Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 26 Oktober 2012

Cinta Pertama


Cinta Pertama
Cerpen Ahmad Zaini *

Kerlap-kerlip lampu aneka warna gemerlap di malam itu. Suasana ramai oleh lalu-lalang pengunjung yang memadati tampat pertunjukan ludruk Baru Budi. Di kanan kiri jalan yang menuju tempat pertunjukkan ramai oleh celoteh anak kecil yang merengek kepada orang tuanya meminta dibelikan mainan yang dijajakan pedagangnya di sepanjang jalan. Suara parau dari perempuan tua menawarkan dagangan kacang  kepada setiap pengunjung yang melintas di depannya.
Di samping kanan pintu gerbang berjubel orang yang sedang mengantri membeli tiket. Di sebuah loket sederhana yang terbuat dari dinding triplek terlihat seorang gadis yang melayani calon pembeli tiket dengan ramah. Lewat lubang yang hanya berukuran kepalan tangan terlihat bibir yang terpoles gincu dengan gigi yang terjajar rapi menanyakan jumlah tiket yang mereka butuhkan.
Tak ketinggalan serombongan mahasiswa yang ingin melakukan studi banding tentang teori pementasan drama yang mereka peroleh di bangku perkuliahan dengan melihat proses pementasan secara langsung yang akan dilakukan oleh kelompok ludruk tersebut. Tanda pengenal yang mengalung di leher berkelebat saat angin malam lewat. Jas almamater berwarna biru tua sedikit dapat melindungi tubuh mereka dari undara malam. Mereka membeli tiket secara kolektif. Kemudian mereka membagi satu per satu pada para mahasiswa yang lain.
Antrian pengunjung pertunjukan ludruk cukup panjang dan melelahkan. Namun karena dengan antusias dan semangat, rasa lelah dan kesal sedikit terlupakan hingga mereka sudah melewati pintu gerbang yang dijaga oleh empat orang. Dua orang di sisi kanan dan yang lainnya di sisi kiri yang manariki tiket mereka kemudian menyobeknya.
“Khoirul, tungguuu!” teriak seorang mahasiswi yang berlari menyusul kelompok yang sudah masuk lokasi.
“Kamu dari mana Ira?” tanya Khoirul kepada Ira yang napasnya masih terengah-engah.
“Ini, lihat! Aku membawa dua bungkus kacang untuk camilan nanti di dalam,” jawab Ira sambil menujukkan dua bungkus plastik yang digelantungkan di tangannya.
“Ayo, cepat kita kumpul dengan teman-teman yang lain!” ajak Khoirul.
Ketika Khoirul berjalan menuju ke teman-temannya yang sudah duduk di pelataran, tiba-tiba tangan Ira meraih tangan Khoirul. Ia menahan Khoirul agar tak berkumpul dengan teman-temanya.
“Ada apa, Ir?” tanya Khoirul bernada heran. Ira diam tak menjawab pertanyaan Khoirul.
“Ayo, ikut aku!” Ira menyeret tangan Khoirul menuju ke sudut gedung pertunjukkan. Sebuah sudut yang sepi dari pengunjung yang lain dan hanya tersinari temaram lampu dari depan.
“Nah, kita duduk di sini. Tenang dan  nyaman,” ucap Ira yang kemudian duduk bersimpuh di lapangan berumput itu.
“Lho, kok, kita duduk di sini? Terus bagaimana dengan kelompok yang lain? Ira, mengertilah bahwa kita datang ke sini untuk mengerjakan tugas yang diberikan dosen. Masak, bisa kita megerjakan di tempat yang gelap seperti ini!” kata Khoirul yang mencoba menyadarkan Ira agar mau berkumpul dengan teman-teman yang lain.
“Tugasnya, kan, sama. Ini soal-soalnya. Kan sama dengan yang mereka bawa. Jadi mengerjakan di sana atau di sini sama saja. Toh, kita juda bisa mendengar alur ceritanya nanti. Itu ada sound system!” bantah Ira dengan menunjuk ke arah sound system yang di pasang di sebelah kanan kiri panggung.
Tak lama kemudian seorang pemandu acara naik ke panggung untuk memperkenalkan personel mereka dan menyampaikan sekilas cerita yang akan dimainkan oleh kelompok ludruk Baru Budi. Spontan ratusan pengunjung yang memadati gedung itu  riuh memberi tepuk tangan. Tak lama berselang alunan gending jawa dan tabuhan gong bertalu-talu membentuk irama yang cukup rancak dan kompak.
