Cinta
Pertama
Cerpen
Ahmad Zaini *
Kerlap-kerlip
lampu aneka warna gemerlap di malam itu. Suasana ramai oleh lalu-lalang
pengunjung yang memadati tampat pertunjukan ludruk Baru Budi. Di kanan kiri
jalan yang menuju tempat pertunjukkan ramai oleh celoteh anak kecil yang
merengek kepada orang tuanya meminta dibelikan mainan yang dijajakan
pedagangnya di sepanjang jalan. Suara parau dari perempuan tua menawarkan
dagangan kacang kepada setiap pengunjung
yang melintas di depannya.
Di samping
kanan pintu gerbang berjubel orang yang sedang mengantri membeli tiket. Di
sebuah loket sederhana yang terbuat dari dinding triplek terlihat seorang gadis
yang melayani calon pembeli tiket dengan ramah. Lewat lubang yang hanya
berukuran kepalan tangan terlihat bibir yang terpoles gincu dengan gigi yang
terjajar rapi menanyakan jumlah tiket yang mereka butuhkan.
Tak
ketinggalan serombongan mahasiswa yang ingin melakukan studi banding tentang
teori pementasan drama yang mereka peroleh di bangku perkuliahan dengan melihat
proses pementasan secara langsung yang akan dilakukan oleh kelompok ludruk
tersebut. Tanda pengenal yang mengalung di leher berkelebat saat angin malam
lewat. Jas almamater berwarna biru tua sedikit dapat melindungi tubuh mereka
dari undara malam. Mereka membeli tiket secara kolektif. Kemudian mereka
membagi satu per satu pada para mahasiswa yang lain.
Antrian
pengunjung pertunjukan ludruk cukup panjang dan melelahkan. Namun karena dengan
antusias dan semangat, rasa lelah dan kesal sedikit terlupakan hingga mereka
sudah melewati pintu gerbang yang dijaga oleh empat orang. Dua orang di sisi
kanan dan yang lainnya di sisi kiri yang manariki tiket mereka kemudian
menyobeknya.
“Khoirul,
tungguuu!” teriak seorang mahasiswi yang berlari menyusul kelompok yang sudah
masuk lokasi.
“Kamu
dari mana Ira?” tanya Khoirul kepada Ira yang napasnya masih terengah-engah.
“Ini,
lihat! Aku membawa dua bungkus kacang untuk camilan nanti di dalam,” jawab Ira
sambil menujukkan dua bungkus plastik yang digelantungkan di tangannya.
“Ayo,
cepat kita kumpul dengan teman-teman yang lain!” ajak Khoirul.
Ketika
Khoirul berjalan menuju ke teman-temannya yang sudah duduk di pelataran,
tiba-tiba tangan Ira meraih tangan Khoirul. Ia menahan Khoirul agar tak
berkumpul dengan teman-temanya.
“Ada apa,
Ir?” tanya Khoirul bernada heran. Ira diam tak menjawab pertanyaan Khoirul.
“Ayo,
ikut aku!” Ira menyeret tangan Khoirul menuju ke sudut gedung pertunjukkan.
Sebuah sudut yang sepi dari pengunjung yang lain dan hanya tersinari temaram
lampu dari depan.
“Nah,
kita duduk di sini. Tenang dan nyaman,”
ucap Ira yang kemudian duduk bersimpuh di lapangan berumput itu.
“Lho,
kok, kita duduk di sini? Terus bagaimana dengan kelompok yang lain? Ira,
mengertilah bahwa kita datang ke sini untuk mengerjakan tugas yang diberikan
dosen. Masak, bisa kita megerjakan di tempat yang gelap seperti ini!” kata
Khoirul yang mencoba menyadarkan Ira agar mau berkumpul dengan teman-teman yang
lain.
“Tugasnya,
kan, sama. Ini soal-soalnya. Kan sama
dengan yang mereka bawa. Jadi mengerjakan di sana atau di sini sama saja. Toh,
kita juda bisa mendengar alur ceritanya nanti. Itu ada sound system!” bantah
Ira dengan menunjuk ke arah sound system yang di pasang di sebelah kanan kiri
panggung.
Tak lama
kemudian seorang pemandu acara naik ke panggung untuk memperkenalkan personel
mereka dan menyampaikan sekilas cerita yang akan dimainkan oleh kelompok ludruk
Baru Budi. Spontan ratusan pengunjung yang memadati gedung itu riuh memberi tepuk tangan. Tak lama berselang
alunan gending jawa dan tabuhan gong bertalu-talu membentuk irama yang cukup
rancak dan kompak.
Cerita
pun dimulai. Ratusan penonton tampak serius mengikuti jalan ceritanya. Dialog
demi dialog yang diucapkan oleh para pelaku begitu menggema. Suaranya mantap hingga
terasa dada ini mau pecah tak mampu menahan gema suaranya. Di bagian depan para
mahasiswa dengan serius mencatat dan mengamati segala yang ia dengar dan yang
ia lihat. Tak ketinggalan para pengunjung umum. Mereka antusias mengikuti
cerita dengan duduk bersila di tanah lapang berumput.
Hembusan
angin malam saat itu tak begitu kencang. Tiupannya tak mampu menerobos tripleks
yang dipasang mengitari tanah lapang. Hingga dari mereka yang mengenakan jaket
terpaksa melepasnya. Kemudian ia mengibas-ngibaskan jaketnya untuk mengusir
hawa gerah, ongkep. Tetapi mereka
terpaksa harus memakai jaketnya lagi ketika hembusan angin mulai datang. Kali
ini triplek yang berdiri kokoh mengelilingi tanah lapang tak mampu menahan
tiupan angin yang menerobos lewat celah-celah antara tripleks yang satu dengan
yang lainnya.
