Peluru Terakhir
Cerpen
karya Ahmad Zaini
Wajah garang Sukirno
tak pernah gentar menatap ratusan senjata musuh. Dia terus merangsek mendekati
musuh yang bersembunyi di balik semak belukar persawahan di desanya. Dia terus
memekikkan takbir untuk memberikan
semangat pada kawan-kawan seperjuangan. Semangatnya terus berkobar demi
membebaskan desanya dari kepungan penjajah. Dia ingin menjaga martabat dan
harga diri bangsanya dari cengkeraman penjajah.
“Dor!!!”
Peluru terakhir Sukirno
muntah dari moncong senjatanya. Peluru tersebut mengenai bak truk musuh yang
mengangkut ribuan senjata dan mesiu. Ledakan dasyat terdengar menggema di
seluruh penjuru kampung. Jilatan api meluluhlantakkan iring-iringan kendaraan
penjajah. Daging-daging tentara musuh tercabik kemudian bersemburat di udara.
Mereka mati tak bersisa. Kepulan asap pekat membumbung menutup cakrawala di
desa. Bau anyir darah menyeruak di seluruh persawahan hingga tercium oleh para
pejuang kemerdekaaan yang mengintip mereka dari balik pepohonan besar dan semak
belukar di desa tersebut.
“Merdeka!!!” pekik
Sukirno.
Pekikan itu lantas
disambut oleh puluhan pejuang. Mereka berlari mendekati Sukirno yang
mengepalkan tangan ke atas sebagai tanda kemenangan negeri tercinta ini.
”Sukirno! Sukirno!
Sukirno!” suara penduduk yang bersenjatakan bambu runcing mengelu-elukan
Sukirno.
Berkat peluru terakhir
Sukirno desa tersebut selamat dari penjajah. Peluru terkahir tersebut menjadi
peluru penyelamatan dan penjaga harkat dan martabat negeri ini. Peluru yang
menyelamatkan anak-anak dan remaja dari doktrin penjajah yang akan
menghancurkan negeri ini.
***
Makam Sukirno setiap hari tidak pernah surut
dari peziarah. Makam yang berada di tengah-tengah pemakaman umum ini selalu ada
yang mendatanginya. Para peziarah mengenang perjuangan pahlawan desa ini yang
namanya tidak semencuat pahlawan-pahlawan nasional lainnya. Sosok pejuang yang
bersahaja namun mampu mengobarkan semangat bertempur para pejuang-pejuang
bangsa dari desa ini selalu dikenang warga. Para penduduk sangat bersyukur
karena berkat perjuangan Sukirno dan kawan-kawan desa yang berada di perbatasan
kota Surabaya ini menjadi desa yang damai dan sejahtera seperti sekarang ini.
Para peziarah mendoakan
semoga arwah Sukirno dan
pejuang-pejuang lain mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah. Mereka juga
memohon kepada Allah agar muncul pahlawan-pahlawan masa kini yang gigih dalam
menjaga martabat negeri ini sebagaimana kegigihan Sukirno dan kawan-kawan
membebaskan desa tersebut dari cengkeraman penjajah.
“Berjuang saat ini
tidak harus mengangkat senjata karena peperangan fisik sudah selesai.
Perjuangan kita tidak seperti yang dilakukan oleh pahlawan kita, Sukirno dan
kawan-kawan kala itu. Musuh kita datang secara samar bahkan kita tidak
menyadarinya,” nasihat kepala desa saat menjadi inspektur upacara peringatan
hari pahlawan di pelataran pemakaman desa.
“Pak Kades, saya takut anak kami menjadi
korban penjajahan modern ini. Kami tidak bisa membayangkan masa depan anak-anak
kita yang mengalami penjajahan moral, bahasa, dan keyakinan setiap hari seperti
sekarang ini,” keluh seorang ayah kepada kepala desa.
“Maka dari itu kita
sebagai orang tua harus selalu mendampingi anak. Kita harus membekali mereka
dengan pendidikan cinta tanah air, pendidikan agama, dan pendidikan moral
lainnya. Kita tidak bisa menolak penjajahan modern masuk ke negeri ini. Kita
sendiri yang harus berupaya melindungi diri kita dan anak-anak kita,” kata Kepala
Desa memberikan penejelasan kepada Tukijan yang mengkhawatirkan masa depan
anak-anaknya tadi.
Tak berselang lama
mereka berbincang tentang masa depan anak-anaknya, dari kejauhan terlihat dua
orang polisi berjalan mendekati mereka.
“Selamat siang, Pak!”
sapa petugas kepolisian itu.
“Siang juga. Ada apa,
Pak?” tanya kepala desa dengan perasaan gusar.
“Apakah dua pemuda
dalam foto ini warga sini?” tanya salah satu petugas kepolisian sambil
menunjukkan foto. Kepala desa mengamati foto dua pemuda yang disodorkan oleh
petugas kepolisian.
“Benar, Pak. Mereka
warga kami. Kebetulan salah satu pemuda dalam foto ini adalah anak Bapak
Tukijan ini,” jawab kepala desa sambil menunjuk kepada Tukijan yang semenjak
tadi sudah mengkhawatirkan anaknya.
“Kebetulan sekali.
Perlu Bapak ketahui bahwa anak Bapak terlibat dalam kasus pengedaran narkoba.
Anak Bapak sekarang kami tahan di polres.”
Tukijan
terbengong-bengong mendengar penjelasan petugas kepolisian tersebut. Dia tidak
mampu menimpali informasi dari pihak berwajib itu. Tukijan yang setiap hari
bekerja sebagai petani hanya bisa termenung. Kedua mata lugunya berkaca-kaca.
Tak lama kemudian air mata penyesalan tumpah dari kedua matanya.
“Pak Kades, bagaimana
ini?” kata lirih Tukijan sembari menatap wajah kepala desa yang mengekspresikan
kerpihatinan yang mendalam.
“Sabar, Pak. Ini negara
hukum. Biarlah anak Bapak menjalani proses hukum. Kami tidak dapat berbuat
apa-apa,” kata kepala desa.
Setelah memberikan
penjelasan kepada kepala desa dan Tukijan yang anaknya tersandung masalah
narkoba, kedua polisi itu undur diri untuk lembali ke tempat mereka bertugas.
Sementara itu, Kepala desa dan Pak Tukijan termenung sambil menyesali diri
mereka karena tidak mampu memberikan pendidikan kepada warga dan anaknya.
Mereka merasa dirinya tidak bisa meneruskan nilai-nilai kepahlawanan almarhum Sukirno,
pahlawan desanya, yang telah menghancurkan penjajah dengan peluru terakhirnya.
Berkat peluru terakhir Sukirno, warga desa ini bisa terbebas dari pejajah dan
bisa hidup aman sentausa seperti sekarang ini. (*)