Cerita pun dimulai. Ratusan penonton tampak serius mengikuti jalan ceritanya. Dialog demi dialog yang diucapkan oleh para pelaku begitu menggema. Suaranya mantap hingga terasa dada ini mau pecah tak mampu menahan gema suaranya. Di bagian depan para mahasiswa dengan serius mencatat dan mengamati segala yang ia dengar dan yang ia lihat. Tak ketinggalan para pengunjung umum. Mereka antusias mengikuti cerita dengan duduk bersila di tanah lapang berumput.
Hembusan angin malam saat itu tak begitu kencang. Tiupannya tak mampu menerobos tripleks yang dipasang mengitari tanah lapang. Hingga dari mereka yang mengenakan jaket terpaksa melepasnya. Kemudian ia mengibas-ngibaskan jaketnya untuk mengusir hawa gerah, ongkep. Tetapi mereka terpaksa harus memakai jaketnya lagi ketika hembusan angin mulai datang. Kali ini triplek yang berdiri kokoh mengelilingi tanah lapang tak mampu menahan tiupan angin yang menerobos lewat celah-celah antara tripleks yang satu dengan yang lainnya.
Di tengah hembusan angin malam yang semakin kencang, Ira dikagetkan oleh suara letusan mercon dari arah panggung. Spontan Ira pun terhenyak dan mendekap tubuh Khoirul yang duduk serius mengikuti cerita. Khoirul diam tak bereaksi dengan apa yang ia alami. Tapi lama semakin lama ia pun bereaksi karena Ira tak segera melepaskan dekapannya.
“Ira, tuh sudah nggak ada suara mercon!” kata Khoirul mengingatkan pada Ira.
“Oh, iya. Maaf, ya!” kemudian dengan perlahan Ira melapaskan tangannya yang merangkul Khoirul. Ia agak tersipu malu dengan apa yang baru saja ia lakukan.
Suasana di pojok tempat pertunjukan sebentar terasa sepi. Kedua mahasiswa yang duduk berpisah dengan teman-temannya mulai serius lagi mengikuti cerita. Pandangan Ira pelan tapi pasti memelototi wajah Khoirul. Ya, wajah yang tampan dengan kumis tipis melengukung di atas bibir. Tahi lalat yang berada di dagunya dengan ditumbuhi sehelai rambut yang panjang. Sifat agresif seorang wanita mulai muncul pada diri Ira. Spontan tanganya berberak perlahan membelai rambut Khoirul yang lurus memanjang. Dengan rasa sayang tangan yang halus dan lembut itu menari-nari lemah gemulai di kepala Khoirul.
“Ira, ada apa?” tanya Khoirul. Spontan Ira kaget dan serta merta menarik tangannya yang membelai rambut Khoirul.
“Eh, nggak! Nggak ada apa-apa, Rul,” jawabnya dengan gugup.
Malam semakin larut dan cerita semakin mendekati ending. Tetabuhan musik yang mengiringi pementasan ludruk semakin mengalun. Dan suara dialog dari para pelaku semakin syahdu ketika hembusan angin malam membawanya terbang riuh rendah di udara. Sementara Khoirul membolak-balik kertas yang ia persiapkan untuk mencatat alur cerita, tokoh serta penokohan, dialog, hingga busana yang mereka pakai. Sejenak ia menoleh ke arah Ira. Wajah yang manis tersorot oleh lampu temaram. Matanya sayu seperti menahan rasa kantuk yang menghinggapinya. Ia kemudian menguak dengan telapak tangan yang menutup mulut yang menganga.
“Sudah ngantuk, Ir?” tanya Khoirul.
“Aauhhh, iya! Saya mengantuk,” jawab Ira. Setelah menjawab pertanyaan Khoirul, tiba-tiba Ira merebahkan kepalanya di pangkuan Khoirul. Ia jadi salah tingkah. Bergejolak dalam diri Khoirul dua hal yang sangat bertetangan. Satu sisi ia kasihan dengan Ira yang sedang diliputi rasa kantuk dan membiarkannya ia tertidur di pangkuannya dan di sisi yang lain ia membayangkan bagaimana kalau yang dilakukan Ira itu diketahui oleh teman-teman yang lain.