Di tengah
hembusan angin malam yang semakin kencang, Ira dikagetkan oleh suara letusan
mercon dari arah panggung. Spontan Ira pun terhenyak dan mendekap tubuh Khoirul
yang duduk serius mengikuti cerita. Khoirul diam tak bereaksi dengan apa yang
ia alami. Tapi lama semakin lama ia pun bereaksi karena Ira tak segera
melepaskan dekapannya.
“Ira, tuh
sudah nggak ada suara mercon!” kata Khoirul mengingatkan pada Ira.
“Oh, iya.
Maaf, ya!” kemudian dengan perlahan Ira melapaskan tangannya yang merangkul
Khoirul. Ia agak tersipu malu dengan apa yang baru saja ia lakukan.
Suasana
di pojok tempat pertunjukan sebentar terasa sepi. Kedua mahasiswa yang duduk
berpisah dengan teman-temannya mulai serius lagi mengikuti cerita. Pandangan
Ira pelan tapi pasti memelototi wajah Khoirul. Ya, wajah yang tampan dengan
kumis tipis melengukung di atas bibir. Tahi lalat yang berada di dagunya dengan
ditumbuhi sehelai rambut yang panjang. Sifat agresif seorang wanita mulai
muncul pada diri Ira. Spontan tanganya berberak perlahan membelai rambut
Khoirul yang lurus memanjang. Dengan rasa sayang tangan yang halus dan lembut itu
menari-nari lemah gemulai di kepala Khoirul.
“Ira, ada
apa?” tanya Khoirul. Spontan Ira kaget dan serta merta menarik tangannya yang
membelai rambut Khoirul.
“Eh,
nggak! Nggak ada apa-apa, Rul,” jawabnya dengan gugup.
Malam
semakin larut dan cerita semakin mendekati ending. Tetabuhan musik yang
mengiringi pementasan ludruk semakin mengalun. Dan suara dialog dari para pelaku
semakin syahdu ketika hembusan angin malam membawanya terbang riuh rendah di
udara. Sementara Khoirul membolak-balik kertas yang ia persiapkan untuk
mencatat alur cerita, tokoh serta penokohan, dialog, hingga busana yang mereka
pakai. Sejenak ia menoleh ke arah Ira. Wajah yang manis tersorot oleh lampu
temaram. Matanya sayu seperti menahan rasa kantuk yang menghinggapinya. Ia
kemudian menguak dengan telapak tangan yang menutup mulut yang menganga.
“Sudah
ngantuk, Ir?” tanya Khoirul.
“Aauhhh,
iya! Saya mengantuk,” jawab Ira. Setelah menjawab pertanyaan Khoirul, tiba-tiba
Ira merebahkan kepalanya di pangkuan Khoirul. Ia jadi salah tingkah. Bergejolak
dalam diri Khoirul dua hal yang sangat bertetangan. Satu sisi ia kasihan dengan
Ira yang sedang diliputi rasa kantuk dan membiarkannya ia tertidur di
pangkuannya dan di sisi yang lain ia membayangkan bagaimana kalau yang
dilakukan Ira itu diketahui oleh teman-teman yang lain.
Tatkala
pementasan ludruk dengan lakon Buto Ijo itu
sudah selesai, Khoirul segera melipat kertas yang digunakan mencatat sejak
tadi. Ia tak sadar bahwa suara lipatan kertasnya membangunkan Ira dari pangkuannya.
Perlahan ia duduk dengan memandangi wajah Khoirul. Tatapan mata sayunya
menyimpan berjuta rahasia. Perlahan bibir manis Ira yang sejak tadi terbungkam
oleh kantuk bergerak hendak mengucapkan sesuatu. Khoirul jadi malu ketika
padangan matanya juga menerpa tatapan mata Ira. Ia berpikir dalam hatinya ada
sesuatu yang berbeda pada diri Ira.
“Khoirul,
bolehkah aku mengatakan sesuatu padamu?” tanya Ira dengan sedikit bernada
merayu.
Khoirul
lagi-lagi salah tingkah. Ia tak segera menjawab pertanyaan Ira. Namun dalam
batin Khoirul sudah bisa menebak apa yang hendak dikatakan oleh Ira. Jika
melihat tingkahnya sejak pertunjukan dimulai hingga akhir cerita, mungkin rasa
itu yang hendak ia ucapkan. Belum selesai gejolak batin dalam diri Khoirul,
tiba-tiba ia merasakan telinganya tersentuh oleh bibir Ira seraya mengucapkan
rasa cintanya pada Khoirul. Mata Khoirul terbelalak keheranan. Ia seperti dalam
mimpi. Karena ucapan cinta yang diucapkan oleh Ira adalah yang pertama selama
hidupnya.
“Rul !” tegur Ira.
“Oh, iya. Aku juga mencintaimu!” balas Khoirul. Kemudian
kedua mahasiswa itu larut dalam kegembiraan karena perasaan mereka saling
gayung bersambut.
Pada saat
mereka sedang asyik memadu kasih, tiba-tiba para mahasiswa yang lain datang dan
mereka serempak bernyanyi, “O,o kamu
ketahuan, pacaran lagi dengan si Ira!” seraya mereka bersorak dan
mengucapkan selamat pada pasangan yang baru jadian itu.(*)
Penulis adalah penghuni Sanggar Sastra “Telaga
Biru”
Wanar, Pucuk, Lamongan