Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Kamis, 14 Januari 2016

Peluru Terakhir

Peluru Terakhir
Cerpen karya Ahmad Zaini



Wajah garang Sukirno tak pernah gentar menatap ratusan senjata musuh. Dia terus merangsek mendekati musuh yang bersembunyi di balik semak belukar persawahan di desanya. Dia terus memekikkan takbir untuk memberikan semangat pada kawan-kawan seperjuangan. Semangatnya terus berkobar demi membebaskan desanya dari kepungan penjajah. Dia ingin menjaga martabat dan harga diri bangsanya dari cengkeraman penjajah.
Dor!!!
Peluru terakhir Sukirno muntah dari moncong senjatanya. Peluru tersebut mengenai bak truk musuh yang mengangkut ribuan senjata dan mesiu. Ledakan dasyat  terdengar menggema di seluruh penjuru kampung. Jilatan api meluluhlantakkan iring-iringan kendaraan penjajah. Daging-daging tentara musuh tercabik kemudian bersemburat di udara. Mereka mati tak bersisa. Kepulan asap pekat membumbung menutup cakrawala di desa. Bau anyir darah menyeruak di seluruh persawahan hingga tercium oleh para pejuang kemerdekaaan yang mengintip mereka dari balik pepohonan besar dan semak belukar di desa tersebut.
“Merdeka!!!” pekik Sukirno.
Pekikan itu lantas disambut oleh puluhan pejuang. Mereka berlari mendekati Sukirno yang mengepalkan tangan ke atas sebagai tanda kemenangan negeri tercinta ini.
”Sukirno! Sukirno! Sukirno!” suara penduduk yang bersenjatakan bambu runcing mengelu-elukan Sukirno.
Berkat peluru terakhir Sukirno desa tersebut selamat dari penjajah. Peluru terkahir tersebut menjadi peluru penyelamatan dan penjaga harkat dan martabat negeri ini. Peluru yang menyelamatkan anak-anak dan remaja dari doktrin penjajah yang akan menghancurkan negeri ini.
***
 Makam Sukirno setiap hari tidak pernah surut dari peziarah. Makam yang berada di tengah-tengah pemakaman umum ini selalu ada yang mendatanginya. Para peziarah mengenang perjuangan pahlawan desa ini yang namanya tidak semencuat pahlawan-pahlawan nasional lainnya. Sosok pejuang yang bersahaja namun mampu mengobarkan semangat bertempur para pejuang-pejuang bangsa dari desa ini selalu dikenang warga. Para penduduk sangat bersyukur karena berkat perjuangan Sukirno dan kawan-kawan desa yang berada di perbatasan kota Surabaya ini menjadi desa yang damai dan sejahtera seperti sekarang ini.
Para peziarah mendoakan semoga arwah Sukirno dan pejuang-pejuang lain mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah. Mereka juga memohon kepada Allah agar muncul pahlawan-pahlawan masa kini yang gigih dalam menjaga martabat negeri ini sebagaimana kegigihan Sukirno dan kawan-kawan membebaskan desa tersebut dari cengkeraman penjajah.
“Berjuang saat ini tidak harus mengangkat senjata karena peperangan fisik sudah selesai. Perjuangan kita tidak seperti yang dilakukan oleh pahlawan kita, Sukirno dan kawan-kawan kala itu. Musuh kita datang secara samar bahkan kita tidak menyadarinya,” nasihat kepala desa saat menjadi inspektur upacara peringatan hari pahlawan di pelataran pemakaman desa.
 “Pak Kades, saya takut anak kami menjadi korban penjajahan modern ini. Kami tidak bisa membayangkan masa depan anak-anak kita yang mengalami penjajahan moral, bahasa, dan keyakinan setiap hari seperti sekarang ini,” keluh seorang ayah kepada kepala desa.
“Maka dari itu kita sebagai orang tua harus selalu mendampingi anak. Kita harus membekali mereka dengan pendidikan cinta tanah air, pendidikan agama, dan pendidikan moral lainnya. Kita tidak bisa menolak penjajahan modern masuk ke negeri ini. Kita sendiri yang harus berupaya melindungi diri kita dan anak-anak kita,” kata Kepala Desa memberikan penejelasan kepada Tukijan yang mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya tadi.
Tak berselang lama mereka berbincang tentang masa depan anak-anaknya, dari kejauhan terlihat dua orang polisi berjalan mendekati mereka.
“Selamat siang, Pak!” sapa petugas kepolisian itu.
“Siang juga. Ada apa, Pak?” tanya kepala desa dengan perasaan gusar.
“Apakah dua pemuda dalam foto ini warga sini?” tanya salah satu petugas kepolisian sambil menunjukkan foto. Kepala desa mengamati foto dua pemuda yang disodorkan oleh petugas kepolisian.
“Benar, Pak. Mereka warga kami. Kebetulan salah satu pemuda dalam foto ini adalah anak Bapak Tukijan ini,” jawab kepala desa sambil menunjuk kepada Tukijan yang semenjak tadi sudah mengkhawatirkan anaknya.
“Kebetulan sekali. Perlu Bapak ketahui bahwa anak Bapak terlibat dalam kasus pengedaran narkoba. Anak Bapak sekarang kami tahan di polres.”
Tukijan terbengong-bengong mendengar penjelasan petugas kepolisian tersebut. Dia tidak mampu menimpali informasi dari pihak berwajib itu. Tukijan yang setiap hari bekerja sebagai petani hanya bisa termenung. Kedua mata lugunya berkaca-kaca. Tak lama kemudian air mata penyesalan tumpah dari kedua matanya.
“Pak Kades, bagaimana ini?” kata lirih Tukijan sembari menatap wajah kepala desa yang mengekspresikan kerpihatinan yang mendalam.
“Sabar, Pak. Ini negara hukum. Biarlah anak Bapak menjalani proses hukum. Kami tidak dapat berbuat apa-apa,” kata kepala desa.
Setelah memberikan penjelasan kepada kepala desa dan Tukijan yang anaknya tersandung masalah narkoba, kedua polisi itu undur diri untuk lembali ke tempat mereka bertugas. Sementara itu, Kepala desa dan Pak Tukijan termenung sambil menyesali diri mereka karena tidak mampu memberikan pendidikan kepada warga dan anaknya. Mereka merasa dirinya tidak bisa meneruskan nilai-nilai kepahlawanan almarhum Sukirno, pahlawan desanya, yang telah menghancurkan penjajah dengan peluru terakhirnya. Berkat peluru terakhir Sukirno, warga desa ini bisa terbebas dari pejajah dan bisa hidup aman sentausa seperti sekarang ini. (*)