Tatkala pementasan ludruk dengan lakon Buto Ijo itu sudah selesai, Khoirul segera melipat kertas yang digunakan mencatat sejak tadi. Ia tak sadar bahwa suara lipatan kertasnya membangunkan Ira dari pangkuannya. Perlahan ia duduk dengan memandangi wajah Khoirul. Tatapan mata sayunya menyimpan berjuta rahasia. Perlahan bibir manis Ira yang sejak tadi terbungkam oleh kantuk bergerak hendak mengucapkan sesuatu. Khoirul jadi malu ketika padangan matanya juga menerpa tatapan mata Ira. Ia berpikir dalam hatinya ada sesuatu yang berbeda pada diri Ira.
“Khoirul, bolehkah aku mengatakan sesuatu padamu?” tanya Ira dengan sedikit bernada merayu.
Khoirul lagi-lagi salah tingkah. Ia tak segera menjawab pertanyaan Ira. Namun dalam batin Khoirul sudah bisa menebak apa yang hendak dikatakan oleh Ira. Jika melihat tingkahnya sejak pertunjukan dimulai hingga akhir cerita, mungkin rasa itu yang hendak ia ucapkan. Belum selesai gejolak batin dalam diri Khoirul, tiba-tiba ia merasakan telinganya tersentuh oleh bibir Ira seraya mengucapkan rasa cintanya pada Khoirul. Mata Khoirul terbelalak keheranan. Ia seperti dalam mimpi. Karena ucapan cinta yang diucapkan oleh Ira adalah yang pertama selama hidupnya.
“Rul !” tegur Ira.
“Oh, iya. Aku juga mencintaimu!” balas Khoirul. Kemudian kedua mahasiswa itu larut dalam kegembiraan karena perasaan mereka saling gayung bersambut.
Pada saat mereka sedang asyik memadu kasih, tiba-tiba para mahasiswa yang lain datang dan mereka serempak bernyanyi, “O,o kamu ketahuan, pacaran lagi dengan si Ira!” seraya mereka bersorak dan mengucapkan selamat pada pasangan yang baru jadian itu.(*)

Penulis adalah penghuni Sanggar Sastra “Telaga Biru”
Wanar, Pucuk, Lamongan




























Rabu, 10 Oktober 2012

Perempuan di Ambang Jendela


Perempuan di Ambang Jendela
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Perempuan itu setiap hari duduk di dekat jendela rumah. Pagi sampai menjelang sore dia selalu mengintip keluar rumah sambil berharap anak laki-lakinya yang merantau di bumi Cendrawasih datang. Rasa cemas. Rasa khawatir berbaur menjadi satu dengan rasa rindu yang sangat dalam. Dia merindukan anak semata wayangnya datang dengan tubuh tegap sambil memanggul tas rangsel seperti ketika dia berpamitan mengais rezeki di tanah Papua sebagai tukang ojek tiga tahun yang lalu.
Angin siang datang membelai rambut sebahu perempuan itu. Dia tiada henti memandangi setiap pesawat yang melintas di udara. Ia membayangkan dari balik jendela pesawat yang tidak jelas itu muncul wajah anaknya tersenyum bahagia melihat uraian rambut ibunya di dekat jendela rumah. Perempuan bertahi lalat di pipi kirinya itu masih duduk hingga  menjelang siang di dekat jendela. Ia lupa kalau perutnya semenjak pagi belum terisi makanan.
Rasa perih terasa di lambungnya. Perempuan itu beringsut pindah tempat duduk yang dijajar dekat jendela sambil memungut ubi yang direbus kemarin pagi. Ia kupas kulitnya yang sudah berlendir. Ujung ubi setengah basi ia masukkan ke dalam mulut. Perempuan tersebut tampak malas memakan ubi sendiri tanpa ditemani anak semata wayangnya.
Air mata kerinduan menetes di lekuk pipi keriputnya. Ia terisak sambil menyandarkan dagunya di kusen jendela. Matanya lembab air mata  yang terus mengalir setiap ia mengingat anak lelakinya. Seekor capung hinggap di kuncup bunga matahari yang sebentar akan merekah. Capung menghisap madu bunga matahari sambil menatap perempuan itu yang sedang bersedih merindukan anaknya. Capung bertubuh kecoklatan seakan mengajak berbicara dengan perempuan itu. Dia sepertinya ingin menghibur perempuan janda agar tidak menguras air matanya setiap hari. Akan tetapi, air matanya akan mengalir sendiri jika wajah anaknya melintas di pelupuk matanya.
