanya si alim itu dengan tenang.
”Rumah dan barang-barang daganganku.”
”Rumah atau warung?”
”Warung.”
”Pantas.”
”Apa maksudmu?”
”Tuhan menurunkan bencana kepada kita ini salah satunya karena rumahmu yang kau jadikan warung. Berapa wanita yang mangkal di rumahmu melayani para lelaki hidung belang dalam setiap malamnya? Berapa botol minuman keras yang laku di warungmu dalam semalam? Perbuatan manusia seperti inilah yang menyebabkan Tuhan menegur kita. Kita telah jauh meninggalkan garis kehidupan yang ditentukan Tuhan. Kita telah terbuai dengan harta benda serta kesenangan dunia sehingga melupakan Tuhan,” sambung orang alim itu.
Saat pemilik warung remang-remang itu bersuara lantang, hujan badai datang. Bumi bergetar diiringi gelegar halilintar. Tanah retak semakin lama semakin menganga. Dalam sekejap tanah itu menelan seluruh warung remang dan penghuninya.
Aku merinding pada kejadian itu. Manusia tetap dengan congkak mengabaikan teguran Tuhan. Hati mereka tak pernah luluh meskipun bencana demi bencana datang mendera bumi ini. Mereka malah berkelahi, sikut-menyikut, menyingkirkan satu sama lain untuk berebut kekuasaan. Mereka tak pernah menyadari bahwa kerusakan di darat dan di laut adalah akibat ulah tangan mereka sendiri. Maka tidak pantas apabila bencana yang terjadi ini malah membuat mereka saling memusuhi dan menyalahkan. Jika itu terjadi maka Tuhan akan menurunkan bencana yang lebih dasyat lagi.
”Bangun, bangun, bangun. Tanah longsor, tanah longsor!” suara bersahut-sahutan dari luar rumah diiringi dengan suara gemuruh dari tebing gunung. Aku bergegas membangunkan kedua orang tuaku. Dengan tanpa basa-basi mereka kuseret dan kuajak berlari sekuat-kuatnya menjauh dari kampung ini menuju ke tempat yang lebih aman. Peluh bercampur air hujan membasahi tubuhku dan kedua orang tuaku. Nafas kami masih terengah-engah. Mulut kami tak bisa mengeluh atau mengaduh. Kami hanya bisa saling menatap dan menangisi peristiwa yang hampir saja merenggut nyawa kami. Peristiwa yang telah mengubur rumah dan harta benda kami. Buku-buku kuliah serta laporan hasil penellitian yang belum selesai kukerjakan juga telah lenyap.
Dari tempat yang aman di sebuah dataran tinggi, kami melihat dengan samar longsoran tanah dari tebing gunung itu. Tanah itu telah menutup kehidupan kampung kami. Kehidupan seluruh penduduk kampung ini. Kampungku telah rata dengan tanah. Kampungku lenyap tertimbun tanah longsor yang meluncur dari tebing gunung. (*)
Wanar, April 2017