Tiga tahun yang lalu anak lelakinya diajak oleh pamannya pergi ke Papua. Waktu itu anak lelakinya baru saja menamatkan pendidikan tingkat SMA. Niat pamannya sangat baik yaitu memberikan kesibukan dengan bekerja sebagati tukang ojek di Papua. Di sana memang sangat mudah mengais rezeki sebagai tukang ojek. Sekali jalan mengankut penumpang ongkosnya bisa mencapai tiga puluh ribu hingga seratus ribu rupiah. Sehari terkadang bisa mendapatkan penghasilan sampai lima ratus ribu.
Ayahnya meninggal karena penyakit liver. Ia merupakan tulang punggung ekonomi keluarganya. Sepeninggalnya beban ekonomi keluarga dibebankan kepada ibunya dengan berjualan sayur keliling kampung. Pamannya tidak tega ibu keponakannya atau  saudara tuanya itu berjualan sayur dengan penghasilan dua puluh lima  ribu  perhari. Sedangkan anaknya yang sudah remaja menganggur tidak berpenghasilan apa-apa. Akhirnya, pamannya berusaha membujuk keponakannya agar ikut bersamanya pergi ke tanah Papua menjadi tukang ojek.
Satu tahun anaknya berada di Papua. Dia sudah bisa mengirimkan uang senilai lima juta. Uang kiriman anaknya gunakan oleh perempuan itu untuk membayar hutang pengobatan ayahnya. Dalam waktu tiga hari uang tersebut habis. Dua tahun berikutnya, anak lelakinya mengirimkan uang dua puluh lima juta. Uang kiriman tersebut dibagi dua. Separo untuk menutup hutangnya, yang separoh lagi digunakan untuk memperbaiki rumahnya yang hampir roboh. Memasuki tahun ketiga anaknya tidak mengirimkan uang.
Perempuan itu gelisah. Dia berusaha menghubungi anaknya melalui telepon genggamnya agar dia segera mengirimkan uang untuk keperluan hidupnya. Akan tetapi, perempuan itu bernasib malang karena beberapa kali dia gagal menghubungi anaknya. Nomor telepon yang dia tuju tidak bisa dihubungi. Sebulan berikutnya dia mendengar kabar dari televisi bahwa di tanah Papua kondisi keamanan sangat memprihatikan. Ada beberapa warga sipil yang ditembak mati oleh penembak misterius.
Suatu sore adik lelakinya datang dari perantauan. Perempuan itu sangat senang karena dia berpikir bahwa anaknya ikut bersama adiknya. Perempuan tersebut berkata dalam hati mungkin karena dia pulang inilah, anaknya tidak mengirimkan uang kepadanya lagi.  akan tetapi, perempuan itu sangat terpukul kesekian kalinya karena adiknya hanya datang bersama istri  dan kedua anaknya.
Mata perempuan tersebut berkaca-kaca. Dia bertanya tentang kabar anaknya. Adiknya hanya menjawab singkat kalau keponakannya tidak mau diajak pulang karena sudah enak hidup dan bekerja di sana. Dia juga bercerita kalau keponakannya sudah mempunyai teman dan langganan ojek yang banyak di sana. Adiknya menyodorkan uang kiriman keponakannya kepada perempuan itu. Dia menyampaikan pesan keponakannya agar uang tersebut digunakan sebagai modal usaha atau membeli ladang. Perempuan itu menerima uang kiriman anaknya sambil meneteskan air mata. Dia menerima dengan perasaan haru bercampur sedih karena anaknya tidak ikut pulang bersama dengan pamannya.
“Keadaan keponakanmu di sana bagaimana?” tanya perempuan itu.
“Dia baik-baik saja, Mbak Yu,” jawab adik lelakinya.
Setelah mendengar jawaban dari adiknya, perempuan itu berpamitan pulang.
Di rumah, perempuan yang memendam rasa rindu kepada anaknya tertunduk lesu. Dia duduk di dekat jendela sambil membayangkan anaknya datang dari Papua. Dia menangis sambil melihat batang pepaya menjulang di pinggir rumahnya. Dia tidak bisa tersenyum walau tanaman pepayanya menyangga beberapa buah yang sudah tua. Air matanya malah mengalir deras saat melihat buah pepayanya yang berwarna merah merona. Dia ingat bahwa anak lelakinya suka sekali dengan pepaya. Perempuan yang bertubuh kurus karena digerogoti rasa rindunya kepada anak lelakinya tak kuasa menahan tangis. Dia pun berdiri meninggalkan kursi di dekat jendelanya agar perasaan kangen kepada anaknya tidak semakin menjadi-jadi. Dia berjalan gontai membelah cahaya matahari senja menuju kamar mandi.
Malam datang. Perempuan itu merasa tubuhnya lebih segar karena usai mandi lalu memakan ubi hasil berkebunnya untuk mengganjal perutnya. Lampu berkepasaitas 10 w yang tegantung di ruang depan remang menyala. Wajah sedih perempuan itu samar tak terlihat. Ia berusaha bisa tabah menjalani hidup seorang diri dengan beban rindu yang melandanya kini.
Detak jarum jam terdengar semakin tajam. Hentakannya menyeret waktu sampai larut malam. Rasa kantuk perempuan tersebut tergoda oleh perasaan rindu kepada anak lelakinya. Dia tidak jadi membaringkan tubuh kurusnya di dipan kamar. Dia keluar kamar menuju kursi di dekat jendela rumahnya.
Perempuan yang telah menjanda selama tiga tahun itu dengan perlahan membuka kedua daun jendela rumahnya. Dia melihat bulan purnama bersinar terang ditemani jutaan bintang. Dia iri kepada bulan karena sang bulan bisa bergurau bersama bintang-bintang yang mengelilinginya. Sementara dirinya setiap hari harus hidup sendiri tidak ada yang menemani. Perempuan itu melambaikan tangan kepada bulan. Dia mengundang bulan datang ke rumahnya bersama anak lelakinya. Dia ingin melihat anaknya datang bersama cahaya sang dewi malam yang menembus lobang dinding rumahnya yang terbuat dari bambu. Namun, lagi-lagi itu hanya hayalan semu yang tak mungkin terjadi.
Malam purnama berikutnya, perempuan itu membuka jendela rumahnya lagi. Dia berharap sang bulan datang dengan membawa anak lelakinya. Mata perempuan itu menatap bulan dengan kerdipan layu. Ternyata bulan itu  bergantung sendirian dengan tenang di atas langit. Dia tidak mengantarkan anak lelakinya pulang. Rasa sedih semakin menusuk hati perempuan itu karena bulan kini malah menyelinap di balik gumpalan awan yang datang. Cahayanya meremang semakin lama semakin meredup. Malam akhirnya benar-benar menunjukkan jati dirinya yang hitam pekat tak ada setitik warna putih di sekujur tubuhnya.
Perempuan itu semakin menderita karena kerinduan kepada anak lelakinya tak mungkin terobati. Ratap sedih kerinduannya  selama ini terasa percuma saja sebab anak lelakinya tidak akan pulang dan berkumpul lagi dengannya untuk selama-lamanya. Jadi, kabar yang disampaikan oleh adiknya waktu itu ternyata hanya kabar bohong untuk menghibur perempuan itu agar tidak terus-menerus menyedihkan anaknya. Anak lelaki yang dirindukan perempuan itu sebenarnya sudah mati karena dadanya ditembus tiga butir timah panas dari penembak misterius. Ia ditemukan warga tergeletak bersimbah darah bersama motornya di tengah jalan kemudian dikubur di tanah Papua sana.
Perempuan itu menyandarkan dagunya di kusen jendela. Matanya lembab air mata karena menahan kerinduan semu kepada anak lelakinya yang telah tiada. Dia hanya berharap kepada angin dan rembulan di waktu malam agar memberi kabar kepadanya jika anak lelakinya akan datang. Dia akan menyiapkan ubi-ubian dari hasil berkebun di ladang pembelian anak lelakinya. (*)
Lamongan, Juli 2012






RIWAYAT KEPENULISAN
Karya-karya sastranya baik berupa puisi maupun cerpen pernah dimuat di Tabloid Telunjuk, majalah sastra Indupati (Kostela), Tabloid Ma’arif Lamongan, majalah MPA (Depag Jatim), Radar Bojonegoro dan Kompas.com. Beberapa puisinya  terkumpul dalam Antologi Puisi Bersama antara lain Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Sehelai Waktu (Scolar, 2011). Buku kumpulan cerita pendeknya Telaga Lanang akan segera terbit.